Orientalisme Islam dan Masyarakat Muslim (1)

Islam dan Masyarakat Muslim dalam Perspektif Barat
Diki Drajat
Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Padjadjaran
Email: diki16003@mail.unpad.ac.id

ABSTRACT
Western Orientalism study not only aims for scientific study, but as Edward Said explains in his
book, Orientalism, there is an association between Eastern study with the practice of imperialism
and cultural hegemony in Eastern countries with modus operandi representing East reality in the
Western perspective, thus giving them legitimacy to voice about what might be good to be applied
in the East. The practice of representation is still alive to this day, but with a new look. Islam and
the Muslim community after the 9/11 tragedy became a victim of a demonization of terror that
their did not ever commit it, either by Western societies or even by their fellow Muslims.
Keywords : orientalism, legitimacy, culture, representation, islam.

Pendahuluan
Pembagian dunia kepada bagian Timur dan Barat telah membentuk suatu pandangan
mengenai relitas yang saling bertentangan satu sama lain. Pembedaan tersebut tidaklah didasari
atas pembedaan wujud geografis antara Timur dan Barat yang meliputi kondisi iklim, permukaan
daratan, serta keanekaragaman flora dan fauna, melainkan suatu usaha dalam membedakan realitas
sosio-humaniora yang terjadi di kedua dunia tersebut, dengan kata lain, usaha membagi dunia

menjadi Timur dan Barat merupakan usaha untuk menciptakan “geografi imajinatif” dimana
bangsa Barat senantiasa menempatkan bangsa Timur dalam sudut pandang yang saling
bertentangan (oposisi biner).1 Sehingga Barat menmandang realitas sosio-humaniora dari dunia
Timur sebagai sesuatu yang asing, menjadikan Barat memiliki keyakinan yang memberikan
batasan antara kita (we) dan mereka (the others), pandangan tersebut dinamakan orientalisme.2

1

[Redaksi DP]. (12 desember 2013). [Democracy Project] Ihsan Ali-Fauzi tentang Edward Said dan Orientalisme.
[Berkas video]. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=IQxJVnLeUs8
2
Edward Said. (2016). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. terj. Achmad Fawaid. hlm. 83-84.

Orientalisme merupakan sebuah sikap mental bangsa Barat dalam memadang seluruh
realitas dunia Timur yang dianggap sebagai dunia yang begitu eksotis, mistik, misterius, dan
sensual dengan menyesuaikan realitas tersebut dengan selera Barat, sehingga pandangan mengenai
dunia Timur tersebut tidak lagi objektif karena seluruh realitas dunia Timur direpresentasikan
dalam kacamata Barat dan untuk dikonsumsi oleh masyarakat Barat.3 Hasrat mereka untuk
menjelajahi dunia Timur yang menjanjikan kesejahteraan dan pengalaman baru, mendorong

mereka untuk berlayar dari Eropa ke berbagai kawasan Timur untuk berdagang dan mencari
rempah-rempah, kemudian disusul dengan agresi militer sebagai usaha untuk menaklukkan dan
menduduki kawasan Timur, dengan dalih usaha “memberadabkan” Timur (civilizing mission).4
Para penulis Eropa yang menciptakan karya-karya mereka mengenai dunia Timur
merupakan para peziarah Kristen, diplomat, pedagang, dan penjelajah. Karya-karya tersebut
dihasilkan dari kumpulan catatan-catatan perjalanan yang dicocokkan satu sama lain, kemudian
disatukan menjadi sebuah literatur yang menjadi pegangan untuk menyelami dunia Timur,5 karena
interaksi Barat-Timur yang dilakukan tanpa sebuah pegangan pengetahuan mengenai dunia Timur
merupakan suatu tindakan yang berbahaya. Bangsa Barat yang berkepentingan di kawasan Timur
bisa saja memperlakukan mereka secara tidak tepat, sehingga menimbulkan penolakan bahkan
pertentangan dari bangsa Timur sebagaimana yang terjadi pada diri Cornelis de Houtman saat
harus meregang nyawa di Aceh.6 Kewaspadaan mengenai kondisi wilayah yang asing tersebut
mengilhami Napoleon untuk membawa serta puluhan sarjana untuk mempelajari seluk-beluk
masyarakat Mesir ketika berhasil menaklukkan Mesir pada 17897, serta Inggris ketika
menaklukkan India melalui kerjasama antara orientalis muda dari golongan masyarakat biasa
dengan para “pandit” lokal pada abad kolonialisasi sebagian besar wilayah Timur oleh Eropa.8

3

[UBTV Brawijaya]. (4 Agustus 2015). UBTV BILIK SASTRA Epd Membaca Orientalisme dan Oksidentalisme Seg 1.

[Berkas video]. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=KaCueEoQ2Ew
4
Hasyim, S. (2017, Oktober 22). Kolonialisme, Islam, dan Neo-Kolonialisme. Diakses dari beritagar.id:
https://beritagar.id/artikel/telatah/kolonialisme-islam-dan-neo-kolonialisme
5
Op cit. hlm. 87.
6
Iswara N. Raditya. Matinya Cornelis de Houtman di Tangan malahayati. Diambil kembali dari tirto.id:
https://tirto.id/matinya-cornelis-de-houtman-di-tangan-malahayati-cz2x
7
Rais, A. (1991). Cakrawala Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 236.
8
[History]. (5 Agustus, 2014). 4.3.1 Colonial State And It's Ideology Orientalism. [Berkas video]. Diambil kembali
dari YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=3gO8BnAznik

Aktivitas kesarjanaan orientalis yang bergelut dalam kajian ilmiah mengenai budaya,
agama, dan masyarakat Timur menghasilkan sejumlah karya yang sarat akan kepentingan
imperialis serta subjektifitas kacamata Barat yang akan mempengaruhi kebenaran saintifik yang
diajarkan oleh mereka kepada bangsa Timur. Banyak dari karya tersebut digunakan sebagai
literatur induk dalam mengkaji realitas sosio-humaniora masyarakat Timur di kemudian hari oleh

para sarjana Timur yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah bentukan Barat, dengan metode ilmiah
Barat di wilayah kolonial itu sendiri. Sehingga menghasilkan sarjana Timur yang bermental
“western minded” dalam memandang realitas bangsanya sendiri karena skeptis dengan perangkat
keilmuan di masyarakatnya yang dianggap tidak ilmiah dan penuh dengan mistik.
Hegemoni kultur poskolonial tersebut tak luput menyasar sistem pendidikan bangsa Timur,
standar sains yang berkembang di Timur senantiasa sejalan dengan gagasan Barat, sehingga Barat
memiliki legitimasi atas kebenaran saintifik di seluruh kawasan berkas koloninya. Dimana kultur
ilmiah yang telah kukuh berdiri di bangsa Timur seperti menimba ilmu di Pesantren dinilai tidak
ilmiah dan memelihara kejumudan (stagnasi). Pengkajian kitab kuning karya para Ulama oleh
kiyai di pesantren-pesantren lebih dianggap sebagai literatur keagamaan dan usaha untuk
mendalami agama ketimbang aktifitas kesarjanaan.9
Pandangan akan superioritas pendidikan Barat tersebut memicu hasrat dari sarjana-sarjana
Timur, khususnya sarjana asal Indonesia untuk melanjutkan studi mereka kepada para orientalis
yang mengajar di universitas-universitas luar negeri yang secara khusus mengkaji agama,
masyarakat, dan budaya Timur, khususnya mengenai Islam, masyarakat Muslim beserta
keragaman budayanya. Kemudian setelah lulus dan kembali ke negaranya, kebanyakan dari
sarjana tersebut menjadi pengajar di universitas-universitas di Indonesia dengan mempromosikan
gagasan dan metodologi Barat dalam pengkajian sosio-humaniora masyarakat Timur
(westernized).10
Peradaban Barat (dalam hal ini Eropa Barat dan Amerika) yang berdiri diatas ideologi

liberalisme mendapatkan status quo sebagai pemenang dari Perang Dingin dan meneguhkan

9

Priyahita, W. (2012). Politics of Political Science in Indonesia. Diambil kembali dari Academia:
https://www.academia.edu/3745946/politics_of_political_science_in_indonesia. hal. 4
10
Husaini, A. (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema
Insani Press. hal. xxv.

keyakinan mereka tentang demokrasi liberal dengan kapitalisme sebagai penopang kesejahteraan
rakyatnya dipercaya sebagai akhir dari perjalanan manusia dalam pencarian ideologi yang ideal.11
Menara World Trade Center (WTC) sebagai simbol hegemoni kapitalisme global pada 11
September 2001 (9/11) mendapatkan “serangan” telak hingga rata dengan tanah , merupakan
sebuah konsekuensi dari apa yang disebut oleh Samuel Huntington dalam Clash of Civilizationnya sebagai benturan antar peradaban bangsa-bangsa selain Barat pasca perang dingin. Dalam
tesisnya, Huntington menjelaskan kemungkinan benturan yang diinisiasi oleh berbagai peradaban
diluar Barat akibat sikap resisten dari peradaban-peradaban tersebut terhadap demokrasi liberal
dan kapitalisme. Prediksi tersebut akhirnya bermuara pada kesimpulan bahwa peradaban Islamlah yang akan menjadi tantangan terbesar bagi eksistensi demokrasi liberal.12 Ketahanan tesis
Huntington ini semakin menguat sejak tragedi 9/11 yang menyiratkan bahwa “kapitalisme dan
demokrasi liberal benar-benar mendapat tantangan dari Islam”.

Dengan demikian resistensi terhadap umat Muslim kian menjadi pasca 9/11. Setelah
presiden George W. Bush menyetakan perang terhadap terrorisme (war on terror ), gelombang
Islamophobia dengan cepat menyeruak di Negara-negara Barat. Hal ini merupakan kejadian

terburuk pasca fitnah terhadap komunitas Arab Muslim yang dituding mendalangi Oklahoma City
Bombing pada tahun 1995 atas dasar meningkatnya kecurigaan warga Amerika pasca Revolusi

Iran pada 1979 yang didalangi oleh kelompok fundamentalis Islam. Namun nyatanya pengeboman
tersebut dilakukan oleh Timothy McVeigh, seorang fundamentalis Kristen mantan anggota militer
AS.13
Sejak tragedi 9/11 hingga saat ini, gelombang kecurigaan terhadap Islam dan masyarakat
Muslim masih dalam kadarnya yang stagnan, namun telah bertransformasi menjadi rasisme antiArab, serta labeling Wahabi, fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme, baik terhadap individu
maupun komunitas Muslim tertentu. Kemunculan stigmatisasi terhadap Muslim tersebut lebih
merupakan bentuk baru dari wacana Islamophobia yang pertama kali diserukan oleh media Barat

11

Fukuyama, F. (2004). The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal.
Yogyakarta: Penerbit Qalam.
12

Huntington, S. (2005). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Hal. 589.
13
[Palestine Diary]. (2012, Oktober 28). Edward Said On Orientalism. [Berkas video]. Diambil kembali dari YouTube:
https://www.youtube.com/watch?v=fVC8EYd_Z_g

terhadap Islam pasca Revolusi Iran yang menggulingkan rezim Shah pro-Amerika dan melakukan
penyanderaan terhadap staff kedutaan besar AS. Labelling tersebut banyak terjadi di Negara yang
memiliki jumlah penduduk muslim yang signifikan, termasuk didalamnya Indonesia.
Landasan Teori
Gagasan Edward Said mengenai Orientalisme dipengaruhi oleh pemikiran Michel Foucault
mengenai discourse dan Antonio Gramsci mengenai hegemoni. Melalui teori diskursus Foucault,
Said berusaha mengungkap pertanyaan-pertanyaan mengenai relasi kekuasaan yang melatari
representasi dari Timur dalam genealogi orientalisme, dimana orientalisme merupakan sebuah
diskursus yang dibentuk oleh pertukaran dari berbagai jenis kekuasaan.14 Terciptanya relasi kuat
antara pengetahuan dan kekuasaan tersebut disebabkan oleh kekuasaan yang senantiasa
membutuhkan pengetahuan dalam rangka melanggengkan kekuasaan itu sendiri, meminjam
bahasa Foucault, “Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan tanpa
kekuasaan”.15
Bagi said, terdapat empat jenis kekuasan yang hidup dalam wacana orientalisme:

kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imperialisme), kekuasaan intelektual (mendidik

Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain), kekuasaan kultural (kanonisasi selera, teks,
dan nilai-nilai), serta kekuasaan moral (apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan oleh
Timur).16
Sedangkan gagasan Gramsci mengenai hegemoni, oleh Said dikemukakan dalam gagasan
mengenai pandangan bahwa suatu gagasan lebih berpengaruh dibandingkan dengan gagasan lain,
sehingga gagasan tersebut lebih dominan dari kebudayaan lain. Gagasan mengenai hegemoni
tersebut menghasilkan “legitimasi” atas superioritas gagasan Barat terhadap inferioritas bangsa
Timur sehingga menciptakan “hegemoni kultural” Barat terhadap kebudayaan timur.17

14

Fawaid, A. (2016). Avant-Provost: Dari Seorarng Diaspora tentang Politik "Pasca-Identitas". Dalam E. Said,
Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek (hal. x). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
15
Op cit. hal. 10.
16
Op cit. (hal. x).

17
ibid. (hal. x).

Yang menjadi inti dari gagasan Said mengenai orientalisme ialah sifat representasi Barat
atas realitas yang terdapat di dunia Timur, terutama pembedaan antara identitas Timur dan Barat
yang seringkali didikotomikan untuk saling dipertentangkan (oposisi biner). Dalam kajiannya,
Said memberikan penekanan terhadap aktifitas kesarjanaan Barat yang bergelut dalam studi
mengenai Islam dan masyarakat Muslim. Dimana hal tersebut menjadi salah satu faktor penting
bagi Barat dalam memandang, memperlakukan, serta mempromosikan realitas yang terjadi pada
masyarakat Muslim pada masa kolonialisme dan setelahnya. Serta menyajikan temuan-temuan
tersebut kepada masyarakat Barat khususnya, dan masyarakat di berbagai belahan dunia umumnya
dalam bentuk film Hollywood, literatur, dan pemberitaan media massa. Dari dominasi Barat atas
representasi Islam itulah, Barat memiliki legitimasi atas kebenaran yang terdapat pada masyarakat
Muslim sehingga memaksa masyarakat Barat dan selainnya untuk menyelaraskan pandangan
terhadap Muslim di seluruh dunia.
Pembahasan
Sejarah Orientalisme Barat-Islam
Pada masa klasik, interaksi antara Barat dan Islam telah berlangsung sejak perjumpaan
antara bangsa Barat Kristen dan umat Muslim di Timur Tengah dalam aktivitas perdagangan dan
diplomasi. Interaksi tersebut semakin


intensif di Jerusalem ketika keduanya berbarengan

beribadah di satu kota yang sama. Para peziarah Kristen Eropa yang kembali ke negerinya dengan
membawa pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan selama perjalanan mengunjungi situs
ziarah Kristen di Jerusalem. Desas-desus yang berkembang di Eropa mengenai Islam tersebut
banyak berupa umpatan terhadap Islam dan Muhammad sebagai nabinya. Islam dipandang sebagai
sebuah ajaran sesat, dimana dalam pengalaman Kristen Eropa bahwa tidak ada agama Abrahamik
lain selain Kristen dan Yahudi. Sedangkan umat Kristiani Eropa salah dalam menempatkan
Muhammad sebagaimana tuhan dalam ajaran Kristen, sehingga menghujatnya dengan berbagai
tuduhan sebagai sikap defensif terhadap seseorang yang mengaku sebagai “tuhan” yang baru.18
Kecenderungan untuk memandang Islam secara keliru kemudian berlanjut pada era
modern, Melalui karyanya Fanatism, or Muhammad the Propet, Voltaire seorang filsuf avant
18

Said, E. (2016). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. hlm. 87-90.

garde Perancis, sekaligus dramawan handal pada masanya, mengolok-olok Islam dengan


menggambarkan Muhammad sebagai sosok tiran dengan pemerintahan yang teokratis. Ernest
Renan mengatakan Islam tidak sesuai dengan sains dan menganggap kaum muslim sebagai
kumpulan orang picik yang tak mampu membuka diri bagi gagasan-gagasan baru. Jauh sebelum
itu, Martin Luther melihat Islam sebagai suatu gerakan kekerasan anti-Kristus yang berbahaya dan
hanya bisa dihentikan dengan pedang.19 Jelaslah bahwa representasi Islam dari kedua pemikir
tersebut tidaklah objektif dan mendahulukan asumsi buruk Barat terhadap Timur, khususnya
terhadap Islam, dibanding mendefinisikan islam dari hasil riset dan penyelidikan.
Interaksi antagonistik tersebut masih mendominasi hubungan Barat-Timur pada era
penjelajahan dan imperialisme Eropa. Napoleon membawa serta beberapa orientalis untuk
membantunya menghadapi berbagai persoalan yang akan ia hadapi ketika berusaha menaklukkan
Mesir. Ia beranggapan bahwa penaklukkan Mesir pada 1789, ia hampir pasti mendapatkan
hambatan membangun dominasi kolonialnya terutama dengan konfrontasi militer dari Inggris,
Kerajaan Utsmani, dan yang paling sulit, kaum Muslim.20 Hal serupa dilakukan oleh Inggris ketika
menduduki beberapa wilayah di Jazirah Arab. Inggris yang kala itu tengah lemah dalam kekuatan
militer dan ekonomi, berkat pekerjaan orientalis T.E. Lawrence, Inggris berusaha melunakkan
kekuatan dari kesatuan bangsa Arab dengan cara melakukan politik adu domba antar suku di
Jazirah Arab sehingga membangkitkan rasa nasionalisme diantara suku-suku tersebut. Sehingga
Inggris berhasil memecah belah bangsa Arab dan membebaskannya dari kekuasaan Turki
Utsmani.21
Sama halnya dengan kiprah orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje berperan
dalam melemahkan kedudukan umat Muslim di masyarakat Indonesia. Ia memulai karirnya di
Indonesia sebagai Adviseur voor Inslandsche Zaken (penasihat pemerintah kolonial Hindia
Belanda). Dari hasil risetnya di Makkah maupun di Aceh, menemukan bahwa ulama dan santri
merupakan kelompok kecil yang sangat mempengaruhi pandangan politik rakyat dan raja-raja atau

19

Murtadho, R. (2017, Agstus 4). Pertautan Terorisme, Fundamentalisme dan Kapitalisme: Tantangannya Bagi
Gerakan Kiri. Diambil kembali dari IndoProgress: https://indoprogress.com/2017/08/pertautan-terorismefundamentalisme-dan-kapitalisme-tantangannya-bagi-gerakan-kiri/#_edn2
20
Op cit. hal. 120-121.
21
Raditya, I. N. (2017, Februari 28). Peran (Orang) Inggris Dibalik Lahirnya Arab Saudi. Diambil kembali dari tirto.id:
https://tirto.id/peran--orang--inggris-di-balik-lahirnya-arab-saudi-cjRu

sultan sultan di Indonesia. oleh karena itu, diberlakukanlah Dutch Islamic Policy sebagai langkah
kebijakan memisahkan ulama/elemen islam dari politik (depolitisasi) dengan mengawasi para
alumni Jemaah haji yang belajar Islam dari ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang kritis
terhadap pendudukan orang kafir di negeri Muslim, dengan demikian muncullah siasat alienasi
melalui pemberian stigma negatif dengan pemberian label “Wahabi” terhadap mereka.22
Distorsi Sejarah Islam dan Dominasi Epistemologi Barat di Indonesia
Kajian orientalisme di Indonesia diinisiasi oleh William Marsden (1754-1836) yang
dianggap sebagai peletak dasar kajian ilmiah tentang Indonesia. Sepenjang eksplorasinya di tanah
Sumatra, Marsden dalam The History of Sumatra berasumsi mengenai kaitan antara adat,
kebudayaan, dan hukum yang terbentuk di beberapa kerajaan seperti Minangkabau, Melayu, dan
Aceh didasari atas dinamika budaya lokal yang telah terbangun oleh masyarakat itu sendiri.
Namun pada kenyataannya, asumsi Marsden tentang hukum tersebut sangat didasari atas
pandangannya mengenai universalitas hukum positif, dimana hukum positif murni merupakan
produk masyarakat yang tidak berdasarkan ajaran agama, ketiga kerajaan tersebut mengadopsi
sistem hukumnya dari syariat Islam, sehingga Minangkabau terkenal dengan adagium, “adat
basandi syara’ syara’ basandi kitabullah”. Sama halnya dengan Raffles yang menegasikan peran
Islam di pulau Jawa dengan melakukan riset arkeologis dengan menemukan sisa-sisa kerajaan
Hindu di Jawa, serta menegaskan bahwa peradaban Nusantara tidak lain merupakan buah dari
peradaban Hindu.23
Pesantren pada masa pemerintahan kolonial merupakan salah satu pusat counter-culture
hegemoni Belanda dalam “memberadabkan” bangsa Indonesia. Tak heran, sebagai tandingan dari
model dan akses pendidikan kolonial, pesantren dengan komponen Kiyai beserta santrinya
dipandang sebagai instansi yang subversif terhadap hegemoni Belanda. Pemerintah kolonial
melakukan politik eksklusi untuk “mencabut” eksistensi Islam santri dengan mempertegas
segregasi antar satuan kelompok masyarakat yang terdiri dari: Santri, Abangan, dan Priyai.
Kalangan priyai mendapat penanganan khusus dari pemerintah Belanda, khususnya dalam bidang

22

Suryanegara, A. M. (1995). Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit
Mizan. Hal. 241.
23
Sya'ban, H. (2012). Islam, Imperialisme, dan Orientalisme Dalam Sejarah Nusantara. Dalam K. H. Unpad, Pikiran
Rakyat (hal. 29). Bandung: Pikiran Rakyat.

pendidikan dan jabatan pemerintahan, sedangkan kalangan Santri dan Abangan dibiarkan oleh
Belanda untuk saling berkonflik atas perbedaan praktik keagamaan.24
Dalam menghadapi pesantren, Belanda melawannya dengan mendirikan berbagai lembaga
pendidikan. Belanda menyadari bahwa sekolah merupakan instrumen penting dalam
mensosialisasikan poltik. Itulah sebabnya untuk menguasai sekolah-sekolah Islam dikeluarkanlah
ordonansi guru25, sehingga para kiyai yang hendak mengajar haruslah melewati serangkaian
sertifikasi guru sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Belanda agar materi pengajaran
tidak mengandung muatan subversif terhadap pemerintah kolonial.26
Sebagai dampak dari hegemoni Barat dalam pendidikan di Indonesia, kegiatan pengkajian
kitab kuning karya para Ulama yang dilakukan oleh kiyai dan santri kini dipandang hanya sebatas
kegiatan pengkajian ilmu agama dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman akan Islam. Para
kiyai tidak dipandang sebagai seorang ilmuwan, berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah dan
universitas modern yang mengajarkan ilmu-ilmu umum (sekular) seperti matematika, kimia, ilmu
hukum, ilmu politik, dll. Baik yang didirikan pada era kolonialisme, maupun kemerdekaan.
Pesantren dan kajian keilmuanya tersubordinasi dari tatanan masyarakat, sehingga ilmu agama
tidak memberikan dampak yang signifikan bagi individu maupun masyarakat.27
Demonisasi Islam Pada Media Massa
Peristiwa 11 September telah menciptakan perubahan yang sangat signifikan bagi warga
dunia dalam memandang agama Islam dan umat Muslim dimanapun. Modus operandi dari
demonisasi Islam oleh media Barat diawali dengan mempertautkan dinamika sosial-politik
masyarakat Muslim di Timur Tengah, khususnya sejak kejatuhan Shah Iran yang pro Amerika dan
penyanderaan staff Kedubes AS di Iran oleh pihak yang ditenggarai sebagai “fundamentalis”
Islam. Hal ini tak lain merupakan salah satu sifat masyarakat Barat, khususnya AS yang disebut
oleh Edward Said sebagai “masyarakat penafsir” tak lain merupakan buntut dari kekhawatiran
24

Priyahita, W. (2012). Politics of Political Science in Indonesia. Diambil kembali dari Academia:
https://www.academia.edu/3745946/politics_of_political_science_in_indonesia. hal. 10.
25
Suryanegara, A. M. (1995). Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. hal. 252.
26
Isnaeni, H. F. (2012, September 10). Ordonansi (Ulama) Guru. Diambil kembali dari Historia:
http://historia.id/agama/ordonansi-ulama-guru
27

op cit. hal 10.

publik Amerika akan terputusnya suplai minyak dari Timur Tengah melihat digulingkannya Shah
Iran yang pro-Amerika.28
Upaya demonologi Islam oleh media barat dilancarkan dengan mengkaburkan makna
fundamentalisme keagamaan yang mana terma fundamentalisme tersebut pada hakikatnya
merupakan ekspresi penolakan terhadap penetrasi budaya Barat (westernization) dengan perantara
berupa modernisasi dan globalisasi.29 Kelompok fundamentalis memiliki preferensi politik dengan
kembali kepada ajaran keagamaannya, dalam hal ini, syariat Islam yang murni. Namun pada hari
ini, wacana fundamentalisme megalami bias makna dengan sebab kuatnya otoritas Barat terhadap
ilmu pengetahuan dan jurnalistik, menjadikan hampir seluruh informasi yang disajikan media
merupakan produk olahan dari nalar Barat yang anti-Islam.
Wacana mengenai fundamentalisme semakin menemukan citra buruknya setelah wacana
tersebut seringkali dipertautkan dengan wacana lain seperti radikalisme, ekstrimisme, dan
terorisme. Terlebih lagi, hampir dari keseluruhan terma tersebut tidak memiliki definisi konkret
yang berguna sebagai pemisah antar makna dari terma yang satu dengan lainnya. Sehingga
terminology fundamentalisme telah keluar dari makna aslinya sehingga seringkali dihubungkan
dengan wacana terorisme dan kekerasan berbasis agama, menjadikan terma fundamentalisme
cenderung dipandang sebagai paham keagamaan yang bermuara pada praktik terorisme.30
Media Barat dengan sesuka hati mem-framing berbagai isu kekerasan yang dilakukan oleh
Muslim yang sebenarnya merupakan respon atas ketertindasan dan penistaan terhadap keyakinan
dan budaya, sebagaimana yang terjadi saat penyerangan kantor redaksi Charlie Hebdo yang
beberapa kali menerbitkan karikatur bernuansa rasis dan terakhir karikatur nabi Muhammad.
Media merepresentasikan bahwa masyarakat Muslim merupakan kelompok masyarakat yang
intoleran terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat Barat. Hal inilah yang
menyebabkan masyarakat Barat memiliki pandangan rasialis terhadap Muslim, sehingga
memunculkan opini bahwa nyawa seorang Muslim tidaklah lebih berharga dari seorang Eropa.31

28

Said, E. (1986). Penjungkirbalikkan Dunia Islam. terj. Asep Hikmat. Bandung: Penerbit Pustaka. Hal. 43-46.
John Hoffman, P. G. (2015). Introduction to Political Theory. New York: Routledge. Hal. 381.
30
Badarussyamsi. (2015). Fundamentalisme Islam Kritik Atas Barat. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Hal. 74.
31
Eminic, J. (2015, Maret 10). Demonization of Islam and Orientalism in Western Media. Diambil kembali dari
IAPSS: https://www.iapss.org/wp/2015/03/10/demonization-of-islam-and-orientalism-in-western-media/

29

Amerika Serikat sendiri banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap para korban tidak
bersalah yang menjadi korban dari “collateral damage” sepanjang dijalankannya operasi perang
melawan terror di Irak. Yang terbaru ketika pemerintah rezim Obama beserta NATO turut serta
dalam usaha penggulingan Muammar Gaddafi di Libya yang sarat akan kepentingan Barat dalam
mengintervensi ekonomi dan sumberdaya alam Libya. Ketika Obama dan NATO terbukti keliru
dalam melakukan intervensi militer yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan sipil, mereka
tidak dicitrakan sebagai penjahat dan teroris, melainkan lebih sebagai pahlawan demokrasi.32
Neo-Orientalisme
Kuatnya pengaruh pendidikan Barat dan serbuan informasi media massa yang senantiasa
menampilkan keburukan dari agama Islam dan pengikutnya di Indonesia. Kombinasi dari kedua
faktor inilah yang mendasari berbagai argumen mengenai buruknya Islam “Versi Arab” yang
bersifat fanatis dan identik dengan kekerasan. Maka dari itu, muncullah wacana mengenai Islam
“Versi Nusantara” yang diklaim lebih ramah dan toleran, sehingga cocok dengan latarbelakang
Indonesia yang majemuk dan bersahaja.
Wacana tersebut kemudian melahirkan segregasi antara penganut Islam yang teguh dalam
mempertahankan kemurnian ajaran agama yang otentik dengan apa yang diajarkan oleh nabi
Muhammad dengan muslim yang mengalami asimilasi budaya dengan nilai-nilai dan kepercayaan
lokal. Hal tersebut menimbulkan perbedaan pandangan mengenai Islam mana yang kompatibel
dengan latarbelakang keragaman di Indonesia. Perdebatan ini tidak hanya hidup dalam ranah
diskursif, melainkan telah berwujud sebagai sebuah usaha untuk menegasikan eksistensi sosialpolitik dari kelompok yang dikenal di Indonesia sebagai pengikut ajaran Muhammad bin Abdul
Wahab atau “Wahabi”.
Ajaran Wahabi tersebut disinyalir sebagai akar dari pelarangan berbagai ritus budaya
Nusantara yang dipraktikkan oleh jamaah haji Indonesia selama berada di kota Makkah dan
Madinah dalam pemerintahan dinasti Saud.33 Corak keislaman yang diterapkan di Arab Saudi

32

Herland, H. N. (2017, Januari 13). The Western Demonization of Muslims. Diambil kembali dari Foreign Policy
Journal: https://www.foreignpolicyjournal.com/2017/01/13/the-western-demonization-of-muslims/
33
[Dindin Khaeruddin]. (2016, Juni 19). Bincang Sejarah; Wahabi Antara Opini dan Realita. [Berkas video] Diambil
kembali dari YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=QoLGlXBhA34

dikenal sebagai Islam puritan, yang dicirikan dengan usaha pemurnian ajaran Islam dengan
merujuk kepada praktik dan paham keagamaan para salaf as-shalih (salafi), yakni 3 (tiga) generasi
pertama setelah zaman kenabian: para shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut-tabi’in. Paham keagamaan
tersebut hadir sebagai paham non-sektarian yang mengkritik dan menolak modernitas dan
globalisasi dan bersifat apolitis. Sehingga paham tersebut tidak luput dari label “fundamentalisme”
beserta turunannya. Menjadikan ajaran pemurnian keagamaan tersebut dipandang tak ubahnya
sebagai usaha menentang demokrasi liberal.
Wacana mengenai dualisme kelompok keagamaan di Indonesia merupakan konsekuensi
dari pemberian label terhadap kelompok keagamaan, khususnya Islam. Dalam konteks
keindonesiaan, umat Muslim di Indonesia tidak terpikat oleh gerakan “global jihad” sebagaimana
dicanangkan oleh masyarakat di wilayah Arab yang saling berperang satu sama lain dengan motif
agama. Namun kecurigaan terhadap kelompok Wahabi fundamentalis tersebut tidak serta merta
lenyap dari tudingan kekerasan bermotif agama. Banyak dari kelompok “Islam Nusantara” yang
mendemonisasi kelompok “Islam Arab” dengan stigma radikal dan intoleran. Fenomena ini
semakin memperkuat tesis Mahmood Mamdani mengenai “good Muslim” dan “bad Muslim”.
Kategorisasi ini muncul sebagai jawaban dari pernyataan presiden Bush ketika mendifinisikan
Muslim mana yang bersahabat dengan Barat, tegasnya muslim yang baik (good Muslim) adalah
Muslim yang menerima sepenuh hati nilai-nilai Barat dan mempercayakan sepenuhnya masa
depan mereka kepada bangsa Barat. Sedangkan muslim yang buruk (bad Muslim) ialah Muslim
yang mempertahankan nilai-nilai “pra-modern” dan “fanatik” yang termasuk didalamnya
penolakan terhadap nilai-nilai Barat dan modernitas sehingga bertendensi untuk menentang Barat
secara terbuka.34
Kesimpulan
Masyarakat Barat masih memiliki hasrat untuk merepresentasikan berbagai realita dunia
Timur dengan framing Barat, disertai dengan usaha melakukan penyesuaian terhadap nilai-nilai
dan kebudayaan mereka yakni liberalisme. Penolakan untuk menyesuaikan diri dengan kehendak
Barat tersebut didasari atas kesadaran historis dari individu Timur untuk senantiasa waspada

34

Mamdani, M. (2005). Good Muslim, Bad Muslim: America, the Cold War, and the Roots of Terror. New York:
Doubleday.

terhadap pengaruh Barat yang eksploitatif terhadap dirinya. Tragedi 9/11 makin mempertajam
sikap representasi Barat terhadap bangsa Timur Tengah pada umumnya, dan Islam khususnya. Ras
Arab, Islam, dan Muslim mengalami “demonisasi” oleh media dan para sarjana Barat atas dasar
asumsi mengenai Benturan Antar Peradaban yang mengancam eksistensi Barat. Hal tersebut
mempegaruhi legitimasi Barat terhadap masyarakat Muslim dengan serangkaian agresi militer
yang dilancarkan di kawasan-kawasan Muslim. Pertentangan tersebut hadir didalam internal
komunitas Muslim sendiri, dimana beberapa kalangan berusaha menciptakan citra Muslim
“antagonis-protagonis”, sehingga mempertegas garis demarkasi antara “kita” dan “orang lain”.

Referensi
[History]. (2014, Agustus 5). 4.3.1 Colonial State And It's Ideology Orientalism. Diambil kembali dari
YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=3gO8BnAznik
Badarussyamsi. (2015). Funamentalisme Islam Kritik Atas Barat. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
[Brawijaya]. (2015, Agustus 4). UBTV BILIK SASTRA Eps Membaca Orientalisme dan Oksidentalisme Seg
1. [Berkas video]. Diambil kembali dari youtube.com:
https://www.youtube.com/watch?v=KaCueEoQ2Ew
[Palestine Diary]. 2012, Oktober 28). Edward Said On Orientalism. [Berkas video]. Diambil kembali dari
YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=fVC8EYd_Z_g
[Redaksi DP]. (2013, Desember 12). [DEmocracy Project] Ihsan Ali-Fauzi tentang Edward W Said dan
Orientalisme. [Berkas video]. Diambil kembali dari youtube.com:
https://www.youtube.com/watch?v=IQxJVnLeUs8
Eminic, J. (2015, Maret 10). Demonization of Islam and Orientalism in Western Media. Diambil kembali
dari IAPSS: https://www.iapss.org/wp/2015/03/10/demonization-of-islam-and-orientalism-inwestern-media/
Fawaid, A. (2016). Avant-Provost: Dari Seorarng Diaspora tentang Politik "Pasca-Identitas". Dalam E.
Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek (hal.
x). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fukuyama, F. (2004). The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi
Liberal. Yogyakarta: Qalam.
Herland, H. N. (2017, Januari 13). The Western Demonization of Muslims. Diambil kembali dari Foreign
Policy Journal: https://www.foreignpolicyjournal.com/2017/01/13/the-western-demonizationof-muslims/
Huntington, S. (2005). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit
Qalam.
Husaini, A. (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta:
Gema Insani Press.
Isnaeni, H. F. (2012, September 10). Ordonansi (Ulama) Guru. Diambil kembali dari Historia:
http://historia.id/agama/ordonansi-ulama-guru
John Hoffman, P. G. (2015). Introduction to Political Theory. New York: Routledge.
[Dindin Khaeruddin]. (2016, Juni 19). Bincang Sejarah; Wahabi Antara Opini dan Realita. [Berkas video].
Diambil kembali dari YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=QoLGlXBhA34
Mamdani, M. (2005). Good Muslim, Bad Muslim: America, the Cold War, and the Roots of Terror. New
York: Doubleday.
Murtadho, R. (2017, Agstus 4). Pertautan Terorisme, Fundamentalisme dan Kapitalisme: Tantangannya
Bagi Gerakan Kiri. Diambil kembali dari IndoProgress:

https://indoprogress.com/2017/08/pertautan-terorisme-fundamentalisme-dan-kapitalismetantangannya-bagi-gerakan-kiri/#_edn2
Priyahita, W. (2012). Politics of Political Science in Indonesia. Diambil kembali dari Academia:
https://www.academia.edu/3745946/politics_of_political_science_in_indonesia
Raditya, I. N. (2017, November 14). Matinya Cornelis de Houtman di Tangan Malahayati. Diambil
kembali dari tirto.id: https://tirto.id/matinya-cornelis-de-houtman-di-tangan-malahayati-cz2x
Raditya, I. N. (2017, Februari 28). Peran (Orang) Inggris Dibalik Lahirnya Arab Saudi. Diambil kembali dari
tirto.id: https://tirto.id/peran--orang--inggris-di-balik-lahirnya-arab-saudi-cjRu
Rais, A. (1991). Cakrawala Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Said, E. (1986). Penjungkirbalikkan Dunia Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
Said, E. (2016). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan Timur Sebagai Subjek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryanegara, A. M. (1995). Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung:
Penerbit Mizan.
Sya'ban, H. (2012). Islam, Imperialisme, dan Orientalisme Dalam Sejarah Nusantara. Dalam K. H. Unpad,
Pikiran Rakyat (hal. 29). Bandung: Pikiran Rakyat.
Syafiq, H. (2017, Oktober 22). Kolonialisme, Islam, dan Neo-Kolonialisme. Diambil kembali dari
beritagar.id: https://beritagar.id/artikel/telatah/kolonialisme-islam-dan-neo-kolonialisme