MASA DEPAN HALUAN NEGARA REPUBLIK INDONE

MASA DEPAN
HALUAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1
Oleh: Romi Librayanto, S.H., M.H. 2
( e-m ail: romi_in don esia01@yahoo.c o.id)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Gambaran Umum terhadap Gagasan tentang Haluan Negara
Dari berbagai diskursus mengenai GBHN (penulis menyebut
sebagai haluan negara) yang penulis sempat ikuti, maka sudah
banyak gagasan yang dapat menjadi alternatif pilihan di masa
akan datang. Berbagai pandangan tersebut akan penulis rangkum
ke dalam 3 (tiga) gagasan utama, yaitu:
Pertama, model GBHN seharusnya memiliki status hirarkis
secara yuridis lebih tinggi dari UU. Pandangan ini tidak
menentukan nomenklatur hukum yang perlu menampung GBHN.
Hal ini dapat dilihat pada argumen bahwa bekenaan dengan
strategi penyusunan perencanaan pembangunan nasional yang
berdimensi jangka panjang sebagai dokumen hukum , yang juga
memuat perencanaan arah kebijakan pembangunan hukum
1


Makalah disampaikan dalam rangka Focus Group Discussion (FGD)

Universitas Hasanuddin, yang dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2016,
bertempat di Grand Clarion Hotel, Makassar.
2

Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 1

nasional, status hirarkisnya secara yuridis seharusnya lebih tinggi
dari sekedar UU, karena sifatnya merupakan pedoman bagi
presiden yang terpilih, oleh karenanya perencanaan pembangunan
nasio nal model GBHN sebaiknya dipertimbangkan kembali untuk
digunakan3 .
Kedua, GBHN sudah seharusnya ditempatkan pada
nomenklatur hukum Ketetapan MPR. Gagasan ini sangat baik
karena berlandaskan aspek yuridis, yaitu penentuan pokok
permasalahan terkait degradasi


kehidupan bangsa (terutama

bidang hukum), Penentuan jenis strategi unggulan yang dapat
menjadi solusi, serta Mekanisme pelaksanaan dan penerapan
penegakan hukum dalam

kehidupan masyarakat secara

menyeluruh seharusnya tertuang dalam GBHN dan diterapkan
dengan sasaran, arah kebijakan, strategi yang jelas, terstruktur
dan massive

(kokoh) serta oleh lembaga yang

akuntabel. Mengingat
Pembentukan

kredibel, dan


dalam undang-undang tentang

Peraturan Perundang-undangan, Ketetapan (Tap)

MPR RI berada di urutan kedua setelah UUD 1945 maka sudah

3
Syafruddin Muhtamar, dkk,
RELEVANSI PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN AMANAT KONSTITUSI (STUDI TENTANG
PERBANDINGAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM DALAM GBHN
DAN RPJPN), artikel, hal. 11 -12.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 2

selayaknya jika posisi itu dimanfaatkan dengan menjadikan MPR
sebagai lembaga pembentuk GBHN 4 .
Ketiga, pandangan yang menganggap bahwa keberadaan
GBHN telah terwujud dalam RPJPN. Pijakan argumennya adalah
bahwa konstruksi normatif RPJP secara substantif sebena rnya

hampir sama dengan GBHN pada masa Orde Baru. Nilai lebih
yang dimiliki sistem dan dokumen perencanaan pembangunan
pada era reformasi adalah adanya kesempatan kepada daerah
untuk bisa menggali berbagai potensi dan keunggulan daerah
masingtertuang dalam RPJP dalam rangka mencapai tujuan yang
diamanatkan oleh konstitusi. Dengan demikian, urgensi untuk
menghidupkan kembali GBHN menjadi tidak justified, karena
keberadaannya telah terwujud dalam RPJPN 5 .
Tentu masih sangat banyak variasi gagasan yang telah
disampaikan kepada MPR yan g penulis tidak mampu untuk
menelusuri. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba
keluar dari berbagai varian gagasan yang telah ada sebelumnya.

4
Siti Marwijah dan Nunuk Nuswardani, Garis -Garis Besar Haluan
Negara sebagai Penentu Arah dan Strategi Rencana Pembangunan Indonesia,
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 1, Juni 2014, hal. 102.
5 Mudiyati Rahmatunnisa, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN), Garis -Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Peran Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), makalah Disampaikan pada Seminar Nasional

Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Reformulasi Model GBHN: Tinjauan Terhadap
Peran dan Fungsi MPR RI dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ,
Kerjasama MPR dengan Universitas Padjadjaran, Hotel Aston Tropicana
Cihampelas, Kamis 25 April 2013, hal. 4.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 3

Hal ini penulis lakukan semata-mata untuk menambah khazanah
akademik pada diskursus mengenai haluan ne gara ini.

B. Isu mengenai Kajian
Dalam membahas mengenai GBHN (baca: haluan negara),
maka yang perlu dilakukan adalah sistematisasi isu. Isu yang
dapat penulis sistematisasi adalah sebagai berikut:
1.
ataukah haluan negara ?
2. Apakah yang diperlukan adalah

3. Apakah yang diperlukan adalah


harus berwenang

sesuai dengan mar
4.
harus ada lembaga yang
mengontrol
Dari berbagai isu di atas, maka penulis berupaya untuk
memilih isu yang tepat, yang mana isu tersebut adalah:
1. Yang diperlukan adalah haluan negara;
2. Haluan negara tersebut harus partisipatif;
3. harus ada lembaga yang mengontrol haluan negara; dan

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 4

4.

MPR harus memiliki kewenangan sesuai dengan
marwahnya.
Dari isu yang penulis pilih di atas, maka nampak bahwa


terdapat 2 (dua) isu besar yang dapat disebutkan, yaitu:
1. isu mengenai haluan negara, dan
2. isu mengenai marwah MPR
Sebelum membahas kedua isu di atas, maka berikut ini
penulis akan memaparkan beberapa ketentuan mengenai rencana
pembangunan nasional.

C. Beberapa Ketentuan mengenai P erencanaan Pembangunan
Pada Tahun 1999, MPR mengeluarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/1999 tentang Garis -Garis Besar Haluan Negara Tahun
1999-2004 (GBHN 1999-2004). Selain itu, MPR mengeluarkan TAP
MPR Nomor VII/ MPR/2001 tentang visi indonesia masa depan.
Pada bagian menimbang butir c diuraikan:
bahwa untuk menjaga kesinambungan arah
penyelenggaraan negara diperlukan perumusan Visi Antara,
yaitu visi di antara cita-cita luhur bangsa sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan visi
Indonesia masa depan, dengan visi lima tahunan yang

dirumuskan dalam Garis -garis Besar Haluan Negara. Visi
Antara tersebut adalah Visi Indonesia 2020;
Pasal I ATURAN TAMBAHAN UUD NRI Tahun 1945
menetapkan bahwa:

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 5

Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan
pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.
Wujud amanat dari UUD NRI Tahun 1945 tersebut
dituangkan ke dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum
Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun
2002.
Dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, 139 Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR telah ditinjau materi dan status
hukumnya sehingga dapat diketahui secara jelas pengelompokan

dan keberlakuannya. Status Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR
dibagi dalam 6 (enam) kelompok yang masing -masing dijelaskan
dalam pasal-pasal, yaitu:
1.

Pasal 1, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku, ada delapan Ketetapan;

2. Pasal 2, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang
Dinyatakan Tetap Berlaku Dengan Ketentuan, ada tiga
Ketetapan;
3. Pasal 3, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang
Dinyatakan Tetap Berlaku Sampai dengan Terbentuknya
Pemerintahan Hasil Pemilu 2004, ada delapan Ketetapan;

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 6

4.

Pasal 4, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang

Dinyatakan Tetap Berlaku Sampai Dengan Terbentuknya
Undang -Undang, ada sebelas Ketetapan;

5. Pasal 5, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang
Dinyatakan Masih Berlaku Sampai dengan Ditetapkannya
Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004, ada
lima Ketetapan;
6. Pasal 6, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang
Dinyatakan Tidak Perlu Dilakukan Tindakan Hukum Lebih
Lanjut, Baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut,
maupun telah selesai dilaksanakan, ada 104 Ketetapan.

Pasal 3 TAP MPR Nomor I/MPR/2003 menetapkan bahwa:

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan
umum tahun 2004.
Salah satu TAP MPR yang disebutkan adalah TAP MPR
Nomor IV/MPR/1999.


Selanjutnya, Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003
menetapkan bahwa:

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya undang -undang.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 7

Salah satu TAP MPR yang disebutkan adalah TAP MPR
Nomor VII/MPR/2001.
Pada Tahun 2004, ditetapkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (selanjutnya disebut
UU No. 25 Tahun 2004).
Pasal 1 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
3.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana -rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan

4.

masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang
selanjutnya
disingkat RPJP, adalah dokumen
perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.

5.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang
selanjutnya
disingkat RPJM, adalah dokumen
perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.

6.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL),
adalah dokumen perencanaan Kementerian/ Lembaga
untuk periode 5 (lima) tahun.

7.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja
Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut RenstraSKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja
Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.

8.

Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang
selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1

9.

(satu) tahun.
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang
selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk
periode 1 (satu) tahun.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 8

10.

Rencana Pembangunan Tahunan
Kementerian/Lembaga, yang
selanjutnya disebut
Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah
dokumen perencanaan
Kementrian/Lembaga untuk
periode 1 (satu) tahun.

Pasal 2 Ayat (4) UU No. 25 tahun 2004 menetapkan bahwa:
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan
untuk:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pasal 3 Ayat (3) UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
Perencanaan Pembangunan menghasilkan:
a. rencana pembangunan jangka panjang;
b. rencana pembangunan jangka menengah; dan
c. rencana pembangunan tahunan.
Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
(1) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan
dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk
visi, misi, dan arah pembangunan Nasional.
(2) RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi,
dan
program Presiden yang penyusunannya
berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi
pembangunan Nasional, kebijakan umum, program
Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas
kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 9

yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
(3) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional,
memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka
ekonomi makro
yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah
kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,
lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam
bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan
yang bersifat indikatif.
Pasal 5 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
(1) RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan
Daerah yang m engacu pada RPJP Nasional.
(2) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program Kepala Daerah yang penyusunannya
berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan
RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan
Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan
umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah,
lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program
kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja
dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
(3) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan
mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka
ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah,
rencana kerja, dan
pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang
ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
(1) RPJP Nasional ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) RPJP Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 19 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
(1) RPJM Nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik.
(2) Renstra-KL ditetapkan dengan peraturan pimpinan
Kementerian/Lembaga setelah disesuaikan dengan
RPJM Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 10

(3) RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala
Daerah dilantik.
(4) Renstra-SKPD ditetapkan dengan peraturan pimpinan
Satuan Kerja Perangkat Daerah setelah disesuaikan
dengan RPJM Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
Pasal 25 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
(1) RKP menjadi pedoman penyusunan RAPBN.
(2) RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD.
Pasal 26 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
(1) RKP ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(2) RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 35 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
menurut Undang-undang ini ditetapkan paling lambat 6
(enam) bulan setelah diundangkannya Undang-undang ini.
Undang -undang ini Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5
Oktober 2004.
Setelah terbentuknya pemerintahan berdasarkan pemilihan
umum tahun 2004, maka berdasarkan TAP MPR No. 1 Tahun
2003, maka TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999-2004 (GBHN 1999-2004) dianggap tidak berlaku lagi.
Selanjutnya, dikeluarkanlah UU tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Dengan adanya UU
RPJPN ini, maka berdasarkan TAP MPR No. 1 tahun 2003, TAP
MPR mengenai Visi Indonesia dianggap tidak berlaku lagi.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 11

Setelah memaparkan beberapa ketentuan mengenai rencana
pembangunan nasional, maka selanjutnya penulis akan
membahas isu mengenai haluan negara dan isu mengenai marwah
MPR.
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Haluan Negara
Jika GBHN dimaknai sebagai suatu haluan negara yang
akan menuntun ke arah pencapaian tertentu, maka pertanyaan
mendasar yang perlu dijawab adalah apakah RPJPN, RPJMN, dan
RKP tidak dapat dikualifikasikan sebagai suatu haluan negara?
Menurut penulis, ketiga hal tersebut dapat dikualifikasi sebagai
haluan negara.
Apabila kita mengacu pada akhir era TAP MPR, nampak
bahwa TAP MPR membuat tiga arah tujuan negara RI, yaitu:
1. Tujuan yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945;
2. Tujuan yang terdapat dalam TAP MPR tentang Visi Indonesia
Masa Depan; dan
3. Tujuan yang terdapat dalam TAP MPR tentang GBHN
Selanjutnya, tujuan yang terdapat dalam GBHN terjabarkan
ke dalam program pembangunan nasional tahunan, yang menjadi
dasar bagi penyusunan APBN .

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 12

Jika kita melihat isi dari TAP MPR sebagaimana dimaksud di
atas (Visi Indonesia Masa Depan dan GBHN) maka dapat
disimpulkan bahwa Indonesia telah dan tetap memiliki haluan
negara, bahkan lebih terstruktur dan sistematis.
Namun, apabila GBHN yang dimaksud adalah berbeda
dengan makna haluan negara sebagaimana yang terdapat dalam
TAP MPR itu sendiri, maka hal ini perlu dijelaskan oleh pihakpihak yang menganggap berbeda.
Lantas, apakah instrumen haluan negara yang ada telah
mampu mengakomodir isu mengenai haluan negara tersebut
harus partisipatif dan isu mengenai harus ada lembaga yang
mengontrol haluan negara?
Pertama, isu mengenai haluan negara tersebut harus
partisipatif. Pasal 2 Ayat (4) UU No. 25 tahun 2004 menetapkan
bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan
untuk:
a.

mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;

b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik
antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah
maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 13

e.

menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien,
efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Jika kita melihat ketentuan di atas, maka jelas bahwa

komponen bangsa yang harus dilibatkan dalam perencanaan
pembangunan, yaitu:
-

pelaku pembangunan

-

masyarakat

-

pemerintah pusat

-

pemerintah daerah

Keterkaitan yang perlu diperhatikan adalah:
-

antarDaerah

-

antarRuang

-

antarWaktu

-

antarfungsi pemerintah

-

antara pusat dan daerah

-

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan

Arah yang akan dituju adalah:
-

penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,
dan berkelanjutan.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

partisipasi masyarakat mendapat tempat dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 14

Kedua, isu mengenai harus ada lembaga yang mengontrol
haluan negara. Dalam UUD NRI Tahun 1945, sangat banyak

Kepresidenan (baca: Presiden dan/atau Wakil Presiden). Secara
yuridis, kalau mengacu pada konstruksi UUD NRI Tahun 1945
dan UU No. 25 Tahun 2004, maka dapat dilihat bahwa Presiden
adalah lembaga yang bertanggung jawab atas penyusunan
rencana pembangunan nasional. Lantas, siapa yang mengontrol?
Sebagaimana yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945, maka
lembaga yang mengontrol adalah DPR sebagai lembaga yang

memberikan keputusan hukum, dan MPR selaku lembaga yang
memberikan keputusan politik.
Bagaimana konstruksinya?
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, antara lain
sebagai berikut:
-

Dalam hal proses penyusunan UU tentang rencana
pembangunan nasional tidak sesuai prosedur.
Dalam hal prosedur, tentu Presiden harus mengikuti
prosedur sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No.
25 Tahun 2004. Jika tidak, maka tentu saja secara politik
DPR seharusnya tidak menyetujui RUU tentang RPJPN
tersebut. Demikian pula dengan komponen-komponen yang

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 15

disebutkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 (pelaku
pembangunan, masyarakat, dan pemerintah daerah) tentu
secara politik tidak akan menyetujui hal tersebut.

dari Presiden tersebut? Jika hal itu terjadi, maka instrumen
yuridisnya adalah dengan pengajuan permohonan pengujian
UU ke MK. MK telah memberikan rambu-rambu bahwa
untuk pengujian formil maka batas pengajuan permohonan
pengujiannya adalah selambat-lambatnya 45 hari sejak UU
tersebut diundangkan.
-

Dalam hal substansi RUU tentang rencana pembangunan
nasional tidak sejalan dengan tujuan UUD NRI Tahun
1945.
J ika terdapat materi dalam UU rencana pembangunan
nasional yang dianggap bertentangan dengan tujuan
sebagaimana yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945,
maka tentu saja hal ini tidak akan disetujui oleh DPR. Jika
dapat
pula diajukan pengujian permohonan kepada MK. Siapa
yang bermohon? Tentu akan banyak pihak yang hak
konstitusionalnya terlanggar. Solusi yuridis ini dapat juga
digunakan dalam hal Presiden berkehendak untuk
melakukan perubahan UU tentang rencana pembangunan
nasional.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 16

-

Dalam hal UU tentang rencana pembangunan nasional
tidak dibuat.
Apabila Presiden tidak mengajukan RUU tentang renca na
pembangunan nasional, maka tindakan Presiden ini dapat

Pasal 9 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menetapkan
bahwa:
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil
Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan
sungguh -sungguh dibhadapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia) dengan sebaik -baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang -Undang Dasar dan menjalankan
segala undang -undang dan peraturannya dengan selurusJanji Presiden (Wakil Presiden):
janji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya,
memegang teguh Undang -Undang Dasar dan menjalankan
segala undang -undang dan peraturannya dengan s elurus-

Jika sumpah ini dilanggar oleh Presiden, maka hal ini dapat

sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7A

UUD NRI

Tahun 1945, yaitu:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila

terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 17

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi
Presiden dan/atau Wakil Presiden.

syarat sebagai

Dengan demikian, DPR dapat mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus pe ndapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah

melakukan

pelanggaran hukum berupa perbuatan tercela sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 7B Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945,
Mahkamah Konstitus i wajib memeriksa, mengadili, dan
memutus dengan

seadil-adilnya terhadap pendapat DPR

tersebut .
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa perbuatan
tercela, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana yang
ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 7B Ayat (5).
Selanjutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib
menyelenggarakan sidang untuk memu tuskan usul Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari
sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 18

tersebut sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD NRI
Tahun 1945 Pasal 7B Ayat (6).
Kemudian, berdasarkan Pasal 7B Ayat (7) UUD NRI Tahun
1945, maka Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
harus diambil dalam rapat paripurna

Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir,
setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
-

Dalam hal rencana yang termuat dalam UU tentang
rencana pembangunan nasional tidak dilaksanakan oleh
Presiden.
Apabila terdapat rencana pembangunan yang tidak
dilaksanakan oleh Presiden, maka secara politis ada DPR
yang melakukan kontrol terhadap Presiden. Kemudian, ada
pula instrumen persetujuan terhadap RUU APBN setiap
tahunnya. DPR tentu akan menolak RUU APBN tersebut
apabila tidak sejalan dengan UU tentang rencana
pembangunan nasional.

Lantas, bagaimana jika DPR
Dalam hal

implementasi RPJPN, tentu Presiden menuangkan ke dalam

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 19

RPJMN yang termuat dalam Peraturan Presiden. Jika
terdapat hal yang tidak bersesuaikan dengan RPJPN, maka
tentu dapat dilakukan permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang -undang ke MA. MA yang menilai apakah terdapat
ketidaksesuaian Peraturan Presiden terhadap UU.
Bagaimana mengenai pembentukan UU APBN? Jika DPR

diajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD di MK.
MK yang menilai apakah terdapat hal yang bertentangan
dalam UU APBN terhadap UUD NRI Tahun 1945.
B. MPR harus Memiliki Kewenangan Sesuai dengan Marwahnya
Selanjutnya, isu yang akan penulis bahas adalah isu
mengenai MPR harus memiliki kewenangan sesuai dengan
marwahnya. Pertanyaan dasarnya adalah apa marwah MPR?
Berdasarkan konstruksi UUD NRI Tahun 1945, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa MPR adalah lembaga yang merupakan
wadah rakyat untuk bermusyawarah. Siapa yang dimaksud
dengan rakyat? Rakyat adalah orang -perorangan yang

rakyat? Kepentingan rakyat bisa meliputi ekonomi, sosial, budaya,
politik, keamanan, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Secara
nasional, kepentingan rakyat in

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 20

pada DPR dan aspirasi kewilayahan terwujud pada DPD.
Selanjutnya, anggota DPR dan anggota DPD inilah yang dimaksud
sebagai MPR.
Kewenangan MPR yang akan disoroti di sini adalah
kewenangan mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1) UUD NRI Tahun
1945. Kewenangan ini akan dikaitkan dengan Pasal 2 Ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Segala putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang
terbanyak 6 .
Bagaimana keterkaitan kedua pengaturan ini?
MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Dalam
hal mengubah dan menetapkan UUD, tentu terdapat mekanisme
dan prosedur yang harus dipenuhi. Salah satu mekanisme
tersebut adalah segala putusan MPR ditetapkan dengan suara
terbanyak. Apa makna suara terbanyak? Suara terbanyak dalam

apapun sebuah voting, sedemokratis apapun sebuah voting, dan
setepat apapun tafsir bahwa voting sama dengan musyawarah,

6 Mengenai kewenangan MPR ini dapat dilihat pada Romi Librayanto,
Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Kekuasaan Presiden:
- Indonesia, Makassar,
2008, hal. 64.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 21

namun rasa keadilan dan rasa kesopanan masyarakat Indonesia
masih menganggap bahwa musyawarah adalah hal yang
bertentangan dengan voting. Jika MPR benar adalah sebuah
lembaga permusyawaratan, sudah seharusnya cara -cara yang
digunakan dalam mengambil keputusan adalah dengan
musyawarah.
Lantas, bagaimana dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945
yang mengharuskan suara terbanyak? MPR harus bisa
membuktikan, walaupun dengan mekanisme suara terbanyak,
namun yang terjadi akan selalu n:0 (n adalah jumlah suara
sebanyak anggota MPR yang hadir, 0 adalah jumlah suara dengan
pendapat berbeda).
Bagaimana cara mewujudkannya?
Penulis akan membagi ke dalam beberapa tahapan, yaitu
sebagai berikut:

1. Alasan Perubahan UUD
Dalam hal mengubah UUD, MPR seharusnya menggunakan
nalar rasionalitas. Bagaimana nalar rasionalitasnya? MPR
harus memiliki dasar pikiran yang kuat mengenai alasan
perubahan UUD. Apa dasar pikiran yang kuat terhadap
perubahan UUD?

Pertama, harus dipastikan

bahwa UUD

adalah dokumen yuridis yang menjamin hak asasi manusia.
Kedua, harus dipastikan bahwa UUD adalah dokumen yuridis

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 22

untuk menjamin pembatasan kekuasaan7 .

Dengan kedua hal

tersebut di atas, maka dasar pikiran yang kuat mengenai
alasan perubahan UUD adalah sebagai berikut:
-

Adakah ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang tidak
menjamin hak asasi manusia?

-

Adakah ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang tidak
menjamin pembatasan kekuasaan?

Jika salah satu atau kedua pertanyaan di atas telah terjawab,
maka MPR sudah bisa melangkah pada tahapan selanjutnya.

2. Penyatuan Pandangan Masyarakat
Tahapan ini dimaksudkan agar tidak terdapat penafsiran
berbeda bahwa ada ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945
yang tidak menjamin HAM dan atau tidak menjamin
pembatasan kekuasa an. Dampak positif ketika tahapan ini
dilakukan adalah:
-

Jika terdapat penafsiran yang sama bahwa suatu ketetapan
dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak menjamin HAM dan atau
tidak menjamin pembatasan kekuasaan, berarti ketetapan
itu sudah selayaknya untuk diubah; dan

7
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 6- 7.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 23

-

Jika terdapat penafsiran berbeda, maka inipun
membuktikan bahwa ketetapan tersebut tidak dimaknai
seragam, sehingga perlu perubahan terhadapnya.

3. Sistematisasi Tafsir
Tahapan ini dilakukan dalam hal terdapat penafsiran yang
berbeda sebagaimana yang tel ah diuraikan di atas. Instrumen
penafsiran yang utama tentu saja historis dan futuristis.
Selanjutnya, jika telah tersusun sistematika tafsir, maka tafsir
yang digunakan adalah tafsir positif bahwa ketetapan dalam
UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin HAM dan atau telah
menjamin pembatasan kekuasaan. Tafsir ini seharusnya
menjadi tafsir dari MPR. Jika ditanya apa bentuk hukum dari
tafsir UUD NRI Tahun 1945 ini? Jawabannya adalah serupa
dengan pertanyaan bahwa apa bentuk hukum perubahan
UUD? Samakah antara mengu bah UUD dan menetapkan UUD?
Jika pertanyaan ini bisa dijawab, maka seharusnya pertanyaan
mengenai bentuk hukum tafsir UUD NRI Tahun 1945 juga bisa
dijawab.

4. Sistematisasi Redaksi perubahan
Tahapan ini dilakukan dalam hal terdapat penafsiran yang
sama bahwa ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak
menjamin HAM dan atau tidak menjamin pembatasan
kekuasaan. Pada tahapan ini, MPR menyusun redaksi dari

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 24

salah satu atau beberapa ketetapan dalam UUD NRI Tahun
1945 yang telah dibuktikan tidak menjamin HAM dan atau
tidak menjamin pembatasan kekuasaan. Redaksi frasa atau
kalimat yang akan dijadikan pengubah terhadap frasa atau
kalimat yang akan diubah harus disusun sedemikian rupa.
Bagaimana caranya? MPR meminta pendapat dari seluruh
komponen masyarakat. Dari berbagai masukan mengenai
redaksi perubahan, MPR melakukan sistematisasi yang akan
menghasilkan ketepatan kebahasaan dalam hal sintaktik,
semantik, dan pragmatik8 .
5. Mengubah salah satu atau beberapa ketetapan dalam UUD
NRI Tahun 1945
Ini adalah tahapan untuk memenuhi prosedur perubahan UUD
NRI Tahun 1945, dengan menggunakan prinsip musyawarah
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yang akan
berujung pada pemungutan suara dengan hasil n:0.
Inilah yang penulis sebut sebagai menempatkan MPR sesuai
dengan marwahnya. MPR tidak memiliki kehendak. Yang memiliki
kehendak adalah rakyat. Rakyat memilih anggota DPR dan
anggota DPD bukan dalam konteks teori organ, tetapi dalam

8 Lebih lengkap mengenai sintaktik, semantik, dan pragmatik dapat
dilihat dalam J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum (terj.) alih bahasa B.
Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 25

konteks teori mandat 9 . Anggota DPR dan anggota DPD membaur
dalam sebuah wadah MPR, yang ka rakternya tetap merupakan
implementasi teori mandat.
Jika MPR menganggap bahwa sangat perlu untuk
melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945, maka buatlah
rumusan sistemik seperti di atas. Apabila MPR menghendaki agar
Ketetapan MPR dan GBHN perlu untuk dimasuk kan dalam UUD
NRI Tahun 1945, maka langkah -langkah di atas perlu untuk
dilakukan.
Dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana di

yang perlu dicapai. Apakah MPR harus lebih kuat atau tidak, itu
adalah cara untuk mewujudkan tujuan negara. Oleh karena itu,
hal di atas sangat penting untuk mencegah agar MPR tidak
terjebak dalam perdebatan yang kontraproduktif.
Secara politik, apapun yang diin ginkan oleh MPR tentu akan
sangat bergantung pada MPR sendiri
politik .

berdasarkan kalkulasi

Secara sosiologis, legitimasi akan diberikan oleh

masyarakat jika hal itu memberikan dampak yang baik bagi
kehidupan mereka. Namun secara yuridis, keinginan -keingi nan

9 Mengenai teori mandat dan teori organ pada lembaga perwakilan, lebih
lengkap dapat dilihat dalam Romi Librayanto, Ilmu Negara suatu Pengantar,
Pustaka refleksi, Makassar, Cetakan Kedua, 2012, hal. 193- 195.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 26

tersebut (baik politis maupun sosiologis) perlu mengikuti nalar
rasionalitas yang dibingkai dalam rambu-rambu hukum.

C. Saran mengenai Masa Depan Haluan Negara
Setelah mengemukakan mengenai dua isu besar
sebagaimana dimaksud sebelumnya, maka penulis akan
menyampaikan beberapa hal, yaitu:

-

MPR belum saatnya untuk diberi wewenang kembali untuk
membuat GBHN. Secara sosiologis, tingkat kepercayaan
terendah masyarakat pada tatanan bernegara di Republik
Indonesia ada pada lembaga politik dan lembaga hukum.
Apa pun yang akan dilakukan oleh pranata politik akan
ditafsir sebagai upaya perburuan rente kue kekuasaan. Bagi
MPR, yang terbaik sekarang adalah bagaimana mampu
menampung sebanyak mungkin aspirasi masyarakat dengan
memberikan umpan balik kepada masyarakat, sehingga
masyarakat benar -benar merasa memiliki suatu majelis
permusyawaratan.

-

Keberadaan haluan negara sudah pasti menguntungkan.
Keuntungannya adalah bahwa kita memiliki arah dan
panduan yang sama untuk mengisi kemerdekaan
mewujudkan cita-cita pendiri negara yang telah terjabarkan
dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Masalahnya

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 27

adalah apakah haluan negara i

RKP
-

Jika harus memberi saran mengenai haluan yang
bagaimana yang dibutuhkan bangsa Indonesia, maka secara
sederhana jawabannya adalah haluan yang terukur, mampu
dilaksanakan, mau dilaksanakan, tanpa adanya intervensi
politik.

-

Sistematika dan materi haluan negara sebagaimana yang
tertera dalam UU RPJPN sudah baik.

-

Bentuk produk hukum haluan negara bukan sesuatu yang
krusial. Untuk saat ini, sudah tepat dalam bentuk undangundang. Namun jika ada pihak yang tidak puas dengan
bentuk undang -undang, maka bentuk hukumnya bisa
seperti bentuk hukum tafsir undang-undang dasar seperti
yang telah penulis paparkan 10 .

-

Mengenai akibat hukum, sebenarnya akibat hukum sudah
ada dalam berbagai peraturan perundang -undangan.

10

Sebagai bandingan, lihat juga Cholid Mahmud , REFORMULASI GBHN
MENGUATKAN KEDUDUKAN PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL, Makalah
Mewujudkan Kesatuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Permusyawaratan Rakyat RI, Kamis, 6 sept 2012, 080.00
15.30, Hotel
Phoenix, Yogyakarta. Waktu itu masih sebagai Anggota DPD RI Dapil DIY, hal.
11- 12.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 28

Sebagaimana yang penulis telah paparkan sebelumnya,
bahwa banyak instrumen yuridis yang bisa digunakan
untuk memberikan akibat hukum kepada pemerintah pusat.
Untuk pemerintah daerah, tentu hal ini lebih mudah lagi.
Akibat hukumnya juga lebih nyata jika dibandingkan
pemerintah pusat. Sehingga, mustahil bisa terjadi
ketidakkonsistenan dan ketidakselarasan antara RPJP
Daerah dengan RPJP Nasional. Dalam hal visi dan misi
calon Presiden, ini juga sebenarnya mustahil untuk terjadi.
Pada hakikatnya, visi dan misi calon Presiden adalah
rencana strategis calon presiden dalam mencapai targetterget pembangunan nasional (haluan negara). Kalaupun itu
bisa terjadi, KPU sebagai penyelenggara Pemilu seharusnya
menegur calon Presiden agar menyesuaik an visi dan misinya
dengan haluan negara.
Jika calon Presiden tersebut pada akhirnya terpilih menjadi
Presiden dan memaksakan visi dan misinya dimasukkan
sebagai RPJMN, maka tentu hal ini akan dilakukan koreksi
agar tidak bertentangan dengan UU RPJPN. Jika Presiden
terpilih tetap mempertahankan visi dan misinya dengan
memasukkannya ke dalam Perpres tentang RPJMN, maka
tentu ini dapat dilakukan pengujian kepada MA.

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 29

BAB III
PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran yang dapat penulis
berikan, semoga dapat memberikan manfaat bagi diskursus
mengenai Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional dengan Model GBHN. Akhir kata, penulis memberi pujian
kepada MPR yang berupaya keras untuk meminta pendapat,
masukan, dan saran dari seluruh masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995.
Cholid Mahmud , Reformulasi GBHN Menguatkan Kedudukan
Pedoman Pembangunan Nasional , Makalah , Kamis, 6
September 2012.
J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum (terj.) alih bahasa B.
Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Mudiyati Rahmatunnisa, Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN), Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dan Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), makalah,
Kamis 25 April 2013.
Romi Librayanto, Ilmu Negara suatu Pengantar, Pustaka refleksi,
Makassar, Cetakan Kedua, 2012.
Romi Librayanto, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, PuKAP -Indonesia, Makassar, 2008.
Siti Marwijah dan Nunuk Nuswardani, Garis -Garis Besar Haluan
Negara seba gai Penentu Arah dan Strategi Rencana
Pembangunan Indonesia, Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9.
No. 1, Juni 2014.
Syafruddin Muhtamar, dkk , Relevansi Perencanaan Pembangunan
Nasional Dengan Amanat Konstitusi , artikel tanpa tahun .

Romi Librayanto, Masa Depan Haluan Negara Republik Indonesia 30