Mutasi Gen Gap Junction Beta 2 Dan Myosin 7a Pada Tuli Kongenital Non Sindromik Di Indonesia

23

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pendengaran adalah suatu proses yang kompleks, sehingga bila

terjadi gangguan pendengaran atau ketulian maka penyebabnya bisa
bermacam-macam pula. Hilangnya pendengaran dapat diakibatkan oleh
kerusakan organ telinga, baik itu telinga bagian dalam, telinga bagian
tengah ataupun telinga bagian luar. Ketulian pada bayi sejak lahir
biasanya disebabkan karena kerusakan telinga dalam. Seorang bayi
dapat terinfeksi virus sejak dalam kandungan. Penyebab lain adalah
genetik dimana perubahan genetik berperan dalam proses pembentukan
struktur telinga yang menentukan kualitas pendengaran (Rehm et al.
2008).
Pendengaran

merupakan


faktor

penting

dalam

kemampuan

berbicara dan berkomunikasi verbal. Proses belajar mendengar bagi bayi
dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek
tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi
dan audiologi (Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007; Nugroho, Zulfikar &
Muyassaroh 2012).
Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi
yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun
pada saat lahir. Tuli kongenital dapat berdampak pada perkembangan
bicara, sosial, kognitif dan akademik pada anak dan masalah makin
bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini (Soetjipto


24

2007; McPherson, Law & Wong 2010; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh
2012).

Ketulian

keterbelakangan

pada
mental,

bayi

dan

anak

gangguan


kadang-kadang

emosional,

maupun

disertai
afasia

perkembangan. Umumnya seorang bayi yang mengalami ketulian lebih
dulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara
(Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007). Prevalensi tuli kongenital di
seluruh dunia dilaporkan berkisar antara 1–3 kejadian dari 1000 kelahiran
(Gurtler 2008; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012; Zhang et al. 2013 ).
Data dari program pemeriksaan pendengaran pada bayi baru lahir
di Texas, Colorado, dan Rhode Island menunjukkan bayi baru lahir yang
mengalami tuli bilateral sebanyak 1-3 per 1000 bayi sehat dan 2-4 per
1000 bayi yang dirawat secara intensif (Delaney 2012).
Di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan di 7 propinsi pada
tahun 1994 -1996 didapati angka tuli sejak lahir yaitu sebesar 0,1% dari

19.375

sampel

yang

diperiksa

(Hendarmin

2006).

Sedangkan

berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2005, tuli kongenital di Indonesia
diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar
214.100.000 orang. Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan
adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar
0,22% (Soetjipto 2007).
Masih


banyak

kendala

dalam

penemuan

kasus

gangguan

pendengaran di Indonesia dan negara berkembang lainnya yang
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, informasi, perhatian dan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya menemukan kasus gangguan

25

pendengaran sejak dini (Bashiruddin 2010). Sangat penting untuk

mendeteksi ketulian sedini mungkin, sehingga seorang anak dapat segera
dihabilitasi dan dapat membangun kemampuan komunikasi serta
belajarnya (Li et al. 2012; Zhang et al. 2012). Untuk alasan ini satu hari
setelah lahir seorang bayi dapat diskrining dengan pemeriksaan yang
sederhana, tanpa rasa nyeri dan dapat mendeteksi seorang bayi apakah
dapat mendengar atau tidak. Tanpa skrining pendengaran sejak dini,
ketulian kemungkinan terabaikan oleh orang tua, guru atau dokter sampai
anak mulai kesulitan dalam berbicara dan belajar pada usia 2 atau 3
tahun. Bashiruddin (2009) melakukan skrining pendengaran pada bayibayi baru lahir di enam rumah sakit di jakarta mendapatkan 297 dari
12,757 bayi (23%) disangka menderita ketulian.
Dua pertiga tuli kongenital disebabkan oleh faktor genetik dan
selebihnya adalah karena faktor lingkungan dan faktor genetik yang tidak
teridentifikasi (Sivakumaran et al. 2013). Terdapat dua bentuk ketulian,
yaitu sindromik dan nonsindromik (Locher et al. 2015). Sekitar 70 % tuli
genetik adalah nonsindromik dan 30 % adalah sindromik. Ketulian
sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga mempunyai
masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal, mata, tiroid
ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada pasien ini dapat
membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan kelainan di sistem lain
selain ketulian (Cynthia et al. 2006 ; Antonio 2012; De Castro et al. 2013).

Deklerck dan kawan-kawan (2014) di Belgia melakukan penelitian studi

26

populasi tuli kongenital mendapatkan etiologi terbanyak pada populasi ini
adalah genetik (65.4%).
Pengetahuan mengenai penyebab genetik pada ketulian sangat
penting. Pengetahuan ini tidak hanya dibutuhkan oleh dokter untuk
menginformasikan kepada keluarga tentang peluang anaknya menjadi tuli
tetapi juga mempengaruhi pengobatan terhadap ketulian. Apakah ketulian
akan

memburuk

kadang-kadang

dapat

diprediksi


bila

penyebab

spesifiknya diketahui. Kita dapat mencurigai seorang anak dengan
ketulian genetik bila ada anggota keluarganya yang juga menderita
ketulian. Tetapi sering juga terjadi pada anak yang orang tuanya memiliki
pendengaran normal. Ketulian ini juga dapat diturunkan pada generasi
berikutnya. Meskipun riwayat keluarga dapat membantu menemukan
penyebab genetik, tetapi walaupun tidak ada riwayat keluarga tidaklah
berarti ketulian bukan genetik. Hal ini artinya ketulian genetik terlihat
pertama kali pada anak yang orang tua dan keluarganya tidak tuli.
Sebanyak 80% ketulian diturunkan secara autosomal resesif, 20%
autosomal dominan, mutasi resesif x-linked dan mitokondria 1-2% (De
Castro et al. 2013; Sivakumaran et al. 2013). Karena itu pentingnya
mengkombinasi informasi dari pemeriksaan fisik, tes klinik, riwayat
keluarga dan tes genetik untuk mengidentifikasi penyebab ketulian. Hal ini
dapat membantu pengobatan dan pengelolaan ketulian serta dapat
memprediksi kemungkinan ketulian akan diturunkan pada generasi
berikutnya (Eisen & Ryugo 2008; Gravina et al. 2010; Han et al. 2011).


27

Tuli genetik mempengaruhi berbagai proses molekuler, termasuk
mutasi gen yang mengganggu fungsi faktor transkripsi, saluran kalium dan
klorida, connexin, dan stereocilia. Dengan uji genetik, identifikasi
terjadinya mutasi dapat menghasilkan prognosis yang akurat untuk
perkembangan terhadap ketulian. Pengetahuan ini sangat membantu
mengarahkan pengobatan. Sebagai contoh, mutasi dari gen GJB2 berarti
ketulian bukan disebabkan kelainan neurologis. Anak ini merupakan
kandidat untuk implantasi koklea yang baik (Eisen & Ryugo 2008).
Penelitian Zhu dan kawan-kawan dengan melakukan teknik knockout gen,
mereka melakukan knockout pada ekspresi gen GJB2 setelah kelahiran
hari ke-5 pada tikus. Terjadi penurunan pendengaran yang progresif pada
frekuensi tinggi diikuti frekuensi tengah dan rendah.Potensial endokoklear
menurun tetapi tidak progresif. Penelitian ini menunjukkan mutasi gen
GJB2 menyebabkan kerusakan amplifikasi di koklea (Zhu et al. 2014)
Banyak

gen


yang

ditemukan

dapat

menyebabkan

ketulian

sindromik dan non sindromik, dimana perbedaan manifestasi kliniknya
terjadi bila mutasi gen menyebabkan perubahan asam amino sehingga
membentuk protein yang berbeda (Astuto et al. 2002). Penelitian Deklerck,
Acke, Janssens, De Leenheer (2015) di Belgia dari 191 pasien yang
dianalisis , 65.4% disebabkan karena faktor genetik dan mutasi gen GJB2
merupakan penyebab utama. Penelitian Nishio dan Usami (2015) di
Jepang dari 1389 sampel (dari 1120 pasien tuli non sindromik) didapatkan
8376 varian mutasi gen, mutasi yang terbanyak adalah GJB2, diikuti
dengan CDH23, SLC26A4, MYO15A, COL11A2, MYO7A, and OTOF.


28

Gen gap junction beta 2 (GJB2), yang menghasilkan protein yang
disebut connexin 26 berperan dalam menyebabkan ketulian kongenital
(Mohamed et al. 2010; Wonkam 2015). Gen ini sering dikaitkan dengan
tuli non sindromik di populasi barat. Connexin 26 adalah komponen dari
protein gap junction yang berfungsi sebagai channel interseluler. Channel
ini dapat menyebabkan molekul berat rendah dapat berpindah dari sel ke
sel. Jaringan penunjang dari organ Corti mengekspresikan banyak protein
gap junction, termasuk connexin 26. Mutasi pada gen ini mengganggu
daur ulang kalium setelah depolarisasi sel rambut koklea, sehingga
menyebabkan akumulasi kalium di ruang ekstraselular yang mengelilingi
sel-sel rambut dan sel-sel penunjang dan akhirnya terjadi kematian sel
sehingga menyebabkan ketulian (Bailey, Jonas & Shawn 2006; Gandia et
al. 2013).
Sekitar 50% mutasi GJB2 diturunkan secara autosomal resesif (De
Castro et al. 2013). Mutasi GJB2 diturunkan dalam populasi melalui karier
yang prevalensinya adalah 1 dari 33 pasien (Sujata, Archbold & Clarke
2007). Lebih dari 101 mutasi GJB2 didapatkan pada ketulian. Prevalensi
mutasi GJB2 berbeda pada setiap etnis. Mutasi GJB2 ditemukan pada
banyak pasien dengan latar belakang etnis yang beragam, misalnya
delesi basa guanin pada nukleotida posisi 35 (35delG) sering ditemui
pada bangsa Eropa (Dzhemileva et al. 2011). Delesi timin pada posisi 167
(167delT) sering ditemukan pada populasi kaum Yahudi Ashkenazi dan
mutasi 235delC sering pada Jepang atau bangsa Asia pada umumnya
(Bailey, Jonas & Shawn 2006; Abe et al. 2000 ; De Castro et al. 2013).

29

Pada warga kulit putih di Amerika Serikat ditemukan 1 dari 40 orang
adalah carrier mutasi GJB2. Tingginya frekuensi mutasi ini membuat tes
skrining genetik dan molekuler layak untuk dilakukan (Eisen & Ryugo
2008).
Myosin 7A berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan selsel rambut yang disebut dengan stereosilia di telinga daIam. Stereosilia
kaya dengan aktin. Myosin7A berperan dalam pergerakan stereosilia
sebagai respon dari gelombang suara. Gerakan ini mengubah energi
mekanik

menjadi

energi

listrik

yang

disampaikan

ke

saraf

pendengaran(Eisen & Ryugo 2008).
Penelitian Shahzad dan kawan-kawan di Pakistan (2013) dari 34
penderita tuli kongenital prelingual di Pakistan didapatkan 11 mutasi gen
MYO7A yang terdiri atas 7 substitusi missense, 1 nonsense, 1 frameshift,
dan 2 splice site. Terdapat pula mutasi gen CDH23 pada 1 pasien, dan
mutasi gen SLC26A4 pada 1 pasien. Mutasi gen MYO7A dapat terjadi
pada ketulian autosomal resesif dan dominan.
Kecendrungan banyaknya ditemukan kejadian tuli kongenital di
Indonesia, yang sebagian besar adalah ketulian non sindromik dengan
orang tua yang mempunyai pendengaran normal dan belum adanya
penelitian mengenai hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A
terhadap

kejadian

tuli

kongenital

non

sindromik

di

Indonesia

menyebabkan peneliti ingin melakukan penelitian ini. Apakah memang

30

terdapat mutasi genetik pada orang tua yang dapat diturunkan kepada
anak-anaknya sehingga terdapat anaknya yang menderita ketulian.

1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan maka
dapat dirumuskan permasalahan yang dituangkan sebagai pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1.2.1. Apakah terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A
terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia
1.2.2. Apakah terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari
orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di
Indonesia
1.2.3. Berapa besar risiko kejadian tuli kongenital pada orang tua yang
memiliki mutasi genetik dan orang tua yang tidak memiliki mutasi
genetik.

1.3. Hipotesis
1.3.1. Terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap
kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia
1.3.2. Terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang
tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia

31

1.3.3. Risiko kejadian tuli kongenital lebih tinggi pada orang tua yang
memiliki mutasi genetik daripada orangtua yang tidak memiliki
mutasi genetik

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan umum
1. Mengetahui hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap
kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

1.4.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang
tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia
2. Mengetahui risiko kejadian tuli kongenital pada penderita yang
memiliki orang tua dengan mutasi genetik dan orang tua yang tidak
memiliki mutasi genetik
3. Mengetahui mutasi genetik pada saudara kandung penderita tuli
kongenital.
4. Mengetahui variasi mutasi gen GJB2
5. Mengetahui prediksi perubahan protein yang terjadi akibat mutasi
genetik GJB2 terhadap gangguan pendengaran akibat kerusakan
koklea.

32

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat teoritis
1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data dan informasi
tentang mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli
kongenital non sindromik di Indonesia.
2. Mendapatkan bahwa mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A merupakan
salah satu faktor kerentanan terhadap kejadian tuli kongenital non
sindromik di Indonesia.
3. Sebagai dasar untuk pengembangan teori terkait terapi genetik

1.5.2. Manfaat praktis (Terapan)
1. Pemeriksaan genetik dapat digunakan sebagai standar pemeriksaan
pada bayi-bayi baru lahir untuk melihat kemungkinan tuli kongenital di
kemudian hari.
2. Dengan mengetahui risiko adanya mutasi genetik pada orangtua
penderita

tuli

kongenital

sehingga

dapat

diketahui

adanya

kemungkinan mereka memiliki keturunan yang lahir tuli sehingga
pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap
pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat
keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk
memiliki anak lahir tuli.

33

3. Pentingnya informasi genetik pada gangguan pendengaran karena
kerusakan

koklea,

sehingga

dapat

memprediksi

keberhasilan

penatalaksanaan dengan penggunaan implan koklea dan terapi
genetik.

1.6. Orisinalitas
Penelitian mutasi genetik pada beberapa daerah di Indonesia
belum pernah dilakukan. Juga belum pernah dilaporkan risiko terjadinya
tuli kongenital pada orang tua yang memiliki mutasi genetik di Indonesia.
Oleh sebab itu penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sebuah
hak atas kekayaan intelektual berupa penemuan informasi baru yang
menyajikan adanya pengaruh mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap
kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia dan didapatkan adanya
pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang tua kepada
penderita tuli kongenital di Indonesia. Peneliti juga belum pernah
mendapatkan berapa besar risiko mutasi genetik yang diturunkan dari
orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia.

1.7. Hak Atas Kekayaan Intelektual
1. Ditemukan risiko kejadian tuli kongenital pada penderita dengan orang
tua yang memiliki mutasi gen GJB2 dan yang tidak memiliki mutasi
genetik.

34

2. Ditemukan mutasi genetik resesif pada saudara kandung penderita tuli
kongenital yang tidak lahir tuli yang lahir dari orang tua yang memiliki
mutasi genetik.
3. Pemeriksaan

genetik

digunakan

sebagai

standar

skrining

pemeriksaan pada bayi-bayi baru lahir di Indonesia untuk melihat
kemungkinan tuli kongenital di kemudian hari.
4. Pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap
pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat
keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk
memiliki anak lahir tuli.
5. Pemeriksaan ini dapat dijadikan skrining pemeriksaan sebelum
dilakukan implan koklea sehingga dapat memprediksi gangguan di
koklea sehingga dapat memprediksi keberhasilan implan koklea.