Mutasi Gen Gap Junction Beta 2 Dan Myosin 7a Pada Tuli Kongenital Non Sindromik Di Indonesia
35
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuli Kongenital
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul
pada saat lahir (Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012). Tuli kongenital
merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktorfaktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir (Steer,
Bolton & Golding 2015). Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing
impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi
pendengaran berkurang namun masih
dapat
dimanfaatkan untuk
berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan
tuli
total
adalah
keadaan
fungsi
pendengaran
yang
sedemikian
terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Tuli
kongenital dibagi menjadi genetik herediter (faktor keturunan) dan non
genetik (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel
2002).
Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli sensorineural derajat
berat sampai sangat berat , pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal
sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru
menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada
respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh
karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui
36
respons anak terhadap suara di lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi
dan cara pengucapan kata (Gurtler 2008).
2.2. Epidemiologi Tuli Kongenital
Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang
memerlukan perhatian khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara
berkembang dan sebagian merupakan defek yang didapatkan
sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS)
angka kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.Kurang
lebih 1,64 dari 1000 anak lahir hidup mengalami tuli kongenital.
1 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli bilateral, dan 0,64
dari1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral. Di Negara maju angka
tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup (Gurtler 2008;
Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012;
Kamiya 2015). Sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 7 propinsi pada tahun 1994 1996 yaitu sebesar 0,1 % (Hendarmin 2006).
2.3. Etiologi Tuli Kongenital
2.3.1. Genetik
Ketulian berdasarkan kelainan genetik dapat m e m i l i k i
etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1%
37
d a r i seluruh gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara
garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik
terbagi
menjadi
ketulian
non
sindromik
dan
ketulian
sindromik.
Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi
p a d a g e n t u n g g a l a t a u merupakan kombinasi mutasi pada gen
yang berbeda dan faktor lingkungan. Sekitar 50% kasus merupakan
kelainan pendengaran bentuk mutasi gen. Mutasi gen ini dapat
diturunkan kepada keturunannya (Genetic Evaluation of Congenital
Hearing Loss Expert Panel 2002; Steer, Bolton & Golding 2015).
Penelitian Coco dan kawan-kawan yang melakukan amniocentesis untuk
pemeriksaan genetik GJB3 35delG dan M34T pada ibu dengan kehamilan
trimester dua mendapatkan dari 12.395 cairan amnion yang dianalisis
ditemukan 2 kasus mutasi homozigot 35delG dan 352 kasus karier
heterozigot, yang terdiri dari 42 mutasi M34T, 298 dengan mutasi 35delG
dan 12 kasus heterozigot ganda M34T/35delG (Coco et al. 2013)
Ketulian
non
sindromik
merupakan
gangguan
pendengaran
tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan kelinan fisik lainnya. Ketulian
non sindromik mengenai sekitar 1 dari 4000 orang.
Ketulian non
sindromik lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.
Sekitar 70 % tuli genetik adalah non sindromik dan 30 % adalah sindromik
(Cynthia et al. 2006; Antonio 2012).
38
2.3.2. Non genetik
2.3.2.1 Masa kehamilan (Prenatal)
Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi
bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi
yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi
TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis),
selain campak dan parotitis (Guerina 1994; Adler & Marshall 2007).
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina,
gentamisin, streptomisin dll mempunyai potensi menyebabkan terjadinya
gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput
(koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan
terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk),
displasia Mondini dan atresia liang telinga (Mudd 2012).
2.3.2.2 Saat lahir (Perinatal)
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat
badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses
kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak
langsung menangis), dan hipoksia otak bila nilai Apgar < 5 pada 5 menit
pertama (Gomella 2004; Okhravi et al. 2015).
Menurut Academy American Joint committee on infant Hearing
Statement (2007) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor
berikut ini harus dicurigai karena merupakan kemungkinan penyebab
39
terjadinya gangguan pendengaran (Joint Committee on Infant Hearing
2007) :
1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir
2. Infeksi prenatal; TORCHS
3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher
4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )
6. Meningitis bakterialis
7. Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
8. Asfiksia berat
9. Pemberian obat ototoksik
10. Menggunakan alat bantu pernapasan / ventilasi mekanik lebih dari
5 hari (ICU).
2.4. Klasifikasi Tuli Kongenital
Terdapat dua bentuk ketulian, yaitu sindromik dan nonsindromik.
Ketulian sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga
mempunyai masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal,
mata, tiroid ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada
pasien ini dapat membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan
kelainan di sistem lain selain ketulian. Ketulian non sindromik adalah
penderita hanya mempunyai masalah pada ketulian dan tidak pada bagian
tubuh yang lain (Rehm et al. 2008).
40
2.5. Gambaran Klinis Tuli Kongenital
Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering
memberikan gejala berupa keterlambatan bicara (speech delay).Tidak
berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan
tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu
dievaluasi (Oller et al. 1999).
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan
mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu
dicurigai apabila (Oller et al. 1999):
Usia 12 bulan :
belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
Usia 18 bulan :
tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
Usia 24 bulan :
perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
Usia 30 bulan :
belum dapat merangkai 2 kata
2.5.1. Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain
(Soetjipto 2007) :
Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan
bersifat reflex. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara
keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks
auropalpebral maupun refleks Moro.
Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak
di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan
41
otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat
ke arah sumber suara.
Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber
bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.
Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk
mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan
mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.
Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak
akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus
yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu
memperkirakan sumber suara.
2.6. Diagnosis Tuli Kongenital
Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan,
bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang
kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan
bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap
suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks
auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye
widening
(melebarkan
mata),
cessation
(berhenti
menyusu)
dan
mengerutkan wajah atau grimacing (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia
2010).
Saat ini emisi otoakustik dan brainstem evoked response
audiometry (BERA) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold
42
standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dengan
sensitifitas mendekati 100% (Genetic Evaluation of Congenital Hearing
Loss Expert Panel 2002).
2.6.1. Emisi otoakustik
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang
diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus
eksternus baik dengan tidak adanya stimulasi akustik (emisi spontan) atau
sebagai respon terhadap stimulasi akustik (akustik-menimbulkan emisi)
atau rangsangan listrik (elektrik menimbulkan emisi). Suara yang
ditangkap oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30 dB, namun berpotensi
untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena suara yang
sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada
umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik
dihasilkan hanya bila organ Corti dalam keadaan mendekati normal, dan
telinga tengah berfungsi dengan baik (Donovalova 2006; Hall III &
Antonelli 2006; Berg et al. 2011).
Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun
1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve &
Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi
tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat
telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip).
Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah
43
menjadi elektrik agar mudah diproses (Hall III & Antonelli 2006; Xiao et al.
2015).
Emisi otoakustik dihasilkan oleh adanya gerakan membran timpani
yang ditransmisikan ke koklea melalui telinga tengah secara spontan
ataupun menggunakan stimulus. Untuk merekam emisi otoakustik
diperlukan kondisi telinga tengah yang sehat dengan konduksi suara yang
baik. Koklea tidak signifikan memancarkan suara ke udara di kavum
timpani. Agar pergerakan membran timpani efisien, lebih padat dan sedikit
udara yang bisa keluar masuk liang telinga, maka liang telinga harus
ditutup (Hall III & Antonelli 2006).
Getaran yang dihasilkan dari mekanisme koklea yang unik dikenal
sebagai “cochlear amplifier” yang menyebabkan adanya suatu gerakan
sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini dapat
terjadi baik secara spontan maupun oleh rangsangan bunyi dari luar dan
dihasilkan oleh mekanisme sel yang aktif (Gelfand 2010).
Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click
dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone,
kemudian terjadi gerakan biomekanik dari membran basilaris sehingga
menghasilkan
amplifikasi
energi
intrakoklea
dan
tuning
koklea.
Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea
yang diperbanyak dan keluar melalui sistem telinga tengah dan membran
timpani menuju liang telinga (Prieve & Fitzgerald 2002; Gelfand 2010).
Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan
kriteria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan
44
keadaan koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan
koklea (Abdullah 2006).
2.6.1.1 Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik
Stimulus bunyi keluar dari probe untuk ditransmisikan melalui
telinga luar, di membran timpani rangsang auditori dirubah dari sinyal
akustik menjadi sinyal mekanik dan ditransmisikan melalui tulang-tulang
pendengaran pada telinga tengah; footplate dari tulang stapes akan
bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan
gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut
menggetarkan membran basilaris dimana setiap bagian dari membran
basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam rentang tertentu
(Campbell 2006).
Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif
terhadap rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang
jauh dari foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan
frekuensi rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali
dan direkam menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan
frekuensi paling tinggi (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).
Pada saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut
bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat yang bersamaan
sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal suara diemisikan kembali melalui
jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga (Campbell 2006;
Møller 2006).
45
Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan
telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis gelombang bunyi.
Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga
bagian dalam kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai
kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan
kemampuan sel-sel rambut yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang
sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru
terangsang pada tekanan bunyi yang lebih kecil. Sel-sel rambut luar
secara serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan
cara gerakan mekanis. Proses gerakan inilah yang diperkirakan
merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam (Møller 2006).
2.6.1.2 Tujuan dan syarat pemeriksaan
Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai
keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil
pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006):
a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, bayi atau individu
dengan gangguan perkembangan).
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.
c. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura).
Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur,
bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan
respon tingkah laku.
46
Syarat-syarat untuk menghasilkan emisi otoakustik (Campbell 2006):
a. Liang telinga luar tidak obstruksi
b. Liang telinga dengan ditutup rapat dengan probe.
c. Posisi optimal dari probe
d. Tidak ada penyakit telinga tengah
e. Sel rambut luar masih berfungsi
f. Pasien kooperatif
g. Lingkungan sekitar tenang.
Emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditori perifer,
meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal
dari koklea, tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat
mentransmisikan kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh
mikrofon. Emisi otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan
ambang dengar individu (Campbell 2006).
Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada
telinga normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah
evoked otoacoustic emissions (Mainley, Ray & Propper 2008).
2.6.1.3 Jenis-jenis emisi otoakustik
Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara
tanpa adanya rangsangan bunyi ( secara spontan). Respon non
stimulus ini biasanya diukur dalam rentang frekuensi perekaman yang
sempit (< 30 Hz bandwidth) dalam liang telinga luar. Diperlukan
47
perekaman multiple untuk memastikan kemampuan replikasi dan
untuk membedakan respon dari tingkat bising. Perekaman SOAEs
biasanya berada dalam rentang frekuensi 500-7000 Hz. Pada
umumnya, SOAEs terjadi hanya pada 40-50% individu dengan
pendengaran normal. Pada dewasa sekitar 30-60%, pada neonatus
sekitar 25-80%. SOAEs tidak ditemukan pada individu dengan dengan
ambang dengar >30 dB HL. Oleh karena itu, adanya SOAEs biasanya
dianggap sebagai tanda kesehatan koklea, tetapi tidak adanya SOAEs
tidak selalu merupakan tanda kelainan dan juga biasanya tidak
berhubungan dengan adanya tinitus. SOAEs biasanya terjadi pada
frekuensi 1000-2000 Hz, amplitudo antara -5 dan 15 dB SPL.
b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked
otoacoustic emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang
dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat
pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.
c. Distortion product otoacoustic emission (DPOAEs), merupakan emisi
suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.
d. Sustained-frequncy otoacoustic emission (SFOAEs), merupakan emisi
suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan (kontinyu)
(Campbell 2006; Mainley, Ray & Propper 2008).
48
Gambar 2.1. Contoh hasil pemeriksaan OAE (Mainley, Ray & Propper 2008)
2.6.2. Brainstem evoked response audiometry (BERA)
Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) adalah suatu
teknik pengukuran aktivitas atau respon saraf terhadap rangsangan bunyi.
Pemeriksaan BERA pertama sekali dilaporkan oleh Sohmer dan
Feinmesswer pada tahun 1967, yang kemudian dijelaskan lebih detail oleh
Jewett
dan
Wilson
pada
tahun
1971.
BERA
merupakan
tes
elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level
dari sistem pendengaran mulai dari koklea sampai korteks. BERA
ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik atau bip) yang dikirim oleh
suatu transduser akustik dalam bentuk earphone atau headphone (Hall III
& Antonelli 2006).
49
Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah dalam bentuk
gelombang yang diukur dengan menggunakan elektroda permukaan yang
dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau pada
lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat
objektif (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006).
Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam
waktu 10 msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (7090 dBnHL). Bentuk puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan
angka Romawi, yaitu gelombang I-VII (Bhattcharrya 2006). Komponen
gelombang:
a.
Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf
pada daerah distal saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal
dari aktivitas afferen dari serabut saraf VIII.
b.
Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII.
c.
Gelombang III: berasal dari nukleus koklearis.
d.
Gelombang IV: berasal dari kompleks olivaris superior.
e.
Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior dan lemniskus lateral.
Gelombang ini paling sering dianalisa dalam aplikasi klinis BERA.
f.
Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari korpus genikulatum
medialis, tetapi lokasi pastinya masih belum jelas.
50
Gambar 2.2. Gelombang BERA normal (Bhattcharrya 2006)
51
Mekanisme
pemeriksaan
BERA
adalah
dengan
memberikan
rangsangan bunyi melalui headphone yang telah diatur pada level kontrol
akan menempuh perjalanan melalui koklea nukleus koklearis
nukleus olivarius superior lemniskus lateral kolikulus inferior
korteks auditorius di lobus temporal otak. Respon yang diberikan akan
diterima oleh elektroda-elektroda yang ditempelkan pada kulit dan
diteruskan ke komputer sehingga hasilnya dapat dilihat di layar komputer.
Penilaian BERA (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006)
a. Masa laten absolut gelombang I, III, V.
Masa laten absolut gelombang I,III,V adalah waktu yang diperlukan
dari pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I, III, V.
b. Interwave latency I-III, III-V, I-V.
Merupakan waktu yang diperlukan dari gelombang I ke gelombang III,
dari gelombang III ke gelombang V dan dari gelombang I ke
gelombang V.
c. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency)
Yaitu perbedaan masa laten gelombang V antara telinga kanan
dengan telinga kiri, yang kadang-kadang juga pada gelombang III.
Rata-rata perbedaan bervariasi antara 0,2 ms - 0,6 ms.
d. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity
function)
Dalam menilai sensitivitas dari pendengaran yaitu dengan menilai
gelombang V BERA, oleh karena gelombang V berhubungan dengan
52
ambang audiometri behavioral. Hal ini dapat lengkap terlihat dengan
memakai intensitas stimulus `klik`. Semakin kecil intensitas yang
diberikan,
maka
gelombang
BERA
akan
menghilang
kecuali
gelombang V yang dapat terlihat sampai pada level 5-20 dB.
e. Rasio amplitudo gelombang V/I.
Pengukuran rasio amplitudo gelombang V/I adalah untuk menilai
integritas batang otak. Amplitudo gelombang I dan V diukur kemudian
dibandingkan. Pada kondisi normal orang dewasa gelombang V harus
lebih besar dari gelombang I dengan hasil > 1,0. Pada kasus kelainan
retrokoklea, ratio amplitudo gelombang V/I akan menurun yaitu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuli Kongenital
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul
pada saat lahir (Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012). Tuli kongenital
merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktorfaktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir (Steer,
Bolton & Golding 2015). Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing
impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi
pendengaran berkurang namun masih
dapat
dimanfaatkan untuk
berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan
tuli
total
adalah
keadaan
fungsi
pendengaran
yang
sedemikian
terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Tuli
kongenital dibagi menjadi genetik herediter (faktor keturunan) dan non
genetik (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel
2002).
Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli sensorineural derajat
berat sampai sangat berat , pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal
sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru
menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada
respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh
karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui
36
respons anak terhadap suara di lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi
dan cara pengucapan kata (Gurtler 2008).
2.2. Epidemiologi Tuli Kongenital
Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang
memerlukan perhatian khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara
berkembang dan sebagian merupakan defek yang didapatkan
sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS)
angka kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.Kurang
lebih 1,64 dari 1000 anak lahir hidup mengalami tuli kongenital.
1 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli bilateral, dan 0,64
dari1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral. Di Negara maju angka
tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup (Gurtler 2008;
Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012;
Kamiya 2015). Sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 7 propinsi pada tahun 1994 1996 yaitu sebesar 0,1 % (Hendarmin 2006).
2.3. Etiologi Tuli Kongenital
2.3.1. Genetik
Ketulian berdasarkan kelainan genetik dapat m e m i l i k i
etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1%
37
d a r i seluruh gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara
garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik
terbagi
menjadi
ketulian
non
sindromik
dan
ketulian
sindromik.
Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi
p a d a g e n t u n g g a l a t a u merupakan kombinasi mutasi pada gen
yang berbeda dan faktor lingkungan. Sekitar 50% kasus merupakan
kelainan pendengaran bentuk mutasi gen. Mutasi gen ini dapat
diturunkan kepada keturunannya (Genetic Evaluation of Congenital
Hearing Loss Expert Panel 2002; Steer, Bolton & Golding 2015).
Penelitian Coco dan kawan-kawan yang melakukan amniocentesis untuk
pemeriksaan genetik GJB3 35delG dan M34T pada ibu dengan kehamilan
trimester dua mendapatkan dari 12.395 cairan amnion yang dianalisis
ditemukan 2 kasus mutasi homozigot 35delG dan 352 kasus karier
heterozigot, yang terdiri dari 42 mutasi M34T, 298 dengan mutasi 35delG
dan 12 kasus heterozigot ganda M34T/35delG (Coco et al. 2013)
Ketulian
non
sindromik
merupakan
gangguan
pendengaran
tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan kelinan fisik lainnya. Ketulian
non sindromik mengenai sekitar 1 dari 4000 orang.
Ketulian non
sindromik lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.
Sekitar 70 % tuli genetik adalah non sindromik dan 30 % adalah sindromik
(Cynthia et al. 2006; Antonio 2012).
38
2.3.2. Non genetik
2.3.2.1 Masa kehamilan (Prenatal)
Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi
bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi
yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi
TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis),
selain campak dan parotitis (Guerina 1994; Adler & Marshall 2007).
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina,
gentamisin, streptomisin dll mempunyai potensi menyebabkan terjadinya
gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput
(koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan
terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk),
displasia Mondini dan atresia liang telinga (Mudd 2012).
2.3.2.2 Saat lahir (Perinatal)
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat
badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses
kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak
langsung menangis), dan hipoksia otak bila nilai Apgar < 5 pada 5 menit
pertama (Gomella 2004; Okhravi et al. 2015).
Menurut Academy American Joint committee on infant Hearing
Statement (2007) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor
berikut ini harus dicurigai karena merupakan kemungkinan penyebab
39
terjadinya gangguan pendengaran (Joint Committee on Infant Hearing
2007) :
1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir
2. Infeksi prenatal; TORCHS
3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher
4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )
6. Meningitis bakterialis
7. Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
8. Asfiksia berat
9. Pemberian obat ototoksik
10. Menggunakan alat bantu pernapasan / ventilasi mekanik lebih dari
5 hari (ICU).
2.4. Klasifikasi Tuli Kongenital
Terdapat dua bentuk ketulian, yaitu sindromik dan nonsindromik.
Ketulian sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga
mempunyai masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal,
mata, tiroid ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada
pasien ini dapat membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan
kelainan di sistem lain selain ketulian. Ketulian non sindromik adalah
penderita hanya mempunyai masalah pada ketulian dan tidak pada bagian
tubuh yang lain (Rehm et al. 2008).
40
2.5. Gambaran Klinis Tuli Kongenital
Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering
memberikan gejala berupa keterlambatan bicara (speech delay).Tidak
berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan
tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu
dievaluasi (Oller et al. 1999).
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan
mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu
dicurigai apabila (Oller et al. 1999):
Usia 12 bulan :
belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
Usia 18 bulan :
tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
Usia 24 bulan :
perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
Usia 30 bulan :
belum dapat merangkai 2 kata
2.5.1. Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain
(Soetjipto 2007) :
Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan
bersifat reflex. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara
keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks
auropalpebral maupun refleks Moro.
Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak
di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan
41
otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat
ke arah sumber suara.
Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber
bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.
Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk
mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan
mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.
Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak
akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus
yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu
memperkirakan sumber suara.
2.6. Diagnosis Tuli Kongenital
Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan,
bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang
kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan
bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap
suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks
auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye
widening
(melebarkan
mata),
cessation
(berhenti
menyusu)
dan
mengerutkan wajah atau grimacing (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia
2010).
Saat ini emisi otoakustik dan brainstem evoked response
audiometry (BERA) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold
42
standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dengan
sensitifitas mendekati 100% (Genetic Evaluation of Congenital Hearing
Loss Expert Panel 2002).
2.6.1. Emisi otoakustik
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang
diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus
eksternus baik dengan tidak adanya stimulasi akustik (emisi spontan) atau
sebagai respon terhadap stimulasi akustik (akustik-menimbulkan emisi)
atau rangsangan listrik (elektrik menimbulkan emisi). Suara yang
ditangkap oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30 dB, namun berpotensi
untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena suara yang
sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada
umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik
dihasilkan hanya bila organ Corti dalam keadaan mendekati normal, dan
telinga tengah berfungsi dengan baik (Donovalova 2006; Hall III &
Antonelli 2006; Berg et al. 2011).
Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun
1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve &
Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi
tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat
telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip).
Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah
43
menjadi elektrik agar mudah diproses (Hall III & Antonelli 2006; Xiao et al.
2015).
Emisi otoakustik dihasilkan oleh adanya gerakan membran timpani
yang ditransmisikan ke koklea melalui telinga tengah secara spontan
ataupun menggunakan stimulus. Untuk merekam emisi otoakustik
diperlukan kondisi telinga tengah yang sehat dengan konduksi suara yang
baik. Koklea tidak signifikan memancarkan suara ke udara di kavum
timpani. Agar pergerakan membran timpani efisien, lebih padat dan sedikit
udara yang bisa keluar masuk liang telinga, maka liang telinga harus
ditutup (Hall III & Antonelli 2006).
Getaran yang dihasilkan dari mekanisme koklea yang unik dikenal
sebagai “cochlear amplifier” yang menyebabkan adanya suatu gerakan
sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini dapat
terjadi baik secara spontan maupun oleh rangsangan bunyi dari luar dan
dihasilkan oleh mekanisme sel yang aktif (Gelfand 2010).
Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click
dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone,
kemudian terjadi gerakan biomekanik dari membran basilaris sehingga
menghasilkan
amplifikasi
energi
intrakoklea
dan
tuning
koklea.
Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea
yang diperbanyak dan keluar melalui sistem telinga tengah dan membran
timpani menuju liang telinga (Prieve & Fitzgerald 2002; Gelfand 2010).
Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan
kriteria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan
44
keadaan koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan
koklea (Abdullah 2006).
2.6.1.1 Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik
Stimulus bunyi keluar dari probe untuk ditransmisikan melalui
telinga luar, di membran timpani rangsang auditori dirubah dari sinyal
akustik menjadi sinyal mekanik dan ditransmisikan melalui tulang-tulang
pendengaran pada telinga tengah; footplate dari tulang stapes akan
bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan
gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut
menggetarkan membran basilaris dimana setiap bagian dari membran
basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam rentang tertentu
(Campbell 2006).
Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif
terhadap rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang
jauh dari foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan
frekuensi rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali
dan direkam menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan
frekuensi paling tinggi (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).
Pada saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut
bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat yang bersamaan
sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal suara diemisikan kembali melalui
jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga (Campbell 2006;
Møller 2006).
45
Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan
telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis gelombang bunyi.
Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga
bagian dalam kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai
kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan
kemampuan sel-sel rambut yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang
sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru
terangsang pada tekanan bunyi yang lebih kecil. Sel-sel rambut luar
secara serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan
cara gerakan mekanis. Proses gerakan inilah yang diperkirakan
merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam (Møller 2006).
2.6.1.2 Tujuan dan syarat pemeriksaan
Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai
keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil
pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006):
a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, bayi atau individu
dengan gangguan perkembangan).
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.
c. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura).
Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur,
bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan
respon tingkah laku.
46
Syarat-syarat untuk menghasilkan emisi otoakustik (Campbell 2006):
a. Liang telinga luar tidak obstruksi
b. Liang telinga dengan ditutup rapat dengan probe.
c. Posisi optimal dari probe
d. Tidak ada penyakit telinga tengah
e. Sel rambut luar masih berfungsi
f. Pasien kooperatif
g. Lingkungan sekitar tenang.
Emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditori perifer,
meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal
dari koklea, tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat
mentransmisikan kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh
mikrofon. Emisi otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan
ambang dengar individu (Campbell 2006).
Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada
telinga normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah
evoked otoacoustic emissions (Mainley, Ray & Propper 2008).
2.6.1.3 Jenis-jenis emisi otoakustik
Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara
tanpa adanya rangsangan bunyi ( secara spontan). Respon non
stimulus ini biasanya diukur dalam rentang frekuensi perekaman yang
sempit (< 30 Hz bandwidth) dalam liang telinga luar. Diperlukan
47
perekaman multiple untuk memastikan kemampuan replikasi dan
untuk membedakan respon dari tingkat bising. Perekaman SOAEs
biasanya berada dalam rentang frekuensi 500-7000 Hz. Pada
umumnya, SOAEs terjadi hanya pada 40-50% individu dengan
pendengaran normal. Pada dewasa sekitar 30-60%, pada neonatus
sekitar 25-80%. SOAEs tidak ditemukan pada individu dengan dengan
ambang dengar >30 dB HL. Oleh karena itu, adanya SOAEs biasanya
dianggap sebagai tanda kesehatan koklea, tetapi tidak adanya SOAEs
tidak selalu merupakan tanda kelainan dan juga biasanya tidak
berhubungan dengan adanya tinitus. SOAEs biasanya terjadi pada
frekuensi 1000-2000 Hz, amplitudo antara -5 dan 15 dB SPL.
b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked
otoacoustic emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang
dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat
pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.
c. Distortion product otoacoustic emission (DPOAEs), merupakan emisi
suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.
d. Sustained-frequncy otoacoustic emission (SFOAEs), merupakan emisi
suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan (kontinyu)
(Campbell 2006; Mainley, Ray & Propper 2008).
48
Gambar 2.1. Contoh hasil pemeriksaan OAE (Mainley, Ray & Propper 2008)
2.6.2. Brainstem evoked response audiometry (BERA)
Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) adalah suatu
teknik pengukuran aktivitas atau respon saraf terhadap rangsangan bunyi.
Pemeriksaan BERA pertama sekali dilaporkan oleh Sohmer dan
Feinmesswer pada tahun 1967, yang kemudian dijelaskan lebih detail oleh
Jewett
dan
Wilson
pada
tahun
1971.
BERA
merupakan
tes
elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level
dari sistem pendengaran mulai dari koklea sampai korteks. BERA
ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik atau bip) yang dikirim oleh
suatu transduser akustik dalam bentuk earphone atau headphone (Hall III
& Antonelli 2006).
49
Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah dalam bentuk
gelombang yang diukur dengan menggunakan elektroda permukaan yang
dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau pada
lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat
objektif (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006).
Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam
waktu 10 msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (7090 dBnHL). Bentuk puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan
angka Romawi, yaitu gelombang I-VII (Bhattcharrya 2006). Komponen
gelombang:
a.
Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf
pada daerah distal saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal
dari aktivitas afferen dari serabut saraf VIII.
b.
Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII.
c.
Gelombang III: berasal dari nukleus koklearis.
d.
Gelombang IV: berasal dari kompleks olivaris superior.
e.
Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior dan lemniskus lateral.
Gelombang ini paling sering dianalisa dalam aplikasi klinis BERA.
f.
Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari korpus genikulatum
medialis, tetapi lokasi pastinya masih belum jelas.
50
Gambar 2.2. Gelombang BERA normal (Bhattcharrya 2006)
51
Mekanisme
pemeriksaan
BERA
adalah
dengan
memberikan
rangsangan bunyi melalui headphone yang telah diatur pada level kontrol
akan menempuh perjalanan melalui koklea nukleus koklearis
nukleus olivarius superior lemniskus lateral kolikulus inferior
korteks auditorius di lobus temporal otak. Respon yang diberikan akan
diterima oleh elektroda-elektroda yang ditempelkan pada kulit dan
diteruskan ke komputer sehingga hasilnya dapat dilihat di layar komputer.
Penilaian BERA (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006)
a. Masa laten absolut gelombang I, III, V.
Masa laten absolut gelombang I,III,V adalah waktu yang diperlukan
dari pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I, III, V.
b. Interwave latency I-III, III-V, I-V.
Merupakan waktu yang diperlukan dari gelombang I ke gelombang III,
dari gelombang III ke gelombang V dan dari gelombang I ke
gelombang V.
c. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency)
Yaitu perbedaan masa laten gelombang V antara telinga kanan
dengan telinga kiri, yang kadang-kadang juga pada gelombang III.
Rata-rata perbedaan bervariasi antara 0,2 ms - 0,6 ms.
d. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity
function)
Dalam menilai sensitivitas dari pendengaran yaitu dengan menilai
gelombang V BERA, oleh karena gelombang V berhubungan dengan
52
ambang audiometri behavioral. Hal ini dapat lengkap terlihat dengan
memakai intensitas stimulus `klik`. Semakin kecil intensitas yang
diberikan,
maka
gelombang
BERA
akan
menghilang
kecuali
gelombang V yang dapat terlihat sampai pada level 5-20 dB.
e. Rasio amplitudo gelombang V/I.
Pengukuran rasio amplitudo gelombang V/I adalah untuk menilai
integritas batang otak. Amplitudo gelombang I dan V diukur kemudian
dibandingkan. Pada kondisi normal orang dewasa gelombang V harus
lebih besar dari gelombang I dengan hasil > 1,0. Pada kasus kelainan
retrokoklea, ratio amplitudo gelombang V/I akan menurun yaitu