Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Bij Kakao Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Komoditas Kakao di Indonesia
Penelusuran tentang sejarah tanaman kakao melalui publikasi yang
tersedia menunjukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di
Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Tanaman kakao pertama kali
dibudidayakan serta digunakan sebagai bahan makanan dan minuman cokelat oleh
Suku Maya dan Suku Aztec. Bangsa Spanyol memperkenalkan kakao di
Indonesia pada tahun 1560 di Sulawesi (Wahyudi dan Rahardjo, 2008).
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama di dunia.
Komoditas ini dicari karena merupakan bahan baku pembuatan cokelat. Biji
kakao yang telah mengalami serangkaian proses pengolahan sehingga bentuk dan
aromanya seperti yang ada di pasaran sekarang. Banyak sekali produk dengan
bahan baku cokelat yang sangat familiar dengan kehidupan modern saat ini,
seperti kue cokelat, ice cream cokelat, ataupun minuman cokelat (Jauhari dan
Wirjodirdjo, 2010).
Pada abad modern seperti saat ini hampir semua orang mengenal cokelat
yang merupakan bahan makanan favorit, terutama bagi anak-anak dan remaja.
Salah satu keunikan dan keunggulan makanan dari cokelat karena sifat cokelat
dapat meleleh dan mencair pada suhu permukaan lidah. Bahan makanan dari
cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di dalamnya terdapat protein
dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Faktor pembatas utama konsumsi

cokelat sehari-hari oleh masyarakat adalah harganya relatif tinggi dibandingkan
dengan bahan makanan lainnya (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,
2005).

Universitas Sumatera Utara

Biji buah kakao/coklat yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang
disebut sebagai coklat bubuk. Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat
berbagai macam produk makanan dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji
dapat difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Biji kakao dapat diproduksi
menjadi empat jenis produk kakao setengah jadi seperti cocoa liquor, cocoa
butter, cocoa cake, cocoa powder dan cokelat. Pasar cokelat merupakan
konsumen terbesar dari biji kakao dan produk setengah jadi seperti cocoa powder
dan cocoa butter. Cocoa powder umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa
pada biscuit, ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan
sebagai pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga
dikunsumsi oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan
cokelat dan permen, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun
dan kosmetika (Ragimun, 2013).
Dari tahun ke tahun konsumsi kakao dunia terus meningkat. Selain karena

adanya pertambahan jumlah penduduk dunia, pengaruh perbaikan ekonomi atau
tingkat kesejahteraan masyarakat ikut berperan dalam peningkatan konsumsi
kakao dan olahannya. Konsumsi kakao dunia didominasi oleh negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat atau negara-negara industri dengan pendapatan
perkapita jauh di atas US$ 1.000 (Panggabean dan Satyoso, 2008).
Berdasarkan identifikasi lapangan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan
dan data tahun 2008, diketahui kurang lebih 70.000 ha kebun kakao dengan
kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif, dan terkena serangan hama dan
penyakit dengan tingkat serangan berat sehingga perlu dilakukan peremajaan,
235.000 ha kebun kakao dengan tanaman yang kurang produktif dan terkena

Universitas Sumatera Utara

serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang sehingga perlu
dilakukan rehabilitasi dan 145.000 ha kebun kakao dengan tanaman tidak terawat
serta kurang pemeliharaan sehingga perlu dilakukan intensifikasi.
Serangan hama penyakit utama adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan
penyakit

Vascular


Streak

Dieback

(VSD)

mengakibatkan

menurunnya

produktivitas menjadi 660 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang
pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Hal ini mengakibatkan kehilangan hasil sebesar
184.500 ton/thn atau setara dengan Rp 3,69 triliun per tahun. Selain menurunkan
produktivitas, serangan tersebut menyebabkan mutu kakao rakyat rendah sehingga
ekspor biji kakao ke Amerika Serikat mengalami pemotongan harga sebesar US$
301,5/ton. Rendahnya mutu kakao menyebabkan citra kakao Indonesia menjadi
kurang baik di pasar internasional (Ditjenbun, 2012).
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang
peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai

penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu
kakao

juga

berperan

dalam

mendorong

pengembangan

wilayah

dan

pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah
menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala
keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI)

serta memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan
setelah minyak sawit dan karet (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2005).
Sementara menurut KPPU (2009), Pengembangan komoditas kakao di
Indonesia menghadapi beberapa permasalahan antara lain masih rendahnya

Universitas Sumatera Utara

produktivitas komoditas kakao yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : (a)
penggunaan benih asalan, belum banyak digunakan benih unggul (b) masih
tingginya serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum
ditemukan klon kakao yang tahan terhadap hama PBK (c) sebagian besar
perkebunan berupa perkebunan rakyat yang dikelola masih dengan cara
tradisional dan (d) umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun
jauh di atas usia paling produktif 13-19 tahun.
Permasalahan lain menurut KPPU (2009) adalah rendahnya mutu biji
kakao indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan produk kakao
yang masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi)
sehingga mutu kakao Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan 4).
Akibat mutu rendah harga biji dan produk kakao Indonesia sangat rendah di pasar

internasional dan terkena diskon hingga USD 200/ton atau 10-15% dari harga
pasar.
Dalam perekonomian regional, sektor ekonomi kakao mempunyai
keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses
produksinya memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan
sejumlah output yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan
akhir berupa konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input
produksi sektor ekonomi lainnya (Herman, 2007).
Saat ini, industri hilir kakao di Indonesia masih belum berkembang dan
beroperasi secara optimal. Hal ini karena sebagian besar besar kakao yang
diekspor masih dalam bentuk komoditas primer. Kakao dalam bentuk komoditas

Universitas Sumatera Utara

primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian akan diinput sebagai
kerugian (Dradjat dan Wahyudi, 2008).
Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah
karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavor,
dan rendahnya kadar lemak sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapatkan
potongan harga cukup tinggi sekitar 15% dari rata-rata harga kakao dunia

(Departemen Perindustrian, 2007).
Perkembangan harga kakao merupakan aspek yang kompleks karena
banyak faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya harga. Selama ini faktor
pasokan kakao relatif paling berpengaruh terhadap pembentukan harga. Untuk
Indonesia, dijumpai indikasi adanya ketidaksinkronan harga di pasar spot di
tingkat produsen yaitu di Makassar dengan harga yang terjadi di bursa New York
Board on Trade (NYBOT) sebagai pasar acuan (Firdaus dan Ariyoso, 2010).
Selanjutnya hasil studi Firdaus dan Aryoso (2010), juga menyimpulkan
bahwa tidak terdapat keterpaduan harga yang kuat baik dalam jangka panjang
maupun jangka pendek antara pasar kakao spot di Makassar dengan bursa
berjangka di NYBOT. Pergerakan harga kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga
kakao di NYBOT, konsumsi kakao dunia serta kurs Rupiah terhadap US Dollar.
Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk menggenjot produksi
kakao dan pendapatan dari ekspor komoditas kakao. Dari sektor hulu pemerintah
meluncurkan Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao
(Gernas Kakao). Gernas Kakao ini urgent untuk dilaksanakan karena tanaman
kakao di Indonesia rata-rata telah berumur tua dan sudah tidak produktif. Gernas
kakao terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu: peremajaan, rehabilitasi dan

Universitas Sumatera Utara


intensifikasi. Tujuan program ini adalah untuk memperbaiki kondisi kebun yang
tanamannya sudah tua, rusak, tidak produktif, dan terserang berat oleh hama dan
penyakit (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012).
Sedangkan dari sektor hilir, pemerintah menerapkan kebijakan pengenaan
bea keluar terhadap ekspor biji kakao. Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin
pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan kakao di dalam negeri
serta mendorong berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia.
Kebijakan ini dituangkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar
dan Tarif Bea Keluar.
Upaya-upaya peningkatan daya saing kakao berkaitan langsung dengan
program pengembangan industri nasional. Sebagaimana yang dilakukan
pemerintah, strategi pengembangan industri kakao nasional terbagi menjadi dua
kategori yaitu dari sisi penawaran (supply) dan yang kedua dari sisi permintaan
(demand). Sisi supply dimaksudkan kakao nasional berupa intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan kakao nasional, pengembangan bahan baku kakao,
peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penyediaan insentif bagi investasi
produk-produk berbahan baku kakao atau powder cocoa nasional serta
kemudahan


dalam

permodalan.

Sedangkan

dari

sisi

demand

berupa

pengembangan kualitas kakao nasional, adanya diversifikasi produk dari kakao,
pengembangan dan perluasan pasar domestik serta pengembangan dan perluasan
pasar luar dan dalam negeri melalui berbagai pameran, promosi maupun expo
(Ragimun, 2013).


Universitas Sumatera Utara

Selama ini industri pengolahan kakao lebih banyak berada di negaranegara Eropa dan Amerika sehingga nilai tambah tidak dinikmati Indonesia
sebagai penghasil biji kakao. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao
dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di
Indonesia yang pada gilirannya ekspor komoditas kakao meningkat nilai
tambahnya (Kementerian Keuangan, 2013).

2.2. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang berhubungan dengan analisis faktorfaktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao antara lain:
Arsyad (2004), dalam penelitiannya Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap
Produksi dan Ekspor Kakao Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi ekspor kakao adalah harga ekspor kakao tahun sebelumnya,
pertumbuhan produksi, nilai tukar rupiah tahun sebelumnya dan trend waktu.
Dampak kebijakan ekonomi berupa subsidi harga pupuk, depresiasi
rupiah, penerapan pajak ekspor, kuota ekspor dan perubahan faktor eksternal
menyebabkan perubahan perilaku produksi dan ekspor kakao, perubahan
kesejahteraan masyarakat dan devisa ekspor.
Semartoto (2004), dengan penelitiannya Dampak Kebijakan Ekonomi
terhadap Perkembangan dan Ekspor Kakao Indonesia dengan menggunakan

rumus simultan menghasilkan kesimpulan bahwa dalam jangka pendek, ekspor
kakao Indonesia kurang responsif terhadap perubahan produksi kakao Indonesia
dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika. Sedangkan dalam jangka panjang
responsif terhadap perubahan produksi kakao Indonesia. Produksi kakao sangat
mempengaruhi ekspor kakao Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Sementara itu depresiasi rupiah terhadap Dollar Amerika menyebabkan
ekspor kakao Indonesia dan harga kakao domestik meningkat. Peningkatan ekspor
ini mendorong negara-negara pengimpor utama Indonesia meningkatkan impor
kakao. Sedangkan peningkatan harga kakao domestik menyebabkan konsumsi
kakao menurun, tapi luas areal kakao dan produksi kakao Indonesia meningkat.
Nurhidayani, et al (2006) meneliti tentang Penawaran Ekspor Kakao di
Indonesia dengan metode kuantitatif yang menggunakan model ekonometrika
dengan menggunakan persamaan tunggal (single equation) dalam persamaan
model regresi linier berganda, mendapatkan hasil faktor-faktor yang berpengaruh
secara signifikan terhadap penawaran ekspor kakao Indonesia adalah produksi
kakao domestik, harga kakao domestik, dan nilai tukar.
Syarfi, et al (2008), melakukan peneltian dengan metode studi kasus yang
dilaksanakan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota
tentang potensi pengembangan industri pengolahan kakao di Sumatera Barat
menemukan bahwa permasalahan untuk pengembangan industri pengolahan
kakao adalah; (a) produktivitas dan kualitas kakao rakyat masih rendah.
Penyebab rendahnya produksi kakao adalah (1) mutu benih rendah, (2) serangan
hama Hellopeltis, PBK, dan jamur phytoptora yang belum dikendalikan secara
optimal, (3) pemangkasan dan pemeliharaan tidak optimal, (4) pemupukan belum
dilakukan sesuai rekomendasi. (b) Penerapan teknologi pascapanen dan
pengolahan kakao di sentra produksi masih dilakukan dengan alat-alat yang
sederhana. Ketersediaan kotak fermentasi di Kabupaten Lima Puluh Kota dan
Kabupaten Padang Pariaman belum dimanfaatkan secara efektif untuk
menghasilkan biji kakao fermentasi. Disamping itu, ketersediaan alat dan mesin

Universitas Sumatera Utara

pengolahan kakao yang diberikan oleh pemerintah belum dimanfaatkan untuk
pengolahan hasil kakao rakyat.
Hariyadi, et al (2009), dalam penelitiannya Identifikasi Permasalahan dan
Solusi Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Luwu Utara
Provinsi Sulawesi Selatan menemukan bahwa permasalahan yang dihadapi petani
kakao adalah kondisi tanaman yang sudah tua, serangan hama penggerek buah
kakao (PBK), penyakit kanker batang dan busuk buah. Peran dan fungsi
kelembagaan di tingkat petani (kelompok tani) masih terbatas jika ada
program/proyek pemerintah. Peran kelompok tani masih terbatas pada kegiatan
pemeliharaan tanaman sementara peran sebagai penyedia sarana produksi dan
pemasaran hasil kakao masih belum dilakukan. Permasalahan kelembagaan
lainnya adalah terbatasnya tenaga penyuluh lapangan, baik jumlah maupun
kompetensinya.
Maswadi (2011), dalam jurnalnya yang berjudul Agribisnis Kakao dan
Produk Olahannya Berkaitan dengan Kebijakan Tarif Pajak di Indonesia
menyimpulkan bahwa setiap pelaku yanng terlibat dalam subsistem agribisnis
kakao masih dapat meningkatkan pendapatan karena pasar kakao masih terbuka
untuk produk kakao yang hendak dipasarkan, hanya saja bagi petani dan
pengusaha agroindustri perlu dengan teliti mengetahui dan memperhatikan
standart mutu kakao yang ada di pasaran.
Kebijakan fiskal oleh pemerintah telah memacu peningkatan produksi
dalam negeri namun produktivitas hasil semakin menurun karena petani
perkebunan kakao sudah tidak memperhatikan kualitas kebun, berusaha menekan
hama dan penyakit serta kualitas buah yang dipanen

Universitas Sumatera Utara

Arsyad, et al (2011) dalam penelitiannya yang menganalisis dampak
kebijakan pajak ekspor dan subsidi harga pupuk terhadap produksi dan ekspor
kakao Indonesia menyimpulkan bahwa (1) faktor-faktor yang secara potensial
mempengaruhi ekspor kakao Indonesia adalah harga ekspor kakao Indonesia,
pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah dan trend waktu; (2) rencana
pemberlakuan pajak ekspor berdampak negatif menurunkan volume produksi dan
ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Uruguay sementara rencana kebijakan
pemberian subsidi harga pupuk berdampak positif meningkatkan produksi dan
ekspor kakao Indonesia. Implikasinya adalah bahwa kebijakan subsidi harga
pupuk masih dapat diharapkan sebagai strategi kunci untuk memacu produksi dan
ekspor kakao Indonesia.

2.3.

Landasan Teori

2.3.1. Teori Penawaran
Penawaran suatu komoditas adalah jumlah komoditas yang bersedia
ditawarkan oleh produsen pada pasar dengan tingkat harga dan waktu tertentu.
Harga dan jumlah komoditas yang ditawarkan berhubungan secara positif dengan
semua faktor yang lain tetap sama, jika harga barang naik maka jumlah yang
ditawarkan akan meningkat dan sebaliknya.
Menurut Sukirno (2011) Hukum penawaran adalah suatu pernyataan yang
menjelaskan tentang sifat hubungan antara harga sesuatu barang dan jumlah
barang tersebut yang ditawarkan para penjual. Dalam hukum ini dijelaskan
bagaimana keinginan para penjual untuk menawarkan barangnya apabila harganya
tinggi dan bagaimana pula keinginan untuk menawarkan barangnya tersebut
apabila harganya rendah.

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu komoditas
secara umum adalah harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain sebagai
alternatif, biaya produksi, tujuan perusahaan, dan tingkat penggunaan teknologi
yang digunakan.
1. Harga komoditas
Hipotesis dasar ekonomi menyatakan bahwa hubungan antara harga suatu
komoditas dengan jumlah penawarannya memiliki hubungan positif, artinya
semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin besar pula jumlah yang
ditawarkan, demikian pula sebaliknya, cateris paribus. Dengan adanya
peningkatan harga maka akan merangsang produsen untuk meningkatkan
produksinya dan menjualnya dengan tujuan peningkatan keuntungan.
Elastisitas harga untuk penjualan merupakan gambaran dari seberapa jauh
kepekaan jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga itu sendiri. Elastisitas
untuk penawaran adalah positif, ini berarti semakin besar elastisitas harga untuk
penawaran semakin peka jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga produk
itu sendiri.
2. Harga komoditas lain
Komoditas lain yang merupakan alternatif dapat berupa komoditas
komplemen (joint product) ataupun komoditas substitusi (competitive product).
Antara komoditas dengan produk komplemennya memiliki hubungan elastisitas
penawaran positif. Sehingga peningkatan harga suatu produk komplemen akan
menurunkan jumlah penawaran komoditas tersebut. Jika terjadi peningkatan harga
terhadap suatu produk substitusi maka akan meningkatkan jumlah penawaran

Universitas Sumatera Utara

komoditas. Hal ini disebabkan adanya hubungan elastisitas penawaran yang
negatif antara komoditas dengan produk substitusinya.
3. Biaya produksi
Biaya produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
Semakin tinggi biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan akan menurunkan
laba yang diterima perusahaan tersebut. Hal ini akan menyebabkan perusahaan
menurunkan produksinya. Sehingga biaya produksi yang mengalami peningkatan
akan menurunkan jumlah komoditas yang ditawarkan.
4. Tujuan perusahaan
Jumlah komoditas yang ditawarkan juga tergantung pada tujuan
perusahaan. Tidak semua perusahaan memiliki tujuan untuk memaksimumkan
keuntungan. Perusahaan yang mementingkan volume produksi akan menghasilkan
dan menjual lebih banyak atau meningkatkan penawaran.
5. Tingkat penggunaan teknologi
Penggunaan teknologi baru akan meningkatkan efisiensi waktu dan tenaga
serta meningkatkan modal. Peningkatan modal tersebut berasal dari peningkatan
penerimaan dan penurunan biaya pada penggunaan faktor produksi yang sama.
Hal ini menyebabkan peningkatan penawaran (cateris paribus) sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan korelasi positif antara teknologi dengan jumlah
penawaran.

2.3.2. Teori Perdagangan Internasional
Dasar dalam perdagangan internasional adalah adanya perdagangan barang
dan jasa antara dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan. Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan

Universitas Sumatera Utara

penawaran dan permintaan suatu negara dengan negara lain. Suatu negara tidak
dapat menghasilkan semua komoditas atau barang yang dibutuhkan oleh
rakyatnya dan adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditas
tertentu. Pada umumnya perdagangan internasional terjadi karena keinginan suatu
negara untuk meningkatkan penerimaan devisa dan memperluas pasar komoditas
ekspor.
Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran
(supply) dan permintaan (demand). Dalam teori Perdagangan Internasional
(Global Trade) disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat
dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obstfeld, 2000).
Melakukan ekspor dan impor merupakan kegiatan yang cukup penting di
setiap negara. Di sebagian negara, ekspor dan impor meliputi bagian yang cukup
besar dalam pendapatan nasional sedangkan di beberapa negara lain hanya
merupakan bagian yang kecil saja dari pendapatan nasional. Beberapa keuntungan
perdagangan internasional adalah memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi
di dalam negeri, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, memperluas pasar
industri-industri dalam negeri, dan menggunakan teknologi modern dan
meningkatkan produktivitas (Sukirno, 2012).
Batas suatu negara dengan sendirinya membatasi kemampuan alamiah
negara tersebut untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Negara, seperti juga
daerah atau perorangan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan
perdagangan internasional. Spesialisasi berarti bahwa setiap negara terterntu
menghasilkan produk spesialisasinya lebih banyak daripada yang akan
dikonsumsi oleh rakyatnya sementara produk lain yang juga dibutuhkan rakyatnya

Universitas Sumatera Utara

hanya diproduksi di dalam negeri dalam jumlah sedikit atau bahkan tidak
diproduksi sama sekali (Lipsey, et al, 1993).

2.3.3. Penawaran Ekspor
Volume ekspor suatu komoditas dari negara tertentu ke negara lain
merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang
disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Pada pihak lain, kelebihan
penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain
atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand).
Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri,
jumlah komoditas itu sendiri dan komoditas substitusinya di pasar internasional
serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kurva penawaran ekspor komoditas suatu negara merupakan kurva
kelebihan penawaran, yaitu selisih antara penawaran dan permintaan komoditas di
dalam suatu negara. Dengan demikian kurva kelebihan penawaran dari negara
tersebut merupakan kurva penawaran ekspor di pasar internasional (Kindlerberger
dan Lindert, 1982 dalam Semartoto, 2004). Dapat dikatakan juga bahwa
penawaran ekspor suatu negara merupakan penawaran produsen melebihi
permintaan konsumen negara tersebut.
Analisis terhadap penawaran ekspor dapat dilakukan dengan menurunkan
kurva penawaran ekspor yang pada dasarnya diperoleh dari kurva penawaran dan
permintaan domestik seperti disajikan pada Gambar 5. Jika harga suatu barang
meningkat, produsen akan menawarkan lebih banyak barang sehingga penawaran

Universitas Sumatera Utara

yang tersedia untuk ekspor meningkat. Misalkan penawaran ekspor dilakukan
oleh negara domestik.

Sumber : Krugman dan Obstfeld, 2004.

Gambar 5. Penurunan Kurva Penawaran Ekspor

Pada saat harga P1, penawaran produsen domestik sebesar S1, sementara
itu permintaan konsumen domestik hanya sebesar D1. Jadi jumlah dari seluruh
penawaran yang dimungkinkan untuk diekspor adalah S1-D1. Pada tingkat harga
P2, terjadi peningkatan jumlah penawaran oleh produsen domestik menjadi S2 dan
jumlah permintaan konsumen domestik menjadi turun sebesar D2. Jumlah total
yang dimungkinkan untuk diekspor adalah sebesar S2-D2.
Penawaran komoditas yang memungkinkan untuk diekspor akan
meningkat sejalan dengan meningkatnya harga, kurva penawaran ekspor domestik
XS adalah upward sloping. Pada saat harga PA, penawaran dan permintaan akan
sama dengan tidak ada perdagangan, jadi kurva penawaran ekspor dimulai pada
saat harga PA (penawaran ekspor sama dengan nol pada tingkat harga PA).
Ketika harga domestik suatu komoditas turun maka produsen/eksportir
akan meningkatkan penjualan/ ekspornya ke luar negeri. Sedangkan jika harga
domestik naik maka produsen/eksportir suatu komoditas akan mengurangi volume

Universitas Sumatera Utara

ekspornya dan lebih mengutamakan penjualan di dalam negeri. Hal ini dilakukan
untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya.
Sebaliknya

ketika

harga

internasional

suatu

komoditas

naik,

produsen/eksportir akan meningkatkan volume ekspornya sedangkan jika harga
internasional turun maka produsen/eksportir akan menurunkan volume ekspornya
ke luar negeri. Hal ini juga dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan yang
diperoleh dari perdagangan komoditas.
Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap suatu komoditas juga
dapat mempengaruhi kurva penawaran terhadap komoditas tersebut. Menurut
Kementerian Pertanian (2011) di Indonesia ada beberapa jenis pajak yang
diberikan terhadap komoditas pertanian yang akhir-akhir ini menjadi isu utama
yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Keluar (BK) yang sebelumnya
disebut Pajak Ekspor. Kedua jenis pajak tersebut mempunyai tujuan berbeda yaitu
PPN lebih bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak sementara
BK

lebih

bertujuan

untuk

mencukupi

kebutuhan

dalam

negeri

dan

mengembangkan industri hilir dengan menghambat ekspor komoditas yang
menjadi bahan baku industri hilir yang ingin dikembangkan tersebut.

2.4. Kerangka Pemikiran
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memproduksi biji
kakao. Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji
kakao seharusnya mampu meningkatkan produksinya untuk menjadi produsen biji
kakao terbesar di dunia. Dengan tingginya produksi biji kakao, Indonesia juga
harus berupaya agar dapat menjadi eksportir biji kakao dan olahannya yang
terbesar di dunia.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
penawaran ekspor biji kakao Indonesia secara kualitatif dan kuantitatif. Metode
kualitatif untuk melihat perkembangan ekspor biji kakao dapat dianalisis dengan
metode deskriptif berdasarkan perkembangan volume ekspor biji kakao.
Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi ekspor biji kakao Indonesia yang dilakukan dengan analisis regresi
berganda. Selanjutnya akan diestimasi dengan menggunakan metode Ordinary
Least Square (OLS). Variabel-variabel yang diestimasi mempengaruhi penawaran
ekspor dalam penelitian ini antara lain: produksi biji kakao Indonesia, harga
domestik biji kakao, harga internasional biji kakao, ekspor biji kakao tahun
sebelumnya, dan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar terhadap
ekspor biji kakao Indonesia (dummy). Pengujian hipotesis dilakukan satu arah
dimana hasil dari pengujian nantinya ditentukan di depan apakah arahnya positif
atau negatif.
Produksi biji kakao Indonesia diduga berpengaruh karena bila produksi
biji kakao dalam negeri tidak diolah seluruhnya di dalam negeri maka kelebihan
ini dapat ditawarkan ke negara lain melalui kegiatan ekspor. Harga biji kakao
domestik dan harga biji kakao internasional digunakan dalam penelitian ini karena
dalam hukum penawaran, harga dapat mempengaruhi jumlah penawaran.
Jumlah ekspor biji kakao pada tahun sebelumnya digunakan sebagai faktor
yang mempengaruhi karena naik turunnya jumlah ekspor biji kakao pada tahun
berjalan dapat diperkirakan oleh jumlah ekspor biji kakao pada tahun sebelumnya.
Sedangkan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar terhadap ekspor
biji kakao digunakan sebagai variabel yang diduga turut mempengaruhi ekspor

Universitas Sumatera Utara

biji kakao karena akan menambah biaya bagi eksportir yang langsung mengekspor
biji kakao jika dibandingkan dengan menjual biji kakao di dalam negeri atau
mengekspornya setelah melalui pengolahan. Kebijakan ini diperkirakan akan
mempengaruhi sikap eksportir dalam kegiatan ekspor biji kakao.
Selain itu, dengan adanya kebijakan penerapan bea keluar terhadap biji
kakao akan membatasi para eksportir untuk melakukan ekspor bahan mentah
berupa biji kakao. Pembatasan bahan mentah ini akan merangsang bagi industri
pengolahan kakao di dalam negeri untuk meningkatkan investasi dan kapasitas
pengolahannya.

Produksi Biji Kakao

Harga Domestik Biji Kakao

Harga Internasional Biji
Kakao

Ekspor Biji Kakao Indonesia

Ekspor Biji Kakao Tahun
Sebelumnya
Kebijakan Bea Keluar Biji
Kakao

Gambar 6. Alur Kerangka Berfikir

Kebutuhan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor
biji kakao Indonesia penting untuk diketahui guna penyusunan kebijakan strategis
yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pendapatan

Universitas Sumatera Utara

dan nilai tambah dari ekspor kakao. Alur Kerangka Berfikir disajikan pada
Gambar 6.

2.5 Hipotesis Penelitian
1. Produksi biji kakao, harga internasional biji kakao dan ekspor biji kakao
tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap ekspor biji kakao
Indonesia.
2. Harga biji kakao domestik dan kebijakan pemerintah berupa penerapan
bea keluar terhadap ekspor biji kakao berpengaruh negatif terhadap jumlah
ekspor biji kakao Indonesia.

Universitas Sumatera Utara