Evaluasi Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku) di Museum Pusaka Karo

(1)

2.1 Museum

Museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan dan kesenangan. Karena itu ia bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif pada masa depan.

Sejak tahun 1977, setiap tanggal 18 Mei diperingati sebagai Hari Museum Internasional. Pengertian museum dalam Direktorat Museum (2008, 15) yaitu:

Sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan pengembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya.

Definisi menurut ICOM (International Council of Museum / Organisasi Permuseuman Internasional dibawah UNESCO ) museum merupakan suatu badan yang mempunyai tugas dan kegiatan untuk memamerkan dan menerbitkan hasil-hasil penelitian dan pengetahuan tentang benda-benda yang penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Magetsari (2009, 8) berpendapat bahwa koleksi museum dipandang sebagai representasi dari identitas dan akar budaya, sehingga ahli museologi harus terlebih


(2)

dahulu mengungkapkan identitas, akar budaya, dan makna koleksi. Pendapat lain dalam ICOM code ethics for museum juga menyatakan bahwa:

museum collections reflect the cultural and natural heritage of the communities from which they have been derived. As such, they have a character beyond that of ordinary property, which may include strong affinities with national, regional, local, ethnic, religious or political identity. It is important therefore that museum policy is responsive to this situation (ICOM, 2006: 9).

Pendapat tersebut mengemukakan bahwa museum merupakan cerminan budaya yang memiliki karakter dan kekhasan tersendiri, koleksi museum mencerminkan warisan budaya dan alam masyarakat dari mana mereka berasal, yang mungkin termasuk afinitas yang kuat dengan identitas nasional, regional, lokal, etnis, agama atau politik.

Koleksi museum menurut ICOM juga harus merefleksikan warisan budaya dan alam suatu komunitas yang dilayaninya. Koleksi tersebut dapat memperkuat identitas nasional, regional, lokal, etnik, religi, dan politik. Ali Akbar (2010) memberikan definisi tentang museum yaitu

tempat menyimpan koleksi baik alam maupun budaya dan aktivitas yang bertujuan untuk dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh masyarakat umum, maka terkandung makna pemanfaatan museum dapat digunakan untuk aktivitas penelitian yang dilakukan di museum, baik terhadap koleksi benda museum, pengunjungnya, masyarakat di sekitar museum, maupun terhadap aktivitas pengelolaannya yang meliputi organisasi, kepemimpinan, sarana dan prasarana, pameran, dan lainnya. Lebih lanjut Ali Akbar menjelaskan bahwa museum dapat berupa ruangan, anjungan, keraton, istana, benteng, kompleks makam, rumah adat, rumah pribadi, tempat bersejarah, monument, laboratorium pusat atau unit atau tempat apapun sepanjang pengelola menyebutnya sebagai museum. Tempat-tempat tersebut dapat saja berbadan hukum ataupun tidak dan dapat saja dikelola oleh pemerintah, ataupun perusahaan, perorangan, organisasi resmi, perkumpulan mandiri, dan lainnya.


(3)

Pendapat tersebut jelas menyatakan bahwa museum suatu tempat dimana koleksi budaya milik manusia dari suatu masa dan wilayah disimpan, dipamerkan dan dirawat keberadaannya untuk berbagai kepentingan aktivitas masyarakat seperti pendidikan, rekreasi dan kesenangan semata, ditambahkan dengan aktivitas penelitian baik yang dilakukan oleh intern museum sendiri maupun masyakarat khususnya pengunjung yang datang untuk penelitian.

Museum mempunyai peranan yang cukup penting dalam rangka kegiatan kerjasama kebudayaan. Untuk menangani berbagai hal mengenai museum, maka didirikanlah ICOM (International Council Of Museum) yang antara lain bertujuan:

1. Membantu museum-museum.

2. Menyelenggarakan kerjasama antar museum dan antar-anggota profesi permuseuman.

3. Mendorong pentingnya peranan museum dan profesi permuseuman dalam tiap paguyuban hidup dan memajukan pengetahuan dan saling pengertian antar bangsa yang makin luas.

ICOM telah merumuskan definisi atau batasan museum sebagai suatu lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya. Adapun batasan museum:

1. Museum merupakan badan tetap, tidak mencari keuntungan dan harus terbuka untuk umum.

2. Museum merupakan lembaga yang melayani masyarakat untük kepentingan perkembangannya.

3. Museum memperoleh atau menghimpun barang-barang pembuktian tentang manusia dan lingkungannya.


(4)

4. Museum memelihara dan mengawetkan koleksinya untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dengan pengunjung.

5. Kegiatan-kegiatan museum di belakang layar dan kegiatan yang kelihatan oleh umum, seperti hasil penerbitan, pameran, ceramah dan peragaan kesemuanya itu adalah untuk studi, pendidikan dan kesenangan.

2.1.1 Fungsi Museum

Fungsi museum dalam musyawarah umum ke-11 (11th General Assembley International Council of Museum) pada tanggal 14 Juni 1974 di Denmark, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Pengumpulan dan pengamanan warisan alam dan budaya. 2. Dokumentasi dan penelitian ilmiah.

3. Konservasi dan preservasi.

4. Penyebaran dan perataan ilmu untuk umum. 5. Pengenalan dan penghayatan kesenian.

6. Pengenalan kebudayaan antar-daerah dan antar-bangsa. 7. Visualisai warisan alam dan budaya.

8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia.

9. Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2.1.2 Tugas Museum

Museum sebuah lembaga yang memamerkan dan menerbitkan hasil-hasil penelitian dan pengetahuan tentang benda-benda yang penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan . Adapun tugas yang dijalankan oleh sebuah museum, yakni:

1. Pengumpulan atau penggandaan

Tidak semua benda dapat dimasukkan ke dalam koleksi museum, hanyalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni:

a. Harus mempunyai nilai budaya, ilmiah dan nilai estetika.

b. Harus dapat diidentifikasi mengenai wujud, asal, tipe, gaya dan sebagainya.

c. Harus dapat dianggap sebagai dokumen. 2. Pemeliharaan


(5)

a. Aspek Teknis

Benda-benda materi koleksi harus dipelihara dan diawetkan serta dipertahankan tetap awet dan tercegah dari kemungkinan kerusakan.

b. Aspek Administrasi

Benda-benda materi koleksi harus mempunyai keterangan tertulis yang menjadikan benda-benda koleksi tersebut bersifat monumental.

3. Konservasi

Merupakan usaha pemeliharaan, perawatan, perbaikan, pencegahan dan penjagaan benda-benda koleksi dari penyebab kerusakan.

4. Penelitian

Bentuk penelitian ada 2 macam, yakni: a. Penelitian Intern

Penelitian yang dilakukan oleh kurator untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan museum yang bersangkutan. b. Penelitian Ekstern

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari luar, seperti mahasiswa, pelajar, umum dan laian-lain untuk kepentingan karya ilmiah, skripsi, dan lain-lain.

5. Pendidikan

Kegiatan disini lebih ditekankan pada pengenalan benda-benda materi koleksi yang dipamerkan:

a. Pendidikan Formal

Berupa seminar-seminar, diskusi, ceramah dan sebagainya. b. Pendidikan Non formal

Berupa kegiatan pameran, pemutaran film, slide, dan lain-lain. 6. Rekreasi

Sifat pameran yang mengandung arti untuk dinikmati dan dihayati, yang merupakan kegiatan rekreasi segar, tidak diperlukan konsentrasi yang akan menimbulkan keletihan dan kebosanan.

2.2 Preservasi (Perawatan) Koleksi Tercetak

Museum tidak berhenti sekadar menjadi situs preservasi, tetapi harus menjadi pusat transformasi kebudayaan. Benda-benda di dalam museum terus-menerus harus dikaji sebagai artefak yang mengontekskan masa lalu dengan masa kini. Dalam


(6)

konteks kebudayaan, Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) merupakan tempat menyimpan informasi mengenai serangga bukan saja dari disiplin ilmu dasar biologi tetapi juga dari sudut pandang budaya melalui pemaknaan baru.

Menurut Magetsari (2009: 8) koleksi diperlakukan sebagai representasi dari identitas, dari akar budaya atau mengandung makna-makna lain. Museum tidak hanya melestarikan kemudian memamerkan koleksinya, namun berubah menjadi bagaimana koleksi itu dapat bermakna bagi masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat memberi identitas masyarakat, dan bagaimana masyarakat dapat menemukan kembali akar budayanya.

Jadi koleksi museum mengabadikan serta melestarikan sejarah yang terkandung di setiap unitnya yang harus dijaga dan dirawat agar tidak berkurang nilai estetika dan nilai historisnya.

Menurut Darmono (2001: 71) preservasi mencakup unsur-unsur pengelolaan dan keuangan, termasuk cara menyimpan dan alat-alat bantunya, tingkat dan kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan, kebijaksanaan, teknik dan metode yang diterapkan untuk melestarikan bahan-bahan pustaka dan arsip serta informasi yang dikandungnya.

Dari batasan tersebut kegiatan preservasi mencakup kegiatan yang lebih luas termasuk aspek keputusan dan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tertentu yang berkaitan dengan pelestarian. Preservasi merupakan bagian dari konservasi, preservasi merupakan perawatan yang dilakukan terhadap setiap koleksi tercetak (buku) yang berkelanjutan sehingga koleksi tercetak (buku) terpelihara (konservasi).

Sedangkan preservasi menurut IFLA (International Federation of Library Association) mencakup semua aspek usaha melestarikan bahan pustaka,keuangan, ketenagaan, metode dan teknik serta penyimpanannya. Jadi preservasi dilakukan agar


(7)

koleksi tercetak (buku) tidak mengalami kerusakan, mengingat bahan pustaka yang harganya mahal agar dapat digunakan lebih lama dan menjangkau lebih banyak pembaca bahan pustaka.

Jadi yang dimaksud dengan preservasi dari beberapa uraian diatas yaitu kegiatan ataupun tindakan-tindakan yang dilakukan untuk merawat buku-buku agar tidak mengalami kerusakan serta mencegah kerusakan dengan alat bantu, teknik serta metode sehingga buku dapat digunakan untuk waktu yang lebih lama. Indikator dari preservasi yaitu perawatan yang dilakukan terhadap koleksi tercetak.

2.3 Konservasi (Pelestarian/Pemeliharaan) Koleksi Tercetak

Museum dalam kaitanya dengan warisan budaya adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Pasal 1. (1). PP. No. 19 Tahun 1995). Namun museum dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada umumnya mempunyai arti yang sangat luas. Koleksi museum merupakan bahan atau obyek penelitian ilmiah.

Konservasi secara umum diartikan dengan pelestarian, namun dalam khasanahnya sangat banyak pengertian yang ada dan berbeda pula implikasinya. Konservasi merupakan suatu upaya memelihara, melindungi, dan melestarikan hasil karya. (Sutarno, 2008, p. 108).

Kata konservasi mengandung pengertian suatu kegiatan pemeliharaan sesuatu secara teratur, untuk mencegah terjadinya kerusakan dan pemusnahan, dengan cara


(8)

pengawetan (Balai Pustaka, 2000:589). Sedangkan menurut Darmono (2001:71) konservasi merupakan kebijaksanaan dan cara tertentu yang dipakai untuk melindungi bahan pustaka dan arsip dari kerusakan dan kehancuran, termasuk metode dan teknik yang diterapkan oleh petugas teknis.

Menurut Adishakti (2007) istilah ini biasanya digunakan para arsitek mengacu pada piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981, piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter. Dalam Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang dirumuskan pada Piagam tersebut, yaitu konsep proses pengolahan suatu tempat atau ruang ataupun obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.

Jadi yang dimaksud dengan konservasi (pelestarian/pemeliharaan) dari uraian diatas yaitu pelestarian yang didapatkan dari proses perawatan koleksi sehingga koleksi terhindar kerusakan dan kehancuran sehingga nilai informasi didalamnya terlindungi. Indikator dari konservasi yaitu pelestarian/pemeliharaan yang dilakukan terhadap koleksi tercetak.

2.4 Fungsi Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku)

Tugas pemeliharaan, perawatan, dan pelestarian koleksi tercetak (buku) bukanlah tugas yang mudah. Sejak zaman dahulu pusat informasi seperti perpustakaan lembaga informasi dan museum telah berusaha untuk mencegah dan mengatasi kerusakan koleksi tercetak (buku) yang disebabkan oleh faktor alam, serangga, dan manusia.


(9)

Manusia sebagai pemustaka juga turut andil sebagai faktor perusak koleksi tercetak (buku), maka perlu perhatian khusus bagi pengelola agar pemustaka tidak lagi menjadi perusak koleksi tercetak (buku) dan harus diberdayakan sebagai pihak yang ikut serta dalam pemeliharaan koleksi tercetak (buku).

Menurut Martoatmodjo kegiatan pemeliharaan bahan pustaka memiliki beberapa fungsi antara lain:

1. Fungsi Melindungi

Bahan pustaka dilindungi dari serangga dan binatang kecil tidak akan dmenyentuh dokumen. Manusia tidak akan salah dalam menangani dan memakai bahan pustaka. Jamur tidak akan sempat tumbuh, dan sinar matahari serta kelembaban udara di perpustakaan akan mudah dikontrol.

2. Fungsi Pengawetan

Dengan dirawat baik-baik, bahan pustaka menjadi awet, bisa lebih lama dipakai, dan diharapkan lebih banyak pembaca dapat menggunakan bahan pustaka tersebut.

3. Fungsi Kesehatan

Dengan pelestarian yang baik dan bahan pustaka menjadi bersih, bebas dari debu, jamur, binatang perusak, sumber dan sarang dari berbagai penyakit, sehingga pemakai maupun pustakawan menjadi tetap sehat. Pembaca lebih bergairah membaca dan memakai perpustakaan.

4. Fungsi Pendidikan

Pemakai perpustakaan dan pustakawan sendiri harus belajar bagaimana memakai dan merawat dokumen. Mereka harus menjaga disiplin, tidak membawa makanan dan minuman kedalam perpustakaan, tidak mengotori bahan pustaka maupun ruangan. Mendidik pemakai serta pustakawan untuk berdisiplin tinggi dan menghargai kebersihan.

5. Fungsi Kesabaran

Merawat bahan pustaka ibarat merawat bayi atau orang tua, jadi harus sabar. Bagaimana kita bisa menambal buku berlubang, membersihkan kotoran binatang kecil dan tahi kutu buku dengan baik kalau kita tidak sabar. Menghilangkan noda dari bahan pustaka memerlukan tingkat kesabaran yang tinggi.


(10)

6. Fungsi Sosial

Pelestarian tidak bisa dikerjakan oleh seorang diri. Pustakawan harus mengikutsertakan pembaca untuk tetap merawat bahan pustaka dan perpustakaan, demi kepentingan dan keawetan bahan pustaka.

7. Fungsi Ekonomi

Dengan pelestarian yang baik, bahan pustaka menjadi lebih awet. Keuangan dapat dihemat. Banyak aspek ekonomi lain yang berhubungan dengan pelestarian bahan pustaka.

8. Fungsi Keindahan

Dengan pelestarian yang baik, penataan bahan pustaka yang rapi, perpustakaan tampak menjadi makin indah, sehinggan menambah daya tarik kepada pembacanya.

2.5 Tujuan Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku)

Menurut Martoatmodjo dalam buku Pelestarian Bahan Pustaka dijelaskan tujuan dari preservasi dan konservasi yaitu:

1. Menyelamatkan nilai informasi dokumen, dengan cara melakukan pembatasan-pembatasan layanan, seperti kunjungan dan referensi 2. Menyelamatkan fisik dokumen, melakukan laminasi : suatu tindakan

dengan cara memberikan perlindungan pembungkusan dengan kertas/plastik khusus di setiap halaman dokumen.

3. Mengatasi kendala kekurangan ruang, Sudah menyiapkan ruang-ruang untuk pelestarian dokumen, yang didalam ruangan tersebut sudah disiapkan lemari – lemari yang terbuat dari besi dan dibungkus plastik. 4. Mempercepat perolehan informasi, setiap dokumen siap di layankan

kepada setiap pengguna dengan kondisi yang baik.

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Koleksi Tercetak (Buku)

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kerusakan koleksi. Menurut

Razak (1996, 9) “bahan pustaka mudah mengalami kerusakan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal”. Sebagian besar bahan pustaka koleksi

perpustakaan merupakan bahan tercetak yang umumnya terbuat dari kertas. Bahan dari kertas ini dapat mengalami kerusakan, baik karena faktor eksternal maupun


(11)

internal. Faktor eksternal yang dapat merusak bahan pustaka antara lain jamur, serangga, binatang pengerat, zat kimia bahkan manusia dan lain-lain. Sedangkan faktor internal yang merusak bahan pustaka adalah zat asam yang terkandung dalam kertas, dengan adanya zat asam ini kertas dapat rusak dari dalam, yaitu akibat sisa-sisa zat kimia pada saat pembuatan kertas.

Ada dua faktor penyebab bahan pustaka mudah mengalami kerusakan menurut Razak (1996, 9) yaitu faktor internal dan faktor eksternal tersebut, sebagai berikut:

2.6.1 Faktor Internal

Kerusakan yang terjadi pada bahan buku sendiri, yakni pada kertas, tinta cetak, perekat, dan pengawet perekat yang tidak baik kualitasnya, dan pada benang penjilidan yang tidak serasi dengan sampul. Kerusakan pada bahan perpustakaan non-buku seperti kaset, disket, piringan hitam, CD ROM, dan pustaka renik juga disebabkan oleh kualitas bahannya yang tidak baik atau tidak cocok. Pemrosesan bahan non-buku yang kurang baik menyebabkan mudah tercemari oleh jasad renik sehingga bahan non-buku mudah rusak.

2.6.2 Faktor Eskternal

Faktor eksternal yaitu kerusakan bahan pustaka yang disebabkan oleh faktor luar dari buku, dapat dibagi dalam faktor lingkungan, faktor manusia, dan bencana alam.


(12)

2.6.2.1Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan adalah faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan koleksi yang disebabkan oleh pengaruh dari lingkungan disekitarnya, antara lain:

1. Kerusakan oleh Cahaya

Cahaya adalah suatu bentuk energi elektromagnetik yang berasal dari radiasi cahaya matahari dan lampu listrik. Cahaya dapat berakibat buruk pada buku jika tidak sesuai dengan standar. Gelombang cahaya mendorong dekomposisi kimiawi bahan-bahan organik, terutama cahaya ultraviolet (UV) dengan gelombang yang lebih tinggi yang bersifat sangat merusak. Dalam ruang baca bahan langka tingkat cahaya yang menyinari bahan pustaka harus rendah tetapi masih tetap nyaman untuk kegiatan membaca.Selain itu cahaya matahari langsung juga harus dihindari.

2. Kerusakan oleh Suhu dan Kelembaban Udara

Sebenarnya kekuatan kertas tidak akan berkurang oleh perubahan suhu yang tidak begitu ekstrim seperti yang terjadi di Indonesia,asalkan kandungan air dalam kertas itu rendah. Suhu udara di Indonesia berkisar antara 20-30 derajat celcius, perbedaan suhu udara antara siang dan malam hari tidak terlalu besar.

Masalahnya timbul karena Indonesia merupakan negara tropis, yang kelembaban udaranya relatif tinggi pada musim hujan. Jika udara lembab, maka kandungan air dalam kertas akan bertambah karena kertas bersifat


(13)

higroskopis. Perubahan suhu pada saat kertas mengandung banyak air inilah yang menyebabkan struktur kertas menjadi lemah.

Hubungan antara suhu dan kelembaban udara sangat erat sekali, sebab bila suhu udara berubah, maka kelembaban udarapun turut berubah. Jika suhu udara naik, kelembaban udara akan turun, dan air yang ada dalam kertas dilepas, sehingga kertas menjadi kering dan volumenya menyusut. Pada saat inilah terjadi ketegangan karena molekul-molekul selulosa saling tarik-menarik pada proses penyusutan ini.

3. Kerusakan oleh Debu

Menurut Martoatmodjo (1993, 44) Debu merupakan salah satu partikel-partikel kecil yang terdapat dalam udara. Partikel-partikel-partikel debu yang ada diudara ini dapat menyebabkan polusi udara dan juga membahayakan kehidupan manusia. Selain dampak tersebut debu juga berdampak negatif terhadap buku. Debu-debu tersebut dapat masuk ke ruang perpustakaan dan museum melalui jendela, pintu, lubang angin ruangan, maupun celah-celah kecil. Apabila debu melekat pada kertas, maka akan terjadi reaksi kimia yang meningkatkan tingkat keasaman pada kertas. Akibatnya kertas menjadi rapuh dan cepat rusak. Disamping itu apabila keadaan ruang museum lembab, debu, yang bercampur dengan air lembab itu akan menimbulkan jamur pada buku dan merupakan makanan bagi serangga-serangga.


(14)

4. Kerusakan oleh Serangga dan Binatang Pengerat

Mahkluk hidup seperti mikroorganisme (jamur), insek dan binatang pengerat merupakan musuh utama kertas pada naskah kuno. Mahkluk-mahkluk ini terutama memilih kertas sebagai tempat hidup karena pada kertas tersedia makanan untuk kelangsungan hidup. Berikut adalah beberapa serangga dan binatang pengerat tersebut, antara lain:

a. Jamur ( Fungi ) b. Kecoa

c. Kutu Buku d. Tikus

2.6.2.2Faktor Manusia

Manusia merupakan penyebab kerusakan benda–benda koleksi naskah kuno di museum, baik disengaja maupun tidak. Faktor yang tidak disengaja dalam hal ini, dapat terjadi karena cara pengambilan dan membawa benda koleksi yang salah. Hal ini, disebabkan karena yangbersangkutan kurang mengerti arti dan fungsi benda koleksi. Sehingga dengan perlakuan yang salah, mengakibatkan benda koleksi setelah sampai di tempat tujuan mengalami kerusakan. Misalnya. Benda koleksi retak, tidak utuh, pecah, berjamur, ada yang hilang. Faktor manusia akibat kesengajaan, hal ini dilakukan karena sengaja merusak dan mengambil obyek-obyek museum untuk kepentingan pribadi.

2.6.2.3Faktor Bencana Alam

Bencana alam seperti kebanjiran, gempa bumi, kehujanan, kebakaran,kerusuhan, dan kesalahan dalam penanganan seperti salah meletakkan


(15)

buku, selama dalam pelaksanaan konservasi dan restorasi merupakan sebab-sebab kerusakan yang sangat merugikan. Kerusakan yang terjadi karena kebanjiran dan kehujanan akan menimbulkan noda oleh pertumbuhan jamur dan kotoran yang terdapat dalam air. Noda yang timbul oleh jamur sangat sukar di hilangkan karena jamur berakar disela-sela kertas. Kebakaran dapat memusnahkan kertas dalam waktu yang sangat singkat, Oleh sebab itu kita harus menjaga agar kebakaran jangan sampai terjadi.

2.7 Usaha Memperbaiki Koleksi yang Rusak

Untuk memperbaiki koleksi bahan pustaka yang rusak diperlukan suatu usaha atau tindakan perbaikan, usaha tersebut diantaranya sebagai berikut:

1. Pembersihan terhadap noda

Noda yang terjadi pada kertas selain memeberikan kesan kotor, juga dapat menimbulkan karat dan zat asam yang dapat membuat tumbuhnya jamur pada bahan pustaka. Pembersihan yang akan dilakukan tergantung pada jenis noda atau kotoran dan keadaan bahan.

2. Fumigasi

Fumigasi berasal dari kata “fumigation” atau “to fumigati” yang artinya

mengasapi atau mengasap. Perpustakaan Nasioanal RI, (1995: 75) bahwa fumigasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengasapi bahan pustaka dengan menggunakan uap atau gas peracun membasmi serangga atau jamur yang menyerang bahan pustaka yang ada di perpustakaan. Bahan yang digunakan untuk membunuh serangga dan jamur disebut fumigant yang dapat berbentuk padat, cair atau gas. Pada


(16)

pelaksanaanya fumigant akan menjadi uap atau gas pada tekanan dan suhu kamar tertentu.

Dalam mengadakan fumigasi pustakawan harus memperhitungkan jumlah bahan yang akan difumigasi dan luas ruang yang diperlukan. Dengan memperhatikan ruang yang ada maka dipilih pula fumigant yang akan dipergunakan, jenis-jenis fumigant, jumlah yang diperlukan serta lama fumigasi.

Petugas juga harus memperhatikan bahaya dari pemakai zat-zat kimia untuk fumigasi. Tidak satu pun bahan kimia dapat dipakai tanpa alat pengaman, atau tanpa supervisi oleh orang yang berpengalaman dalam bidang ini.

3. Menghilangkan keasaman pada kertas (Deasidifikasi)

Menurut Martoatmodjo (2012) deasidifikasi adalah kegiatan pelestarian bahan pustaka dengan cara menghentikan proses keasaman yang terdapat pada kertas. Keasaman yang terkandung dalam kertas menyebabkan kertas itu cepat lapuk, terutama kalau kena polusi. Bahan pembuat kertas merupakan bahan organik yang mudah bersenyawa dengan udara luar. Agar pengaruh udara tersebut tidak berlanjut, maka bahan pustaka perlu dilaminasi. Agar laminasi efektif, sebelum dikerjakan bahan pustaka dihilangkan atau diturunkan tingkat keasamannya. Ada dua cara menghilangkan keasaman pada bahan pustaka, yaitu cara kering dan cara basah. Sebelum ditentukan cara yang mana yang tepat, maka perlu diukur tingkat keasaman pada dokumen.

Tinta yang dipergunakan untuk menulis bahan pustaka sangat menentukan apakah bahan pustaka akan dihilangkan keasamannya secara basah, atau secara


(17)

kering. Kalau tinta bahan pustaka luntur, maka cara keringlah yang paling cocok. Kalau menggunakan cara basah, harus diperhatikan cara pengeringan bahan pustaka yang ternyata cukup sukar dan harus hati-hati. Kalau hanya sekedar mengurangi tingkat keasaman kertas dan tidak akan dilaminasi, kiranya cara kering lebih aman, sebab tidak ada kekhawatiran bahan pustaka robek. Cara kering ini dapat diulang setiap enam bulan, sampai bahan pustaka dimaksud sudah kurang keasamannya dan dijamin lebih awet.

4. Laminasi

Laminasi adalah suatu proses pelapisan dua permukaan kertas dengan bahan penguat. Laminasi maksudnya adalah menutupi satu lembar di antara dua lembar bahan penguat, Perpustakaan Nasional RI (1995: 93). Laminasi dapat dilakukan dengan cara manual yakni alaminasi dengan tangan dan laminasi dengan modern dengan menggunakan mesin, dimana bahan laminasi sudah di desain dalam bentuk siap pakai. Proses ini menggunakan untuk melestarikan bahan pustaka yang sudah rusak dan akan lebih parah bila dipergunakan lagi, misalnya bahan yang sudah tua, sobek atau rapuh, dan bersifat asam. Sebelum pekerjaan laminasi dilaksanakan, hendaknya bahan sudah mengalami perawatan. Perpustakaan Nasional RI, (1992: 35 ) misalnya:

a. Telah difumigasi

b. Telah dihilangkan nodanya

c. Telah dihilangkan asam yang terkandung didalamnya

Manuskripsi, dokumen, naskah yang kuno terutama kertas-kertasnya yang sudah lapuk sehingga mudah hancur, dapat di awetkan dengan cara menyemprotkan


(18)

bahan kimia atau laminasi. Karena proses panas (dari mesin), laminasi akan melindungi dokumen. Cara ini banyak digunakan di Indonesia terutama perlindungan dokumen berharga.

Cara lain yang digunakan dalam penanganan bahan pustaka pada laminasi dapat dilakukan dengan pelepasan atau penyemprotan bahan pustaka dengan bahan kimia. Sedangkan laminasi sederhana yang dilakukan secara manual dilakukan dengan cara membentangkan kertas tissue sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan, kemudian diatasnya digelar selembar acetat foil dengan dimensi ukuran yang sama. Lalu diatasnya dihamparkan bahan pustaka yang rusak. Kemudian dipasang lagi kertas tissue dengan ukuran lebih besar daripada halaman yang rusak. Kemudian di ulas dengan cairan acetat pada semua halaman dan dibolak-balik dengan bantuan kapas atau kuas. Persenyawaan cairan aceton menyebabkan acetat foil bersenyawa dengan kertas tissue, baik diatas maupun dihalaman yang rusak, lalu kertas tissue digunting.

5. Enkapsulasi

Enkapsulasi adalah salah satu cara preservasi kertas dengan menempatkan lembaran bahan kertas diantara dua film plastik polyster untuk menghindari kerusakan fisik karena sering dipegang atau melindungi kertas dari debu dan pollutant. Pada umumnya kertas yang akan di enkapsulasi adalah lembaran naskah kuno, peta, bahan cetakan atau poster yang sudah rapuh, plastik yang digunakan sebagai bahan pelindung. Sebelum pelaksanaan enkapsulasi, kertas harus bersih, kering, dan dideasidifiaksi untuk menetralkan asam yang terdapat pada kertas.


(19)

6. Konservasi Koleksi Audio Visual

Kerusakan suatu film nitrat dapat diperkirakan sebelumnya melalui test kimia dan fisika, misalnya dengan test pelapukan. Dengan test ini dapat disimpulkan berapa tahun film nitrat akan bertahan lama. Daya tahan suatu film juga tergantung dari kondisi penyimpanan dan mutu kerja saat prossing. Dalam merawat koleksi audio visual ini harus disesuaikan dengan temperatur dengan kelembapan udara sehingga bahan pustaka yang berbentuk audio visual dapat bertahan selama mungkin.

2.8 Usaha Pencegahan Kerusakan Koleksi

Pencegahan oleh faktor lingkungan yang terdiri dari cahaya, suhu dan kelembaban, debu serta serangga dan jamur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

2.8.1 Faktor lingkungan

1. Pencegahan kerusakan oleh Cahaya

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 16), ada beberapa cara mencegah kerusakan karena pengaruh cahaya, antara lain:

a. Memperkecil intensitas cahaya yang digunakan dalam gudang dan ruang baca. Intensitas cahaya yang diizinkan untuk kertas adalah 50 lux.

b. Memperpendek waktu pencahayaan.

c. Menghilangkan radiasi sinar ultra violet yang menimbulkan reaksi foto kimia pada kertas dari sumber cahaya. Kandungn ultra violet yang diizinkan untuk kertas adalah 75 m watt/lumen.

Ada macam cahaya yang digunakan untuk menerangi ruangan, yaitu: cahaya alam (cahaya matahari) yang masuk lewat jendela atau atap dan cahaya buatan (lampu listrik). Cahaya ini dapat digunakan langsung, diburamkan, dipantulkan atau disaring.


(20)

Cahaya matahari yang masuk lewat jendela baik yang lansung atau yang dipantulkan oleh benda lain mengandung radiasi ultra violet. Oleh sebab itu cahaya yang masuk lewat jendela ini harus disaring atau dipantulkan terlebih dahulu dengan bahan yang dapat menyerap uultra violet agar koleksi terhindar dari kerusakan.

Untuk melindung kertas dari radiasi sinar ultra violet ini, tindakan yang harus diambil adalah memasang filter pada kaca jendela dengan lembaran plastik plexy glass type UF-3 atau UV filtering polyster film yang bias ditempelkan pada kaca jendela. Plexy glass yang tipis bias digunakan sebagai filter untuk menyaring ultra violet dari cahaya lampu listrik (dalam vitrin atau langit-langit ruangan), sedangkan yang tebal bias dipasang pada kaca jendela.

2. Pencegahan kerusakan oleh suhu dan kelembaban udara

Banyak koleksi museum yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh suhu dan kelembaban udara. Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah perlu dilakukan cara-cara pencegahan. Menurut Dureau dan Clement(1990, 9) Kondisi yang sesuai untuk ruangan penyimpana koleksi berkisar antara 16°C sampai 21°C dan untuk kelembaban berkisar antara 40-60% RH. Kondisi yang stabil untuk jangka panjang merupakan pertimbangan penting lainnya. Kondisi lingkungan yang disarankan untuk pemyimpanan jangka panjang bahan pustaka harus dipandang sebagai tujuan yang dikehendaki, tetapi tidak perlu kaku sifatnya.


(21)

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 18), untuk mengurangi kelembaban udara dalam ruangan penyimpanan dapat menggunakan alat dehumidifier. Alat ini dapat menyerap uap air dari udara. Dalam menggunakan alat ini, ruangan harus selalu tertutup dan dehumidifier harus dipasang diluar ruangan karena alat ini mengeluarkan panas yang berbahaya bagi kertas.

Alat yang digunakan untuk mengukur temperatur dan kelembaban udara adalah: thermohygrometer, psychrometer, thermohygraph, sling psychrometer atau whirling psycrometer.

3. Pencegahan kerusakan oleh Debu

Menurut Razak (1992, 38) banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan debu jika pengatur udara tidak dapat disediakan yaitu dengan cara:

menjamin supaya pintu dan jendela tertutup rapat, menggunakan pita perekat pada pintu dan jendela, menggunakan jendela berengsel daripada jendela sorong karena jendela ini tidak pernah bebas dari debu. Debu dan kotoran yang tidak meresap kedalam naskah dapat dihilangkan dengan metode kering. Alat-alat yang digunakan untuk melakukan cara ini adalah sikat halus, kuas, spon, vacuum cleaner, sedangkan untuk kotoran yang sukar dibersihkan dengan alat-alat tersebut dapat dibersihkan dengan menggunakan penghapus karet. 4. Pencegahan Serangga dan Jamur

Dureau dan Clement (1990, 24) menyatakan, unsur-unsur biologis (jamur, serangga, binatang pengerat, dan sebagainya) dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada koleksi naskah. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan usaha pencegahan serta pembasmian unsur-unsur biologis tersebut dengan berbagai bahan kimia. Penggunaan bahan kimia tersebut perlu dijaga


(22)

dengan benar agar bahan kimia tersebut tidak menyebabkan keruskan pada buku itu sendiri dan cukup aman untuk digunakan serta tidak membahayakan manusia. Lingkungan yang lembab, gelap, sirkulasi udara kurang merupakan lingkungan yang ideal bagi serangga, untuk itu suhu dan kelembaban udara harus benar-benar dimonitor.

2.8.2 Faktor Manusia

Pencegahan kerusakan koleksi di museum juga perlu disosialisasikan kepada manusia sebagai pengelola, pengguna maupun pencari informasi. Perlindungan terhadap koleksi museum merupakan tanggung jawab dari petugas pengelola di museum, namun petugas juga sering lalai sehingga dapat menimbulkan kerusakan koleksi. Selain itu penyebab kerusakan lainnya disebabkan oleh pengunaan yang ceroboh oleh para pengguna koleksi naskah. Untuk mencegah kerusakan-kerusakan ini dapat ditempuh dengan cara memberikan pemahaman kepada pengguna dan petugas pengelola sendiri tentang pentingnya koleksi yang telah di himpun didalam museum tersebut.

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 15) untuk melindungi koleksi dari pencurian maka perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemasangan alarm sistem, terutama untuk menghindari pencurian pada jam-jam kantor.

2. Perlu pemeriksaan identitas pemakai jasa

3. Perlu dipasang pengumuman bahwa pengunjung dilarang membawa tas, mantel, payung kedalam ruangan. Bila perlu diadakan pemeriksaan pada pengunjung yang keluar dari ruangan.

4. Pengecekan pada bahan pustaka yang ada dalam ruangan penyimpanan untuk mengetahui lebih dini adanya koleksi yang hilang.


(23)

2.8.3 Faktor Bencana Alam

Banyak kemungkinan yang terjadi sehingga koleksi di museum terancam keamanan fisik dan nilai informasi yang terkandung didalamnya. Terutama bencana alam. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan atas kerusakan koleksi yang di akibatkan oleh bencana alam yaitu :

1. Pencegahan kerusakan oleh Api

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 16) Untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang lebih parah lagi perlu adanya suatu tindakan preventif seperti: a. Memasang smoke detektor pada tiap ruangan dalam ruang

penyimpanan.

b. Instalansi listrik harus diperiksa secara awal. c. Dilarang keras merokok dalam ruangan.

d. Alat pemadam api harus dipasang ditempat-tempat yang mudah dijangkau.

2. Pencegahan Kerusakan oleh Air

Air dapat merusak bahan pustaka seperti halnya api. Air dapat berasal dari reservoir pemadam kebakaran, pipa yang bocor, atap yang bocor, kebanjiran, dan lain-lain. Untuk menghindari kerusakan karena air,maka sebelum memasukan bahan pustaka ke dalam suatu ruangan, harus dilakukan penyempurnaan sebagai berikut:

a. Memperbaiki atap yang bocor.

b. Tidak boleh ada sambungan pipa air pada tembok bangunan karena pada sambungan pipa ini ada kemungkinan terjadinya kebocoran yang menyebabkan terjadinya kelembaban di dalam gedung.


(24)

2.9 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang pernah dilakukan mengenai preservasi dan konservasi yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga beberapa poin penting dari hasil penelitian sebelumnya dapat dijadikan dasar dalam penelitian ini.

Penelitian oleh Penelitian oleh Ni Putu Wahyu (2008) yang meneliti tentang Preservasi Naskah Lontar di Perpustakaan Universitas Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kondisi fisik dari naskah dan memaparkan kegiatan preservasi naskah lontar di perpustakaan Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan preservasi naskah lontar di Perpustakaan Universitas Indonesia terhambat karena adanya beberapa kendala yaitu kurangnya sumber daya manusia di ruang naskah, anggaran, dan fasilitas serta masalah teknis, seperti belum adanya kebijakan dan standar operasional prosedur kerja.

Penelitian yang dilakukan saat ini oleh peneliti adalah Evaluasi Preservasi dan Konservasi Koleksi Bahan pustaka di Museum Pusaka Karo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses kegiatan preservasi dan konservasi yang dilakukan oleh Museum Pusaka Karo terhadap koleksi yang terdapat di museum tersebut sehingga dapat digunakan dan dinikmati oleh setiap pengunjung museum. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Subjek dari penelitian ini adalah preservasi dan konservasi dan objek yang diteliti adalah koleksi tercetak (buku) yang dimiliki oleh Museum Pusaka Karo.


(1)

6. Konservasi Koleksi Audio Visual

Kerusakan suatu film nitrat dapat diperkirakan sebelumnya melalui test kimia dan fisika, misalnya dengan test pelapukan. Dengan test ini dapat disimpulkan berapa tahun film nitrat akan bertahan lama. Daya tahan suatu film juga tergantung dari kondisi penyimpanan dan mutu kerja saat prossing. Dalam merawat koleksi audio visual ini harus disesuaikan dengan temperatur dengan kelembapan udara sehingga bahan pustaka yang berbentuk audio visual dapat bertahan selama mungkin.

2.8 Usaha Pencegahan Kerusakan Koleksi

Pencegahan oleh faktor lingkungan yang terdiri dari cahaya, suhu dan kelembaban, debu serta serangga dan jamur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

2.8.1 Faktor lingkungan

1. Pencegahan kerusakan oleh Cahaya

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 16), ada beberapa cara mencegah kerusakan karena pengaruh cahaya, antara lain:

a. Memperkecil intensitas cahaya yang digunakan dalam gudang dan ruang baca. Intensitas cahaya yang diizinkan untuk kertas adalah 50 lux.

b. Memperpendek waktu pencahayaan.

c. Menghilangkan radiasi sinar ultra violet yang menimbulkan reaksi foto kimia pada kertas dari sumber cahaya. Kandungn ultra violet yang diizinkan untuk kertas adalah 75 m watt/lumen.

Ada macam cahaya yang digunakan untuk menerangi ruangan, yaitu: cahaya alam (cahaya matahari) yang masuk lewat jendela atau atap dan cahaya buatan (lampu listrik). Cahaya ini dapat digunakan langsung, diburamkan, dipantulkan atau disaring.


(2)

Cahaya matahari yang masuk lewat jendela baik yang lansung atau yang dipantulkan oleh benda lain mengandung radiasi ultra violet. Oleh sebab itu cahaya yang masuk lewat jendela ini harus disaring atau dipantulkan terlebih dahulu dengan bahan yang dapat menyerap uultra violet agar koleksi terhindar dari kerusakan.

Untuk melindung kertas dari radiasi sinar ultra violet ini, tindakan yang harus diambil adalah memasang filter pada kaca jendela dengan lembaran plastik plexy glass type UF-3 atau UV filtering polyster film yang bias ditempelkan pada kaca jendela. Plexy glass yang tipis bias digunakan sebagai filter untuk menyaring ultra violet dari cahaya lampu listrik (dalam vitrin atau langit-langit ruangan), sedangkan yang tebal bias dipasang pada kaca jendela.

2. Pencegahan kerusakan oleh suhu dan kelembaban udara

Banyak koleksi museum yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh suhu dan kelembaban udara. Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah perlu dilakukan cara-cara pencegahan. Menurut Dureau dan Clement(1990, 9) Kondisi yang sesuai untuk ruangan penyimpana koleksi berkisar antara 16°C sampai 21°C dan untuk kelembaban berkisar antara 40-60% RH. Kondisi yang stabil untuk jangka panjang merupakan pertimbangan penting lainnya. Kondisi lingkungan yang disarankan untuk pemyimpanan jangka panjang bahan pustaka harus dipandang sebagai tujuan yang dikehendaki, tetapi tidak perlu kaku sifatnya.


(3)

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 18), untuk mengurangi kelembaban udara dalam ruangan penyimpanan dapat menggunakan alat dehumidifier. Alat ini dapat menyerap uap air dari udara. Dalam menggunakan alat ini, ruangan harus selalu tertutup dan dehumidifier harus dipasang diluar ruangan karena alat ini mengeluarkan panas yang berbahaya bagi kertas.

Alat yang digunakan untuk mengukur temperatur dan kelembaban udara adalah: thermohygrometer, psychrometer, thermohygraph, sling psychrometer atau whirling psycrometer.

3. Pencegahan kerusakan oleh Debu

Menurut Razak (1992, 38) banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan debu jika pengatur udara tidak dapat disediakan yaitu dengan cara:

menjamin supaya pintu dan jendela tertutup rapat, menggunakan pita perekat pada pintu dan jendela, menggunakan jendela berengsel daripada jendela sorong karena jendela ini tidak pernah bebas dari debu. Debu dan kotoran yang tidak meresap kedalam naskah dapat dihilangkan dengan metode kering. Alat-alat yang digunakan untuk melakukan cara ini adalah sikat halus, kuas, spon, vacuum cleaner, sedangkan untuk kotoran yang sukar dibersihkan dengan alat-alat tersebut dapat dibersihkan dengan menggunakan penghapus karet. 4. Pencegahan Serangga dan Jamur

Dureau dan Clement (1990, 24) menyatakan, unsur-unsur biologis (jamur, serangga, binatang pengerat, dan sebagainya) dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada koleksi naskah. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan usaha pencegahan serta pembasmian unsur-unsur biologis tersebut dengan berbagai bahan kimia. Penggunaan bahan kimia tersebut perlu dijaga


(4)

dengan benar agar bahan kimia tersebut tidak menyebabkan keruskan pada buku itu sendiri dan cukup aman untuk digunakan serta tidak membahayakan manusia. Lingkungan yang lembab, gelap, sirkulasi udara kurang merupakan lingkungan yang ideal bagi serangga, untuk itu suhu dan kelembaban udara harus benar-benar dimonitor.

2.8.2 Faktor Manusia

Pencegahan kerusakan koleksi di museum juga perlu disosialisasikan kepada manusia sebagai pengelola, pengguna maupun pencari informasi. Perlindungan terhadap koleksi museum merupakan tanggung jawab dari petugas pengelola di museum, namun petugas juga sering lalai sehingga dapat menimbulkan kerusakan koleksi. Selain itu penyebab kerusakan lainnya disebabkan oleh pengunaan yang ceroboh oleh para pengguna koleksi naskah. Untuk mencegah kerusakan-kerusakan ini dapat ditempuh dengan cara memberikan pemahaman kepada pengguna dan petugas pengelola sendiri tentang pentingnya koleksi yang telah di himpun didalam museum tersebut.

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 15) untuk melindungi koleksi dari pencurian maka perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemasangan alarm sistem, terutama untuk menghindari pencurian pada jam-jam kantor.

2. Perlu pemeriksaan identitas pemakai jasa

3. Perlu dipasang pengumuman bahwa pengunjung dilarang membawa tas, mantel, payung kedalam ruangan. Bila perlu diadakan pemeriksaan pada pengunjung yang keluar dari ruangan.

4. Pengecekan pada bahan pustaka yang ada dalam ruangan penyimpanan untuk mengetahui lebih dini adanya koleksi yang hilang.


(5)

2.8.3 Faktor Bencana Alam

Banyak kemungkinan yang terjadi sehingga koleksi di museum terancam keamanan fisik dan nilai informasi yang terkandung didalamnya. Terutama bencana alam. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan atas kerusakan koleksi yang di akibatkan oleh bencana alam yaitu :

1. Pencegahan kerusakan oleh Api

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 16) Untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang lebih parah lagi perlu adanya suatu tindakan preventif seperti: a. Memasang smoke detektor pada tiap ruangan dalam ruang

penyimpanan.

b. Instalansi listrik harus diperiksa secara awal. c. Dilarang keras merokok dalam ruangan.

d. Alat pemadam api harus dipasang ditempat-tempat yang mudah dijangkau.

2. Pencegahan Kerusakan oleh Air

Air dapat merusak bahan pustaka seperti halnya api. Air dapat berasal dari reservoir pemadam kebakaran, pipa yang bocor, atap yang bocor, kebanjiran, dan lain-lain. Untuk menghindari kerusakan karena air,maka sebelum memasukan bahan pustaka ke dalam suatu ruangan, harus dilakukan penyempurnaan sebagai berikut:

a. Memperbaiki atap yang bocor.

b. Tidak boleh ada sambungan pipa air pada tembok bangunan karena pada sambungan pipa ini ada kemungkinan terjadinya kebocoran yang menyebabkan terjadinya kelembaban di dalam gedung.


(6)

2.9 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang pernah dilakukan mengenai preservasi dan konservasi yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga beberapa poin penting dari hasil penelitian sebelumnya dapat dijadikan dasar dalam penelitian ini.

Penelitian oleh Penelitian oleh Ni Putu Wahyu (2008) yang meneliti tentang Preservasi Naskah Lontar di Perpustakaan Universitas Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kondisi fisik dari naskah dan memaparkan kegiatan preservasi naskah lontar di perpustakaan Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan preservasi naskah lontar di Perpustakaan Universitas Indonesia terhambat karena adanya beberapa kendala yaitu kurangnya sumber daya manusia di ruang naskah, anggaran, dan fasilitas serta masalah teknis, seperti belum adanya kebijakan dan standar operasional prosedur kerja.

Penelitian yang dilakukan saat ini oleh peneliti adalah Evaluasi Preservasi dan Konservasi Koleksi Bahan pustaka di Museum Pusaka Karo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses kegiatan preservasi dan konservasi yang dilakukan oleh Museum Pusaka Karo terhadap koleksi yang terdapat di museum tersebut sehingga dapat digunakan dan dinikmati oleh setiap pengunjung museum. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Subjek dari penelitian ini adalah preservasi dan konservasi dan objek yang diteliti adalah koleksi tercetak (buku) yang dimiliki oleh Museum Pusaka Karo.