114550772 Kumpulan Karya Tulis Pemenang Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional KSAN Tahun 2011
KUMPULAN MAKALAH
PEMENANG LOMBA KARYA TULIS
KONPERENSI SANITASI DAN AIR MINUM NASIONAl (KSAN) TAHUN 2011
Kategori Pelajar Juara 1 M asfar Syafar
SMA Negeri 1 Bulukumba
Tema: Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul: Upaya penanggulangan penyediaan air bersih di daerah pesisir studi kasus pesisir pantai Bulukumba.
Juara 2 Siti Kholifatul
SMA Negeri 1 Ponorogo
Tema: Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul: Saatnya Sanitasi dan Akses Air Bersih Menjadi Sorotan
Juara 3 Muhammad Gilang Ramadhan Putra Ponpes Daar El‐Qolam II
Tema: Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul: Upaya pemukiman PPA Sanila di lingkungan masyarakat
Kategori Mahasiswa Juara 1 Hakimatul Mukaromah
Universitas Diponegoro
Tema:Pentingnya keterlibatan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan pembangunan AMPL. Judul: Partisipasi Masyarakat sebagai Jawaban atas Tantangan Pembangunan Sarana dan Prasarana AMPL di Indonesia
Juara 2 Frederic Hamonangan Universitas Brawijaya
Tema:Upaya penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia. Judul: Upaya Peningkatan Stratifikasi Sosial Masyarakat Miskin di Indonesia, Dengan Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan , Sistematis , dan Efisien. Juara 3 Gayuh Mustiko Jati
Universitas Gajah Mada
Tema:Upaya penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia Judul:SEBUAH #OPTIMISME (Memberantas Kemiskinan Melalui Pembangunan Air Minum dan Sanitasi)
Kategori Pelajar dan Mahasiswa Juara
Favorit
Mushonnifun Faiz Sugihartanto SMA Negeri 3 Malang
Tema:Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul:Menanggulangi Masalah Ketersediaan Air Bersih dan Sanitasi di Indonesia
(2)
Pemenang Pertama Kategori Pelajar
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
UPAYA PENANGGULANGAN PENYEDIAAN AIR BERSIH
DI DAERAH PESISIR STUDI KASUS PESISIR PANTAI BULUKUMBA
Esai ditulis untuk diikutkan dalam
“Lomba Esai Pelajar dan Mahasiswa KSAN 2011 ″
DISUSUN OLEH :
M. ASFAR SYAFAR
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BULUKUMBA,
SMA NEGERI 1 BULUKUMBA
(3)
Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau yang tersebar di seluruh nusantara dengan mayoritas masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat adalah kurangnya ketersediaan air bersih. Kekurangan air bersih ini dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Padahal air bersih merupakan kebutuhan paling penting untuk menunjang aktivitas makhluk hidup. Kurangnya ketersediaan air bersih secara kuantitatif disebabkan karena 97 % air di bumi merupakan air laut, sehingga dengan kadar garam sekitar 35000 mg/l menyebabkan air tersebut tidak dapat langsung dipergunakan tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu. Selain itu kadar air tawar juga semakin menurun karena pembangunan yang berkelanjutan tanpa memperhatikan lingkungan sehingga memperkecil daerah resapan air hujan. Kandungan air tawar dalam tanah semakin menipis karena diambil terus menerus sehingga semakin banyak air laut yang meresap kedalam tanah menggantikan posisi air tawar tersebut.
Menghadapi kebutuhan air bersih yang semakin meningkat, diperlukan fasilitas penyediaan air bersih yang dapat menjangkau pemukiman penduduk, khususnya bagi penduduk yang bermukim disekitar pesisir. Mengingat sebagian besar penduduk yang bermukim disekitar pesisir memiliki tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah maka diperlukan teknologi penyediaan air bersih yang mudah pemeliharaannya sehingga tidak memerlukan biaya yang mahal untuk pengoperasiannya. Perencanaan yang baik dari segi teknis maupun ekonomis penyaluran air dari fasilitas pengolahan air ke rumah-rumah penduduk sangat diperlukan agar penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan cara yang efektif, efisien dan produk yang dihasilkan dapat dijangkau oleh penduduk. Salah satu daerah pesisir yang memiliki kualitas penyediaan air bersih yang minim adalah Kabupaten Bulukumba.
(4)
o Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu daerah pesisir dengan ketersediaan air bersih yang minim
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Selatan yang luas wilayahnya sekitar 1.154,67 km2 yang terdiri dari 22,22% daerah pantai, 0,79% daerah lembah, 15,87% daerah perbukitan, dan 61,60% merupakan dataran. Secara kewilayahan kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi yaitu dataran tinggi pada kaki gunung Bawakaraeng-Lompo Battang, dataran rendah, pantai dan laut lepas. Dengan jumlah penduduk sebanyak 394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010) yang tersebar di 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa. Adapun ke 10 kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Herlang, Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale dan Kecamatan Bulukumpa. Dari ke-10 kecamatan tersebut tujuh di antaranya merupakan daerah pesisir yang dimanfaatkan sebagai sentra pengembangan pariwisata dan perikanan. (Wikipedia)
Dari kondisi geografis Kabupaten Bulukumba yang terdiri dari 22,22% daerah pantai tersebut memberi gambaran bahwa Kabupaten Bulukumba terletak hampir di sepanjang pesisir pantai. Inilah yang membuat sebagian besar penduduk Kabupaten Bulukumba yang bermukim di pesisir pantai memilih profesi sebagai nelayan dan buruh rumput laut, yang mana kebanyakan dari nelayan ini adalah nelayan yang berpendapatan rendah yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan yang kuat mengapa nelayan di sepanjang pesisir pantai ini memiliki akses air bersih yang rendah dan sanitasi yang buruk.
Nelayan tersebut lebih memilih menggunakan air tanah (sumur) dibanding mendapat pasokan dari PDAM dikarenakan biaya pemasangan yang relatif mahal. Masalah yang selanjutnya timbul adalah adanya perubahan rasa, aroma, dan warna air sumur di daerah
(5)
pesisir Kabupaten Bulukumba akibat dari semakin kecilnya daerah resapan air hujan dan semakin menipisnya kandungan air tanah akibat pembangunan berkelanjutan yang tanpa batas. Yang mana sumur yang mereka buat kebanyakan berair asin (payau), memiliki aroma yang tidak enak dan berwarna kekuningan karena dekat daerah pantai. Hal ini membuat penduduk yang bermukim disekitar pesisir terpaksa mengkomsumsi air tidak layak tersebut. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena dengan mengkomsumsi air berkadar garam tinggi (air payau) dapat menyebabkan terjadinya penyakit diare, mual, muntaber, pusing, gangguan pencernaan, dan berbagai gangguan kulit seperti kudisan dan bisul.
o Ada solusi, tapi tidak efektif
Untuk permasalahan penduduk yang bermukim di pesisir pantai tersebut sebenarnya sudah ada solusinya , yaitu dengan melakukan pemurnian air laut. Pada dasarnya prinsip pemurnian air laut adalah proses pemisahan garam dari air laut sehingga diperoleh air tawar, proses ini kita kenal dengan sebutan desalinasi. Ada banyak cara untuk mengolah air asin menjadi air tawar, antara lain:
1.Penyulingan
Percobaan pertama untuk memisahkan garam dan air laut adalah meniru cara alam, yaitu dengan menguapkan air laut kemudian mengembunkan uapnya kembali. Ketika air laut dipanaskan, hanya air yang menguap, garam-garam yang terlarut tetap tinggal dalam larutan (air laut). Dengan menggunakan alat suling bagian dalam wadah perebus air laut dilengkapi dengan pipa-pipa tegak untuk memperluas permukaan air yang dipanaskan. Dengan perluasan dapat diperoleh banyak uap dalam waktu relatif singkat.
2.Osmosis Balik (Reverse Osmosis)
Osmosis balik atau reverse osmosis (RO), dilaksanakan dengan memberikan tekanan terhadap air laut, sehingga memaksa dari molekul-molekul air murni menembus suatu membran semipermeabel, sedangkan sisanya berupa garam larut, bahan-bahan organik,
(6)
bakteri akan ditolak (rejeksi). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar diatas. Osmosis balik ini dioperasikan secara kontinyu. Kemurnian air yang dicapai hingga 99% dan tingkat produksi yang tinggi. RO merupakan cara paling murah untuk menawarkan pemurnian air laut. Keuntungan metode ini adalah kemurnian air yang dihasilkan bagus, menghemat tempat,dan menghemat energi.
3.Evaporator
Evaporator adalah sistem utama bagi pabrik untuk mengolah air laut menjadi air tawar. Demikian juga Ladang garam memproduksi garam melalui proses penguapan air laut. Sebaliknya, air bersih akan diproduksi, dengan menghilangkan garam dari air laut. Evaporator untuk mengolah air laut dirancangkan untuk mengumpulkan uap yang terjadi di dalam proses penguapan. Proses tersebut antara lain: penguapan dengan multi guna yaitu air laut yang direbus untuk penguapan. Sehingga uap itu akan terkumpul menjadi air tawar. Teknologi itu biasanya digunakan untuk pabrik pengolah air laut skala besar. Disamping itu juga terdapat proses tekanan peresapan (osmosis) dengan arah balik yaitu cara untuk mengurangi dan menghapus rasa asin air laut. Teknologi ini digunakan untuk pabrik pengolah air laut sekala menengah dan kecil.
Dari uraian diatas, kita dapat mengetahui berbagai cara untuk melakukan pemurnian air laut menjadi air tawar. Akantetapi apakah proses desalinasi diatas efektif diterapkan untuk penduduk pesisir? Apakah ini solusi yang jitu untuk menghadapi permasalahan ketersediaan air bersih bagi masyarakat Kabupaten Bulukumba yang bermukim di pesisir pantai? Jawabannya adalah tidak, mengapa? Karena seperti yang diterangkan diatas bahwa masyarakat Kabupaten Bulukumba yang bermukim di pesisir pantai didominasi oleh nelayan berpendapatan rendah dan masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini tentunya menjadi alasan yang kuat bahwa ke-tiga proses desalinasi tersebut tidak cocok diterapkan di masyarakat Kabupaten Bulukumba yang bermukim di pesisir pantai karena cara tersebut
(7)
membutuhkan biaya yang tinggi karena menggunakan bahan kimia dan prosesnya yang rumit. Disamping itu juga terjadi kesenjangan antara pemerintah dan rakyatnya, pemerintah sangat tidak peduli dan acuh terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh rakyatnya saat ini. Sehingga sangat tidak mungkin terjalin kerja sama untuk menarik investor agar menginvestasikan uangnya untuk membantu kesejahteraan masyarakat pesisir dengan menyediakan akses air bersih yang layak.
o Merumuskan solusi, menghadapi tantangan
Untuk menghadapi permasalahan ini kita membutuhkan solusi yang jitu sekaligus efektif, Nah, coba kita tinjau kembali! Bahan apa saja yang yang tersedia dalam jumlah yang berlimpah dan bisa dimanfaatkan sebagai filter untuk menyaring air asin (payau) menjadi air tanah yang layak? Fakta membuktikan bahwa arang dan sekam padi mampu menetralkan air asin (payau) menjadi air berpH normal (pH 7) sehingga menjadi air yang layak komsumsi. Disamping itu kita tidak perlu takut kekurangan bahan baku tersebut karena sekam padi dan arang tergolong limbah yang banyak tersedia dimana-mana. Apalagi berdasarkan studi pustaka yang telah saya lakukan ternyata arang dan sekam padi telah teruji keandalannya sebagai salah satu bahan filter untuk pengolahan air yang tercemar oleh bakteri coli, logam berat (Cu dan Cr), memperbaiki warna, dan tingkat kejernihan air
Nah, sekarang sudah jelas bagaimana buruknya penyediaan air bersih bagi masyarakat pesisir Kabupaten Bulukumba, bagaimana melakukan melakukan pemurnian air laut menjadi air tawar, serta bahan apa saja yang yang tersedia dalam jumlah yang berlimpah dan bisa dimanfaatkan sebagai filter untuk menyaring air asin (payau) menjadi air tanah yang layak. Sekarang, yang dibutuhkan adalah sebuah pemikiran yang maju untuk menciptakan sebuah inovasi baru demi menyediakan air bersih yang layak yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Maka berdasarkan masalah tersebut maka saya mencoba melakukan eksperimen sederhana yang adapun hasilnya yaitu:
(8)
Parameter Filter sekam padi Filter arang Filter Campuran sekam padi dan arang
Banyaknya air 1 liter 1 liter 1 liter
Warna Jernih Agak jernih Jernih
Rasa Agak asin tawar Tawar
Aroma Agak berbau Tidak berbau Tidak berbau
pH 7,35 7 7,1
Sumber: data primer. Uji laboratorium sangat dibutuhkan
Ternyata pada filter sekam padi dengan volume air sebanyak 1 liter, setelah dilakukan penyaringan diketahui bahwa ada perubahan warna dari keruh ke jernih, sedangkan rasanya tidak terjadi perubahan karena tetap asin, hal ini disebabkan oleh pori sekam padi yang lebih besar dibanding arang. Dan aromanya masih agak berbau dan setelah diuji menggunakan pHmeter didapat bahwa pH-nya sebesar 7,35 (basa).
Sedangkan pada filter arang dengan volume air sebanyak 1 liter, setelah dilakukan penyaringan diketahui bahwa ada perubahan warna dari keruh ke jernih, begitu pula dengan rasanya terjadi perubahan dari yang semula asin menjadi tawar, sedangkan dicium dari aromanya ternyata tidak menimbulkan bau. Dan setelah diuji menggunakanpHmeter didapat bahwa pH-nya sebesar 7 (normal) sehingga menjadi air yang layak komsumsi.
Sedangkan pada filter campuran sekam padi dan arang dengan volume air sebanyak 1 liter, setelah dilakukan penyaringan diketahui bahwa ada perubahan warna dari keruh ke jernih, begitu pula dengan rasanya terjadi perubahan dari yang semula asin menjadi tawar, sedangkan dicium dari aromanya ternyata tidak menimbulkan bau. Dan setelah diuji menggunakan pHmeter didapat bahwa pH-nya sebesar 7,1 yang dibulatkan menjadi pH 7 (normal) sehingga menjadi air yang layak komsumsi.
Berdasarkan eksperimen sederhana yang telah saya lakukan, didapatkan kesimpulan bahwa air hasil penyaringan yang paling baik adalah air hasil saringan pada filter campuran sekam padi dan arang, yang mana kualitas warna yang dihasilkan jernih, rasanya tawar, tidak berbau, dan berada pada pH yang normal. Yang mana hal ini dihasilkan oleh pori arang yang
(9)
mampu menyerap bau, dan adanya sekam padi yang mampu meningkatkan kejernihan air sehingga menjadi air bersih yang layak dikomsumsi dan digunakan oleh masyarakat pesisir khususnya di pesisir Kabupaten Bulukumba. Disamping itu bahan diatas lebih efiesien, murah, mudah didapat, dan tersedia dalam jumlah banyak, sehingga tidak akan menyulitkan masyarakat pesisir.
Selain itu dibutuhkan solusi teknologi untuk penerapan filter sekam padi dan arang ini, yang mana dengan membuat filter air sederhana yang menggunakan pipa dari sumur ke bak filter penyaringan, yang mana filter penyaringannya terbagi atas beberapa filter seperti batu kerikil, sekam padi, pasir, arang yang selanjutnya dialirkan keluar melalui kerang. Hal ini tentunya akan sangat memudahkan masyarakat pesisir karena biaya yang diperlukan murah, efisien, perawatannya mudah dan memanfaatkan limbah. Adapun rancangan desain yang coba ditawarkan yaitu
Maka dengan begitu masyarakat pesisir tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah ketersediaan air bersih, mereka bisa mengolah air payau di sumur mereka untuk diolah menjadi air tawar yang layak komsumsi, tentunya dengan biaya yang murah. Dan tentunya hal ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir serta akan menciptakan pola hidup bersih yang baik dan akan meningkatkan kesehatan masyarakat untuk terhindar dari berbagai penyakit pencernaan seperti diare.
(10)
Sekarang yang dibutuhkan adalah terjun langsung ke lapangan, memberikan sosialisasi terhadap masalah ini, memberikan solusi, pemahaman dan mencoba menerapkan solusi tersebut kepada masyarakat, karena praktek lebih baik dibanding hanya teori. Idealnya, mengapa kita harus menunda-nunda sebuah kesempatan emas untuk masa depan yang lebih cerah selagi hari ini masih ada waktu. Kesadaran untuk menolong sesama yang sedang kesusahan harus dipupuk sejak dini.
Kesimpulannya, pemanfaatan berbagai limbah dan bahan yang melimpah dan murah di Indonesia terutama arang dan sekam padi dapat menjadi solusi permasalahan yang kompleks dimasyarakat, misalnya ketersediaan air bersih bagi masyarakat pesisir, permasalahan kesehatan karena air minum yang tidak layak dsb. Jadi, untuk apa berlepas diri karena benturan ekonomi apabila terdapat solusi dengan harga yang murah, terjangkau, dan mudah didapat, banyak hal yang bisa dioptimalkan pemanfaatnnya didalam negeri kita tercinta ini. Buktikan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang mandiri, bangsa yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk masalah penyediaan air bersih sekalipun. Maju terus Indonesiaku ! Mari tingkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan taraf kesehatan masyarakat pesisir dengan menyediakan air bersih dan sanitasi yang layak!
(11)
Lampiran gambar kondisi pesisir pantai Bulukumba
Masyarakat pesisir Kabupaten Bulukumba yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai Nelayan dan buruh rumput laut yang berpendapatan rendah, sehingga masih berada di bawah garis kemiskinan.
sanitasi yang buruk dan selokan pembuangan air yang kotor dan tersumbat
beberapa sumur warga pesisir yang ditutup karena berair asin (payau) dan ada pula yang terpaksa digunakan karena minimnya ketersediaan air bersih.
banner tentang penerapan PHBS dan sambungan air bersih yang dimiliki seorang warga yang menjadikan air bersih sebagai barang ekonomi yang dijual seharga 500/ember
(12)
lain : - Fina - Fina KEM - Fina - Juara - Sisw - Juara - Juara - Juara
Bulu Lure nam di S
alis National alis dan pen MENPORA 2 alis 3rd Indon
a II kategori wa berprestas a III passing a II passing a I olimpiad
Nama l ukumba, pad e no 9 Bulu ma emailnya SMA Negeri Young Inve nerima peng 2010 nesian Scienc
i pelajar lom si pada 100 t g great olimp great olimpi e astronomi
BIODAT engkap M da tanggal 3 ukumba, Su
Asfar_sman
i 1 Bulukum
entor Award ghargaan Yo
ce Project O mba Esai LRP
tahun kebang piade astrono
iade astronom tingkat kabu
TA PENULI M. Asfar Sya Agustus 19 ulawesi Sela nsa@yahoo. mba. Adapun 2010 outh Nationa lympiad 201 PTN ITB 20
gkitan nasio omi tingkat k
mi tingkat k upaten tahun
IS
afar, berusia 994. Beragam atan. Nomor
com. Kini d n prestasi y
al Science a
11 11
nal Kab. Bu kabupaten ta
abupaten ta n 2011
a 17 tahun ma Islam, be r telepon 08 duduk di kel yang pernah
and Techno
ulukumba ta ahun 2008 ahun 2010
dan lahir d eralamat di J 8124220115
las XII IPA diraih antar ology Award ahun 2008 di Jl. 3, 1 ra ds
(13)
Nama
:
M.
ASFAR
SYAFAR
Tempat/Tanggal
lahir
:
BULUKUMBA,
3
AGUSTUS
1994
Status
:
Pelajar/Mahasiwa
*)
coret
salah
satu
Nama
Sekolah/Universitas:
SMA
NEGERI
1
BULUKUMBA
Tema
yang
dipilih
:
UPAYA
PENANGGULANGAN
TERKAIT
MINIMNYA
AKSES
TERHADAP
AIR
BERSIH
DAN
BURUKNYA
LAYANAN
SANITASI
Akun
:
TIDAK
ADA
Akun
:
ASFAR
SYAFAR
Alamat
:
[email protected]
Alamat
Rumah
:
JL.
LURE
9,
BULUKUMBA,
SULAWESI
‐
SELATAN
No
Handphone
:
085696638507/(0413)
82926
(14)
Pemenang Kedua Kategori Pelajar
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
Saatnya Sanitasi dan Akses Air Bersih Menjadi Sorotan
Oleh Siti Kholifatul (SMA Negeri 1 Ponorogo)
Sehat, satu kata sederhana namun cukup rumit dalam usaha pencapaian terhadapnya. Kesehatan menjadi indikator penting penentu sejahtera tidaknya suatu masyarakat. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang tidak bisa tidak mutlak dimiliki oleh setiap manusia. Tanpa memiliki komponen satu ini, manusia tidak akan bisa melakukan kegiatan apapun untuk menunjang kehidupannya. Dan bahkan ketidak tercapaian definisi sehat dalam diri seseorang dapat mengancam kelangsungan hidup seseorang tersebut. Karenanya adalah hal yang wajib untuk menjadikan kesehatan sebagai sorotan utama setiap individu dan lebih jauh pemerintah sebagai pengayom masyarakat itu sendiri. Dalam pencapaian sehat yang ideal ada beberapa indikator yang harus dipenuhi, diantaranya adalah kepenuhan akan gizi dalam makanan yang dikonsumsi, latihan fisik secara proporsional, pola hidup yang sehat, akses air bersih dan sanitasi yang layak.
Selama ini permasalahan yang dialami masayarakat Indonesia terkait masalah akses air besih dan sanitasi yang layak masih sangat kompleks. Hasil studi Indonesian Sanitation Sector Development Program Tahun 2006, sekitar 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke sungai, sawah, kolam, dan tempat terbuka lainnya. Sungguh ironis jika kita lirik, hampir setengah dari penduduk Indonesia belum memiliki kesadaran yang memadai dengan konsep sanitasi yang ideal. Padahal dengan jumlah penduduk yang mencapai hampir 230 juta jiwa, kondisi sanitasi yang buruk dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam wabah penyakit yang dapat dengan mudah menyerang dan menyebar ke masyarakat yang padat
(15)
penduduk. Penyakit yang dapat disebabkan oleh buruknya sanitasi dan kualitas air adalah diare, hepatitis A, disentri, basil kolera, polio, cacingan dan penyakit-penyakit lainnya yang penyebarannya sangat cepat. Ambil contoh saja kasus diare, berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2004, penyakit ini masih menjadi penyebab terbesar kematian anak di dunia yang membuat 1,8 juta orang di dunia meninggal, dimana sebagian besar dari mereka adalah anak dengan usia di bawah lima tahun. Fakta yang mencengangkan dimana anak-anak penerus bangsa kita direnggut oleh penyakit yang disebabkan oleh buruknya kondisi sanitasi. Belum lagi masalah sulitnya akses terhadap air bersih terutama di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Karenanya diperlukan suatu sistem yang benar-benar fokus menanggulangi masalah ini.
Sanitasi sendiri adalah perilaku pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan tujuan untuk menghindarkan manusia dari berbagai macam penyakit. Bahaya ini bisa saja terjadi secara fisik, disebabkan oleh mikrobiologi dan agen-agen kimia dari penyakit-penyakit terkait. Bahan buangan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan bisa berupa feses (kotoran) hewan dan manusia, limbah buangan padat, air buangan domestik (air bekas cucian, air seni, air buangan mandi), limbah buangan industri, limbah buangan pertanian, dan lain lain. Limbah-limbah dapat dengan mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan jumlah yang sangat besar. Kalkulasikan saja limbah domestik dari sekian juta kepala rumah tangga, belum lagi dengan limbah hasil industri dan pertanian yang jumlahnya tidak kalah besar. Hal ini tentu dapat menjadi masalah yang serus jika tidak ditangani secara proporsional dan berkala. Sementara susahnya akses terhadap sanitasi dasar mencapai 90,5%(di perkotaan dan 67% di pedesaan. Namun akses terhadap sanitasi setempat yang aman (menggunakan septic tank) baru mencapai 71,06% (kota) dan 32,47% (desa). Hal ini turut memperburuk keadaan. Kondisi sanitasi yang buruk sudah sangat rawan menyebarkan
(16)
berbagai macam wabah penyakit, masih ditambah lagi dengan susahnya akses terhadap air bersih. Padahal air adalah kebutuhan vital bagi manusia. Manusia dapat bertahan tanpa makanan lebih dari satu bulan, tapi manusia akan mati tanpa mengkonsumsi air lebih dari tujuh hari saja. Hal ini juga mengindikasikan bahwa air adalah komponen utama yang dikonsumsi manusia, karenanya kebutuhan akan air sifatnya mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Bersamaan dengan permasalahan yang kompleks ini, deadline Millenium Development Goals di tahun 2015, yang menargetkan pengurangan setengah dari populasi penduduk yang tidak terjangkau akses ke sanitasi yang baik pada tahun 2015 semakin mendesak. Karenanya perlu diadakan evaluasi yang berkala terhadap sistem sanitasi dasar dan air bersih di Indonesia untuk mengetahui faktor apa yang menghambat tercapainya kondisi sanitasi dan akses air bersih yang ideal. Sehingga dapat diketahui mana-mana yang perlu diperbaiki dan diperbaharui. Faktor-faktor yang perlu dievaluasi adalah stakeholder yang berperan di dalamnya, yaitu pihak pemerintah dan masyarakat sendiri.
Dari pihak pemerintah, hendaknya mengkaji ulang peraturan dan undang-undang serta program-program yang dicanangkan untuk peningkatan kualitas dan mutu sanitasi dan air. Dewasa ini perhatian pemerintah terhadap sektor sanitasi sangatlah minim, sanitasi belum menjadi prioritas pembangunan bagi para pengambil keputusan. Berdasarkan data, alokasi APBN pusat untuk sektor ini pada tahun 2002 hanya 1,8%. Rata-rata APBD provinsi tahun 2002 3,3%, sementara APBD kabupaten dan kota tahun 2002 sejumlah 5,7%. Terlihat betapa kebutuhan akan sanitasi dan akses air bersih masih sangat dikesampingkan oleh pemerintah. Padahal dapat kita lihat dengan gamblang kondisi lingkungan masyarakat kita. Pemukiman kumuh masih merajalela menghiasi kota-kota besar, masalah persampahan yang tak kunjung usai, minimnya fasilitas sanitasi terutama bagi warga yang kurang mampu, merebaknya penyakit malaria dan muntaber, kejadian luar biasa diare hingga flu burung, menunjukkan
(17)
betapa buruknya kondisi sanitasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena buruknya infrastruktur sanitasi yang dibangun pemerintah untuk penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, drainase air selokan, dan lain-lain.
Selain itu, susahnya akses air bersih tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di daerah terpencil. Bahkan, masyarakat di perkotaan pun kesulitan mendapatkan air bersih hingga untuk mendapatkannya masyarakat harus membayar mahal sehingga bagi mereka yang tidak mampu cukuplah menggunakan air sungai yang penuh dengan kuman dan bakteri. Air minum perpipaan sebagai sistem perairan yang ideal masih belum dirasakan oleh masyarakat secara maksimal. Hal ini karena mahalnya air yang bersumber dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena PDAM sendiri memiliki berbagai macam permasalahan kompleks yang menghambat produktivitas mereka untuk menyediakan air bersih yang layak dan terjangkau bagi masyarakat. Permasalahan tersebut mencakup permasalahan secara teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non-teknis (status kelembagaan PDAM, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain. Hal ini menyebabkan cost untuk produksi menjadi sangat besar sehingga mau tidak mau tarif PDAM pun cukup tinggi hingga tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Karenanya pemerintah hendaknya mulai memberi perhatian lebih dengan meningkatkan anggaran pembelanjaan negara pada sektor ini. Dan tentunya juga melakukan koordinasi kepada pemerintah daerah untuk ikut fokus dalam upaya perbaikan sanitasi dan akses air bersih di daerahnya, karena berdasar UU No. 32 Tahun 2004 masalah sanitasi merupakan kewenangan daerah sedang perkembangan di daerah belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Secara ekonomis, peningkatan anggaran untuk sanitasi terlihat akan banyak menyedot banyak income, namun jika kita telisik lebih dalam lagi tidak adanya
(18)
sanitasi yang baik mengakibatkan biaya kesehatan membengkak untuk menangani berbagai kasus atas penyakit yang banyak muncul karena buruknya sanitasi. Sanitasi yang buruk juga menyebabkan kualitas air menurun yang lagi-lagi akan berdampak pada pendanaan ketersediaan air untuk masyarakat. Selain itu, hal ini juga berakibat buruk pada pariwisata Indonesia yang juga menurun peminatnya karena kondisi Indonesia yang tidak higienis. Perbaikan sarana sanitasi dengan peningkatan anggaran untuk memperbaikinya tidak akan membuat pemerintah membuang dana tersebut dengan sia-sia, artinya dana tersebut sama sekali tidak bersifat konsumtif. Karena produktivitas yang meningkat dan terhindarnya dari sakit dan kematian. Juga akan meningkatkan angka harapan hidup dan menyumbang peningkatan perkembangan ekonomi setiap tahun.
Estimasi dana yang mencukupi harus dibarengi dengan efektifitas program yang telah dicanangkan sebelumnya. Program-program seperti Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), pembentukan komunitas, Open Defaction Free, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum rumah tangga, sanitasi total, proyek jamban dan sanitasi dasar harus digalakkan lebih giat lagi. Kontrol dan sosialisasi secara langsung dari pihak pemerintah kepada masyarakat perlu terus dilakukan untuk melaksanakan program ini secara efektif. Selain itu, pemerintah harus pula mengefektifkan peran swasta dan masyarakat sebagai pelaku aktif dalam proyek perbaikan sanitasi ini. Hendaknya peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi swasta digalakkan dan diekplorasi lagi, seperti penggunaan metode kemitraan antara pemerintah dengan yayasan/ LSM. Dimana pemerintah memberikan dana hibah untuk pembangunan proyek perbaikan snitasi dan akses air bersih sedang LSM bertindak sebagai pengelola sehingga dana tersebut bergulir dan dikelola oleh masyarakat sendiri dibawah control kontrol dan difasilitasi oleh yayasan. Bantuan secara teknis dari pihak yayasan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah, dan peran yayasan sebagai pendamping masyarakat itu sendiri.
(19)
Di samping itu kesadaran masyarakat adalah faktor utama yang harus diperbaiki, karena bermacam infrastruktur dan fasilitas yang dibangun pemerintah akan sia-sia jika masyarakat tidak memiliki iktikad baik dan memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya sanitasi. Masyarakat adalah objek sekaligus subjek aktif yang akan menyukseskan program ini. Kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara fasilitas sanitasi dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dapat dicapai dengan berbagai cara. Di antaranya, dengan melibatkan tokoh masyarakat yang disegani dalam kampanye dan sosialisasi. Ini artinya harus ada tokoh masyarakat yang mumpuni dalam hal kelingkungan, jika tidak ada maka pemerintah harus melakukan pendekatan terhadap tokoh masyarakat tersebut dan memberikan pengetahuan yang cukup mengenai program-program sanitasi yang akan dilaksanakan. Karena umumnya masyarakat akan lebih tergerak jika pihak yang menggerakkan adalah tokoh yang disegani dan mereka kenal dalam kesehariaannya. Selain itu, media juga berperan banyak dalam penyebaran propaganda positif dan kampanye kesadaran kelingkungan. Pemerintah dapat mensosialisasikian program jamban bersih lewat media elektronik, spanduk, media cetak, dan lain-lain.
Sosialisasi secara langsung juga harus dilakukan, hal ini dapat melalui kelompok Karang Taruna atau perkumpulan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di daerah. Hal ini justru akan lebih mengena, karena masyarakat dapat berinteraksi secara langsung dan bertanya bermacam hal terkait sanitasi dan air bersih. Serta pembentukan kelompok aktif di masyarakat seperti forum-forum kepedulian terhadap lingkungan, remaja masjid, klub jantung sehat, klub manula, pengelola kebersihan/sampah, dan lain-lain. Dengan adanya forum-forum tersebut, akan membentuk kesadaran dari semua elemen masyarakat. Masyarakat, baik dari kalangan muda, tua, ibu-ibu, remaja, pelajar, dan yang lainnya. Sehingga jika semua pihak terkait telah memiliki kesadaran yang tinggi, program dapat
(20)
dilaksanakan dengan mantap karena semua subjek yang berkecimpung di dalamnya telah siap.
Setelah kesadaran dan pengetahuan tersebut terbentuk, masyarakat dapat menentukan sendiri program-program yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya, menyusun rencana aksi, membentuk tim dan mengelola pembangunan fisik. Sehingga terbentuklah masyarakat yang mandiri dalam hal inisiasi, pelaksanaan, dan pengawasan perbaikan sanitasi itu sendiri. Dari sinilah kesejahteraan masyarakat dalam hal sanitasi dan akses air bersih dapat tercapai.
Sumber:
1. Pedoman Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Departemen Kesehatan RI 2008
2. Kajian Kebijakan Pengelolaan Sanitasi Berbasis Masyarakat oleh Ir. Tuti Kustiah. Pusat Penilitian & Pengembangan Permukiman, Balitbang Dep.PU, Desember 2005
(21)
Pemenang Ketiga Kategori Pelajar
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
UPAYA PEMUKIMAN PPA SANILA DI LINGKUNGAN MASYARAKAT Oleh Muhammad Gilang Ramadhan Putra (Ponpes Daar El-Qolam II)
Keadaan negara Indonesia masih terlihat sangat memilukan, dimana satu wilayah atau lingkungan sekitar mengalami peristiwa yang sudah biasa terjadi, kekurangan air. Keterlibatan masyarakat dalam menangani masalah ini menjadi salah satu hal yang rumit, jika kita melihat dari sisi ekonomi. Banyak dari masyarakat tak mampu yang tak sanggup untuk mengatasi kekurangan air ini karena adanya ketidakpastian dari pemerintah dalam penanggulangan akses air bersih dan sanitasi layak bagi masyarakat tak mampu tersebut. Sungguh sangat berbeda dengan mereka yang hanya menggunakan berbagai fasilitas tertentu dan mengeluarkan uang banyak tanpa berpikir panjang. Patut kita sadari bahwa hal ini dapat menjadi suatu landasan pemikiran seseorang dimana perlu adanya aktifitas yang didukung oleh fasilitas tertentu, yang mungkin dapat membantu masyarakat tersebut dalam penanggulangan minimnya akses terhadap air bersih dan sanitasi layak untuk masyarakat.
Air adalah senyawa penting bagi semua bentuk kehidupan yang ada di muka bumi, dan tidak ditemukan di planet lain. Unsur tersebut sungguh sangat dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, khussusnya dalam hal jasmani. Air yang dibutuhkan tentunya air bersih yang bermutu baik dan biasa dikonsumsi oleh manusia atau dimanfaatkan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Jika bukan, maka kadar yang terdapat dalam air tersebut akan merusak kandungan yang seharusnya dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
(22)
Penggunaan air bersih sangat terkait dengan kegiatan sanitasi. Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat dapat mendukung faktor-faktor yang akhirnya akan menjadi hasil yang sangat analitis, seperti pembiasaan dalam hidup bersih dari segala sisi. Hasil tersebut juga akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga dirinya dari berbagai kotoran dan cinta alam. Akan tetapi, jika dilihat dari bahaya-bahaya yang dialami, mungkin bisa terjadi secara fisik, mikrobiologi, dan agen-agen kimia atau biologis dari penyakit terkait. Bahan buangan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan terdiri dari tinja manusia atau binatang, sisa bahan buangan padat, air bahan buangan domestik (cucian, air seni, bahan buangan mandi atau cucian), dan bahan buangan industri dan bahan buangan pertanian. Maka dari itu, perlu adanya akses air bersih dan sanitasi layak sebagai penanggulangan umum.
Sebenarnya, masalah yang dialami oleh masyarakat ini bukanlah perkara yang rumit, jika pemerintah menindaklanjuti masalah ini dengan akurat. Saya, sebagai masyarakat indonesia sendiri, menyadari adanya kekurangan dalam kinerja pemerintah kali ini. Banyak sekali hal-hal mudah yang selalu diremehkan sehingga hasil yang diinginkan benar-benar tidk maksimal. Melalui apa yang saya analisa dari problema tersebut, saya ingin sekali menggalakkan upaya PPA SANILA (Program Penyulingan Air dan Sanitasi Layak) sebagai acuan dan sumber dalam mengatasi masalah yang selama ini melanda kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang benar-benar kurang mampu.
(23)
PPA SANILA ini diperuntukkan untuk masyarakat yang benar-benar kurang mampu dan kesulitan untuk mengakses air bersih. Saya menggalakkan program ini berdasarkan apa yang saya amati, dan setelah apa yang dibutuhkan telah dipenuhi, saya dapat menyusun keanggotaan kecil yang ada di sekolah. Saya mengajak beberapa teman saya yang bergerak di bidang kesehatan dan kegiatan ilmiah. Karena sekolah saya berbasis pesantren, saya akan menggalakkan terlebih dahulu di desa sekitar pesantren saya, tepatnya di daerah Pasir Gintung. Melalui penyulingan air, saya dapat mengakses air tersebut agar dapat dipergunakan oleh masyarakat sekitar.
Penyulingan air yang dilakukan terbagi kedalam beberapa proses yang perlu diperhatikan langkah-langkahnya. Langkah awal yang harus ditempuh yaitu dengan menggunakan proses destilasi. Proses ini akan menghilangkan kandungan garam yang terkandung dalam air secara sistematis. Akan tetapi, salah satu kekekurangannya adalah biayanya yang terlalu mahal. Sekali pemakaian alat destilasi dapat mencapai jutaan rupiah, dan hal ini tak mungkin terjadi jika masyarakat belum dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan juga pemerintah yang terlalu mementingkan hal besar dibandingkan kesejahteraan umat manusia. Maka dari itu, perlu adanya pembaharuan yang layak agar proses ini dapat mendukung akses air bersih dan pelayanan sanitasi yang terjamin.
Dengan adanya inovasi dan beberapa pemikiran, maka didapatlah perantara proses yang mudah dan terjangkau. Kita dapat menggunakan saringan kain katun. Pembuatan saringan air dengan menggunakan kain katun merupakan teknik penyaringan yang paling sederhana atau mudah. Air keruh disaring dengan menggunakan kain katun yang bersih. Saringan ini dapat membersihkan air dari kotoran dan organisme kecil yang ada dalam air keruh. Air hasil saringan tergantung pada
(24)
ketebalan dan kerapatan kain yang digunakan. Selanjutnya, kita dapat memanfaatkan kapas sebagai saringan. Teknik saringan air ini dapat memberikan hasil yang lebih baik dari teknik sebelumnya. Seperti halnya penyaringan dengan kain katun, penyaringan dengan kapas juga dapat membersihkan air dari kotoran dan organisme kecil yang ada dalam air keruh. Hasil saringan juga tergantung pada ketebalan dan kerapatan kapas yang digunakan.
Selain pemanfaatan melalui perantara katun, kita juga dapat menggunakan sistem aerasi. Aerasi merupakan proses penjernihan dengan cara mengisikan oksigen ke dalam air. Dengan diisikannya oksigen ke dalam air maka zat-zat seperti karbon dioksida serta hidrogen sulfida dan metana yang mempengaruhi rasa dan bau dari air dapat dikurangi atau dihilangkan. Selain itu partikel mineral yang terlarut dalam air seperti besi dan mangan akan teroksidasi dan secara cepat akan membentuk lapisan endapan yang nantinya dapat dihilangkan melalui proses sedimentasi atau filtrasi. Adapun proses yang hampir sejenis, yaitu proses penyaringan pasir lambat. Saringan pasir lambat merupakan saringan air yang dibuat dengan menggunakan lapisan pasir pada bagian atas dan kerikil pada bagian bawah. Air bersih didapatkan dengan jalan menyaring air baku melewati lapisan pasir terlebih dahulu baru kemudian melewati lapisan kerikil. Untuk keterangan lebih lanjut dapat temukan pada artikel Saringan Pasir Lambat (SPL). Setelah itu, ada yang dinamakan proses penyaringan pasir cepat. Saringan pasir cepat seperti halnya saringan pasir lambat, terdiri atas lapisan pasir pada bagian atas dan kerikil pada bagian bawah. Tetapi arah penyaringan air terbalik bila dibandingkan dengan Saringan Pasir Lambat, yakni dari bawah ke atas (up flow). Air bersih didapatkan dengan jalan menyaring air baku melewati lapisan kerikil terlebih
(25)
dahulu baru kemudian melewati lapisan pasir. Untuk keterangan lebih lanjut dapat temukan pada artikel Saringan Pasir Cepat (SPC).
Adapun proses penyulingan air yang unik yaitu Gravity-Fed Filtering System dan saringan arang. Gravity-Fed Filtering System merupakan gabungan dari Saringan Pasir Cepat(SPC) dan Saringan Pasir Lambat(SPL). Air bersih dihasilkan melalui dua tahap. Pertama-tama air disaring menggunakan Saringan Pasir Cepat(SPC). Air hasil penyaringan tersebut dan kemudian hasilnya disaring kembali menggunakan Saringan Pasir Lambat. Dengan dua kali penyaringan tersebut diharapkan kualitas air bersih yang dihasilkan tersebut dapat lebih baik. Untuk mengantisipasi debit air hasil penyaringan yang keluar dari Saringan Pasir Cepat, dapat digunakan beberapa/multi Saringan Pasir Lambat. Sedangkan saringan arang dapat dikatakan sebagai saringan pasir arang dengan tambahan satu buah lapisan arang. Lapisan arang ini sangat efektif dalam menghilangkan bau dan rasa yang ada pada air baku. Arang yang digunakan dapat berupa arang kayu atau arang batok kelapa. Dengan begitu air yang dihasilkan dapat dikonsumsi dengan mudah oleh masyarakat banyak.
Proses-proses penyulingan ini akan sangat berguna jika ada dukungan dari masyarakat. Setelah itu, proses sanitasi akan berlangsung dengan sangat mudah dan stabil. Karena, banyak sekali dari masyarakat yang meremehkan kegiatan sanitasi di lingkungan terbuka. Maka, perlu adanya program sanitasi layak lingkungan yang merupakan status kesehatan suatu lingkungan dan mencakup perumahan, pembuangan kotoran, dan penyediaan air bersih.
Masyarakat tentu tidak perlu bersusah payah dalam mengkonsumsi air yang didapat dari hasil sulingan, karena PPA SANILA ini akan mencoba untuk membuat pemukiman di berbagai tempat strategis dan tertimpa bahaya akses air dan layanan
(26)
buruk sanitasi, khususnya pemukiman pada sekitar daerah Pasir Gintung. Dengan adanya pemukiman ini, masyarakat dapat berbondong-bondong untuk mengkonsumsi akses air bersih dan program sanitasi layak dengan sangat mudah dan teratur. Hal ini ditujukan agar masyarakat luas, khususnya masyarakat Pasir Gintung dapat memulai hidup bersih dari masa belia.
Setelah semuanya berjalan dengan lancar dan stabil, saya dapat menyarankan kepada pemerintah tentang apa yang saya canangkan. Karena program ini sangat berpengaruh dalam mengatasi minimnya akses air bersih dan sanitasi tersebut. Terdapat hubungan yang erat antara masalah sanitasi dan penyediaan air, dimana sanitasi tersebut berhubungan langsung dengan kesehatan, penggunaan air, dan pemulihan biaya.
Jika kita lihat dari sisi kesehatan, semua penyakit yang berhubungan dengan air sebenarnya berkaitan dengan pengumpulan dan pembuangan limbah manusia yang tidak benar. Sehingga, memperbaiki yang satu tanpa memperhatikan yang lainnya sangatlah tidak efektif. Maka dari itu, perlu adanya perhatian lebih lanjut dari hubungan tersebut, karena dampaknya akan sangat buruk jika tidak dapat diperbaiki satu sama lain.
Begitu pula dengan sisi penggunaan air. Kita bisa mengambil contoh dari toilet siram dengan desain lama. Toilet siram desain lama membutuhkan 19 liter air dan bisa memakan hingga 40% dari penggunaan air untuk kebutuhan rumah tangga. Dengan jumlah penggunaan 190 liter air per kepala per hari, mengganti toilet ini dengan unit baru yang menggunakan hanya 0,7 liter per siraman bisa menghemat 25% dari penggunaan air untuk rumah tangga tanpa mengorbankan kenyamanan dan kesehatan. Sebaliknya, memasang unit penyiraman yang memakai 19 liter air di sebuah rumah tanpa WC bisa meningkatkan pemakaian air hingga 70%. Jelas, hal ini tidak diharapkan
(27)
di daerah yang penyediaan airnya tidak mencukupi, dan hal tersebut juga bisa menambah jumlah limbah yang akhirnya harus dibuang dengan benar.
Kita juga harus memperhatikan sisi pemulihan biaya yang terjadi dalam hubungan sanitasi terhadapa penyediaan air tersebut. Biaya pengumpulan, pengolahan, dan pembuangan limbah meningkat dengan cepat begitu konsumsi meningkat. Apabila kita hanya merencanakan satu sisi penyediaan air tanpa memperhitungkan biaya sanitasi akan menyebabkan kota berhadapan dengan masalah lingkungan dan biaya tinggi yang tak terantisipasi. Pada tahun 1980, Bank Dunia melaporkan bahwa dengan menggunakan praktik-praktik konvesional, untuk membuang air dibutuhkan biaya lima sampai enam kali sebanyak biaya penyediaan. Ini adalah untuk konsumsi sekitar 150 hingga 190 liter air per kepala per hari. Informasi lebih baru dari Indonesia, Jepang, Malaysia dan A. S. menunjukkan bahwa rasio meningkat tajam dengan meningkatnya konsumsi; dari 1,3 berbanding 1 untuk 19 liter per kepala per hari menjadi 7 berbanding 1 untuk konsumsi 190 liter dan 18 berbanding 1 untuk konsumsi 760 liter. Lalu, hal tersebut juga berpengaruh dalam penggunaan ulang air. Jika sumber daya air tidak mencukupi, air limbah merupakan sumber penyediaan yang menarik, dan akan dipakai baik resmi disetujui atau tidak. Oleh karena itu, peningkatan penyediaan air cenderung mengakibatkan peningkataan penggunaan air limbah, diolah atau tidak dengan memperhatikan sumber-sumber daya tersebut supaya penggunaan ulang ini tidak merusak kesehatan masyarakat.
Proses penyulingan yang digalakkan ini akan menjadi sempurna dengan adanya pemukiman atau penetapan dibeberapa daerah tertentu, sehingga masyarakat hanya akan datang dan meminta air hasil penyulingan tersebut. Air yang dihasilkan telah menjadi
(28)
air bersih karena zat-zat beracun telah difiltrasi sehingga membuat kereaktifan senyawa air menjadi stabil, sama seperti apa yang telah saya paparkan sebelumnya.
Sebenarnya, program sanitasi yang telah dibangun oleh pihak nasional juga harus dicanangkan demi membantu kestabilan hidup masyarakat dalam hal kebersihan, seperti Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah satu Program Nasional di bidang sanitasi yang bersifat lintas sektoral. Program ini telah dicanangkan pada bulan Agustus 2008 oleh Menteri Kesehatan RI. STBM merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Strategi Nasional STBM memiliki indikator outcome yaitu menurunnya kejadian penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku. Sedangkan indikator output-nya adalah akses terhadap sarana sanitasi dasar bagi setiap individu sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di sembarang tempat (ODF), pengelolaan air minum dan makanan yang aman di rumah tangga, dan pengelolaan limbah dan sampah yang benar bagi setiap rumah tangga.
Maka dari itu, masyarakat Indonesia dan pemerintah juga harus memperhatikan hal ini secara serius. Jika pemerintah menerima PPA SANILA ini, maka proses akses air bersih dan sanitasi layak akan teratasi dengan mudah, dan juga dapat membantu kinerja para peneliti lain dalam menangani masalah akses air ini dengan berbagai macam jenis proses. Sehingga, keluhan masyarakat terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi dapat ditanggulangi dengan cepat oleh upaya pemukiman Program Penyulingan Air dan Sanitasi Layak (PPA SANILA), dan tentu mendapat dukungan dari pemerintah demi berjalannya program ini dengan lancar.
(29)
GAMBAR-GAMBAR PROSES PENYULINGAN AIR DENGAN MUDAH DAN PRAKTIS
Sumber: http://aimyaya.com/id/lingkungan -hidup/kumpulan-teknik-penyaringan-air-sederhana/
Gambar 1.1. Saringan Kain Katun
Gambar 1.2. Saringan Kapas
Gambar 1.3. Aerasi
Gambar 1 Error! No text of specified style in
(30)
Gambar 1.5. Saringan Pasir Cepat
Gambar 1.6. Gravity-fed Filtering System
(31)
Partisipasi Masyarakat sebagai Jawaban atas
Tantangan Pembangunan Sarana dan Prasarana AMPL di Indonesia
Oleh:
Hakimatul Mukaromah
(Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro)
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap manusia.
Kebutuhan air bersih di perkotaan rata-rata adalah sekitar 100-200 liter/orang/hari.
Artinya jika dikalikan dengan total penduduk Indonesia, yaitu sejumlah
237.641.326 jiwa (Sensus Penduduk, 2010) maka dapat diketahui betapa besarnya
kebutuhan air bersih yang harus di-supply. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan
untuk kegiatan agrikultur dan industri yang tentunya memiliki jumlah lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan air domestik.
Ada berbagai macam sumber air bersih yang dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia. Pada tahun 2006, 52,1% penduduk Indonesia telah
memiliki akses terhadap air bersih yang aman
1. Sebagian besar masyarakat
perkotaan telah memiliki akses terhadap air perpipaan atau PDAM. Namun, hal
ini berbeda dengan masyarakat di pedesaan atau yang tinggal di daerah dataran
tinggi yang tidak terjangkau pelayanan air bersih dari PDAM. Hal ini tidak
menjadi masalah jika daerah tempat tinggal mereka memiliki kualitas dan
kuantitas air tanah yang baik dan layak digunakan untuk keperluan domestik
seperti minum, cuci, masak, mandi, dan lainnya. Akan tetapi, hal ini menjadi
kesulitan sendiri bagi mereka yang tinggal di dataran tinggi, di mana sumber air
1
(32)
tanah sangat terbatas kuantitasnya. Terkadang masyarakat tersebut harus berjalan
berkilo-kilometer untuk dapat mengambil air bersih sebagai kebutuhan
sehari-hari.
Penyediaan sarana dan prasarana AMPL khususnya air minum tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Masyarakat, sebagai konsumen,
seharusnya juga ikut serta dalam pembangunan dan pemeliharaannya. Hal inilah
yang saat ini dikembangkan di Indonesia, yaitu kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat. Bahkan tidak menutup kemungkinan adanya bantuan pihak lain
seperti LSM atau dari
private sector. Kerjasama ini bisa dilakukan dalam aspekfinansial, teknologi atau dalam hal sosialisasi dan pendampingan.
Sampai saat ini telah banyak program yang telah dilaksanakan oleh
Pokja AMPL (Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) dalam
upaya meningkatkan pembangunan, penyediaan, pemeliharaan dan keberlanjutan
pelayanan khususnya untuk prasarana dan sarana air bersih atau air minum.
Program tersebut diantaranya adalah pembuatan sambungan komunal di
Kelurahan Sunggal, Kampung Baru, Kampung Sei Meti, Kota Medan dan Desa
Cibodas, Bandung; pembuatan sumur bor di Kelurahan Kedung Kandang dan
Lesanpuro Kota Malang; program zakat air di Kabupaten Pemalang; dan berbagai
program lainnya
2. Dari beberapa program penyediaan sarana dan prasarana air
bersih di atas, terdapat satu hal yang menjadi perhatian Pokja AMPL, yaitu
keterlibatan masyarakat.
2
(33)
Peran serta masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana
AMPL menjadi salah satu strategi yang dilakukan oleh Pokja AMPL. Masyarakat
dapat berperan sebagai pencetus (pioneer), pelaksana pembangunan, pemelihara,
serta dapat berperan dalam monitoring dan evaluasi AMPL. Keterlibatan
masyarakat ini tentunya memiliki tujuan yang penting, yaitu pembangunan sarana
dan prasarana AMPL diharapkan dapat berjalan dengan
sustainable. Hal inimengingat banyak sekali tantangan yang harus dihadapi baik pada tahap sebelum,
saat, maupun setelah proses pembangunan sarana dan prasarana AMPL.
Pada fase pertama, yaitu sebelum pembangunan sarana dan prasarana
AMPL, partisipasi masyarakat merupakan salah satu pondasi bagi keberlanjutan
pembangunan yang akan dilakukan. Pada tahap ini biasanya terdapat seorang
pioneerdari dalam komunitas yang memiliki kemauan dan kemampuan kuat
dalam melakukan inisiasi atau pengajuan pembuatan sarana dan prasarana AMPL.
Bahkan tidak menutup kemungkinan pioneer tersebut berasal dari luar komunitas
yang memiliki kapabilitas yang lebih dan mampu melakukan pendekatan persuasi
terhadap masyarakat.
Pada tahap ini kadang terdapat konflik dari dalam komunitas target
pembangunan sarana dan prasarana AMPL. Konflik ini bisa timbul dari aspek
finansial atau pembiayaan pembangunan, aspek fisik (lahan yang akan dipakai
untuk pembangunan), atau pengambilan keputusan lain yang sulit mencapai
mufakat. Oleh karena itu, suatu lembaga, baik secara formal maupun informal
perlu dibentuk. Dalam lembaga ini beranggotakan orang-orang yang berasal dari
(34)
dalam komunitas maupun dari luar komunitas yang dianggap memiliki pengaruh
leadership terhadap komunitas.Dengan adanya kelembagaan yang mampu mengkoordinir masyarakat
secara lebih sistematis dan berasal dari dalam komunitas mereka sendiri, maka
akan cenderung untuk lebih mudah diketahui kemauan masyarakat dan diharapkan
juga nantinya mampu meminimalisir konflik yang mungkin timbul. Peran awal
lembaga atau organisasi ini adalah memberikan sosialisasi kepada masyarakat atas
pembangunan sarana dan prasarana AMPL; melakukan musyawarah terkait lokasi
pembangunan, sistem pembiayaan, dan hal teknis lainnya; sebagai fasilitator
antara masyarakat keseluruhan dengan institusi atau lembaga donor/pemberi
bantuan (jika ada).
Dengan adanya tahap inisiasi dan sosialisasi yang sifatnya lebih
partisipatif, maka masyarakat akan merasa dilibatkan dalam pengambilan
keputusan. Tahap sosialiasi ini dapat dilakukan secara konvensional seperti
pertemuan rutin atau melalui teknik lain yang lebih menarik minat masyarakat.
Misalnya, visualisasi pemanfaatan sampah anorganik oleh komunitas lain yang
telah berhasil menerapkannya. Tujuan yang diharapkan dari proses sosialisasi ini
adalah masyarakat nantinya memiliki rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
tanggung jawab dalam operasional sarana dan prasarana AMPL hingga waktu
yang akan datang.
Selanjutnya pada tahap pembangunan, masyarakat memang tidak
diharuskan untuk berpartisipasi secara langsung. Tetapi, tidak menutup
kemungkinan bagi mereka untuk ikut serta dalam proses pembangunan fisik ini.
(35)
Yang pasti, masyarakat diharapkan mengerti sistem yang diterapkan dan mampu
mereplikasi sendiri jika dibutuhkan.
Pepatah mengatakan, “Setiap orang bisa membangun, tetapi hanya
sebagian yang mampu merawat dan menjaga”. Seperti halnya sarana dan
prasarana AMPL, proses pembangunannya memang cukup mudah, namun untuk
menjaga fungsinya agar tetap
sustain tidak hanya membutuhkan kemampuantetapi juga kemauan yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan strategi
guna mengajak masyarakat agar tetap konsisten menjaga sarana dan prasarana
AMPL yang telah dibangun. Misalnya adalah dengan penyelenggaraan sayembara
atau pemberian apresiasi terhadap masyarakat yang memiliki kontribusi besar
dalam menjaga keberlanjutan sarana dan prasarana AMPL.
Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan
pengelolaan sarana dan prasarana AMPL belum tentu dapat menjamin
keberlanjutan dari pemanfaatan sarana dan prasarana AMPL tersebut. Perlu
adanya monitoring dan evaluasi baik dari insider team maupun outsider time. Hal
ini untuk memantau apakah ada penyelewengan atas sistem yang telah disepakati
sebelumnya. Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat kebutuhan akan sarana
prasarana AMPL yang tentunya meningkat seiring dengan pertambahan penduduk
di wilayah terkait. Sehingga konsistensi penerapan sistem yang telah disepakati
dapat rentan untuk diselewengkan.
Keterlibatan masyarakat ini tidak hanya secara teknis seperti yang
tersebut di atas. Tetapi, pemahaman masyarakat akan pentingnya menjaga
keberlanjutan sumber daya dan kelestarian lingkungan menjadi bagian yang tidak
(36)
terpisahkan. Keterbatasan sumber daya air misalnya, meskipun telah dibangun
sarana dan prasarana yang mampu men-supply kebutuhan air bersih secara
mencukupi bahkan lebih, masyarakat tetap harus menghemat penggunaannya.
Karena terkadang seiring dengan perkembangan sarana dan prasarana yang ada,
perilaku masyarakat cenderung berubah. Ketika masyarakat kesulitan untuk
mendapatkan air bersih, mereka cenderung untuk sebisa mungkin menghemat
penggunaannya. Sedangkan ketika air bersih sudah mampu diakses secara lebih
mudah, perilaku mereka berubah menjadi lebih
„loyal‟ dalam menggunakan air
bersih. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi pasca pembangunan sebagai salah
satu upaya untuk tetap menjaga keberlanjutan sarana dan prasarana AMPL serta
untuk keberlanjutan ketersediaan sumberdaya yang ada.
Pelibatan masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana AMPL
ini, pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang sadar dan peduli
terhadap lingkungannya. Mereka diharapkan juga mampu lebih mandiri atau
bahkan mampu berinovasi dalam pemanfaatan potensi dan sumber daya di
lingkungan mereka terkait dengan pemberdayaan yang telah dilakukan seiring
dengan jalannya sosialisasi. Dengan adanya kesinambungan antara kemajuan
sumber daya manusia dan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam maka
diharapkan dapat tercipta lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
(37)
REFERENSI
Bappenas, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen
Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan. 2003.
Kebijakan Na sional Pembangunan Air Minum dan Penyehata n Lingkungan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Bappenashttp://www.bps.go.id/aboutus.php?sp=0, diakses pada 2 Oktober 2011
http://eprints.undip.ac.id/4624/1/dodyTA.pdf, diakses pada 2 Oktober 2011
http://kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/pengantar-pengolahan-air-bersih-compatibility-mode.pdf, diakses pada 2 Oktober 2011
http://www.indonesiatoday.in/, diakses pada 2 Oktober 2011
Pokja AMPL. 2008.
Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di(38)
Pemenang Kedua Kategori Mahasiswa
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
Tema : Upaya penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia
Upaya Peningkatan Stratifikasi Sosial Masyarakat Miskin di Indonesia,
Dengan Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang
Berkelanjutan , Sistematis , dan Efisien
Oleh Frederic Hamonangan Tumanggor (Universitas Brawijaya)
Latar Belakang
Dari hasil sensus penduduk tahun 2005 jumlah penduduk Indonesia adalah 218,868,791 jiwa.
Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara negara- negara yang sedang
berkembang setelah Cina dan India. Dibanding dengan jumlah sensus tahun 1990 maka akan
terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata 1,98 – 2,11% pertahun. Bila dilihat dari luas
wilayah pada peta penyebaran penduduknya, kita akan melihat realita bahwa pola penyebaran
pendududk di 33 propinsi, tidak merata. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2005 sekitar
60% penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luas wilayah
Indonesia. Dilain pihak pulau Kalimantan yang luas wilayahnya hampir 6 kali luas wilayah pulau
jawa, hanya ditempati oleh 5% dari jumlah penduduknya (BPS, 2011).
Dilihat dari tingkat pertambahan penduduknya, Indonesia masih masuk dalam kategori tinggi.
Hal ini bila tidak diupayakan pengendaliannya akan menimbulkan banyak masalah. Sebagai
contoh di Indonesia, tingkat partisipasi anak usia sekolah untuk tingkat SMA sederajat, baru
mencapai 55.83%. Dibanding negara tetangga, tingkat partisipasi pendidikan kita masih
(39)
tergolong rendah. Hongkong misalnya, pada tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan
88% dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 2005). Masalah-masalah
lain seperti tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia juga sangat rendah. Sekitar 77%
angkatan kerja masih berpendidikan rendah (dibawah SMA/sederajat). Hal ini, tentu saja akan
berdampak terhadap pendapatan perkapita yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap
kualitas hidup dan konflik pada kehidupan rumah tangga seperti perceraian dan perkawinan usia
dini yang nantinya akan berpengaruh terhadap angka kelahiran dan kematian. Hal inilah yang
dalam banyak hal dijadikan indikator bagi kesejahteraan suatu Negara sesuai dengan paradigma
ahli kependudukan Amerika Serikat, Sharp et al, “negara miskin itu miskin karena dia miskin”
(a poor country is poor because it is poor). Nampaknya sederhana, tetapi harus diingat bahwa
manusia adalah sebagai subjek tetapi juga sekaligus objek pembangunan sehingga bila tidak
diantisipasi mungkin pada gilirannnya akan berakibat ketidakstabilan atau kerapuhan suatu
negara.
Polemik Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu, umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya
kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati
fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pembangunan sanitasi air yang memadai
dan kemudahan - kemudahan lainnya yang biasa tersedia pada jaman modern di negara-negara
maju. Pemerintah Indonesia yang berorientasi mengembangkan Indonesia menjadi negara maju
dan mapan dari segi ekonomi tentu menganggap kemiskinan adalah masalah mutlak yang harus
segera diselesaikan disamping masalah lain yaitu ketimpangan pendapatan, strukturisasi
pemerintahan, inflasi, defisit anggaran dan lain sebagainya. Pertumbuhan penduduk yang
(40)
membeludak dan tidak diimbangi oleh adanya sarana-prasarana yang memadai, menjadi
kambing hitam yang membuat pemerintah sulit untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Kemiskinan, dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki atau perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan
berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi
dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak
dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,
dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar secara umum terdiri dari antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, sanitasi, pertanahan, sumberdaya alam
dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak
dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak
terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. (
BAPPENAS, 2004 )Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat
secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya
masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat
beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak
langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat
miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi
yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai.
(41)
Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat, yang dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia. Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ) merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai nilai rata-rata dari 3 (tiga) indeks yaitu: indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks kesehatan inilah yang sering menjadi menjadi polemik utama dan memiliki hubungan secara langsung, dengan kualitas air minum dan sanitasi yang ada pada masyarakat.
Hubungan Air minum dan Sanitasi Air terhadap Stratifikasi Sosial Masyrarakat
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis). Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang
berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Salah satu ukuran
atau kriteria yang dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah kekayaan dan
ilmu pengetahuan. Kekayaan dan Ilmu pengetahuan didalam masyarakat, sangat erat kaitannya
dengan kesehatan. Hal ini dikarenakan, kesehatan merupakan suatu komponen utama yang harus
dipenuhi untuk dapat melakukan tindakan-tindakan dan usaha dalam memperoleh ilmu
pengetahuan secara optimal. Nantinya, dengan ilmu pengetahuan inilah, seseorang akan
memperoleh kekayaan untuk meningkatkan statusnya didalam stratifikasi social masyarakat.
Tingkat stratifikasi social yang rendah merupakan suatu ketidakmampuan (lack of capabilities)
seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, serta penyediaan air minum bersih dan
sanitasi. Semakin tinggi tingkat stratifikasi social yang dimiliki oleh masyarakat, dapat
dipastikan, masyarakat tersebut akan dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan minimumnya,
dan pemenuhan penyediaan air minum bersih dan sanitasi yang baik juga akan terpenuhi dengan
(42)
kemampuan daya beli yang dimilikinya. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat
yang ada pada stratifikasi sosial rendah (miskin) akan sulit untuk dapat memenuhi penyediaan air
minum bersih dan sanitasi yang baik di lingkungan rumahnya. Padahal, pemenuhan air bersih
dan sanitasi merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai,
dan juga, sistem air bersih dan sanitasi yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi,
melindungi lingkungan hidup, dan vital bagi kesehatan manusia. Hal ini diperkuat dengan
adanya sebuah studi Bank Dunia dan disebarluaskan pada bulan Agustus 2008 yang menemukan
bahwa kurangnya akses terhadap sanitasi menyebabkan biaya finansial dan ekonomi sangat berat
bagi ekonomi Indonesia, yang dalam konteks ini, lagi-lagi rakyat yang ada pada stratifikasi sosial
yang rendahlah yang menjadi korban utama.
Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Air merupakan kebutuhan mendasar bagi semua makhluk hidup. Dalam kehidupan sehari-hari,
kita memerlukan air untuk minum, mandi, cuci, masak dan sebagainya. Sedangkan keberadaan
sanitasi yang bersih dan sehat juga tidak bisa dianggap remeh keberadaannya. Sayang, tidak
semua orang di Indonesia, bisa mengakses air bersih dan mendapatkan sanitasi yang memadai
untuk kebutuhan hidup. Air yang notabene nya diciptakan Tuhan, dikelola oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk rakyat, rupanya saat ini telah menjadi barang mahal. Jika
kita lihat, masih banyak orang yang harus merogoh kocek dalam hanya untuk mendapatkan satu
liter atau se-jerigen air. Selain itu, banyak daerah di berbagai daerah di Indonesia masih
mengalami kesulitan untuk memperoleh air. Contohnya seperti di daerah NTT dan Gudung
Kidul ( liputan6.com, 3 Oktober 2011 ). Hal ini disebabkan lantaran topografi daerah tersebut
yang kurang baik, sehingga membutuhkan system infrastruktur pasokan air bersih untuk
(43)
menjadi Pekerjaan Rumah (PR) untuk kita bersama adalah air bersih yang sejatinya menjadi sumber kehidupan warga sekitar, kini sudah tercemar dan berubah warna hitam pekat, sehingga tidak layak lagi untuk mandi, cuci dan minum. Sedangkan untuk masalah sanitasi, ternyata ada kira-kira 20% penduduk Indonesia yang masih buang air besar sembarangan. Hal inilah yang menyebabkan perlu adanya suatu pemerataan
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di seluruh wilayah yang ada di Indonesia
hingga ke pelosok desa dan daerah terpencil.
Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi
yang dimaksud disini, adalah pembangunan sistem air minum pada wilayah-wilayah tertentu
sesuai dengan urgensinya yang terencana dan terintegrasi dengan pemerintah daerah yang juga
memerlukan peran aktif masyarakat setempat, dan tertuang dalam suatu rencana tata
pembangunan sistem air minum dan sanitasi jangka panjang. Selanjutnya, suatu rencana tata
pembangunan sistem air minum dan sanitasi jangka panjang tersebut, digunakan sebagai acuan
kebijakan spasial bagi pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang diharapkan dapat
berkelanjutan, sistematis, dan efisien bagi masyarakat. Sehingga, masyrakat akan dapat hidup
secara layak dan sehat, serta kesempatan mereka untuk dapat melakukan upaya optimal dalam
rangka untuk memajukan status sosial mereka agar dapat terus bergerak menuju stratifikasi sosial
yang lebih tinggi, dapat berjalan dengan baik.
Strategi Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan, Sistematis, dan
Efisien
Dilihat dari kegagalan program penanggulangan kemiskinan selama ini, strategi dan kebijakan
alternatif yang berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor menjadi kebutuhan mutlak
menanggulangi kemiskinan. Salah satunya kebijakan alternatif yang berpihak kepada rakyat
miskin adalah dengan diadakannya Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan,
Sistematis, dan Efisien di seluruh Indonesia. Untuk membuat sebuah strategi dan kebijakan
(44)
alternatif tersebut, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana penerapan
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi, dapat berjalan secara berkelanjutan, sistematis, dan
efisien. Sehingga kita harus dapat membedakannya, dengan penjabaran sebagai berikut ;
•
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan adalah strategi pembangunan Air
Minum dan Sanitasi yang ditekankan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, terutama
masyarakat miskin yang sangat memerlukan peran aktif dan sinergi antara pemerintah daerah
dan masyarakat untuk dapat membangun sistem sanitasi dan air minum yang baik dan
berkelanjutan (Sustainable) melalui tahapan-tahapan yang telah terprogram sebelumnya dan
telah disepakati bersama. Peran aktif masyarakat dan pemerintah daerah dihrapkan dapat saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan harus berlandaskan prinsip "memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan".
•
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Sistematis
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Sistematis adalah
strategi pembangunan Air Minumdan Sanitasi yang menekankan
hubungan dan keterkaitan program-program yang telah dan akan
dicanangkan oleh pemerintah untuk dapat membuat sistem pembangunan air minum dan sanitasi
yang baik, dan memiliki dapat positif bagi masyarakat dalam jangka waktu yang relatif lama,
serta penerapannya akan mudah dan dapat terus dilakukan. Contohnya melalui sistematika yang
ada pada konsep evolusi-sanitasi, yaitu konsep pendekatan pengembangan program sanitasi,
yang dimulai dengan;
1.
Fase awal evolusi; berupa peningkatan sistem on-site (kondisi sanitasi kebanyakan saat
ini), ditingkatkan secara teknis menjadi sistem on-site (septic tank) yang layak memenuhi
persyaratan teknis, beserta dengan penyediaan pelayanan IPLT, baik skala kota maupun
(1)
Optimisme dalam Penanggulangan Kemiskinan
Dengan beberapa uraian mengenai pembangunan air minum dan sanitasi, muncullah optimisme dalam penanggulangan kemiskinan melalui langkah ini. Betapa tidak, pembangunan air minum dan sanitasi akan menciptakan kesehatan bagi masyarakat dan dengan kesehatan inilah masyarakat bisa berkarya dan dengan modal kesehatan, masyarakat bisa mencari penghidupan yang layak dan lebih baik sehingga pada muaranya nanti akan mengurangi kemiskinan. Seperti yang telah kita bahas, yang menyebabkan kemiskinan adalah dari masing-masing individu, karena itu dengan meningkatnya kesehatan pada tingkat individu yang dipengaruhi lingkungan ini yang menyebabkan mereka lebih konsentrasi dalam upaya perbaikan ekonomi, dan dengan perbaikan ekonomi inilah mereka bisa mengentaskan diri dari kemiskinan. Berdasarkan perhitungan dari Bappenas, setiap anggota keluarga harus mengeluarkan uang sebanyak Rp350.000 per tahun, jika memiliki sanitasi yang buruk untuk biaya-biaya seperti ke dokter, beli obat, dan lain-lain. Nah, jika memiliki sanitasi yang baik maka biaya-biaya yang diperlukan untuk kesehatan tersebut bisa diminimalisasi dan dialokasikan untuk perbaikan ekonomi.
Pemerintah, dengan segala upayanya untuk mengurangi kemiskinan, harus memulai pengentasan kemiskinan dari aspek kesehatan. Karena, dengan perbaikan kesehatan maka anggaran kesehatan dapat berkurang dan dapat dialokasikan untuk sektor ekonomi yang menjadi sektor langsung pengentasan kemiskinan. Program ini harus diintegrasikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karena banyak para pengambil kebijakan di daerah menganggap sanitasi sebagai isu tidak penting. Ini dibuktikan dengan alokasi anggaran yang jumlahnya minim. Sebagai dampaknya, sanitasi tertinggal dibandingkan dengan sektor lainnya. Padahal sanitasi adalah kebutuhan dasar masyarakat. Kondisi sanitasi yang buruk berdampak pada rendahnya derajat kesehatan masyarakat sehingga muncul berbagai penyakit
(2)
yang berbasis sanitasi. Sebaliknya sanitasi yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Lebih jauh lagi, kesejahteraan masyarakat akan ikut meningkat. Jumlah penderita penyakit akan turun. Pemerintah kota/kabupaten bisa menghemat anggaran di bidang kesehatan.6 Oleh karena itu, dengan melihat bernagai fakta, aspek sanitasi dan air minum juga mennetukan tingkat kesejahteraan yang merupakan salah satu indikator untuk mengentaskan kemiskinan.
Penutup
Sektor air minum dan sanitasi yang dipegang langsung oleh masyarakat perlu dijaga dan perlu dibangun dalam rangka meningkatkan taraf hidup. Air minum dan sanitasi yang sangat mengindikasi kesehatan ini menjadi hal fundamental yang perlu dibenahi pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan, karena masyarakat yang sehat akan lebih mudah dalam berkarya dan dengan berkarya tersebut masyarakat berarti tengah berusaha mengentaskan diri dari kemiskinan. Pemerintah juga tidak perlu mengeluarkan ribuan kebijakan dan menghimbau masyarakat untuk lari dari kemiskinan, karena dengan sendirinya, dengan kesadaran, masyarakat akan berusaha menghindari kemiskinan apabila ada perhatian dari pemerintah. Jika dipikir-pikir siapa yang tidak ingin selalu sehat? Siapa juga yang ingin menjadi miskin? Jawabannya tidak ada, dan dengan perhatian dari pemerintah maka akan tercipta kesadaran masyarakat, tentunya dengan perhatian dari pihak-pihak yang mampu pula.
Kolaborasi yang baik dari masyarakat dan pemerintah dan optimisme nantinya akan menghasilkan sesuatu yang bermakna. Dalam hal ini, pembangunan air minum dan sanitasi akan menciptakan kestabilan kesehatan masyarakat dan berimbas positif bagi ekonomi. Dengan pembangun di sektor ekonomi, maka kemiskinan bisa berkurang dan dapat
6
http://sanitasi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=597:kisah-sukses-sanitasi-baik-anggaran-kesehatan-turun-&catid=55:berita&Itemid=125
(3)
diminimalisasi. Namun hendaknya hal ini tidak menjadi optimisme belaka, kita harus bergerak bersama-sama. Kemiskinan harus diperangi dan segera diakhiri dari jalan manapun. Jika kita bisa memulai mengentaskan kemiskinan dari aspek air minum dan sanitasi, mengapa tidak?
(4)
Pemenang Favorit Kategori Pelajar dan Mahasiswa
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
Menanggulangi Masalah Ketersediaan Air Bersih dan Sanitasi di Indonesia Oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (SMA Negeri 3 Malang)
Masalah air bersih dan sanitasi tampaknya merupakan masalah klasik yang tak kunjung usai diberantas di Indonesia. Bagaimana tidak ? Pada tahun 2011 ini, dari sekitar dua ratus jutaan penduduk Indonesia, baru 20% saja yang memiliki akses terhadap air bersih. Itu pun kebanyakan di daerah perkotaaan. Sedangkan sisanya, atau sekitar 80% rakyat Indonesia masih mengkonsumsi air yang tak layak untuk kesehatan.
Hal itu dibuktikan melalui hasil penelitian dari Jim Woodcock, seorang konsultan masalah air dan sanitasi dari bank dunia, yang hasilnya adalah 100.000 bayi di Indonesia tewas setiap tahunnya yang disebabkan oleh diare, penyakit yang paling mematikan nomor dua setelah infeksi saluran pernapasan akut. Penyebab utamanya, jelas buruknya akses terhadap air bersih serta sanitasi. Di NTT (Nusa Tenggara Timur), warga harus menempuh jarak minimal sejauh 700 meter dengan lama sekitar 46 menit ditambah dengan tekstur jalanan yang mereka lalui yang tidak rata untuk memperoleh air bersih. Tentu saja hal itu sangat memprihatinkan. Selain disebabkan oleh topografi daerah tersebut, tidak adanya sistem infrastruktur yang memadai juga merupakan penyebab utama sulitnya masyarakat mengakses air bersih.
Bahkan, saking langkanya air bersih, warga Pulau Sebatik di Kalimantan Timur pun kesulitan air bersih. Sampai‐sampai mereka harus mengambil air bersih di daerah Tawau yang telah masuk ke dalam wilayah Malaysia. Sebenarnya di daerah tersebut telah terdapat Pipa PDAM yang dibangun pada tahun 2004. Namun kondisi sudah rusak karena tidak pernah dialiri air bersih.
Data dari kementerian kesehatan menyatakan bahwa 60% sungai di Indonesia tercemar, mulai dari bahan organic sampai bakteri‐bakteri penyebab diare seperti coliform dan Fecal coli. Padahal, air sungai seharusnya bisa menjadi sumber kehidupan warga sekitar. Namun, justru malah tercemar dan berubah warnanya menjadi hitam pekat, sehingga tidak layak untuk dijadikan air minum, mandi, serta mencuci. Kondisi ini tentunya menyebabkan pencemaran lingkungan dan berimbas pada buruknya kesehatan pada warga.
Belum selesai masalah akses terhadap air bersih, masalah buruknya sanitasi juga semakin besar. Sebab, kedua hal tersebut juga berkaitan. Sebuah penelitian bahkan menunjukkan bahwa masih sekitar 70 juta masyarakat Indonesia buang air besar sembarangan setiap harinya. Itu berarti, setiap hari ada 14.000 ton tinja dan 176.000 meter kubik air seni yang mencemari lingkungan. Bakteri E.Coli juga dijumpai pada 75% air sumur dangkal di perkotaan Hal itu tentu menyebabkan akses air bersih semakin sulit. Ini dibuktikan dengan sebuah data yang menunjukkan dari 1000 orang penduduk Indonesia, 411 diantaranya terkena penyakit diare, yang itu artinya hampir 50% penduduk Indonesia.
Menurut penelitian sebuah lembaga yang bernama MDGs (Millenium Development Goals) Asia Pasifik, Bahwa untuk sektor sanitasi di Indonesia cakupan akses nasionalnya, rata‐rata memang telah
(5)
mencapai 80%, dan itu artinya telah melampaui target dari MDGs yang hanya 74%. Namun, hal itu baru sebatas kuantitas. Bukan kualitas. Dengan bukti di atas yang menunjukkan bahwa banyaknya bayi yang meninggal akibat diare, hal itu telah cukup membuktikan bahwa secara kualitas, sanitasi di Indonesia masih sangat‐sangat buruk.
Sedangkan bila ditinjau dari kuantitas dan kualitas, data terbaru yang dilansir MDGs, baru 51,02% keluarga di Indonesia yang memiliki akses sanitasi yang memadai. Targetnya, pada tahun 2015 akses sanitasi dapat naik hingga di angka 60% hingga 70%.
Masalah sanitasi juga tidak hanya merembet di masyarakat saja. Pemerintah juga ikut “kebakaran jenggot” menghadapi masalah ini. Berdasarkan data Direktorat Air Minum dan Limbah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kerugian Indonesia akibat buruknya layanan Sanitasi mencapai 58 triliyun rupiah per tahun. Salah satunya karena biaya memperoleh air bersih yang mahal.
Melihat data‐data di atas tentu kita sangat prihatin terhadap kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini ditinjau dari faktor ketersediaan akses terhadap air bersih serta sanitasi. Hal itu tentunya memunculkan tanda tanya besar. Apa penyebab buruknya kualitas air dan sanitasi di Indonesia ? Menurut saya, ada 2 masalah pokok yang menyebabkan buruknya kualitas air di Indonesia.
Masalah yang pertama adalah rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Dari data di atas saja sudah dapat dibuktikan, dengan masih banyaknya penduduk Indonesia yang buang air besar sembarangan tentu menyebabkan buruknya kualitas air di Indonesia terutama pada sumber‐sumber air yang seharusnya menjadi sumber penghidupan warga. Dengan tingkat populasi yang tinggi, namun kesadaran akan lingkungan yang rendah semakin memperparah kondisi tersebut. Masyarakat Indonesia masih sering membuang limbah rumah tangga, sampah, dst. Padahal sungai‐sungai itulah yang menjadi sumber penghidupan mereka. Belum juga eksploitasi air tanah untuk kepentingan fasilitas hotel, apartemen, dan perkantoran yang menyebabkan semakin berkurangnya debit air bersih.
Masalah yang kedua, adalah rendahnya alokasi APBD tiap daerah yang digunakan untuk memperbaiki layanan air bersih dan sanitasi. Berdasarkan data dari Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementrian Dalam Negeri, pada tahun 2010 yang lalu, rata‐rata alokasi belanja sanitasi seluruh kota dan kabupaten di Indonesia masih di angka 1,5% dari total belanja APBD. Dibandingkan pada saat tahun 2006 yang alokasi rata‐ratanya hanya 0.5%, hal itu tentu mengalami kenaikan yang signifikan. Namun, berkaca dari kondisi Indonesia saat ini, hal itu tentu jauh dari kata layak, karena kondisi sanitasi dan air bersih di Indonesia telah mencapai taraf yang sangat memprihatinkan. Dua masalah pokok di atas, sepertinya tak kunjung usai. Bahkan dari tahun ke tahun semakin besar serta rumit untuk diatasi. Lalu bagaimana cara mengatasinya agar masalah tersebut dapat sedikit demi sedikit dikurangi ?
Menurut saya ada 3 langkah strategis yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah air bersih dan sanitasi
Langkah pertama dan yang paling mendasar di sini adalah pemerintah terus menggalakkan upaya penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Hal itu sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah melalui program PHBS, yaitu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang
(6)
mengupayakan untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Sasaran penyuluhan program ini adalah kelas IV dan V SD/sederajat. Namun, di sini, saya ingin menggarisbawahi, bahwa hendaknya penyuluhan tentang PHBS sebaiknya lebih dimulai dari dini. Bahkan sejak taman kanak‐kanak pun, pemerintah harus memberikan penyuluhan juga. Mulai dari hal‐hal kecil seperti mencuci tangan sebelum makan, gosok gigi dua kali sehari, dan lainnya. Sehingga, penanaman perilaku hidup sehat dapat teraplikasikan sejak anak didik berada di pendidikan dasar.
PHBS seharusnya juga tidak hanya diberikan kepada anak‐anak. Orang tua pun juga perlu diberi pengetahuan tentang ini. Sebab, orang tua‐lah yang membentuk pribadi dan perilaku anak tersebut. Secara tidak langsung, orang tua juga menjadi pengawas bagi anak saat di rumah, apakah anak tersebut mampu melaksanakan perilaku hidup sehat ataukah tidak.
Selain itu, instansi ‐ instansi pemerintah, masyarakat, pendidikan dan lainnya juga harus diberi penyuluhan tentang ini. Dengan begitu, fasilitas di lembaga mereka tentu harus memenuhi standar, bahkan di atas standar. Misal fasilitas tempat cuci tangan yang memadai serta fasilitas MCK yang bersih dan layak
Selain digalakkan melalui penyuluhan, pemerintah juga sebenarnya telah menggalakkan PHBS melalui demonstrasi atau peragaan langsung. Misalnya demonstrasi cuci tangan yang benar, klinik sanitasi, dan lain sebagainya. Namun, upaya pemerintah mengadakan sosialisasi semacam itu terlihat belum menyeluruh ke seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah‐daerah yang masuk ke dalam daerah dengan kualitas air dan sanitasi yang buruk. Ketidakterjangkauan itulah yang menyebabkan masyarakat tidak tahu bagaimana berperilaku hidup sehat. Oleh karena itu, pelaksanaan PHBS hendaknya dipetakan secara maksimal sehingga dapat menjangkau daerah‐ daerah yang membutuhkan.
Program lainnya yang telah dilaksanakan pemerintah adalah PPSP yaitu Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman. Melalui program ini pembangunan sanitasi untuk permukiman yang membutuhkan diharapkan dapat dipercepat. Namun, minimnya anggaran yang dimiliki, menyebabkan program ini jauh dari kata maksimal. Sehingga, dibutuhkan anggaran yang lebih besar untuk mewujudkannya.
Langkah kedua yang harus dilaksanakan, setelah kesadaran masyarakat dapat ditumbuhkan, maka pemerintah menaikkan anggaran untuk meningkatkan fasilitas untuk mengakses air bersih serta sanitasi yang layak. Berdasarkan data yang telah saya tulis di atas, rata‐rata daerah di Indonesia masih mengalokasikan 1,5% dari APBD‐nya untuk pembangunan di bidang sanitasi. Hal itu tentu sangat kecil, dan seharusnya bisa ditambah untuk tahun‐tahun ke depannya.
Langkah yang ketiga, apabila di rasa APBD telah mencapai titik maksimum, sehingga tidak dapat dinaikkan lagi, pemerintah juga dapat menjalin kerja sama dengan lembaga‐lembaga internasional yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya lembaga PBB, seperti WHO atau World Health Organization. Di tingkat nasional, langkah Danone untuk membantu ketersediaan air bersih di NTT patut diacungi jempol. Dan itu, tentu akan semakin dapat menjangkau daerah lainnya bila kerja sama itu dilakukan dengan lembaga‐lembaga Internasional lainnya.