Hukum Pertanahan dan Hukum Bangunan Dala

HUKUM PERTANAHAN DAN HUKUM BANGUNAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM AGRARIA INDONESIA

Karya Ilmiah

Oleh
Yurisal D. Aesong
(aesongyurisal@yahoo.com)/085240771214

A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan

ekonomi

dan

meningkatnya

nilai

ekonomis


tanah

mengakibatkan semakin tajamnya kesenjangan sosial antara mereka yang
mempunyai akses yang memungkinkan penguasaan tanah bangunan yang
melampaui

batas

kewajaran

dihadapkan

dengan

mereka

yang

paling


membutuhkan tanah, namun berada dalam posisi yang tersudut. Tidak mustahil
apabila dalam hal ini dibiarkan berlangsung akan dapat menjadi pemicu berbagai
kerawanan di bidang pertanahan.
Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan sesuatu yang bersifat asasi dan
merupakan unsur yang sangat rentan dan urusan leluhur dan turun-temurun,
menyangkut harga diri atau marwah satu keluarga dalam kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hubungan antara orang dengan tanah ialah hubungan
yang bersifat abadi, dalam hukum tanah, hak bangsa merupakan hak spiritual dan
historikah yang dimiliki oleh setiap bangsa Indonesia, dalam hubungan dengan
tanah dan tumpah darah sebagai gambaran jiwa yang patriotik dan merupakan
perekat kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

1

Tidak dapat dipungkiri bahwa semua aktivitas kehidupan dilakukan di atas
tanah, segala sesuatu berada dan berhubungan dengan tanah, dengan mana negara
berperan serta berwenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah dan pengadaan tanah untuk
memenuhi terlaksananya setiap kegiatan manusia.

Salah satu persoalan tersebut terkait juga dengan bagaimana cara
memandang kedudukan hukum pertanahan dan hukum bangunan, baik secara
teoritis maupun praktik ditinjau dari sudut pandang hukum agraria, terutama
menyangkut pembagian di dalam disiplin ilmu hukum.
Kemudian terkait ruang lingkup dari hukum agraria, yang sebagian pakar
mengangganp bahwa hukum agraria lebih luas dari sekedar mengatur tentang
aspek-aspek hukum pertanahan, sedangkan kalangan yang lain menganggap
bahwa ruang lingkup hukum agraria dipersempit hanya ke dalam hal-hal yang
mengatur persoalan-persoalan tanah.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang penulisan maka penulis membatasi
permasalahan dengan perumusan sebagai berikut :
1) Apa asas-asas hukum yang terkandung dalam hukum pertanahan dan
hukum bangunan?
2) Bagaimana kedudukan hukum pertanahan dan hukum bangunan dalam
perspektif hukum agraria?
C. Metode Penelitian

2


Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai
suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif)
dengan mendasarkan pada sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
yaitu melalui studi kepustakaan/studi dokumen. Teknik pengolahan dan analisis
data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini ialah teknik analisis data
kualitatif.
D. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Hukum
Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain
di dalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Semakin meningkat usia,
manusia mulai mengetahui, bahwa dalam hubungannya dengan warga lain dari
masyarakat di bebas, namun tidak boleh berbuat semaunya, dengan kata lain ada
tindakan-tindakan yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang
terlarang. Hal ini lama-kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia,
bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan
yang oleh sebagian besar masyarakat dipatuhi dan ditaati karena merupakan
pengangan baginya, dan lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola, dengan

demikian secara sederhana dapat digambarkan mengenai hukum tersebut.
Hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai,
pertama, peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, kedua, yang
3

dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, ketiga, undang-undang, peraturan,
dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, keempat, patokan
(kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu,
kelima, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam
pengadilan)/ sebagai vonis atau hukuman.
2. Tinjauan Tentang Hukum Pertanahan
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), pengaturan mengenai hukum
pertanahan di Indonesia tidak hanya terdapat dalam satu macam hukum. Peraturan
dalam arti kaedah-kaedah tersebut dapat dijumpai di dalam berbagai macam
bidang hukum, yaitu :
a. Hukum tanah adat.
b. Hukum tanah barat.
c. Hukum tanah antar golongan.
d. Hukum tanah administrasi.

e. Hukum tanah swapraja.
3. Tinjauan Tentang Hukum Bangunan
Istilah bangunan dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yangg didirikan,
atau sesuatu yg dibangun (seperti rumah, gedung, menara) dan sebagainya.
Menurut pendapat yang lazim dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan
hukum bangunan ialah keseluruhan peraturan-peraturan yang menyangkut
pembangunan suatu bangunan.

4

Bangunan gedung pada dasarnya memegang peranan yang sangat penting
sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Pengaturan
bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG).
Pengetahuan mengenai UUBG ini menjadi penting mengingat hal-hal yang
diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik
bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna gedung serta masyarakat. Diatur
dalam UU Bangunan Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan
hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai
pemilik bangunan gedung.

4. Tinjauan Tentang Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin
agre yang berarti tanah atau sebidang tanah, dan agrarius yang berarti

persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia
agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan
tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan
usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi
bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya.
Pengertian agraria dalam bahasa Yunani disebut sebagai ”a ger” artinya
Tanah/keladanan, dan dalam bahasa Belanda, agraria disebut dengan istilah
”a kker” yakni tanah atau perladangan, juga dalam bahasa Inggris yakni ”land”.

5

Menurut Andi Hamzah, agraria merupakan masalah tanah dan semua yang ada di
dalam dan di atasnya.
Menurut Subekti dan R. Rjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan
segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah

misalnya batu, kerikil, tambang, dan yang ada di atas tanah dapat berupa tanaman,
dan bangunan. Dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun nonpertanian.
E. Pembahasan
1. Asas-asas Hukum Dalam Hukum Pertanahan dan Hukum Bangunan
Asas hukumlah yang mendasari esensi dari sebuah lembaga atau bagianbagiannya. Asas dalam hukum pertanahan termasuk kategori asas hukum khusus
yang “berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum
perdata”, dengan demikian, asas dalam hukum pertanahan merupakan sebuah
pondasi pikiran yang mendasari pembentukan kaidah-kaidah hukum pertanahan
serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tanah.
Asas hukum dalam hukum pertanahan dan hukum bangunan terdiri dari
beberapa perspektif, yaitu perspektif hukum perdata, hukum agraria dan, secara
khusus membahas asas pemisahan horizontal dan asas pelekatan vertikal, sebagai
asas hukum hukum pertanahan dan hukum bangunan.
Asas-asas hukum benda dibagi menjadi asas-asas hukum benda tanah dan
asas-asas hukum benda bukan tanah. Khusus mengenai hubungan tanah dengan
benda-benda bukan tanah di atasnya, dapat digunakan asas pemisahan horizontal

6

sebagai asas hukum pertanahan, sebagai lawan dari asas acessie khususnya

acessie verticale.

Salah satu aspek yang penting dalam hukum pertanahan dan hukum
bangunan ialah tentang hubungan antara tanah dengan benda yang lain yang
melekat padanya. Kepastian hukum terkait dengan kedudukan hukum dari benda
yang melekat pada tanah itu sangat penting, karena hal ini mempunyai pengaruh
yang luas terhadap segala hubungan hukum menyangkut tanah dan benda yang
melekat padanya.
Asas pemisahan horizontal yang dianut dalam hukum adat memisahkan
hak atas tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya, hal itu berangkat dari
pemikiran hukum adat yang meletakkan benda tanah sedemikian tingginya
dibandingkan dengan benda lain. Menurut Iman Sudiyat bahwa “hak mempunyai
dan mendiami rumah sendiri di atas pekarangan orang lain (hak tersebut dapat
dicabut kembali) di samping rumah pemilik pekarangan sendiri, disebut hak
menumpang pekarangan (recht als bijwoner), sedangkan hak mempunyai dan
mendiami rumah sendiri di atas pekarangan orang lain yang tidak didiami oleh
pemiliknya, disebut hak menumpang rumah (recht als opwoner). Penumpang
rumah atau penumpang pekarangan seperti indung, lindung, magersari,
penumpang.
Asas pelekatan dalam sistem hukum benda Indonesia memiliki fungsi

pengaturan yang terkait dengan hubungan antara benda pokok dengan benda yang
melekat pada benda tersebut (benda pelengkap). Hubungan hukum antara benda

7

pokok dan benda pelengkap terdapat dalam rumusan Pasal 500 KUH-Perdata,
yang berbunyi :
“Segala apa yang karena hukum pelekatan termasuk dalam sesuatu
kebendaan, seperti pun segala hasil daripada kebendaan itu, baik hasil
karena alam, maupun hasil karena pekerjaan orang selama yang akhir ini
melekat pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian daripada kebendaan
tadi”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut hubungan antara benda pokok dan
benda pelengkap, harus dipandang sebgai bagian yang tidak terpisahkan dari
benda pokoknya. Asas pelekatan di dalam KUH-Perdata terbagi menjadi dua
yakni asas pelekatan secara mendatar (horizontal) dan asas pelekatan tegak lurus
(vertikal). Asas pelekatan horizontal, melekatkan suatu benda sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari benda pokoknya seperti halnya balkon dengan rumah
induknya sebagaimana dinyatakan pada Pasal 588 KUH-Perdata, dan asas
pelekatan vertikal terkait antara hubungan tanah dengan benda (bangunan atau

tanah) yang ada diatasnya maupun di dalamnya. Asas pelekatan vertikal
merupakan konsep hukum yang diambil dari Hukum Romawi dengan asas
hukumnya seperficies ceedit solo yang berarti “pemilik sebidang tanah juga
menjadi pemilik atas bangunan di atasnya. Anda tidak dapat memiliki lantai dari
sebuah bangunan”.
2. Kedudukan

Hukum

Pertanahan

Perspektif Hukum Agraria

8

dan

Hukum

Bangunan

Dalam

Terkait hubungan antara hukum pertanahan dan hukum agraria, menjadi
perdebatan panjang di antara para ahli hukum, perdebatan tersebut terkait dengan
ruang lingkup dari hukum agraria. Bagi sebagian pakar hukum, memandang ruang
lingkup hukum agraria lebih luas dari sekedar mengatur tentang aspek hukum
pertanahan, dan kalangan yang lain menganggap ruang lingkup hukum agraria
dipersempit hanya ke dalam hal-hal yang mengatur persoalan-persoalan tanah.
Pandangan yang mempersempit hukum agraria hanya sebatas pada hukum
pertanahan yang memiliki dasar argumentasi yang memadai. Hal ini disebabkan
sebagian besar dari ketentuan-ketentuan dalam UUPA mengatur tentang aspekaspek dari hukum pertanahan. Mulai dari kelembagaan hak atas tanah
sebagaimana diatur pada Pasal 16 ayat (1) UUPA, Pendaftaran Tanah di dalam
Bagian II Pasal 19 UUPA sampai dengan ketentuan Hak Membuka Tanah dan
Memungut Hasil Hutan pada Pasal 46 UUPA. Terkait dengan perbedaan dalam
memandang ruang lingkup agraria di dalam UUPA, apabila membaca berbagai
pasal-pasal dari UUPA akan jelas, bahwa UUPA kadang kala berbicara mengenai
bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan
tentang tanah.
Boedi Harsono melakukan pembagian hukum agraria berdasarkan
pendekatan yang luas ke dalam hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam
tertentu yang terdiri dari :
1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah,
dalam arti permukaan bumi.
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahanbahan galian yang dimaksud oleh UU pokok pertambangan.
9

4. Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung di dalam air.
5. Hukum penguasaan tenaga dan unsur dalam ruang angkasa (bukan
space law) mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur ruang
angkasa yang dimaksud oleh Pasal 48 UUPA.
Hubungan atau kedudukan antara hukum pertanahan dan hukum
bangunan, berpengaruh pada hukum perdata lainnya, yakni terkait dengan tanah
dan jaminan sebagai objek jaminan, dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF), pada Pasal 1 ayat (4) yang menyebutkan
“benda ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang
bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau
hipotik”.
Pembentukan hukum bangunan terlepas dari hukum pertanahan, akan
tetapi, karena sifat hubungan yang diatur pada pasal-pasalnya tersebut merupakan
bagian “tidak terpisah dengan tanah”, jadi dalam perspektif hukum, UUBG
merupakan kelanjutan atau lex spesialist dari pelaksanaan UUPA dalam arti
sempit (hukum tanah) secara implisit dan malah hukum adat dalam sistem hukum
benda. Apabila dalam pengertian bangunan gedung sebagaimana diatur pada
pasal-pasal tersebut di atas yang dalam penggunaannya disebutkan bahwa
bangunan gedung berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik
hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,
budaya maupun kegiatan khusus, berarti secara fungsional, UURS dan UUBG
memiliki misi yang sama dalam membangun hukum bangunan.

10

F. Penutup
1. Asas dalam hukum pertanahan dan hukum bangunan merupakan sebuah
pondasi pikiran yang mendasari pembentukan kaidah-kaidah hukum
pertanahan, bangunan serta peraturan perundang-undangan yang terkait,
konsekuensinya terutama dalam pemilikan tanah serta bangunan di
Indonesia.
2. Kedudukan antara hukum pertanahan dan hukum bangunan, berpengaruh
pada hukum perdata lainnya, terkait dengan tanah sebagai objek jaminan,
yakni hubungan antara tanah dengan benda lain (dalam hal ini bangunan)
yang melekat pandanya, guna menemukan jalan bagi pengembangan
hukum

bangunan,

dalam

rangka

ekspektasi

menemukan

dan

mengembangkan hukum bangunan ke dalam sistem hukum yang berlaku
dari hukum yang telah berlaku dan menjadi bagian dari penelitian bidang
ilmu hukum yang berguna.

11

DAFTAR PUSTAKA

Arie S. Hutagalung, Suparjo Sujadi, Hendriani Parwitasari, Marliesa Qadarani,
Hukum Pertanahan di Belanda dan Di Indonesia, Seri Penyusunan
Bangunan Negara Hukum, Penerbit Pustaka Larasan, Edisi Pertama,
Denpasar, 2012.
Boedi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya , Jilid I Hukum Tanah
Nasional, Djambatan, Jakarta, 2005.
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.
Komar Andasasmita, Hukum Apartemen (Rumah Susun), Ikatan Notaris Indonesia
Komisariat Daerah Jawa Barat, 1986.
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya , Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009.
Martin Roestamy, Konsep-konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi Asing ,
Penerbit P.T. Alumni, Bandung, 2011.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Cet ke - 3, UI Press, Jakarta,
1986.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit CV. Alvabeta, Bandung,
2005.
Tim Penyusun, Hukum Agraria , Bahan Ajar, Universitas Sam Ratulangi Fakultas
Hukum, Manado, 2007.
Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah, Transito, Yogyakarta, 1982.

12