Sejarah dan Perkembangan Konsep Wilayah

Tugas Pendapat Kritis
Nama : Muhammad Raditio Jati Utomo
MK.
: Ilmu Negara
Bacaan : Risalah Sidang BPUPK tentang Wilayah Negara

NPM : 1606887895
Kelas : Ilmu Negara A
Kontak : 085780852812 (Whatsapp)

Sejarah dan Perkembangan Konsep Wilayah Negara Indonesia

“Jatuh bangunnya negara ini tergantung dari bangsa ini sendiri” (Hatta)

Polemik Wilayah Negara di Dalam Sidang BPUPK1
Hal mengenai penentuan wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu
agenda bahasan di dalam Sidang II Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK). Hal yang patut dicermati adalah bahwa para penggagas dan pendiri Negara
Republik Indonesia dengan sangat apik mengemukakan berbagai rupa rasionalisasi
mengenai wilayah negara yang berdasar tidak hanya kepada hukum internasional, namun
juga tetap menggali nilai-nilai sejarah dari bangsa Indonesia itu sendiri. Hal tersebut

mencerminkan satu hal, bahwa bangsa dan negara Indonesia tidak didirikan dengan
sembarangan. Bangsa dan negara Indonesia didirikan oleh para cerdik cendekia yang
padanya tersemat wawasan dan ilmu pengetahuan yang dalam pun luas.
Sidang yang dipimpin oleh Radjiman Wedyodiningrat tersebut dibuka oleh
pertanyaan pimpinan sidang mengenai pencantuman aturan mengenai batas negara di
dalam undang-undang dasar. Soekarno dan Hatta mencapai kebulatan suara tentang hal
ini, yakni menolak aturan mengenai batas negara dicantumkan di dalam undang-undang
dasar. Silang argumentasi kemudian setelah Moezakir menyampaikan pandangannya
mengenai wilayah Negara Republik Indonesia yang pada bagian akhirnya sedikit menyitir
pendapat Hatta mengenai Papua. Pada intinya, pendapat Hatta mengenai Papua adalah
bahwa sebaiknya penyatuan wilayah Papua sebagai juga wilayah Negara Republik
Indonesia tidak menjadi suatu hal yang dituntut oleh bangsa Indonesia, melainkan sebuah
opsi terbuka. Pendapat Hatta tersebut bersandar kepada dua hal, mengenai perbedaan ras
Papua yang relatif lebih dekat dengan Melanesia atau Polinesia serta mengenai proyeksi
kemampuan Negara Republik Indonesia dalam mengelola wilayah yang terlalu luas.
Sehingga, Hatta hanya menuntut wilayah Negara Republik Indonesia hanya sebatas
wilayah yang pernah dijajah oleh Belanda atau wilayah Hindia Belanda saja.

1


Yudi Latif di dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila e ggu aka ter i ologi BPUPK ta pa huruf I .

Fakultas Hukum Universitas Indonesia | 1

Tugas Pendapat Kritis
Nama : Muhammad Raditio Jati Utomo
MK.
: Ilmu Negara
Bacaan : Risalah Sidang BPUPK tentang Wilayah Negara

NPM : 1606887895
Kelas : Ilmu Negara A
Kontak : 085780852812 (Whatsapp)

Silang argumentasi pada sidang yang digelar di Gedung Tyuo Sangi-In tersebut
diperpanjang oleh pendapat yang dikemukakan oleh Yamin dan Kaffar. Pada hakikatnya,
Yamin berpendapat tentang dua hal, yakni penyatuan kawasan Malaka dan penyatuan
Papua sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia. Dalam hal penyatuan kawasan
Malaka ke dalam Negara Republik Indonesia, Yamin mengatakan bahwa ada pertautatan

kesejarahan dan keserumpunan, sehingga berdirinya Negara Republik Indonesia menjadi
momentum yang tepat untuk menyatukan persaudaraan yang sebelumnya terpecah-pecah.
Dalam hal penyatuan Papua, pendapat Yamin berangkat dari akar pemahaman geopolitik,
akar sejarah, serta akar etnografis. Di awal pernyataannya, Yamin mengakui bahwa
memang betul ada beberapa kajian geografis dan etnografis yang menyatakan Papua
berbeda, namun demikian tentu saja isi buku pasti menyesuaikan dengan kehendak
penulis buku. Sehingga, Yamin menjabarkan mengenai Papua sebagai satu kesatuan
lingkungan adat Kerajaan Tidore, yang dengannya jelaslah bahwa Papua adalah
Indonesia. Yamin juga mengemukakan akar kesejarahan mengenai Digul sebagai salah
satu tempat yang menjadi tonggak sejarah bangsa Indonesia, di mana di sana terdapat
saksi-saksi bisu atar pengorbanan-pengorbanan para pendiri bangsa, sehingga dengan
melepaskan Papua sama artinya dengan tidak menghargai sejarah bangsa. Dalam hal
geopolitik, Yamin secara sederhana menggambarkan Papua sebagai pintu utama menuju
pasifik, sehingga menyerahkan Papua kepada asing berpotensi menutup pintu Indonesia
menuju pasifik.
Pendapat Yamin yang terakhir, yang mengenai geopolitik, mendapatkan dukungan
dari perwakilan pemuda Madura, Kaffar. Kaffar memaparkan mengenai pentingnya
mengusai sisi terluar, seperti menguasi Timor Portugis di selatan dan menguasai Papua
di Timur. Namun demikian, di sidang hari berikutnya, Hatta kembali menegaskan
argumennya mengenai wilayah Negara Indonesia yang hanya wilayah Hindia Belanda

saja sekaligus menanggapi hal-hal yang dipaparkan di sidang hari sebelumnya. Hatta
mengingatkan tentang menghindari pola pikir imperialistis. Hatta memandang
menggunakan pendekatan geopolitik dan strategi dalam membahas mengenai wilayah
negara akan menjerumuskan ke dalam tabiat imperialistis, bukan hal yang tidak mungkin
di kemudian hari Indonesia menuntut Kepulauan Salomon dan pulau-pulau lain turut
dipersatukan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Di akhir pendapatnya, Hatta
mengimbau agar Indonesia menganut hukum internasional bahwa daerah Indonesia nanti

Fakultas Hukum Universitas Indonesia | 2

Tugas Pendapat Kritis
Nama : Muhammad Raditio Jati Utomo
MK.
: Ilmu Negara
Bacaan : Risalah Sidang BPUPK tentang Wilayah Negara

NPM : 1606887895
Kelas : Ilmu Negara A
Kontak : 085780852812 (Whatsapp)


hanyalah wilayah Hindia Belanda saja. Hatta menegaskan bahwa hal yang demikian pun
tidak mutlak, keikutsertaan Papua dan kawasan Malaka tetap terbuka dengan catatan
wilayah yang dituntut oleh Negara Republik Indonesia hanyalah sebatas wilayah Hindia
Belanda.
Tanggapan

selanjutnya

dilontarkan

oleh

Soekarno.

Soekarno

membuka

pemaparannya dengan sentuhan yang cukup emosional, “Saya bukan seorang imperialis,
bukan. Hidup saya sejak dari umur 18 tahun sampai umur 43 tahun sekarang ini, 25 tahun

lamanya saya abdikan kepada perjuangan melawan imperialisme itu.” Kutipan pembuka
tersebut secara tidak langsung menyiratkan pesan untuk menjawab tanggapan Hatta
tentang kekhawatiran tabiat imperialistis. Pada intinya, Soekarno menyepakati secara
bulat apa yang telah disampaikan oleh Yamin. Soekarno menambahkan bahwa Jepang
sendiri tidak pernah mendefinisikan wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga
menurutnya tidak ada kewajiban moral pun kewajiban hukum internasional yang
mewajibkan Indonesia sebagai ahli waris Belanda. Soekarno juga menerangkan bahwa ia
banyak menerima telegram dari pemuda-pemuda di kawasan Malaka untuk bersatu
dengan Negara Republik Indonesia. Mengenai Papua, lagi-lagi Soekarno menyuarakan
kebulatan pendapat dengan Yamin, ditambah pendapat kesejarahan mengenai kitab
Negarakertagama.
Pendapat-pendapat berikutnya lebih berkutat di seputar pembahasan mengenai
kepatutan hukum internasional yang dipaparkan oleh Agoes Salim dan Maramis.
Keduanya sepakat bahwa mengenai daerah-daerah yang di dalamnya masih ada penjajah
selain Jepang dan Belanda, diserahkan kepada rakyat masing-masing untuk bergabung
dengan Negara Republik Indonesia. Pada akhirnya sidang menghasilkan kesepakatan
melaui jajak pendapat dengan tiga pilihan: wilayah Negara Republik Indonesia meliputi
(1) wilayah Hindia Belanda saja; atau (2) wilayah Hindia Belanda ditambah Malaka,
Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya; atau (3) wilayah Hindia
Belanda ditambah Malaka dan tanpa Papua. Hasil jajak pendapat bulat memilih pilihan

kedua dengan jumlah suara 39.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia | 3

Tugas Pendapat Kritis
Nama : Muhammad Raditio Jati Utomo
MK.
: Ilmu Negara
Bacaan : Risalah Sidang BPUPK tentang Wilayah Negara

NPM : 1606887895
Kelas : Ilmu Negara A
Kontak : 085780852812 (Whatsapp)

Perkembangan Konsep Wilayah Negara Republik Indonesia
Gagasan ‘tanah air’ atau ‘tanah tumpah darah’ (daerah tempat darah ditumpahkan/
tanah kelahiran) telah banyak digunakan oleh berbagai kelompok etnik di Nusantara
untuk merujuk kepada daerah asal di mana seseorang dilahirkan. Pada awalnya, ketika
berbagai kelompok etnik di kepulauan Indonesia belum mengenal konsep Indonesia, atau
ketika mereka masih hidup dalam semangat ‘local patriotism’ atau ‘ethno-nationalism’,

konsep ‘tanah tumpah darah’ mungkin mengacu kepada tempat kelahiran dalam bentuk
desa atau kampung atau daerah di mana secara tradisional diklaim sebagai hak milik dari
kelompok etnik tertentu. Istilah ini masih dapat dilacak dari istilah yang begitu tersebar
di Nusantara seperti Tanah Jawa, Tatar Sunda, Negeri Minang, dan sebagainya.
Sebelum terjadinya ekspansi politik yang didasarkan atas etnisitas, masing-masing
kelompok etnik tentunya sudah merupakan suatu kawasan budaya tersendiri. Hal ini
berarti bahwa pada awalnya istilah ‘tanah air’ atau ‘tanah tumpah darah’ atau ‘tanah
kelahiran’, dan sebagainya merupakan suatu konsep budaya atau cultural concept.
Konsep ini berubah ketika kekuasaan politik yang berbasiskan etnisitas memperluas
kekuasaan politiknya menembus batas-batas kawasan budaya kelompok etnik yang lain.
Ketika kerajaan Majapahit di Jawa mulai melakukan ekspansi menembus batas kawasan
budaya kelompok etnik lain misalnya, kemudian mereka menyebut daerah yang baru
ditaklukkan dan dipengaruhi yang sebagian besar terletak di luar Jawa sebagai Nusantara
sebagaimana disebut dalam kitab Negarakertagama.
Konsep Nusantara selama periode pergerakan nasional di Indonesia ditemukan
kembali (reinvented) dan direinterepretasi (reintrepreted) kembali oleh para tokoh
pergerakan nasional. Istilah ‘tanah air’ pertama kali digunakan oleh Mohammad Yamin
pada tahun 1920 ketika ia menggubah sebuah syair yang berjudul ‘Tanah Air’. Pada
awalnya, istilah ‘tanah air’ ditujukan sebagai pujian terhadap tanah kelahirannya dan
tanah asal nenek moyangnya yaitu Sumatra. Pada periode selanjutnya, patriotisme

terhadap tanah kelahiran atau homeland patriotism mengalami evolusi dalam maknanya
dan berubah maknanya menjadi nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari fenomena Kongres Sumpah Pemuda yang diselenggarakan pada bulan
Oktober 1928 yang diselenggarakan di Batavia. Kongres dipimpin oleh pemuda-pemuda
nasionalis seperti Mohammad Yamin, Amir Syarifuddin, Sukiman, dan Asaat yang

Fakultas Hukum Universitas Indonesia | 4

Tugas Pendapat Kritis
Nama : Muhammad Raditio Jati Utomo
MK.
: Ilmu Negara
Bacaan : Risalah Sidang BPUPK tentang Wilayah Negara

NPM : 1606887895
Kelas : Ilmu Negara A
Kontak : 085780852812 (Whatsapp)

menyepakati sebuah tekat dengan semboyan ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dan
menyetujui untuk menggunakan ‘Indonesia Raya’ sebagai lagu kebangsaan. Penggunaan

istilah ‘tanah tumpah darah’ dan ‘tanah-air’ menjadi semakin populer ketika para tokoh
nasionalis menghubungkannya dengan negara merdeka yang dicita-citakan, yaitu
Indoneia. Istilah-istilah tersebut kemudian digunakan secara ekstensif oleh pers,
nyanyian-nyanyian, karya sastra, pidato-pidato politik, dan sebagainya. Periode
kebangkitan nasional menandai berkembangnya proses ideologisasi dan politisasi dari
konsep budaya ‘tanah-air’ dan ‘tanah tumpah darah’ menjadi konsep wilayah negara.
Dalam kaitannya dengan isu batas wilayah negara, konsep Nusantara dipandang
sama dengan konsep ‘tanah-air’. Jika konsep ‘tanah-air’ cenderung merupakan konsep
kultural, maka konsep ‘nusantara’ lebih merupakan konsep politik. Pertanyaan menarik
perlu diajukan, mengapa konsep Nusantara diperlukan? Hal ini berkait erat dengan
kenyataan bahwa Indonesia sering dipandang sebagai warisan kolonial Belanda yang
sistem batas teritorinya didasarkan atas sistem pulau demi pulau (‘island by island’’)
dengan luas wilayah laut teritorial seluas tiga mil laut dari garis pantai pada waktu air
surut.
Penemuan kembali konsep ‘nusantara’ dan ‘tanah-air’ dapat melingkupi seluruh
kawasan Nusantara yang mencakup baik wilayah daratan maupun lautan atau bahkan
laut-laut dan pulau-pulaunya. Dalam konsep itu tidak memungkinkan adanya ‘enclave’
(dalam bentuk perairan internasional) di dalam wilayah Nusantara. Proses ideologisasi
ini mencapai puncaknya pada tahun 1957 ketika pemerintah mengumumkan Deklarasi
Djuanda. Deklarasi itu berisi klaim untuk melakukan unifikasi wilayah daratan dan lautan

yang ada di Indonesia.
Hal itu berbeda dengan visi negara kolonial mengenai konsepsi batas wilayah laut
tiga mil dari garis pantai pada waktu air surut dari setiap pulau. Visi Nusantara
memandang semua perairan yang ada di dalam dan di antara pulau-pulau yang ada
merupakan wilayah Indonesia sebagai sebuah entitas daratan dan lautan. Secara strategis,
Deklarasi Djuanda memiliki dimensi internal dan eksternal. Secara internal, deklarasi
tersebut dapat digunakan untuk menjustifikasi berbagai kebijakan pemerintah untuk
menindak segala macam kemungkinan yang dilakukan oleh gerakan separatis dan secara
eksternal hal itu berkaitan erat dengan upaya untuk menemukan kembali justifikasi

Fakultas Hukum Universitas Indonesia | 5

Tugas Pendapat Kritis
Nama : Muhammad Raditio Jati Utomo
MK.
: Ilmu Negara
Bacaan : Risalah Sidang BPUPK tentang Wilayah Negara

NPM : 1606887895
Kelas : Ilmu Negara A
Kontak : 085780852812 (Whatsapp)

historis dan kultural untuk menyatukan wilayah daratan dan lautan dalam rangka
menghadapi tekanan-tekanan negara Barat yang tidak sepaham atas klaim yang
dilontarkan oleh pemerintah Indonesia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep batas wilayah negara yang
digunakan oleh pemerintah Indonesia bukan merupakan warisan dari pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Konsep ‘tanah air’, ‘tanah tumpah darah’, ‘nusantara’ merupakan
konsep-konsep yang reinvented dan reinterepreted dari konsep-konsep tradisional yang
berakar dari sejarah Nusantara yang dilakukan oleh para tokoh nasionalis selama masa
pergerakan nasional. Hal tersebut dibuktikan oleh Risalah Sidang BPUPK yang secara
jelas menggambarkan bahwa penentuan wilayah Negara Republik Indonesia tidak semata
disandarkan kepada hukum internasional, namun juga kepada akar kesejarahan, akar
geopolitik, serta akar etnografi sebagai diungkapkan oleh Yamin yang kemudian
didukung oleh Kaffar dan Soekarno. Namun demikian, penghormatan dan kepatutan
terhadap hukum internasional tetap dibuka sebagaimana pendapat Agoes Salim dan
Maramis.

Daftar Pustaka
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sulitiyono, S. T. (2010, Januari 11). KONSEP BATAS WILAYAH NEGARA DI
NUSANTARA: KAJIAN HISTORIS. Diambil kembali dari Diponegoro University

Institutional Repository: http://eprints.undip.ac.id/3258/
Elson, R.E. (2008). The Idea of Indonesia: A History. Cambridge: Cambridge
University Press.
Zuhdi, S. (2006, Maret 25). Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia.
Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia. Depok, Jawa Barat, Indonesia.

Mochtar, K (ed.). (1992). Memoar Pejuang Republik Indonesia seputar ‘Zaman
Singapura’, 1945-1950. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia | 6