Pilkada dan Mitos Demokrasi Minang (1)

Cimbuak - Forum Silaturahmi dan Komunikasi Masyarakat Minangkabau

Pilkada dan Mitos Demokrasi Minang
Contributed by Israr Iskandar
Tuesday, 16 August 2005

Sebagaimana terjadi di daerah-daerah lain, lonceng kehidupan demokrasi juga sedang berdetak di Sumatera Barat
(Sumbar) sehubungan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Pada tahun 2005 ini akan
berlangsung pemilihan gubernur Sumbar, di samping pilkada di Kabupaten Solok, Lima Puluh Kota, Agam, Padang
Pariaman, Pesisir Selatan, Pasaman Barat, Kota Bukittinggi, dan lainnya. Dari sekian even politik, pemilihan gubernur
tentu menjadi barometer pilkada dan proses demokrasi di daerah ini.

ÂÂ

ÂÂ

Pilkada di Sumbar terasa agak spesifik karena masyarakat Minang (etnik mayoritas yang mendiami Sumbar) sejak lama
dikenal memiliki khazanah budaya yang akuivalen dengan nilai-nilai demokrasi. Sejumlah cendekiawan non-Minang,
seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang. Apalagi di masa
lalu, puak Minang pernah melahirkan sejumlah tokoh yang ikut meletakkan dasar-dasar konseptual bagi negara
Indonesia modern dan demokratis. Pilkada langsung diharapkan dapat menguji kompatibilitas budaya Minang dengan

demokrasi modern.
Dikungkung budaya antidemokrasi
Jamak diketahui demokrasi adalah konsep yang berasal dari Yunani Kuno. Namun sejak Revolusi Prancis, demokrasi
berkembang menjadi sebuah konsep yang modern dan kompleks. Sekalipun suatu perangkat yang kompleks, logika
yang diekspresikan demokrasi modern mengandung prinsip-prinsip mendasar, seperti adanya unsur kedaulatan rakyat,
pemerintahan mayoritas, perlindungan minoritas, kemerdekaan yang dijamin UU, partisipasi warga, persamaan hak, dan
sebagainya. (Minogue dalam Kuper & Kuper, 2000: 215).
Jika merujuk pengertian demokrasi modern di atas, sebenarnya kita belum dapat menyebut adanya ''demokrasi
Minang'', karena masih bersifat abstrak. Yang bisa dikatakan, budaya Minangkabau memiliki sejumlah nilai-nilai yang
cocok dan sebanding dengan nilai-nilai demokrasi. Secara historis dan kultural, hal itu dapat ditelusuri akar-akarnya
pada kearifan tradisional berupa ungkapan dan pepatah-petitih lama. Nilai-nilai keterbukaan dan kesamaan,
umpamanya, tercermin dalam pepatah duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi).
Penghormatan pada (hak) sesama tercermin dalam ungkapan lamak dek awak katuju dek urang, urang kampuang
dipatenggangkan (enak bagi kita, enak pula bagi orang, orang kampung dipertimbangkan).
Budaya Minang juga mengakomodasi perbedaan pendapat, seperti tercermin dalam ungkapan basilang kayu dalam
tungku mako api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku maka api akan hidup). Namun demikian, solusi atas perbedaan
pendapat sedapat mungkin melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti disebut dalam ungkapan bulek aia dek
pambuluah bulek kato dek mufakaik, janji daulu batapati (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, janji
dahulu ditepati).
Sepintas budaya Minang juga terkesan hirarkis, dari ungkapan barajo (beraja): kemanakan barajo ka mamak, mamak

barajo ke panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka Kabanaran, Kabanaran berdiri dengan Sendirinyo.
(kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja kepada
Kebenaran, Kebenaran berdiri dengan Sendirinya). Tapi, pepatah ini perumpamaan belaka, tidak bersifat strukturalhirarkis. Walaupun anak harus patuh ke mamak, bukan berarti mamak bisa sewenang-wenang. Tidak ada orang yang
kebal kritik dan kontrol: raja alim raja disembah raja lalim raja disanggah. (Raja alim raja disembah, raja lalim raja
disanggah). Ini menujukkan, kebenaran manusia relatif. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah SWT.
Namun demikian, sejarah menunjukkan, demokrasi belum pernah terimplementasikan secara utuh di negeri ini. Gagasan
demokrasi terkungkung di bawah sistem kolonial dan negara nasional yang kurang kondusif. Bahkan, sistem demokrasi
modern yang diperkenalkan para pendiri negara tenggelam di bawah cenkeraman 40 tahun pemerintahan otoriter,
Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Akibatnya, pelbagai gagasan demokrasi yang sebenarnya juga berakar dari
budaya lokal, seperti demokrasi Minang, tidak dapat berkembang, karena harus menyesuaikan diri dengan sistem dan
budaya politik yang dominan.
Sejak itu ratapan atas kematian nilai-nilai lokal terjadi di mana-mana. Politik sentralistis Orde Baru membuat akar-akar
demokrasi lokal tumpul. Otoritarianisme tidak hanya mengharamkan praktek demokrasi, tapi juga mengubah perilaku
politik masyarakat. Orang Minang yang sebelumnya dikenal kritis dan terbuka kemudian menjadi -- istilah sejarawan Prof
Taufik Abdullah -- ''Pak Turut''. Neofeodalisme tumbuh subur. Di samping itu, otoritarianisme negara juga memunculkan
pragmatisme politik. Berbondong-bondongnya orang Minang menjadi mendukung Golkar di masa Orde Baru lebih
karena pragmatisme politik. Perilaku ini seakan mengkonfirmasi ungkapan takuruang gak di luar, taiimpik gak diateh
(terkurung ingin di luar, terhimpit ingin di atas).
Pascareformasi
http://www.cimbuak.net


Powered by Joomla!

Generated: 2 June, 2011, 10:25

Cimbuak - Forum Silaturahmi dan Komunikasi Masyarakat Minangkabau

Gerakan reformasi diharapkan membawa angin perubahan. Keinginan merevitalisasi nilai-nilai lokal muncul, tercermin
dalam ungkapan membangkik batang tarandam (membangkitkan batang yang terendam). Tapi perkembangan pascaOrde Baru justru memunculkan berbagai paradoks. Partai Golkar yang menjadi penopang utama Orde Baru, rezim yang
dianggap ''mematikan'' nilai-nilai lokal, malah tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1999 di Sumbar, sekalipun tidak
lagi dominan. Di samping itu, elite lokal yang diharapkan menjadi agen pembaru justru menjadi sorotan masyarakat. Elite
politik yang duduk di DPRD hasil Pemilu 1999, baik di tingkat provinsi maupun beberapa kabupaten/kota, bahkan terlibat
dalam korupsi berjamaah.
Ini mungkin bagian gejala transisi. Secara politik, masih banyak orang belum bisa lepas dari politik masa lalu, sementara
keraguan atas gerakan reformasi terus membayang di depan mata. Di samping itu, transisi politik juga ditandai
munculnya wilayah abu-abu (grey area). Mereka yang tadinya disangka orang baik-baik ternyata penjahat. Banyak elite
lokal yang muncul di era reformasi tidak menaati hukum. Tak mengherankan mereka yang tadinya dikenal sebagai tokoh
masyarakat kemudian berubah menjadi musuh masyarakat, karena mereka tak tahan terhadap godaan uang dan
permainan kekuasaan yang tidak jujur.
Untung saja transisi demokrasi di Sumbar sedikit terselamatkan oleh munculnya kekuatan masyarakat sipil (civil society)

yang relatif kuat. Munculnya kekuatan civil society ini kondusif bagi demokratisasi. Ketika mekanisme kontrol dalam
sistem pemerintahan tidak jalan, civil society muncul menjadi pengimbangnya. Kelompok inilah yang kemudian proaktif
membongkar korupsi berjamaah di DPRD. Gerakan mereka bahkan menjadi bola salju yang kemudian menyeret
eksekutif. Sumbar adalah daerah yang pertama membongkar korupsi berjamaah legislatif dan eksekutif lokal. Seluruh
anggota DPRD dan (mantan) Gubernur Sumbar telah menjadi tersangka. Efek gerakan antikorupsi di Padang kemudian
menggelinding ke sejumlah kabupaten/kota di Sumbar.
Gerakan antipolitisi busuk ini bahkan membawa implikasi pada hasil Pemilu 2004. Meski Golkar tetap menang dalam
pemilu legislatif, tapi Amien Rais (ketua umum PAN) tampil sebagai pemenang pada pilpres putaran pertama di Sumbar.
Jika PAN terpuruk di pemilu legislatif, mestinya Amien kalah dalam pilpres. Kenyataannya tidak demikian. Dengan kata
lain, rakyat dapat membedakan Amien yang punya citra sebagai tokoh reformis dan PAN Sumbar yang sejumlah elite
lokalnya terlibat kasus korupsi. Dalam pemilu 2004 rakyat menjadi hakim yang menghukum mereka yang terbukti tidak
aspiratif dan kredibel, walaupun pilihan baru mereka belum tentu lebih baik.
Rasionalitas politik semacam ini terus berlanjut ketika mantan gubernur Zainal Bakar, yang terkait kasus korupsi APBD,
gagal mendapatkan tiket pencalonan pilkada Sumbar 2005. Padahal, sebagai seorang incumbent (calon yang sedang
menjabat), ia punya sumber daya politik yang kuat. Pilkada nanti diharapkan menjadi aktualisasi rasionalitas politik
berikutnya. Di samping, soal bagaimana rakyat memilih kandidat yang bersih (berdasarkan track record-nya yang mesti
diketahui publik luas) dan punya visi kepemimpinan, rasionalias politik juga akan diuji oleh sentimen primordialisme,
politik uang, dan resolusi konflik yang beradab.
Demokrasi bukan pekerjaan dalam semalam. Tidak semua nilai-nilai demokrasi dapat diaktualisasikan dalam tempo
singkat di tengah masyarakat yang baru saja lepas dari kungkungan otoritarianisme dan feodalisme yang sangat

panjang. Perubahan politik tidak serta merta mengubah budaya politik. Sisa-sisa budaya anarkisme, politik uang, dan
manipulasi lainnya tetap sulit dihilangkan, sekalipun budaya lokal memiliki khazanah dan nilai-nilai yang demokratis.
Meskipun demikian, dalam konteks pilkada, usaha-usaha meminimalisir distorsi dalam proses demokrasi lokal tetap
harus dilakukan.

*Israr Iskandar
Peneliti CIRUS dan Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas
Sumber : Republika.co.id

http://www.cimbuak.net

Powered by Joomla!

Generated: 2 June, 2011, 10:25