Suku Baduy dan Gempuran Modernisasi
BADUY DAN GEMPURAN MODERNISASI
Abstrak
Modernisasi merupakan salah satu faktor penyebab perubahan yang ada dalam
masyarakat, yang berarti merubah kondisi masyarakat yang tradisional menuju pada kondisi
masyarakat yang modern. Modernisasi ini biasanya sangat erat hubungannya dengan
globalisasi atau mengglobalnya suatu budaya secara meluas tanpa terikat ruang dan waktu.
Dampak modernisasi ini adalah pada semua masyarakat dibelahan dunia manapun, dampak
terbesar dari globalisasi biasanya pada aspek sosial dan budaya. Di Indonesia yang
masyarakatnya beragam modernisasi pasti sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan
masyarakat di dalamnya, terutama pada masyarakat yang masih tradisional seperti
masyarakat Baduy yang merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia.
Artikel ini mencoba untuk memaparkan mengenai gempuran arus modernisasi
terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Baduy yang berada di wilayah Banten
yang mayoritas masih jauh dari kehidupan modern. Artikel ini dibuat dari hasil penelitian
yang dilakukan secara semi partisipan, yaitu peneliti secara langsung melakukan pengamatan
dan wawancara kepada masyarakat Baduy, sehingga data yang didapatkan cukup valid.
Obyek penelitian yaitu masyarakat atau penduduk asli Baduy Luar, Baduy Dalam, dan
Masyarakat di Ciboleger. Hal tersebut dilakukan agar dapat melakukan perbandingan
pengaruh modernisasi pada masyarakat Baduy luar, Baduy dalam dan pandangan penduduk
di luar suku Baduy. Dalam artikel ini dijelaskan mengenai pengertian atau teori modernisasi
yang berkaitan, biografi dan penjelasan mengenai masyarakat baduy, pengaruh modernisasi
di masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam, dan Analisis secara Sosiologis mengenai
fenomena gempuran modernisasi di dalam masyarakat Baduy.
Latar Belakang
Modernisasi merupakan salah satu aspek sosial yang tidak dapat dihindari di
masyarakat yang mempunyai karakteristik apapun dan dimanapun tempatnya. Modernisasi
ini terjadi seiring perkembangan zaman yang menuntut kebutuhan masyarakat yang semakin
komplek. Sebenarnya sangat lazim modernisasi itu terjadi dalam masyarakat karena semakin
lama manusia dengan segala kreativitas dan kecerdasannya pun bertambah sehingga hal
tersebut berbanding lurus. Adanya modernisasi ini biasanya bermula dari negara-negara maju
dimana masyarakatnya mampu berpikir maju untuk melakukan penemuan-penemuan baru,
misalnya penemuan sistem baru, budaya baru, ataupun alat-alat yang dianggap canggih yang
kemudian hal tersebut dianggap modern. Kemudian penemuan yang modern tersebut
dianggap baik karena memudahkan aktivitas dan membantu memenuhi kebutuhan dalam
masyarakat. Masyarakat penemu tersebut mayoritas merupakan negara barat seperti di Eropa
Barat dan Amerika Utara yang mereka telah mengenal ekonomi kapitalis dan tentunya
mereka tidak hanya menggunakan penemuan-penemuan itu sendiri tetapi mereka juga ingin
menyebarkan paham, produk dan pengaruh mereka di semua belahan dunia. Hal tersebut
tentu saja dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi negara atau masyarakat mereka.
Semakin berkembangnya zaman maka lahirlah era globalisasi, era dimana semua
budaya, sistem sosial, ekonomi dan segala aspek kehidupan saling bertukar atau mengglobal
tanpa dibatasi ruang dan waktu. Di dalam arus globalisasi, modernisasi mulai gencar di dunia,
terutama di negara yang masyarakatnya mayoritas masih tradisional salah satunya di
Indonesia dan negara-negara di Asia dan Afrika yang mayoritas masyarakatnya masih
tradisional.
Di Indonesia masyarakatnya sangat beragam etnis, budaya dan golongan atau sering
disebut masyarakat yang multikultur yang setiap etnis atau golongan memiliki karakter yang
berbeda-beda. Sehingga jika modernisasi masuk di dalamnya pasti perubahan dan
penerimaan antara masyarakat satu dan masyarakat lainnya tentu berbeda. Selain itu
masyarakat di Indonesia yang terdiri dari bersuku-suku bangsa juga memiliki tempat tinggal
yang berbeda, ada yang tinggal di pedalaman hutan atau gunung sehingga sangat terpencil
dan ada juga masyarakat yang dapat dengan mudah dijumpai.
Pengaruh modernisasi pada suatu masyarakat juga bias dipengruhi oleh kondisi
geografis dan norma adat yang ada di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat yang terbuka
dan bertempat di lokasi yang mudah dijangkau pasti masyarakat tersebut pasti mudah
menerima, sedangkan di dalam masyarakat yang tinggal dipedalaman dan memiliki norma
adat yang tertutup pasti sulit mendapat pengaruh modernisasi.
Modernisasi memiliki beberapa dampak bagi masyarakat, yang umumnya terjadi di
Indonesia, yang pertama dampak positif yaitu masyarakat semakin berfikir kritis terhadap
kondisi yang ada karena dengan adanya modernisasi menuntut masyarakat agar menempuh
pendidikan yang tinggi, selain itu adanya sarana komunikasi yang maju dapat menyalurkan
informasi pada masyarakat dengan mudah, itulah sebagian kecil dampak positif dari adanya
modernisasi. Selanjutnya terdapat dampak negatif, dampak negatif ini biasanya berpengaruh
dalam bidang sosial dan budaya, misalnya dalam budaya dengan adanya modernisasi
masyarakat beralih menggunakan budaya barat yang dianggap tidak tepat di Indonesia,
seperti pesta miras dan pesta sex. Selain itu dampak negatif adanya modernisasi di Indonesia
yang karakter masyarakatnya berbeda dapat menimbulkan kriminalitas, konflik, dan
kesenjangan sosial lainnya.
Di Indonesia yang merupakan negara yang masyarakatnya multikultur tentu saja
terdapat suku-suku bangsa yang berbeda, dan masing-masing suku bangsa memiliki
karakteristik yang berbeda dan tempat tinggal dengan geografis yang berbeda pula. Banyak
suku bangsa yang terbuka terhadap modernisasi, tetapi ada juga suku bangsa yang masih
tertutup dengan adanya modernisasi seperti pada masyarakat Baduy yang berada di
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy terkenal dengan masyarakatnya yang
tertutup terhadap pengaruh dari luar, selain itu tempat berada masyarakat Baduy juga berada
di pedalaman yaitu berada di pegunungan Kendeng. Banyak pihak yang menganggap bahwa
masyarakat Baduy masih primitif, namun di dalam masyarakat Baduy sendiri terbagi menjadi
dua, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam yang anggota masyarakatnya saling berinteraksi.
Baduy Luar dan Baduy Dalam berbeda, perbedaannya Baduy Luar memang lebih terbuka dan
menerima pengaruh dari luar walapun tidak penuh.
Dewasa ini masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam tidak bisa dipisahkan
interaksinya dari masyarakat luar, terutama masyarakat Ciboleger yang sudah modern dimana
di Ciboleger merupakan pusat berjual-beli masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy Luar dan
Baduy Dalam sebagian sekarang juga telah menerima masyarakat luar untuk masuk ke
dalamnya. Dengan demikian apakah pengaruh modernisasi telah masuk ke dalam kehidupan
masyarakat Baduy? Dan dalam bentuk apakah modernisasi itu berpengaruh apakah dalam
budaya ataukah dalam bentuk sistem saja. Hal tersebut patut diungkapkan karena dengan
dibolehkannya masyarakat luar masuk ke dalam yang mereka membawa kebudayaan luar
sekecil apapun pasti memiliki pengaruh. Sekecil apapun pengaruh modernisasi pasti
menimbulkan perubahan sosial dalam masyarakatnya.
Dengan demikian, artikel berdasarkan penelitian yang disusun oleh penulis ini
berusaha untuk memaparkan mengenai bagaimana pengaruh modernisasi di Masyarakat
Baduy Luar maupun masyarakat Baduy Dalam. Selain itu, penulis juga memaparkan
perubahan sosial apa saja yang terjadi dalam masyarakat Baduy.
A. Modernisasi dan Masyarakat Baduy
1. Konsep Modernisasi
Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti maju, modernity atau modernitas
yang diartikan sebagai nilai-nilai yang berlakunya dalam aspek ruang, waktu dan kelompok
sosialnya lebih luas atau universal. Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan
masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern
menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Secara historis, modernisasi merupakan suatu
proses perubahan yang menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, politik yang telah
berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke- 17 sampai abad ke- 19. Proses
modernisasi mencakup proses yang sangat luas. Kadang- kadang batas-batasnya tak dapat
diterapkan secara mutlak. Pengertian modernisasi dari beberapa tokoh:
a. Wilbert E Moore mengemukakan modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan
bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial
kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri Negara barat yang stabil.
b. J W School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam
segala aspek-aspeknya.
c. Soerjono Soekanto modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah
yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning.
d. Koentjaraningrat modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan
konstelasi dunia sekarang.
Menurut Soerjono Soekanto dalam buku pengantar sosiologi menyebutkan syaratsyarat suatu modernisasi adalah sebagai berikut:
a. Cara berfikir yang ilmiah,
b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar- benar mewujudkan birokrasi,
c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat pada suatu lembaga
atau badan tertentu,
d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dari masyarakatterhadap modernisasi dengan cara
penggunaan alat komunikasi massa,
e. Tingkat organisasi yang tinggi, distu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti
pengurangan kemerdekaan.
2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Baduy
Baduy apabila dilihat dari asal usul katanya terdapat kesimpangsiuran, ada sumber
yang mengatakan bahwa “baduy” ini berasal dari salah satu peneliti Belanda yang
memberikan nama Baduy karena masyarakat atau penduduknya yang berpindah-pindah
(nomaden) seperti masyarakat Badawi di Arab Saudi. Ada juga yang mengatakan Baduy
karena diambil dari nama gunung baduy dan sungai baduy yang ada dibagian utara wilayah
tersebut. Namun bagi orang baduynya mereka lebih suka menamai dirinya dengan sebutan
orang Kenekes. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Tiga desa utama orang
Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Di Baduy dalam yang menjadi
tetua atau anutan yaitu Pu’un (ketua adat) setelah itu Jaro (wakil adat). Orang Baduy mata
pencahariannya adalah sebagai petani dan pengrajin. Dan yang paling utama masyarakat
baduy adalah bertani padi diladang (tanah kering) atau yang disebut dengan padi “gogo”,
selain itu banyak sekali tumbuh- tumbuhan dan sayur- sayuran yang mereka tanam diladang
baik itu timun, jagung, durian, jambu, dan lain- lain sebagai penopang hidupnya. Selain untuk
dimakan sendiri orang baduy dalam juga mengenal transaksi jual beli dalam hal ekonomi di
mana hasil hutan yang lebih dijual kepada orang luar, seperti pisang, durian, rambutan, madu,
dan sebagainya. Dalam transaksi ini selain jual beli padi. Bagi masyarakat Baduy adanya
larangan untuk menjual padi, karena setelah panen padi di baduy dalam maka langsung
disimpan dalam lumbung padi. Hal ini sebagai persediaan atau sebagai tabungan dihari tua,
oleh karena itu di Baduy tidak ada kata kelaparan atau kekurangan pangan hal ini disebabkan
karena sistem adat ini.
Dalam hal kebudayaan masyarakat Baduy dalam sangat berpegang teguh dengan adatistiadat yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka. Adat istiadat Baduy dalam
yang masih dipegang teguh sampai sekarang antara lain tidak memakai alas kaki, memakai
baju berwarna putih dan ikat kepala putih serta celana pendek hitam dengan sabuk kain
putih, baju yang tidak berkrah, tidak berkancing, dan dijahit tangan sendiri, berjalan kaki,
tidak menggunakan alat elektronik seperti (handphone, televisi, radio), tidak adanya listrik,
sistem perkawinan yang dijodohkan, tidak merusak hutan, dan sebagainya. Di perkampungan
Baduy dalam sangat jauh dari kata maju dimana dalam menjangkau atau menuju ke Baduy
dalam harus jalan kaki dan jalanya masih tanah (tidak ada pengeras jalan atau jalan aspal),
tidak ada listrik yang masuk desa, tidak ada pendidikan formal, dan sarana kesehatan di
Baduy dalam. Menurut Jarosami (wakil adat) di baduy dalam (Cibeo) pendidikan bagi anak
Baduy mengikuti orang tuanya, pendidikan berasal dari orang tua masing- masing untuk
anak- anak usia sekitar 10 tahun kebawah misalnya dalam belajar berkebun diladang bagi
yang laki- laki, dan bagi yang perempuan belajar memasak, bersih- bersih dan sebagainya.
Untuk umur 10 tahun ke atas (dewasa) di Baduy dalam ada perkumpulan dimana maksud dari
perkumpulan tersebut untuk memberikan pengarahan mengenai adat istiadat, perilaku hidup,
dan tata cara bertani yang kegiatannya secara berkontinu atau berulang- ulang ini biasanya
dilakukan oleh tetua di Baduy dalam misalnya Jaro.
Mengenai adat dan aturan pernikahan dalam masyarakat Baduy dalam tidak mengenal
kata “pacaran” dalam melakukan pernikahan anak Baduy dalam harus melalui perjodohan
yang dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak. Anak disini tidak memiliki hak untuk
memilih jodohnya siapa. Apabila anak melanggar perintah orang tua atau menolak
perjodohan. Maka ada hukum adat dimana anak tersebut diasingkan di Baduy luar selama 40
hari, setelah itu apabila bisa berubah maka diperbolehkan untuk kembali ke Baduy dalam.
Batasan menikah anak Baduy dalam menurut bapak Jarosami sekitar 13 - 19 tahun bagi
perempuan sedangkan untuk laki- laki antara 18- 25 tahun. Upacara dalam pernikahan di
Baduy dalam dilakukan tiga kali, dimana yang pertama keluarga mempelai laki- laki
membawa sirih ke rumah mempelai perempuan apabila itu diterima oleh pihak perempuan
maka hari berikutnya, yang kedua keluarga dari mempelai laki- laki membawa cicin
pernikahan apabila itu diterima oleh pihak perempuan maka hari berikutnya, yang ketiga
mempelai laki- laki membawa alat- alat rumah tangga dan akad nikah kerumah mempelai
perempuan. Di Baduy dalam yang menikahkan adalah Pu’un atau ketua adat. Setelah
menikah anak untuk sesaat terserah akan tinggal dimana baik akan tinggal satu rumah dengan
ibu dari laki- laki maupun dari ibu perempuan. Di Baduy dalam setelah berkeluarga
diwajibkan harus memiliki rumah sendiri. Masyarakat Baduy dalam juga tidak mengenal
mengenai sabun, pasta gigi, dan deterjen. Bagi masyarakat Baduy dalam apabila mereka
mandi menggunakan sabun, pasta gigi, dan deterjen untuk mencuci baju maka itu akan
mencemari sungai dan mematikan habitat yang ada disungai misalnya ikan. Karena prinsip
bagi orang Baduy dalam adalah menjaga kelestarian lingkungan alam mereka dan tidak akan
merusak.
B. Pengaruh Modernisasi terhadap Baduy Luar
Masyarakat Baduy Luar pada dasarnya memiliki aturan adat yang tidak banyak
berbeda dengan Baduy Dalam. Hanya aturan di sini sedikit lebih longgar. Anak-anak Baduy
Luar kini diperbolehkan mengenakan celana jeans, kaos, dan sandal layaknya anak-anak kota.
Jejaring sosial seperti Facebook juga sudah dikenal. Artinya, budaya modern yang selama ini
dinikmati masyarakat kota sudah mulai dirasakan oleh masyarakat Baduy Luar. Telepon
genggam, radio, celana pendek, kaos, sandal kini menjadi tren anak muda Baduy.
Bagaimanapun, adat yang mereka yakini masih kental dalam keseharian mereka. Bangunan
rumah yang terbuat dari kayu dan bambu dan tungku besar masih belum berubah.
Kesederhanaan dan kebersamaan mereka juga belum banyak berubah. Sarpin, ayah
dua anak warga Kampung Balingbing, Baduy Luar, sengaja membangun rumah dengan
ukuran yang luar biasa besar untuk menyediakan para pelancong yang mau menikmati
kehidupan masyarakat Baduy tanpa bayaran sepeser pun. Bukan hanya itu, Sarpin juga
membangun dua kamar mandi yang disediakan untuk umum di belakang rumahnya. Para
pelancong yang akan menuju Baduy Dalam umumnya singgah satu malam di Baduy Luar di
kampung Gajeboh, Babakan Marengo, atau Balingbing.
Masyarakat Baduy tidak diperbolehkan oleh adat untuk mendapatkan pendidikan dari
bangku sekolah. Anak-anak Baduy sejak kecil dididik untuk berladang. Hal itu tampak dari
permainan mereka, ngasek padi (menanam padi). Permainan ini butuh kekompakan dan
ketepatan dalam pembagian peran. Sebagian anak laki-laki mematok tanah dengan kayu dan
anak perempuan menebar benihnya. Sebagian anak laki-laki lainnya mengiringi dolanan ini
dengan musik angklung dan gendang. Kemudian cara mereka belajar hanyalah mendengar
dan melihat. Meskipun begitu, sebagian masyarakat Baduy bisa membaca, menulis, dan
berhitung (calistung). Apabila mereka memaksakan untuk mengenyam pendidikan formal,
mereka diharuskan meninggalkan adat dan tentu harus keluar dari warga Baduy. Mungkin
karena larangan adat itu, justru minat belajar mereka cukup tinggi. Setiap ada pendatang
(turis lokal) mereka antusias meminta diajari menulis dan membaca bahkan belajar bahasa
asing (bahasa Inggris). Mulyono salah satunya, pemuda tanggung berusia 16 tahun ini
memiliki ketertarikan yang luar biasa untuk belajar bahasa Inggris. Sepanjang pengalaman
saya menuju Baduy Luar (Gajeboh) dan teman-teman kelompok saya melanjutkan ke Baduy
Dalam (Cibeo), Mulyono tidak jarang melontarkan pertanyaan dengan bahasa Inggris yang
tengah ia pelajari. Mulyono adalah satu contoh warga Baduy Luar yang mendobrak
paradigma bahwa tidak sekolah bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis.
Ketika malam datang, kampung Baduy sangat gelap gulita. Namun, ada perbedaaan
alat penerangan yang digunakan oleh masyarakat Baduy Luar dengan masyarakat Baduy
Dalam. Baduy Luar tidak sepenuhnya menggunakan aturan adat yang mengatur penerangan
ini. Buktinya, masyarakat Baduy Luar sudah menggunakan lampu energi matahari sebagai
alat penerangan di malam hari. Setiap rumah masyarakat Baduy Luar memiliki satu lampu
energi matahari tersebut untuk penerangan di rumah masing-masing dan dibawa ke luar
rumah, misalnya ke sungai pada malam hari untuk sekedar buang air kecil atau buang air
besar. Seperti data yang kami dapatkan, lampu ini mereka dapatkan dari pemerintah dinas
terkait. Pada siang hari, masyarakat Baduy Luar biasa menjemur lampu energi matahari ini di
luar rumah yang tujuannya untuk mengisi energi lampu tersebut seperti halnya Handphone
yang diisi energinya dengan cara di-charge.
C. Pengaruh Modernisasi terhadap Baduy Dalam
Dengan kondisi masyarakat Baduy dalam yang selama 20 tahun terakhir ini bersifat
terbuka dengan masyarakat luar. Dimana banyak sekali para pengunjung baik itu peneliti,
mahasiswa, maupun wisatawan yang mengunjungi Suku Baduy. Berdasarkan penjelasan
penduduk di Ciboleger yang bekerja sebagai jasa pembawa tas atau ransel ke Baduy luar
mengatakan bahwa setiap minggu selalu ada pengunjung ke Baduy apalagi saat- saat liburan
misalnya hari minggu itu pasti rame sekali. Mungkin dalam teori ini akan mempengaruhi pola
fikir, pola hidup, dan pola perilaku masyarakat Baduy dalam yang bergeser ke modernisasi.
Karena tidak dipungkiri bahwa salah satu penyebab modernisasi adalah sistem terbuka
masyarakat (Open Stratification). Selain itu juga adanya kontak dengan budaya lain dimana
biasanya wisatawan atau pengunjung yang tidur di rumah salah satu warga yang ada di Baduy
dalam jadi dengan hubungan yang intensif akan mempengaruhi perubahan ke arah
modernisasi.
Dari pengamatan dan observasi yang telah kami lakukan di Baduy dalam bahwa
pengaruh modernisasi sangat tipis pengaruhnya terhadap Baduy dalam. Karena apa mereka
masih memegang teguh adat istiadat yang mereka yakini. Tetapi tidak dipungkiri juga bahwa
mereka sedikit demi sedikit sudah tergerus oleh arus modernisasi karena mereka berinteraksi
dengan masyarakat di luar Baduy. Meskipun sekarang masih sedikit sentuhan modernisasi
yang terlihat, tetapi pasti ada kekhawatiran dari masyarakat Baduy dalam kepada generasinya
yang mungkin tidak bisa menjaga kearifan lokal lagi.
Ini merupakan beberapa adat yang telah mengalami sedikit perubahan atau pergeseran
adat. Dalam pengobatan masyarakat Baduy dalam yang masih menggunakan obat- obat
herbal yang mereka tanam di ladang, selain itu masyarakat Baduy dalam penyembuhannya
juga dibantu oleh Pu’un (ketua adat). Menurut bapak Jarosami misalnya kalau penyakitnya
belum sembuh setelah diobati Pu’un masyarakat Baduy dalam boleh berobat dengan bidan
dan ini pernah ada kejadian seperti itu (nyata). Jadi, masyarakat Baduy dalam tahu dan kenal
bidan dalam hal medis. Dalam pendidikan masyarakat Baduy dalam tidak pernah merasakan
yang namanya bangku sekolah, mereka masih menganut adat bahwa sekolah bagi anak- anak
mereka adalah belajar dari orang tua baik itu cara memasak, bertani, dan berkebun. Tapi
sekarang ini juga ada anak-anak dari Baduy Dalam yang sedikit-sedikit mengenal huruf
alfabet. Menurut keterangan dari bapak Jarosami itu anak-anak tahu huruf alfabet dari baju-
baju yang dijual oleh pedagang luar di Baduy dalam. Dari situ anak-anak Baduy dalam
mengenal dan tahu, selain itu juga pengunjung yang mengajari anak-anak Baduy dalam
mengenai baca dan tulis.
Anak-anak di suku Baduy dalam sekarang sudah tidak lagi saklek mematuhi peraturan
adat, kami sempat mengamati anak-anak gadis disana sudah mengenal make up, mereka
mengaku bahwa memakai make up tidak diperbolehkan, tetapi mereka tetap melanggarnya.
Kami juga sempat melihat salah satu anak sedang menikmati jajanan yang dibungkus plastik
seperti ciki, tentunya jajanan tersebut dia beli dari masyarakat luar Baduy. Selanjutnya,
modernisasi terlihat pada alat-alat rumah tangga, salah satu warga mengaku bahwa alat-alat
rumah tangga sudah banyak dibeli dari luar, sehingga kebanyakan alat rumah tangga sudah
seperti yang kita lihat di dapur-dapur masyarakat kita. Misalnya saja ada panci, mangkuk,
piring, dan alat penggorenga, dan lain- lain. Tetapi perubahan ini juga semuanya misalnya
untuk kompor mereka masih tetap setia menggunakan tungku dan kayu. Untuk minum
masyarakat Baduy dalam masih menggunakan gelas yang terbuat dari bambu.
Bila malam menjelang perkampungan Baduy gelap gulita. Tidak ada pelita, tidak ada
lampu teplok, obor, apalagi lampu neon. Masyarakat baduy tidak diperbolehkan
menggunakan energi yang didapat dengan cara canggih seperti listrik. Mereka juga tidak mau
ada kebakaran di kampung. Karena itu mereka memilih bergelap-gelapan pada malam hari.
Dengan aturan adat yang ketat, dengan perkampungan yang senyap, gelap malam menjadi
magis. Suasana magis pasti menyerang siapa pun yang berkunjung ke Baduy, terutama pada
malam harinya. Penerangan yang digunakan masyarakat Baduy Dalam berbeda dengan
Baduy Luar yang sudah menggunakan lampu energi matahari, masyarakat Baduy Dalam
masih menggunakan lilin dan lampu teplok, tetapi ketika ada kepentingan di luar rumah
mereka juga sudah menggunakan senter sebagai penerangan, meskipun senter tersebut
mereka pinjam dari masyarakat luar. Hal ini terbukti saat kami berada di Baduy Dalam kami
boleh menyalakan senter sebagai penerangan untuk tidur. Salah satu warga yang kami
wawancarai berkata bahwa dulu ketika pemerintahan Suharto mereka pernah ditawari proyek
pembangunan jalan dan pemasangan listrik, tetapi masyarakat menolak karena hal itu dirasa
melanggar adat yang sudah mereka pegang sejak zaman nenek moyang mereka. Saat
masyarakat Baduy Dalam pergi ke luar untuk membeli dan menjual hasil perkebunan tidak
jarang dari mereka mampir di warung-warung makan yang berada di daerah Terminal
Ciboleger. Mereka singgah sebentar di warung untuk makan dan menonton berita di televisi,
sehingga mereka mengetahui berita-berita yang sedang berlangsung saat ini. Di sekitaran
terminal Ciboleger terdapat sebuah Alfamart, menurut warga sekitar tidak jarang masyarakat
Baduy Dalam membeli sesuatu di Alfamart tersebut.
Masyarakat Baduy Dalam sudah mengenal sistem uang dalam transaksi jual belinya,
meskipun di zaman dulu juga mengenal sistem barter, dalam hal ini terlihat bahwa
masyarakat Baduy Dalam terbuka terhadap perubahan sistem perekonomian, salah satu warga
mengaku bahwa mereka sudah mengenl uang sejak uang koin, berarti mereka mengenal uang
sejak awal uang disahkan sebagai sistem pembayaran.
Simpulan
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari
keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat
yang modern. Secara historis, modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang menuju
pada tipe sistem- sistem sosial, ekonomi, politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan
Amerika Utara pada abad ke- 17 sampai abad ke- 19. Proses modernisasi mencakup proses
yang sangat luas. Kadang- kadang batas- batasnya tak dapat diterapkan secara mutlak.
Fenomena Modernisasi sebagai paradigma pembangunan memang tidak bisa ditolak
oleh kebanyakan Negara berkembang, sebab paradigma yang muncul pasca revolusi industri
di Inggris ini merupakan suatu perpanjangan dari proses imperialisme yang telah mendarah
daging pada kehidupan masyarakat secara sosiologis. Jika melihat realitasnnya, modernisasi
sebenarnya telah membawa suatu perubahan yang cukup signifikan terhadap aspek kehidupan
yang dianggap “tradisional” dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah modern versi “Negara
Barat”. Sehingga acapkali masyarakat salah persepsi mengenai kaidah-kaidah moderniasi dan
westernisasi
Tulisan ini direkonstruksi berdasarkan pengalaman lapangan penulis dan beberapa
rekan mahasiswa ketika melakukan penelitian tentang kearifan lokal Suku Baduy di Banten
pada bulan November 2014. Tanpa pengalaman dan sekedar membaca telaah pustaka tentang
kehidupan Suku Baduy kami memberanikan diri untuk melangkah memasuki tanah ulayat
Suku Baduy dan secara langsung kami melihat perubahan-perubahan yang cukup membuat
kami tercengang karena apa yang kami lihat saat itu di Tanah Baduy berbeda dengan telaah
pustaka yang kami pelajari sebelumnya. Hal tersebut antara lain:
1. Sistem perekonomian barter pada tahun 90an kini telah terkoyak, suku Baduy secara
pasti telah mengenal perekonomian uang.
2. Sistem ekonomi tertutup mereka dimana produksi hutan hanya diperuntukan untuk
konsumsi keluarga, namun kini meski dengan sistem tebang pilih. Banyak produksi
hutan yang menjadi komoditi kayu yang diperjual belikan ke luar tanah adat.
Sebenarnya masih banyak perubahan-perubahan yang terjadi disana. Disinyalir arus
pariwisata sejak tahun 1997 yang menjadikan Tanah Ulayat Suku Baduy yang terkenal akan
keindahan ekologinya sebagai obyek wisata membawa pengaruh besar dalam perubahan
tersebut. Interaksi yang sangat insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif
mampu merubah pola pikir penduduk lokal yang polos dan masih tradisional. Berdasarkan
data yang kami peroleh, tiap minggunya ratusan wisatawan datang untuk mengunjungi tanah
ini dan juga menginap di rumah-rumah penduduk. Meski tanpa listrik dan harus berjalan kaki
sejauh 12 km untuk sampai ke Baduy Dalam.
Daftar Pustaka
Globalisasi dan Modernisasi di Indonesia. Diakses 22 Desember 2014 pukul 23:20 WIB.
https://bybyluphta.wordpress.com/tu9az/
Soekanto, Soekanto. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers
Abstrak
Modernisasi merupakan salah satu faktor penyebab perubahan yang ada dalam
masyarakat, yang berarti merubah kondisi masyarakat yang tradisional menuju pada kondisi
masyarakat yang modern. Modernisasi ini biasanya sangat erat hubungannya dengan
globalisasi atau mengglobalnya suatu budaya secara meluas tanpa terikat ruang dan waktu.
Dampak modernisasi ini adalah pada semua masyarakat dibelahan dunia manapun, dampak
terbesar dari globalisasi biasanya pada aspek sosial dan budaya. Di Indonesia yang
masyarakatnya beragam modernisasi pasti sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan
masyarakat di dalamnya, terutama pada masyarakat yang masih tradisional seperti
masyarakat Baduy yang merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia.
Artikel ini mencoba untuk memaparkan mengenai gempuran arus modernisasi
terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Baduy yang berada di wilayah Banten
yang mayoritas masih jauh dari kehidupan modern. Artikel ini dibuat dari hasil penelitian
yang dilakukan secara semi partisipan, yaitu peneliti secara langsung melakukan pengamatan
dan wawancara kepada masyarakat Baduy, sehingga data yang didapatkan cukup valid.
Obyek penelitian yaitu masyarakat atau penduduk asli Baduy Luar, Baduy Dalam, dan
Masyarakat di Ciboleger. Hal tersebut dilakukan agar dapat melakukan perbandingan
pengaruh modernisasi pada masyarakat Baduy luar, Baduy dalam dan pandangan penduduk
di luar suku Baduy. Dalam artikel ini dijelaskan mengenai pengertian atau teori modernisasi
yang berkaitan, biografi dan penjelasan mengenai masyarakat baduy, pengaruh modernisasi
di masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam, dan Analisis secara Sosiologis mengenai
fenomena gempuran modernisasi di dalam masyarakat Baduy.
Latar Belakang
Modernisasi merupakan salah satu aspek sosial yang tidak dapat dihindari di
masyarakat yang mempunyai karakteristik apapun dan dimanapun tempatnya. Modernisasi
ini terjadi seiring perkembangan zaman yang menuntut kebutuhan masyarakat yang semakin
komplek. Sebenarnya sangat lazim modernisasi itu terjadi dalam masyarakat karena semakin
lama manusia dengan segala kreativitas dan kecerdasannya pun bertambah sehingga hal
tersebut berbanding lurus. Adanya modernisasi ini biasanya bermula dari negara-negara maju
dimana masyarakatnya mampu berpikir maju untuk melakukan penemuan-penemuan baru,
misalnya penemuan sistem baru, budaya baru, ataupun alat-alat yang dianggap canggih yang
kemudian hal tersebut dianggap modern. Kemudian penemuan yang modern tersebut
dianggap baik karena memudahkan aktivitas dan membantu memenuhi kebutuhan dalam
masyarakat. Masyarakat penemu tersebut mayoritas merupakan negara barat seperti di Eropa
Barat dan Amerika Utara yang mereka telah mengenal ekonomi kapitalis dan tentunya
mereka tidak hanya menggunakan penemuan-penemuan itu sendiri tetapi mereka juga ingin
menyebarkan paham, produk dan pengaruh mereka di semua belahan dunia. Hal tersebut
tentu saja dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi negara atau masyarakat mereka.
Semakin berkembangnya zaman maka lahirlah era globalisasi, era dimana semua
budaya, sistem sosial, ekonomi dan segala aspek kehidupan saling bertukar atau mengglobal
tanpa dibatasi ruang dan waktu. Di dalam arus globalisasi, modernisasi mulai gencar di dunia,
terutama di negara yang masyarakatnya mayoritas masih tradisional salah satunya di
Indonesia dan negara-negara di Asia dan Afrika yang mayoritas masyarakatnya masih
tradisional.
Di Indonesia masyarakatnya sangat beragam etnis, budaya dan golongan atau sering
disebut masyarakat yang multikultur yang setiap etnis atau golongan memiliki karakter yang
berbeda-beda. Sehingga jika modernisasi masuk di dalamnya pasti perubahan dan
penerimaan antara masyarakat satu dan masyarakat lainnya tentu berbeda. Selain itu
masyarakat di Indonesia yang terdiri dari bersuku-suku bangsa juga memiliki tempat tinggal
yang berbeda, ada yang tinggal di pedalaman hutan atau gunung sehingga sangat terpencil
dan ada juga masyarakat yang dapat dengan mudah dijumpai.
Pengaruh modernisasi pada suatu masyarakat juga bias dipengruhi oleh kondisi
geografis dan norma adat yang ada di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat yang terbuka
dan bertempat di lokasi yang mudah dijangkau pasti masyarakat tersebut pasti mudah
menerima, sedangkan di dalam masyarakat yang tinggal dipedalaman dan memiliki norma
adat yang tertutup pasti sulit mendapat pengaruh modernisasi.
Modernisasi memiliki beberapa dampak bagi masyarakat, yang umumnya terjadi di
Indonesia, yang pertama dampak positif yaitu masyarakat semakin berfikir kritis terhadap
kondisi yang ada karena dengan adanya modernisasi menuntut masyarakat agar menempuh
pendidikan yang tinggi, selain itu adanya sarana komunikasi yang maju dapat menyalurkan
informasi pada masyarakat dengan mudah, itulah sebagian kecil dampak positif dari adanya
modernisasi. Selanjutnya terdapat dampak negatif, dampak negatif ini biasanya berpengaruh
dalam bidang sosial dan budaya, misalnya dalam budaya dengan adanya modernisasi
masyarakat beralih menggunakan budaya barat yang dianggap tidak tepat di Indonesia,
seperti pesta miras dan pesta sex. Selain itu dampak negatif adanya modernisasi di Indonesia
yang karakter masyarakatnya berbeda dapat menimbulkan kriminalitas, konflik, dan
kesenjangan sosial lainnya.
Di Indonesia yang merupakan negara yang masyarakatnya multikultur tentu saja
terdapat suku-suku bangsa yang berbeda, dan masing-masing suku bangsa memiliki
karakteristik yang berbeda dan tempat tinggal dengan geografis yang berbeda pula. Banyak
suku bangsa yang terbuka terhadap modernisasi, tetapi ada juga suku bangsa yang masih
tertutup dengan adanya modernisasi seperti pada masyarakat Baduy yang berada di
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy terkenal dengan masyarakatnya yang
tertutup terhadap pengaruh dari luar, selain itu tempat berada masyarakat Baduy juga berada
di pedalaman yaitu berada di pegunungan Kendeng. Banyak pihak yang menganggap bahwa
masyarakat Baduy masih primitif, namun di dalam masyarakat Baduy sendiri terbagi menjadi
dua, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam yang anggota masyarakatnya saling berinteraksi.
Baduy Luar dan Baduy Dalam berbeda, perbedaannya Baduy Luar memang lebih terbuka dan
menerima pengaruh dari luar walapun tidak penuh.
Dewasa ini masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam tidak bisa dipisahkan
interaksinya dari masyarakat luar, terutama masyarakat Ciboleger yang sudah modern dimana
di Ciboleger merupakan pusat berjual-beli masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy Luar dan
Baduy Dalam sebagian sekarang juga telah menerima masyarakat luar untuk masuk ke
dalamnya. Dengan demikian apakah pengaruh modernisasi telah masuk ke dalam kehidupan
masyarakat Baduy? Dan dalam bentuk apakah modernisasi itu berpengaruh apakah dalam
budaya ataukah dalam bentuk sistem saja. Hal tersebut patut diungkapkan karena dengan
dibolehkannya masyarakat luar masuk ke dalam yang mereka membawa kebudayaan luar
sekecil apapun pasti memiliki pengaruh. Sekecil apapun pengaruh modernisasi pasti
menimbulkan perubahan sosial dalam masyarakatnya.
Dengan demikian, artikel berdasarkan penelitian yang disusun oleh penulis ini
berusaha untuk memaparkan mengenai bagaimana pengaruh modernisasi di Masyarakat
Baduy Luar maupun masyarakat Baduy Dalam. Selain itu, penulis juga memaparkan
perubahan sosial apa saja yang terjadi dalam masyarakat Baduy.
A. Modernisasi dan Masyarakat Baduy
1. Konsep Modernisasi
Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti maju, modernity atau modernitas
yang diartikan sebagai nilai-nilai yang berlakunya dalam aspek ruang, waktu dan kelompok
sosialnya lebih luas atau universal. Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan
masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern
menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Secara historis, modernisasi merupakan suatu
proses perubahan yang menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, politik yang telah
berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke- 17 sampai abad ke- 19. Proses
modernisasi mencakup proses yang sangat luas. Kadang- kadang batas-batasnya tak dapat
diterapkan secara mutlak. Pengertian modernisasi dari beberapa tokoh:
a. Wilbert E Moore mengemukakan modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan
bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial
kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri Negara barat yang stabil.
b. J W School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam
segala aspek-aspeknya.
c. Soerjono Soekanto modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah
yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning.
d. Koentjaraningrat modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan
konstelasi dunia sekarang.
Menurut Soerjono Soekanto dalam buku pengantar sosiologi menyebutkan syaratsyarat suatu modernisasi adalah sebagai berikut:
a. Cara berfikir yang ilmiah,
b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar- benar mewujudkan birokrasi,
c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat pada suatu lembaga
atau badan tertentu,
d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dari masyarakatterhadap modernisasi dengan cara
penggunaan alat komunikasi massa,
e. Tingkat organisasi yang tinggi, distu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti
pengurangan kemerdekaan.
2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Baduy
Baduy apabila dilihat dari asal usul katanya terdapat kesimpangsiuran, ada sumber
yang mengatakan bahwa “baduy” ini berasal dari salah satu peneliti Belanda yang
memberikan nama Baduy karena masyarakat atau penduduknya yang berpindah-pindah
(nomaden) seperti masyarakat Badawi di Arab Saudi. Ada juga yang mengatakan Baduy
karena diambil dari nama gunung baduy dan sungai baduy yang ada dibagian utara wilayah
tersebut. Namun bagi orang baduynya mereka lebih suka menamai dirinya dengan sebutan
orang Kenekes. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Tiga desa utama orang
Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Di Baduy dalam yang menjadi
tetua atau anutan yaitu Pu’un (ketua adat) setelah itu Jaro (wakil adat). Orang Baduy mata
pencahariannya adalah sebagai petani dan pengrajin. Dan yang paling utama masyarakat
baduy adalah bertani padi diladang (tanah kering) atau yang disebut dengan padi “gogo”,
selain itu banyak sekali tumbuh- tumbuhan dan sayur- sayuran yang mereka tanam diladang
baik itu timun, jagung, durian, jambu, dan lain- lain sebagai penopang hidupnya. Selain untuk
dimakan sendiri orang baduy dalam juga mengenal transaksi jual beli dalam hal ekonomi di
mana hasil hutan yang lebih dijual kepada orang luar, seperti pisang, durian, rambutan, madu,
dan sebagainya. Dalam transaksi ini selain jual beli padi. Bagi masyarakat Baduy adanya
larangan untuk menjual padi, karena setelah panen padi di baduy dalam maka langsung
disimpan dalam lumbung padi. Hal ini sebagai persediaan atau sebagai tabungan dihari tua,
oleh karena itu di Baduy tidak ada kata kelaparan atau kekurangan pangan hal ini disebabkan
karena sistem adat ini.
Dalam hal kebudayaan masyarakat Baduy dalam sangat berpegang teguh dengan adatistiadat yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka. Adat istiadat Baduy dalam
yang masih dipegang teguh sampai sekarang antara lain tidak memakai alas kaki, memakai
baju berwarna putih dan ikat kepala putih serta celana pendek hitam dengan sabuk kain
putih, baju yang tidak berkrah, tidak berkancing, dan dijahit tangan sendiri, berjalan kaki,
tidak menggunakan alat elektronik seperti (handphone, televisi, radio), tidak adanya listrik,
sistem perkawinan yang dijodohkan, tidak merusak hutan, dan sebagainya. Di perkampungan
Baduy dalam sangat jauh dari kata maju dimana dalam menjangkau atau menuju ke Baduy
dalam harus jalan kaki dan jalanya masih tanah (tidak ada pengeras jalan atau jalan aspal),
tidak ada listrik yang masuk desa, tidak ada pendidikan formal, dan sarana kesehatan di
Baduy dalam. Menurut Jarosami (wakil adat) di baduy dalam (Cibeo) pendidikan bagi anak
Baduy mengikuti orang tuanya, pendidikan berasal dari orang tua masing- masing untuk
anak- anak usia sekitar 10 tahun kebawah misalnya dalam belajar berkebun diladang bagi
yang laki- laki, dan bagi yang perempuan belajar memasak, bersih- bersih dan sebagainya.
Untuk umur 10 tahun ke atas (dewasa) di Baduy dalam ada perkumpulan dimana maksud dari
perkumpulan tersebut untuk memberikan pengarahan mengenai adat istiadat, perilaku hidup,
dan tata cara bertani yang kegiatannya secara berkontinu atau berulang- ulang ini biasanya
dilakukan oleh tetua di Baduy dalam misalnya Jaro.
Mengenai adat dan aturan pernikahan dalam masyarakat Baduy dalam tidak mengenal
kata “pacaran” dalam melakukan pernikahan anak Baduy dalam harus melalui perjodohan
yang dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak. Anak disini tidak memiliki hak untuk
memilih jodohnya siapa. Apabila anak melanggar perintah orang tua atau menolak
perjodohan. Maka ada hukum adat dimana anak tersebut diasingkan di Baduy luar selama 40
hari, setelah itu apabila bisa berubah maka diperbolehkan untuk kembali ke Baduy dalam.
Batasan menikah anak Baduy dalam menurut bapak Jarosami sekitar 13 - 19 tahun bagi
perempuan sedangkan untuk laki- laki antara 18- 25 tahun. Upacara dalam pernikahan di
Baduy dalam dilakukan tiga kali, dimana yang pertama keluarga mempelai laki- laki
membawa sirih ke rumah mempelai perempuan apabila itu diterima oleh pihak perempuan
maka hari berikutnya, yang kedua keluarga dari mempelai laki- laki membawa cicin
pernikahan apabila itu diterima oleh pihak perempuan maka hari berikutnya, yang ketiga
mempelai laki- laki membawa alat- alat rumah tangga dan akad nikah kerumah mempelai
perempuan. Di Baduy dalam yang menikahkan adalah Pu’un atau ketua adat. Setelah
menikah anak untuk sesaat terserah akan tinggal dimana baik akan tinggal satu rumah dengan
ibu dari laki- laki maupun dari ibu perempuan. Di Baduy dalam setelah berkeluarga
diwajibkan harus memiliki rumah sendiri. Masyarakat Baduy dalam juga tidak mengenal
mengenai sabun, pasta gigi, dan deterjen. Bagi masyarakat Baduy dalam apabila mereka
mandi menggunakan sabun, pasta gigi, dan deterjen untuk mencuci baju maka itu akan
mencemari sungai dan mematikan habitat yang ada disungai misalnya ikan. Karena prinsip
bagi orang Baduy dalam adalah menjaga kelestarian lingkungan alam mereka dan tidak akan
merusak.
B. Pengaruh Modernisasi terhadap Baduy Luar
Masyarakat Baduy Luar pada dasarnya memiliki aturan adat yang tidak banyak
berbeda dengan Baduy Dalam. Hanya aturan di sini sedikit lebih longgar. Anak-anak Baduy
Luar kini diperbolehkan mengenakan celana jeans, kaos, dan sandal layaknya anak-anak kota.
Jejaring sosial seperti Facebook juga sudah dikenal. Artinya, budaya modern yang selama ini
dinikmati masyarakat kota sudah mulai dirasakan oleh masyarakat Baduy Luar. Telepon
genggam, radio, celana pendek, kaos, sandal kini menjadi tren anak muda Baduy.
Bagaimanapun, adat yang mereka yakini masih kental dalam keseharian mereka. Bangunan
rumah yang terbuat dari kayu dan bambu dan tungku besar masih belum berubah.
Kesederhanaan dan kebersamaan mereka juga belum banyak berubah. Sarpin, ayah
dua anak warga Kampung Balingbing, Baduy Luar, sengaja membangun rumah dengan
ukuran yang luar biasa besar untuk menyediakan para pelancong yang mau menikmati
kehidupan masyarakat Baduy tanpa bayaran sepeser pun. Bukan hanya itu, Sarpin juga
membangun dua kamar mandi yang disediakan untuk umum di belakang rumahnya. Para
pelancong yang akan menuju Baduy Dalam umumnya singgah satu malam di Baduy Luar di
kampung Gajeboh, Babakan Marengo, atau Balingbing.
Masyarakat Baduy tidak diperbolehkan oleh adat untuk mendapatkan pendidikan dari
bangku sekolah. Anak-anak Baduy sejak kecil dididik untuk berladang. Hal itu tampak dari
permainan mereka, ngasek padi (menanam padi). Permainan ini butuh kekompakan dan
ketepatan dalam pembagian peran. Sebagian anak laki-laki mematok tanah dengan kayu dan
anak perempuan menebar benihnya. Sebagian anak laki-laki lainnya mengiringi dolanan ini
dengan musik angklung dan gendang. Kemudian cara mereka belajar hanyalah mendengar
dan melihat. Meskipun begitu, sebagian masyarakat Baduy bisa membaca, menulis, dan
berhitung (calistung). Apabila mereka memaksakan untuk mengenyam pendidikan formal,
mereka diharuskan meninggalkan adat dan tentu harus keluar dari warga Baduy. Mungkin
karena larangan adat itu, justru minat belajar mereka cukup tinggi. Setiap ada pendatang
(turis lokal) mereka antusias meminta diajari menulis dan membaca bahkan belajar bahasa
asing (bahasa Inggris). Mulyono salah satunya, pemuda tanggung berusia 16 tahun ini
memiliki ketertarikan yang luar biasa untuk belajar bahasa Inggris. Sepanjang pengalaman
saya menuju Baduy Luar (Gajeboh) dan teman-teman kelompok saya melanjutkan ke Baduy
Dalam (Cibeo), Mulyono tidak jarang melontarkan pertanyaan dengan bahasa Inggris yang
tengah ia pelajari. Mulyono adalah satu contoh warga Baduy Luar yang mendobrak
paradigma bahwa tidak sekolah bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis.
Ketika malam datang, kampung Baduy sangat gelap gulita. Namun, ada perbedaaan
alat penerangan yang digunakan oleh masyarakat Baduy Luar dengan masyarakat Baduy
Dalam. Baduy Luar tidak sepenuhnya menggunakan aturan adat yang mengatur penerangan
ini. Buktinya, masyarakat Baduy Luar sudah menggunakan lampu energi matahari sebagai
alat penerangan di malam hari. Setiap rumah masyarakat Baduy Luar memiliki satu lampu
energi matahari tersebut untuk penerangan di rumah masing-masing dan dibawa ke luar
rumah, misalnya ke sungai pada malam hari untuk sekedar buang air kecil atau buang air
besar. Seperti data yang kami dapatkan, lampu ini mereka dapatkan dari pemerintah dinas
terkait. Pada siang hari, masyarakat Baduy Luar biasa menjemur lampu energi matahari ini di
luar rumah yang tujuannya untuk mengisi energi lampu tersebut seperti halnya Handphone
yang diisi energinya dengan cara di-charge.
C. Pengaruh Modernisasi terhadap Baduy Dalam
Dengan kondisi masyarakat Baduy dalam yang selama 20 tahun terakhir ini bersifat
terbuka dengan masyarakat luar. Dimana banyak sekali para pengunjung baik itu peneliti,
mahasiswa, maupun wisatawan yang mengunjungi Suku Baduy. Berdasarkan penjelasan
penduduk di Ciboleger yang bekerja sebagai jasa pembawa tas atau ransel ke Baduy luar
mengatakan bahwa setiap minggu selalu ada pengunjung ke Baduy apalagi saat- saat liburan
misalnya hari minggu itu pasti rame sekali. Mungkin dalam teori ini akan mempengaruhi pola
fikir, pola hidup, dan pola perilaku masyarakat Baduy dalam yang bergeser ke modernisasi.
Karena tidak dipungkiri bahwa salah satu penyebab modernisasi adalah sistem terbuka
masyarakat (Open Stratification). Selain itu juga adanya kontak dengan budaya lain dimana
biasanya wisatawan atau pengunjung yang tidur di rumah salah satu warga yang ada di Baduy
dalam jadi dengan hubungan yang intensif akan mempengaruhi perubahan ke arah
modernisasi.
Dari pengamatan dan observasi yang telah kami lakukan di Baduy dalam bahwa
pengaruh modernisasi sangat tipis pengaruhnya terhadap Baduy dalam. Karena apa mereka
masih memegang teguh adat istiadat yang mereka yakini. Tetapi tidak dipungkiri juga bahwa
mereka sedikit demi sedikit sudah tergerus oleh arus modernisasi karena mereka berinteraksi
dengan masyarakat di luar Baduy. Meskipun sekarang masih sedikit sentuhan modernisasi
yang terlihat, tetapi pasti ada kekhawatiran dari masyarakat Baduy dalam kepada generasinya
yang mungkin tidak bisa menjaga kearifan lokal lagi.
Ini merupakan beberapa adat yang telah mengalami sedikit perubahan atau pergeseran
adat. Dalam pengobatan masyarakat Baduy dalam yang masih menggunakan obat- obat
herbal yang mereka tanam di ladang, selain itu masyarakat Baduy dalam penyembuhannya
juga dibantu oleh Pu’un (ketua adat). Menurut bapak Jarosami misalnya kalau penyakitnya
belum sembuh setelah diobati Pu’un masyarakat Baduy dalam boleh berobat dengan bidan
dan ini pernah ada kejadian seperti itu (nyata). Jadi, masyarakat Baduy dalam tahu dan kenal
bidan dalam hal medis. Dalam pendidikan masyarakat Baduy dalam tidak pernah merasakan
yang namanya bangku sekolah, mereka masih menganut adat bahwa sekolah bagi anak- anak
mereka adalah belajar dari orang tua baik itu cara memasak, bertani, dan berkebun. Tapi
sekarang ini juga ada anak-anak dari Baduy Dalam yang sedikit-sedikit mengenal huruf
alfabet. Menurut keterangan dari bapak Jarosami itu anak-anak tahu huruf alfabet dari baju-
baju yang dijual oleh pedagang luar di Baduy dalam. Dari situ anak-anak Baduy dalam
mengenal dan tahu, selain itu juga pengunjung yang mengajari anak-anak Baduy dalam
mengenai baca dan tulis.
Anak-anak di suku Baduy dalam sekarang sudah tidak lagi saklek mematuhi peraturan
adat, kami sempat mengamati anak-anak gadis disana sudah mengenal make up, mereka
mengaku bahwa memakai make up tidak diperbolehkan, tetapi mereka tetap melanggarnya.
Kami juga sempat melihat salah satu anak sedang menikmati jajanan yang dibungkus plastik
seperti ciki, tentunya jajanan tersebut dia beli dari masyarakat luar Baduy. Selanjutnya,
modernisasi terlihat pada alat-alat rumah tangga, salah satu warga mengaku bahwa alat-alat
rumah tangga sudah banyak dibeli dari luar, sehingga kebanyakan alat rumah tangga sudah
seperti yang kita lihat di dapur-dapur masyarakat kita. Misalnya saja ada panci, mangkuk,
piring, dan alat penggorenga, dan lain- lain. Tetapi perubahan ini juga semuanya misalnya
untuk kompor mereka masih tetap setia menggunakan tungku dan kayu. Untuk minum
masyarakat Baduy dalam masih menggunakan gelas yang terbuat dari bambu.
Bila malam menjelang perkampungan Baduy gelap gulita. Tidak ada pelita, tidak ada
lampu teplok, obor, apalagi lampu neon. Masyarakat baduy tidak diperbolehkan
menggunakan energi yang didapat dengan cara canggih seperti listrik. Mereka juga tidak mau
ada kebakaran di kampung. Karena itu mereka memilih bergelap-gelapan pada malam hari.
Dengan aturan adat yang ketat, dengan perkampungan yang senyap, gelap malam menjadi
magis. Suasana magis pasti menyerang siapa pun yang berkunjung ke Baduy, terutama pada
malam harinya. Penerangan yang digunakan masyarakat Baduy Dalam berbeda dengan
Baduy Luar yang sudah menggunakan lampu energi matahari, masyarakat Baduy Dalam
masih menggunakan lilin dan lampu teplok, tetapi ketika ada kepentingan di luar rumah
mereka juga sudah menggunakan senter sebagai penerangan, meskipun senter tersebut
mereka pinjam dari masyarakat luar. Hal ini terbukti saat kami berada di Baduy Dalam kami
boleh menyalakan senter sebagai penerangan untuk tidur. Salah satu warga yang kami
wawancarai berkata bahwa dulu ketika pemerintahan Suharto mereka pernah ditawari proyek
pembangunan jalan dan pemasangan listrik, tetapi masyarakat menolak karena hal itu dirasa
melanggar adat yang sudah mereka pegang sejak zaman nenek moyang mereka. Saat
masyarakat Baduy Dalam pergi ke luar untuk membeli dan menjual hasil perkebunan tidak
jarang dari mereka mampir di warung-warung makan yang berada di daerah Terminal
Ciboleger. Mereka singgah sebentar di warung untuk makan dan menonton berita di televisi,
sehingga mereka mengetahui berita-berita yang sedang berlangsung saat ini. Di sekitaran
terminal Ciboleger terdapat sebuah Alfamart, menurut warga sekitar tidak jarang masyarakat
Baduy Dalam membeli sesuatu di Alfamart tersebut.
Masyarakat Baduy Dalam sudah mengenal sistem uang dalam transaksi jual belinya,
meskipun di zaman dulu juga mengenal sistem barter, dalam hal ini terlihat bahwa
masyarakat Baduy Dalam terbuka terhadap perubahan sistem perekonomian, salah satu warga
mengaku bahwa mereka sudah mengenl uang sejak uang koin, berarti mereka mengenal uang
sejak awal uang disahkan sebagai sistem pembayaran.
Simpulan
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari
keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat
yang modern. Secara historis, modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang menuju
pada tipe sistem- sistem sosial, ekonomi, politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan
Amerika Utara pada abad ke- 17 sampai abad ke- 19. Proses modernisasi mencakup proses
yang sangat luas. Kadang- kadang batas- batasnya tak dapat diterapkan secara mutlak.
Fenomena Modernisasi sebagai paradigma pembangunan memang tidak bisa ditolak
oleh kebanyakan Negara berkembang, sebab paradigma yang muncul pasca revolusi industri
di Inggris ini merupakan suatu perpanjangan dari proses imperialisme yang telah mendarah
daging pada kehidupan masyarakat secara sosiologis. Jika melihat realitasnnya, modernisasi
sebenarnya telah membawa suatu perubahan yang cukup signifikan terhadap aspek kehidupan
yang dianggap “tradisional” dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah modern versi “Negara
Barat”. Sehingga acapkali masyarakat salah persepsi mengenai kaidah-kaidah moderniasi dan
westernisasi
Tulisan ini direkonstruksi berdasarkan pengalaman lapangan penulis dan beberapa
rekan mahasiswa ketika melakukan penelitian tentang kearifan lokal Suku Baduy di Banten
pada bulan November 2014. Tanpa pengalaman dan sekedar membaca telaah pustaka tentang
kehidupan Suku Baduy kami memberanikan diri untuk melangkah memasuki tanah ulayat
Suku Baduy dan secara langsung kami melihat perubahan-perubahan yang cukup membuat
kami tercengang karena apa yang kami lihat saat itu di Tanah Baduy berbeda dengan telaah
pustaka yang kami pelajari sebelumnya. Hal tersebut antara lain:
1. Sistem perekonomian barter pada tahun 90an kini telah terkoyak, suku Baduy secara
pasti telah mengenal perekonomian uang.
2. Sistem ekonomi tertutup mereka dimana produksi hutan hanya diperuntukan untuk
konsumsi keluarga, namun kini meski dengan sistem tebang pilih. Banyak produksi
hutan yang menjadi komoditi kayu yang diperjual belikan ke luar tanah adat.
Sebenarnya masih banyak perubahan-perubahan yang terjadi disana. Disinyalir arus
pariwisata sejak tahun 1997 yang menjadikan Tanah Ulayat Suku Baduy yang terkenal akan
keindahan ekologinya sebagai obyek wisata membawa pengaruh besar dalam perubahan
tersebut. Interaksi yang sangat insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif
mampu merubah pola pikir penduduk lokal yang polos dan masih tradisional. Berdasarkan
data yang kami peroleh, tiap minggunya ratusan wisatawan datang untuk mengunjungi tanah
ini dan juga menginap di rumah-rumah penduduk. Meski tanpa listrik dan harus berjalan kaki
sejauh 12 km untuk sampai ke Baduy Dalam.
Daftar Pustaka
Globalisasi dan Modernisasi di Indonesia. Diakses 22 Desember 2014 pukul 23:20 WIB.
https://bybyluphta.wordpress.com/tu9az/
Soekanto, Soekanto. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers