Visi Tri Sakti dan Politik Pengosongan K

VISI “TRI SAKTI” DAN POLITIK
PENGOSONGAN KOLOM AGAMA DALAM KTP
I.

Pendahuluan
Kabar mutakhir seputar wacana penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda

Penduduk (KTP) yang dipromosikan oleh pemerintahan Jokowi menyebutkan, bahwa kolom
agama kemungkinan besar akan tetap dipertahankan sebagaimana diusulkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam lainnya. Namun bagi warga negara yang tidak
memeluk salah satu agama yang secara resmi diakui oleh negara boleh atau dapat
mengosongkan kolom agama itu di lembar KTP-nya. 1 Ini tampaknya merupakan kompromi
yang dicapai antara pemerintah serta para pendukung gagasan penghapusan kolom agama di
KTP itu versus para penentangnya, terutama dari pelbagai eksponen umat Islam yang sejak ide
ini diekspose beberapa bulan silam gigih menolak wacana yang dianggapnya sebagai “gagasan
keblinger” itu.
Setelah puluhan tahun “at home” dengan tradisinya mencantumkan identitas agama
warga negara dalam KTP, dalam setahun terakhir ini bangsa Indonesia memang diriuhkan oleh
kontroversi seputar gagasan penghapusan kolom agama, yang bagi kebanyakan masyarakat
mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Wacana penghapusan, atau setidaknya
pengosongan kolom agama di KTP ini penting dikaji dengan jernih dan disikapi secara hatihati, mengingat terma agama bagi bangsa Indonesia merupakan isu yang sangat fundamental.

Konsensus para founding fathers dengan menempatkan posisi Ketuhanan (sebagai penanda
keberagamaan bangsa) pada sila pertama dalam ideologi Pancasila kiranya sudah sangat terang
benderang betapa terma agama dan keberagamaan bagi bangsa ini bersifat sangat azasi dan
fundamental.
Dalam perspektif Pancasila sebagai sistem filsafat, penempatan azas Ketuhanan sebagai
sila pertama dalam Pancasila ini harus dibaca secara hierarkis-piramidal, 2 bahwa terma agama
dan keberagamaan ini “meliputi dan menjiwai” seluruh azas-azas ideologis dibawahnya :
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan (demokrasi), bahkan juga keadilan sosial. Maka jika
Pancasila merupakan identitas dan karakter bangsa yang utama, agama dan keberagamaan
adalah ruh paling fundamental dari identitas dan karakter bangsa itu.
1 Harian Kompas, 14 November 2014; halaman 4.
2 Notonagoro (1975) dalam Kaelani, Pendidikan Pancasila, 2010.

1

Bersitemali dengan gagasan kontroversial yang kembali merebak karena dipicu oleh
rencana Kemendagri untuk segera mengimplementasikannya dalam bentuk kebijakan,
masyarakat (bahkan juga Mendagri) seakan lupa dengan, atau boleh jadi juga memiliki
pemahaman yang berbeda atas, Visi Trisakti yang diusung Jokowi-JK dalam pencalonan
mereka sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden : Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang

Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Penulis sendiri memahami visi ini, khususnya butir
ketiga, “Berkepribadian” sebagai konsep yang merujuk pada terma identitas dan karakter
bangsa, sebab istilah “kepribadian” dalam konteks gagasan Trisakti sebagaimana dimaksudkan
Soekarno dulu bukanlah konsep yang berdiri sendiri; ia merupakan kesatuan dari phrasa utuh
“Berkepribadian dalam Kebudayaan”. Jadi, konsep “kepribadian” tidak lain adalah
menyangkut soal identitas kultural, karakteristik budaya.
Artikel ini berusaha mengkaji secara kritis --dengan sudut pandang filsafat ilmu
pengetahuan-- mengenai hubungan antara wacana penghapusan kolom agama di KTP dan
rencana kebijakan pemerintah yang mempersilahkan warga yang tidak menganut salah satu
dari enam agama resmi yang diakui negara untuk mengosongkan kolom agamanya di KTP
disatu disi dengan Visi Trisakti Presiden Jokowi di sisi lain.

II.

Pembahasan
1. Agama dalam Konstruksi Filsafat Pancasila
Wacana penghapusan kolom agama di KTP sebetulnya bukan isu baru, setidaknya ia

sudah muncul di ruang publik sebagai terma diskursus jauh sebelum pemerintahan Jokowi
dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 silam. Dari penelusuran dokumen pemberitaan di media

massa baik cetak maupun online yang penulis lakukan, wacana ini bahkan sudah muncul sejak
akhir tahun 2013 silam.3 Sempat menghilang dari pemberitaan, sekitar pertengahan tahun 2014,
bersamaan dengan menjelang dan selama masa kampanye Pilpres, isu penghapusan kolom
agama di KTP ini kembali menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Suatu perdebatan yang
bahkan juga terjadi didalam Tim Kampanye Jokowi-JK sendiri.4 Faksi Islam konservatif (dan
puritan) di PDIP pada umumnya menolak gagasan ini. Sebaliknya, kolaborasi faksi-faksi

3 Lihat misalnya situs berita Republika Online, “Soal Kolom Agama di KTP, Mendagri : Baca Undang- Undang”,
17 Desember 2013.
4 Lihat misalnya situs berita Hidayatullah.com, “Musdah Mulia : Jika Menang, Jokowi-JK Janji Hapuskan Kolom
Agama KTP”, 19 Juni 2014 dan Republika Online, “Tim Bantah Jokowi-JK Setujui Penghapusan Kolom Agama
di KTP”, 19 Juni 2014.

2

nasionalis, sekuler dan Islam liberal di tubuh partai pengusung pencalonan Jokowi-JK sepakat
mendorong penghapusan kolom agama di KTP.
Terkait isu penghapusan kolom agama di KTP ini, dalam sebuah situs berita online
Jokowi sendiri menyatakan, bahwa dirinya tidak berencana menghapus kolom agama di KTP.
Secara utuh Jokowi menegaskan : "Di Pancasila kan sudah jelas, di sila pertama Ketuhanan

yang Maha Esa. Jadi apapun itu, ya jadi identitas karakter kita.” 5 Ungkapan Jokowi ini
dengan jelas menunjukan alur nalar yang logis-linier. Bahwa sila pertama Pancasila memuat
azas Ketuhanan yang menjadi landasan ideologis terma agama dan keberagamaan bangsa; dan
Pancasila sendiri merupakan identitas dan karakter bangsa. Dengan demikian, terma agama dan
keberagamaan dengan sendirinya juga merupakan identitas dan karakter bangsa. Jadi, lebih
dari sekedar urusan identitas pribadi warga negara, agama di lembar KTP sesungguhnya juga
sekaligus merupakan identitas dan karakter bangsa secara kolektif.
Bagi manusia sendiri, khususnya bangsa Indonesia, agama merupakan persoalan
fundamental. Agama menyangkut masalah kepercayaan dan keyakinan metafisik yang
seringkali bahkan tidak membutuhkan penjelasan rasional-empirik. Namun demikian, para ahli
telah banyak menguraikan bagaimana agama dalam posisi kehidupan manusia dan betapa
pentingnya keberadaan agama dalam kehidupan manusia. Quraish Shibah misalnya,
mengidentifikasi setidaknya terdapat 4 (ampat) arti penting agama bagi kehidupan manusia. 6
Pertama merupakan sumber moral; kedua sebagai petunjuk kebenaran; ketiga merupakan
sumber informasi metafisik; dan keempat sebagai pembimbing ruhani manusia.
Dalam perspektif Pancasila sebagai sistim filsafat, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dimana terma agama dan keberagamaan dipijakkan sekali lagi mengandung implikasi filosofis
hierarki-piramidal, yang harus difahami bahwa nilai-nilai Ketuhanan meliputi dan menjiwai
keempat sila dibawahnya. Ini merupakan penegasan ideologis perihal dimana posisi
eksistensial terma agama dan keberagamaan dalam konteks kehidupan berbangsa dan

bernegara. Agama dan keberagamaan jelas memuncaki struktur hierarki-piramidal nilai-nilai
ideologi bangsa Indonesia; dan yang tak kalah penting untuk ditegaskan, bahwa secara historis
fenomena ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang sejarah bangsa ini.
Masih terkait dengan konteks posisi eksistensial agama dan keberagamaan dalam
kehidupan manusia, dalam banyak kasus, suatu masyarakat atau kelompok masyarakat
seringkali rela bahkan berani melakukan tindakan-tindakan irrasional dan tidak manusiawi
5 Liputan6.com, “Jokowi: Saya Tak Berencana Hapus Kolom Agama di KTP”, 20 Juni 2014.
6 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 2013.

3

untuk dan atau atas nama agama, terlepas dari fakta bahwa tindakan itu sesungguhnya antisosial, merusak harmoni, atau setidaknya melanggar hukum. Sinyalemen fenomenologis ini
sekedar untuk menegaskan, betapa posisi agama sangat penting dan determinatif dalam
kehidupan manusia. Orang bisa rela mati atas nama perjuangan membela agama yang
diyakininya, meskipun mungkin saja keyakinannya sebetulnya hanya didasarkan pada
pemahaman teks-teks keagamaan yang sempit dan keliru. Ringkasnya, soal agama dan
keberagamaan adalah perkara yang tidak bisa dianggap sepele dan remeh-temeh, meskipun
“sekedar” muncul berupa gagasan penghilangan kolom agama pada selembar kartu identitas
pribadi warga negara. Maka tidak perlu heran jika pikiran-pikiran, tindakan-tindakan, apalagi
berupa kebijakan-kebijakan politik formal kenegaraan, yang bernuansa atau difahami sebagai

bersifat mendegradasi, atau setidaknya berpotensi mendegradasi posisi eksistensial agama
dalam kehidupan masyarakat dengan mudah memancing reaksi.
Dalam konteks nalar sosio-agama itulah pemahaman atas reaksi dan kontroversi
masyarakat seputar wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama di KTP mestinya
dipijakkan. Ini penting setidaknya untuk 2 (dua) tujuan. Pertama, agar siapapun dari elemen
bangsa ini tidak lagi menganggap isu agama dan keberagamaan sebagai perkara sepele, sebab
ia berpotensi melahirkan konflik dan disharmoni. Kedua, agar kontroversi yang bersumber
dari, dan merebak diatas latar agama dan keberagamaan hendaknya dicarikan solusinya dengan
mengedepankan pilihan sikap yang sebangun dengan pijakan ideologi bangsa; dan tidak
menunjukkan tendensi ke arah pengakomodasian gagasan-gagasan berbasis sekularisme atau
atheisme. Ketiga, agar bangsa ini tidak menghambur-hamburkan energi positif kebangsaan
(yakni : kerukunan beragama yang selama puluhan tahun dapat dirawat) yang dibutuhkan
untuk membangun bangsa-negara dengan menceburkan diri secara kolektif dalam perdebatanperdebatan yang tidak produktif, bahkan berpotensi menimbulkan keretakan sosial dan
kohesifitas kebangsaan.
Lantas bagaimana posisi terma agama dan keberagamaan serta isu penghapusan atau
pengosongan kolom agama di lembar KTP ini dalam kerangka Visi Trisakti-nya pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla ? Bagian kedua dari pembahasan artikel ini akan menelaahnya secara kritis.

2. Agama dalam “Visi Trisakti” Pemerintahan Jokowi -JK


4

Visi besar Jokowi-JK yang dituangkan didalam dokumen Visi, Misi dan Program
bertajuk “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”7
adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong-royong”.
Sebagaimana tersurat dalam phrasa “Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, Visi itu
didasarkan pada pemikiran Soekarno yang dikenal dengan konsep Tri Sakti. Konsep ini
dikemukakan Soekarno dalam pidatonya berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv)8 dalam
rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI tahun 1964. Saripati ajaran Tri Sakti Soekarno ini
adalah pentingnya bangsa Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan dalam
bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi, dan kepribadian dalam bidang
kebudayaan. Sebagaimana telah banyak ditulis para sejarawan, pada tahun-tahun menjelang
akhir kekuasaanya, Soekarno dihadapkan pada himpitan dua kekuatan politik besar
internasional, yakni : blok Barat yang kapitalistik dan blok Timur yang komunistik. Soekarno
hendak memastikan : bangsa Indonesia harus teguh pada posisinya sebagai bangsa yang
merdeka, dan tidak boleh terseret-seret arus politik global, baik ke Timur maupun ke Barat.
Dalam konteks inilah pidato Tri Sakti itu dikemukakan Soekarno, meskipun realitas politiknya
Seoakrno cenderung lebih dekat ke Timur, terutama RRC.
Untuk mewujudkan Visi tersebut diatas, Jokowi-JK menetapkan 7 (tujuh) Misi strategis

yang akan ditempuhnya, yaitu :
1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim, dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan
negara hukum.
3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara
maritim.
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing.

7 Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 20142019.
8 Roso Daras, Benang Merah Pidato Bung Karno, dalam Rosodaras.wordpress.com

5

6. Mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritime yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional.
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Dalam dokumen itu juga dirumuskan “Sembilan Agenda Prioritas” yang dikenal

dengan istilah Nawacita (Nawa artinya Sembilan, Cita artinya Tujuan/Keinginan/Harapan).
Kesembilan agenda prioritas itu adalah sbb :
Pertama, Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen
dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-daerah dan Desa
dalam kerangka Negara Kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan melakukan
reformasi sistim penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Kelima,
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Keenam, meningkatkan produktifitas rakyat
dan daya saing di pasar internasional. Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedelapan, melakukan revolusi
karakter bangsa. Kesembilan, memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia.
Dari ketiga aspek muatan Visi Tri Sakti itu, phrasa terakhir “Berkepribadian dalam
Kebudayaan” merupakan area konseptual dimana terma agama dan keberagamaan berada.
Sebagaimana diuraikan di bagian penjelasnya,9 berkepribadian adalah jati diri atau identitas
yang meletakkan bahwa Ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an antara suku dan agama dan kepercayaan
diletakkan sebagai watak dasar alamiah pembentuk negara. Kemandirian dan kemajuan suatu
bangsa tidak boleh hanya diukur dari perkembangan ekonomi semata. Kemandirian dan
kemajuan juga tercermin dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari

kehidupan politik dan sosial. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya
mencerminkan sikap seseorang atau sebuah bangsa mengenai jati dirinya, masyarakatnya, serta
semangatnya dalam menghadapi berbagai tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian
pada dasarnya adalah masalah budaya dalam arti seluas-luasnya.

9 Kpu.go.id., op.cit., hal. 38-41

6

Meski tidak mendapatkan porsi pembahasan yang banyak didalam dokumen Visi, Misi
dan Program-nya, Jokowi-JK telah dengan tepat mengkonstruksi visi besar Tri Sakti-nya (yang
didasarkan pada ajaran Soekarno) dengan meletakkan aspek agama dan keberagamaan pada
area ketiga visi tersebut, yakni “Berkepribadian dalam Kebudayaan”. Maka dalam konteks ini,
pernyataan Jokowi kepada para wartawan: "Di Pancasila kan sudah jelas, di sila pertama
Ketuhanan yang Maha Esa. Jadi apapun itu, ya jadi identitas karakter kita” (lihat kembali foot
note kelima) adalah tepat ketika menanggapi wacana penghapusan atau pengosongan kolom
agama di KTP. Agama itu, selain menyangkut urusan keyakinan theologis orang perorang, bagi
bangsa Indonesia ia juga merupakan identitas dan karakter kolektif bangsa sebagaimana
tercermin dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang harus dijaga, dirawat
dan dipertahankan.

Menegasikan, atau setidaknya mendegradasi keberadaan agama dan keberagamaan
dalam kehidupan bangsa Indonesia sama artinya dengan menegasikan posisi eksistensial serta
peran konstruktif agama sebagai salah satu dimensi identitas dan karakter bangsa yang, bahkan
penempatannya secara filosofis justru berada pada posisi paling azasi dalam Pancasila, yakni
sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tetapi pada bagian lain uraiannya, Visi Tri Sakti Jokowi-JK mensinyalir adanya
penguatan nilai-nilai primordialisme dan fundamentalisme yang mengancam keberlangsungan
prinsip kebhinekaan dan kehidupan kemajemukan bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan
derasnya pemahaman konservatisme keagamaan dan merebaknya kekerasan berbasis
keagamaan. Jadi seperti ada dilema, dimana di satu sisi agama adalah dimensi prinsip dalam
kehidupan bangsa Indonesia; tetapi pada saat yang sama, pemahaman atas teks-teks agama
secara konservatif telah melahirkan kecenderungan terjadinya penguatan primordialisme dan
fundamentalisme berbasis agama yang berpotensi melahirkan perilaku-perilaku intoleransi,
kekerasan dan diskriminatif dalam konteks relasi antar-pemeluk agama dan kepercayaan dalam
masyarakat.
Fakta-fakta fenomenologis inilah tampaknya yang melatarbelakangi sekaligus
mendorong lahirnya gagasan penghapuskan kolom agama di KTP, karena pencantuman
identitas keagamaan seseorang diduga atau dianggap sering melahirkan tindakan-tindakan
intoleransi, diskriminatif bahkan kekerasan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap
kelompok masyarakat atau individu yang menganut agama atau kepercayaan yang berbeda.
7

Seperti dinyatakan oleh salah seorang pendukung gagasan ini, Musdah Mulia, pencantuman
identitas agama dalam KTP itu mengganggu kebebasan beragama.

10

Direktur Megawati

Institute ini menilai selama ini agama kerap dipolitisasi dalam berbagai kepentingan jangka
pendek, seperti dalam kasus penerimaan pegawai. Bahkan menurut Musdah, pernah terjadi
sweeping KTP pada waktu konflik di Poso di Sulawesi Tengah. Dalam berbagai ruang
diskursus, para pendukung gagasan penghapusan kolom agama di KTP ini bahkan sudah
sampai pada tingkat hipotesis yang paranoid: bahwa perkara pencantuman agama dalam KTP
pada ujungnya akan menimbulkan disintegrasi bangsa, dan dengan demikian membahayakan
keutuhan NKRI. Maka, penghapusan atau pengosongan kolom agama di KTP dianggap
sebagai solusi yang tepat untuk merawat dan memelihara prinsip kebhinekaan dan harmoni
sosial, khususnya dalam kerangka relasi antar pemeluk agama dan kepercayaan.
Jika analisa hipotetik itu benar, menurut hemat penulis ada nalar yang tidak utuh,
bahkan cenderung simplistik justru untuk menyelesaikan suatu problematika besar dan
strategis (jika problematika itu memang ada), yakni persoalan relasi antar pemeluk agama dan
kepercayaan dalam kerangka merawat dan memelihara prinsip kebhinekaan bangsa sekaligus
mewujudkan tata sosial yang harmoni dan penuh damai. Terlalu naïf jika pencantuman
identitas agama di KTP dituduh sebagai “biang kerok” bagi kebebasan beragama, apalagi
dikaitkan dengan perilaku intoleransi, diskriminasi dan tindak kekerasan dalam masyarakat
berbasis agama dan kepercayaan. Terlebih lagi dikaitkan dengan keutuhan NKRI. Menurut
hemat penulis, semua ini terlalu berlebihan dan terkesan paranoid. Paling tidak seperti
dinyatakan dengan tegas oleh Sekretaris Jenderal PBNU, Marsudi Syuhud,

11

bahwa tidak ada

korelasi antara kebebasan beragama dengan pencantuman agama dalam KTP. Sejauh yang
penulis cermati, berbagai perilaku dan tindak kekerasan berbasis agama itu justru terjadi antara
lain karena adanya perilaku-perilaku dan tindakan-tindakan provokatif atau kesalahfahaman
yang bersifat pribadi atau kelompok, baik dari pelaku maupun korban.
Dan gagasan penghapusan kolom agama di KTP ini adalah salah satu model
“provokasi” yang kontraproduktif. Bagaimana tidak ? Selama puluhan tahun sudah bangsa ini,
sejak kemerdekaan barangkali, merasa “nyaman” dan tidak ada masalah dengan pencantuman
identitas agama dalam KTP. Tidak ada satupun peristiwa gerakan separatisme misalnya yang
dipicu oleh persoalan identitas agama di KTP. Juga tidak pernah terdengar sebuah kerusuhan
10 Tempo.co., “Alasan Musdah Mulia Soal Kolom Agama KTP Dihapus “, 19 Juni 2014.
11 Republika Online, “NU Tolak Penghapusan Kolom Agama di KTP”, 20 Juni 2014.

8

berbasis agama yang dipicu oleh hal yang sama. Yang banyak terjadi sekali lagi, kerusuhan dan
kekerasan berbasis agama itu seringkali terjadi justru karena provokasi antar pihak.
Sebagiannya ditengarai berlatar atau bersitemali dengan kepentingan politik dan etnik yang
dikendalikan oleh para elit. Bukan karena identitas agama dalam KTP !
Perihal perlakuan diskriminasi berbasis agama, kalaupun ada, menurut hemat penulis
hal itu lebih bersifat dan berskala kasuistik dan orang perorang, bukan suatu fenomena massif
yang terjadi dimana-mana; di berbagai kantor layanan publik, di berbagai aktifitas sosial dan
interaksi kemasyarakatan; dan atau dialami oleh banyak orang yang merepresentasikan
kelompok berbasis agama.
Dari uraian diatas tampak bagaimana aspek agama dan keberagamaan “diperlakukan”
dalam desain Visi Tri Sakti-nya Jokowi-JK. Secara filosofis Jokowi sendiri yang menyatakan
langsung kepada publik, bahwa agama adalah bagian penting dari karakter bangsa
sebagaimana dicerminkan oleh sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan inilah
salah satu dari tiga matra Tri Sakti yang hendak diwujudkan oleh Jokowi-JK, yakni : Indonesia
yang berkepribadian dalam kebudayaan. Diatas dasar mindset ini maka nalar filosofisnya
kemudian adalah sangat jelas, bahwa gagasan, sikap dan perilaku yang berkecenderungan
menegasikan, atau setidaknya mendegradasi posisi eksistensial agama dalam kehidupan
kebangsaan Indonesia sama artinya dengan menegasikan keberadaan dan arti penting karakter
bangsa yang hendak diwujudkan itu.
Masalahnya kemudian, ketika sampai pada bagaimana merespon fenomena pemahaman
teks-teks keagamaan secara konservatif yang memicu terjadinya penguatan primordialisme,
intoleransi, fundamentalisme bahkan kekerasan fisik dalam konteks relasi antar umat
beragama, Jokowi-JK (yang sebetulnya bisa saja lebih merupakan kepentingan kelompokkelompok tertentu yang “menumpang” Jokowi-JK sebagai lokomotif kekuasaan) masuk
melalui “pintu” penyelesaian masalah yang tidak tepat, yang bernama penghapusan atau
pengosongan kolom agama di lembar KTP.
“Pintu” masuk penyelesaian masalah yang keliru itu dilihat dari perspektif ontologis
sebagaimana akan diuraikan pada bagian terakhir pembahasan artikel ini tentunya juga akan
melahirkan implikasi terapan (perspektif dan aspek aksiologis) yang juga keliru, bahkan bisa
menjadi bumerang yang kontraproduktif bagi harmoni sosial serta tata kehidupan masyarakat
dan kebangsaan yang selama ini sudah berhasil dirawat dan dipelihara bersama, yakni
9

kerukunan antar umat beragama itu sendiri beserta dampak positif dan konstruktif yang
dihasilkan oleh suasana harmoni dan kerukunan itu. Misalnya stabilitas politik dan keamanan,
makin menguatnya ukhuwah kebangsaan, dan makin kokohnya integrasi nasional dari waktu
ke waktu.

3. Visi “Tri Sakti” dan Pengosongan Kolom Agama dalam KTP :
Tinjauan Ontologis
Didekati dari perspektif ontologis, yakni perihal apa hakekat yang sesungguhnya
menjadi tema sentral perdebatan wacana dan rencana kebijakan pengosongan koloma agama
dalam KTP ini dalam kaitannya dengan Visi Tri Sakti Jokowi-JK, secara sederhana dapat
dijelaskan berikut ini.
Matra ketiga dari Visi Tri Sakti dengan jelas menyatakan hendak mewujudkan
Indonesia yang Berkepribadian dalam Kebudayaan. Kepribadian atau identitas dan karakter
bangsa Indonesia paling tinggi adalah Pancasila baik sebagai ideologi, dasar negara maupun
sebagai pandangan hidup (way of life). Kemudian berdasarkan filosofi susunan Pancasila yang
bersifat hierarkis-firamidal, azas paling fundamental dari Pancasila itu adalah sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya puncak kepribadian bangsa Indonesia tidak lain adalah
relijiusitas. Inilah sejatinya proyeksi masa lalu (sejak bangsa ini lahir sebagai entitas politik
yang berdaulat), kekinian dan masa depan yang harus diwujudkan; dan sekarang menjadi tekad
pemerintahan Jokowi-JK untuk mewujudkannya sebagaimana dirumuskan dalam Visi Tri Sakti
itu.
Dengan cara pandang tersebut, maka setiap pikiran, sikap dan tindakan yang berpotensi
mendegradasi apalagi menegasikan posisi eksistensial dan hakekat relijiusitas kebangsaan
sebagai puncak kepribadian bangsa itu mestinya tidak boleh ditolerir. Karena ini bertentangan
secara diametral dengan matra ketiga dari Visi Tri Sakti itu sendiri, dan pada ujungnya sudah
pasti bertentangan pula dengan azas paling fundamental dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Oleh sebab demikian, maka dapat dinyatakan dengan tegas, bahwa gagasan (apalagi
jika kemudian menjadi kebijakan resmi negara) pengosongan kolom agama dalam KTP sama
sekali tidak memiliki basis ontologis yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Gagasan ini, dalam nalar yang terbalik adalah contradictio in terminis ! Visi dan tekad
hendak mewujudkan kepribadian dalam kebudayaan, justru ditempuh dengan cara
10

mendegradasi atau bahkan menegasikan karakter puncak kepribadian kebangsaan itu sendiri,
yakni relijisiutas sebagai cermin yang paling terang-benderang dari azas paling fundamental
Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Persoalan menjadi lain kemudian jika bangsa ini sepakat menanggalkan Pancasila
sebagai ideologi dan kepribadian bangsa. Atau, jika gagasan itu dihidupkan dalam konteks
negara-negara sekuler atau faham sekularisme, dimana urusan agama dan relijisuitas adalah
domain pribadi orang perorang yang harus dipisahkan dengan tegas dari domain publik dan
area politik. Dalam konteks ini, pencantuman identitas agama dalam KTP tentu jauh dari
relevan dan tidak ada artinya sama sekali. Demikian halnya dalam konteks negara-negara
komunis atau faham marxisme-komunisme-atheisme; pencantuman identitas agama bukan
hanya tidak relevan, tetapi bahkan pastilah dilarang oleh negara. Sebab dalam pandangan kaum
marxis-atheis, agama tak lebih dari candu masyarakat, dan Tuhan hanyalah proyeksi subyektifirrasional dari manusia-manusia penghisap candu bernama agama itu. Atau bisa juga
sebaliknya, jika gagasan ini dihidupkan di negara-negara berbasis agama dan theokrasi, dimana
hanya ada satu agama resmi yang diakui dan dipaksakan oleh negara kepada warganya. Dalam
konteks yang terakhir, pencantuman identitas agama tentu menjadi tidak penting dan bahkan
tidak relevan, karena toh semua warganya sudah menganut agama tunggal, terlepas apakah
mereka rela atau karena terpaksa.
Indonesia bukan seperti ketiga model negara itu; Indonesia juga tidak menganut faham
sekularisme, atheisme maupun theokratisme. Indonesia adalah negara dengan karakter
kepribadian sosio-politik kolektifnya yang khas, yang modelnya telah dirancang sedemikian
rupa oleh para pendiri republik tempo hari berdasarkan nilai-nilai dan karakteristik sosiokulturalnya sendiri, yang telah hidup berabad silam kemudian dimatangkan oleh perjalanan
sejarah panjang sebelum menjadi sebuah nation. Kepribadian sosio-politik itu adalah bahwa
Indonesia bukan negara agama dan takkan pernah menjadi negara agama (apapun), tetapi juga
bukan negara yang dibangun diatas fondasi faham sekularisme atau atheisme. Spirit
kepribadian inilah yang, sekali lagi, telah dirumuskan dengan cerdas, bijak dan visioner oleh
para pendiri bangsa dalam warisan kebangsaan paling berharga, yakni : Pancasila.

4. Politik Pengosongan Kolom Agama dalam KTP :
Tinjauan Aksiologis

11

Meskipun belum final seutuhnya, pertengahan November 2014 lalu sebagaimana
dilansir oleh berbagai media nasional baik cetak, elektronik maupun online, pemerintah
akhirnya mengambil jalan kompromi, bahwa kolom agama dalam KTP tidak akan dihapuskan,
tetapi boleh dikosongkan bagi warga yang belum atau tidak menganut salah satu dari 6 (enam)
agama yang diakui resmi oleh negara, yaitu : Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan
Konghucu.12 Kebijakan ini, meski masih banyak pihak yang menolak, diyakini oleh Mendagri
telah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam kaitan ini, MUI sebagai
representasi umat Islam juga telah menyetujui rencana kebijakan Mendagri tersebut.13
Sebagaimana telah disinggung di depan, bahwa wacana penghapusan kolom agama
dalam KTP sesungguhnya bukan isu baru. Jauh, bahkan sebelum Pilpres 2014, wacana ini telah
digulirkan oleh orang-orang dan kelompok-kelompok masyarakat yang rajin mempromosikan
isu-isu pluralisme dan kebebasan beragama seperti Musdah Mulia, Ulil Abshar Abdalla, Basuki
Ahok, Guntur Romli, Kontras dll. Menjelang dan saat kampanye Pilpres 2014 wacana ini
semakin gencar dilempar ke ruang publik, dan tentu saja memicu perdebatan. Pasca
kemenangan pasangan Jokowi-JK isu ini kemudian seolah “dimatangkan” untuk dipersiapkan
sebagai sebuah kebijakan pemerintah. Seperti kesaksian KH. Hasyim Muzadi 14 yang dikutip
oleh Republika Online, bahwa ia sudah mendengar isu ini sejak dirinya menjadi Penasihat Tim
Transisi pemerintahan Jokowi-JK. Menurut Hasyim, keinginan pengosongan kolom agama
dalam KTP berasal dari kelompok yang sepertinya beragama tapi sesungguhnya tidak
beragama.
Jadi, Mendagri sebetulnya hanya eksekutor dari keinginan kelompok-kelompok
pluralis-liberalis dalam memahami terma kebenaran absolut dari agama dan keberagamaan
yang melahirkan faham relativisme, yang secara politik mereka banyak yang “merapat” di
kubu Jokowi-JK dalam perhelatan Pilpres 2014. Dalam pandangan kaum relativis ini, agama
tidak layak dijadikan patokan atau standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolut. 15 Karena
agama sudah memasuki wilayah alam pikiran manusia; sementara manusia adalah nisbi atau
relativ; yang absolut hanyalah Tuhan. Maka kaum relativis berkesimpulan, bahwa semua
12 mJpnn.com. “Mendagri: Pengosongan Kolom Agama Diatur UU”, 12 November 2014.
13 Tempo.co., “MUI Setuju Pengosongan Kolom Agama di KTP”, 13 November 2014.
14 Republika Online., “Hasyim Muzadi: Kolom Agama KTP Harus Diisi”, 11 November 2014.
15 Siti Musdah Mulia, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The
Ford Foundation, 2005) hal. 238-239.

12

keyakinan keagamaan, sama saja dengan idiologi dan pemikiran filosofis lainnya; sama-sama
mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Karenanya tidak ada kebenaran
mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama karena ia memiliki kapasitas yang sama.16
Di atas penulis menyatakan, bahwa rencana kebijakan pengosongan (dan bukan
penghapusan) kolom agama dalam KTP oleh Mendagri adalah suatu jalan kompromi. Pilihan
“boleh mengosongkan kolom agama dalam KTP” bagi orang-orang yang belum atau tidak
menganut salah satu dari enam agama resmi yang diakui negara tampaknya memang
merupakan kompromi pemerintah yang semula berkeinginan menghapuskan atau meniadakan
kolom agama itu. Kompromi ini terpaksa diambil oleh pemerintah karena adanya reaksi keras
terutama dari kalangan umat Islam yang beberapa diantaranya telah dikutip diatas dalam artikel
ini.
Berdasarkan perspektif aksiologi (dalam hal ini menyangkut dimensi akibat moralsosial dari sebuah pilihan kebijakan), politik pengosongan kolom agama dalam KTP ini relatif
sama saja; sama-sama berpotensi melahirkan berbagai dampak negatif dan kontraproduktif
dalam kehidupan masyarakat. Sejumlah permasalahan baru dalam kehidupan sosial masyarakat
akan muncul dari kebijakan ini.
Pertama, pengosongan kolom agama dalam KTP akan memberikan peluang bagi
semakin tumbuh suburnya faham-faham relativisme kebenaran agama yang pada akhirnya
akan menyuburkan sikap-sikap menganggap enteng atau remeh temeh terhadap agama, yang
selama ini telah menjadi bagian penting dari fondasi kebangsaan dan sendi-sendi kehidupan
masyarakat Indonesia. Posisi agama akan mengalami degradasi sedemikian rupa dalam
kehidupan masyarakat. Padahal selama ini dan akan selamanya, senisbi apapun nilai-nilai dan
pesan-pesan yang dikandungnya oleh sebab masuknya alam pikir manusia dalam
menginterpretasi ajaran-ajarannya, agama tetap saja merupakan sumber kebenaran, spirit dan
moralitas paling penting dalam kerangka membangun peradaban umat manusia. Sungguh tidak
terbayangkan ketika masyarakat kehilangan atau mengesampingkan agama dari kehidupannya
justru pada saat modernitas semakin memuncak dan melahirkan berbagai dampak negatif
terhadap aspek-aspek moral dan sosial masyarakat.
Kedua, politik pengosongan kolom agama dalam KTP mencerminkan bahwa
pemerintah berniat mengubah haluan dasar kehidupan berbangsa-bernegara yang selama ini
16 Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan, ( Malang: UMMPress, 2009), hal. 170.

13

didasarkan pada sendi-sendi relijiusitas kolektif kebangsaan. Setidaknya, seperti yang
dikehendaki kaum pluralis-liberalis, pemerintah menganggap agama sebagai sesuatu yang nisbi
dan tak azasi lagi. Sikap dan kecenderungan relativis pemerintah ini bukan tidak mungkin akan
menimbulkan reaksi yang lebih keras dari masyarakat, yang ujungnya dapat menimbulkan
instabilitas politik. Seperti pernah diperingatkan oleh KH. Hasyim Muzadi, 17 gagasan dan
kebijakan pengosongan agama dalam KTP setidaknya akan menjadi beban politik
pemerintahan Jokowi.
Ketiga, politik pengosongan kolom agama dalam KTP akan menimbulkan problematika
menyangkut urusan-urusan yang tampak seperti aspek teknis, namun sesungguhnya bersifat
prinsip dalam kerangka keberagamaan seseorang. Misalnya ketika pengurusan pernikahan;
pengurusan hak waris; pengambilan sumpah jabatan para pemimpin dan pejabat pemerintahan;
pemulasaraan jenazah, dll yang kesemuanya membutuhkan kejelasan terkait identitas agama
warga yang bersangkutan. Dalam kasus ini misalnya, penulis yakin, tidak akan ada seorang
nasrani yang rela diurus jenazahnya dengan cara Islam, sebagaimana juga seorang muslim
yang tidak akan rela diurus jenazahnya dengan cara Kristen.
Ringkasnya, dilihat dari aspek aksiologi atau filsafat moral, politik pengosongan kolom
agama dalam KTP sama sekali tidak menjanjikan kebaikan apapun bagi tatanan kehidupan
sosial masyarakat. Kecuali sebagai alat “pemuas” dahaga intelektual bagi para penganut dan
pendukung pemikiran-pemikiran pluralis-liberalis.
Lantas bagaimana pula jika dikaitkan dengan esensi dari matra ketiga Visi Tri Sakti,
“Mewujudkan Indonesia yang Berkepribadian dalam Kebudayaan” ? Menurut hemat penulis,
situasinya seperti pepatah, “jauh panggang dari api”. Alih-alih dapat mendekatkan bangsa ini
ke cita-cita sebagai bangsa yang berkepribadian, politik pengosongan kolom agama dalam KTP
justru bisa memicu kontroversi berkepanjangan, perdebatan mubadzir, keterbelahan
masyarakat secara horizontal dan vertikal, yang tidak mustahil pada akhirnya akan berujung
pada instabilitas politik dan melahirkan malapetaka kebangsaan.

III. Kesimpulan dan Saran
Matra ketiga dari Visi Tri Sakti Jokowi-JK adalah “Mewujudkan Indonesia yang
Berkepribadian dalam Kebudayaan”. Phrasa ini, apapun yang melatarbelakangi konsepsinya,
dan kelompok aliran pemikiran manapun yang menjadi rujukan mindsetnya, tidak bisa lain
17 Tempo.co., “Kontroversi Agama di KTP Bisa Jadi Bola Politik”, 10 November 2014.

14

kecuali harus dipijakkan pada landasan kepribadian dan karakter bangsa sendiri, yakni
Pancasila. Azas paling fundamental yang menjiwai dan meliputi seluruh sila didalam Pancasila
adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, tekad visioner Jokowi-JK
hendak mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan itu mestilah didasarkan
pada prinsip azasi sila pertama ini, yang dalam praksisnya tercermin dalam prinsip relijiusitas
kebangsaan.
Berangkat dari cara pandang inilah penulis melihat rencana kebijakan pemerintah untuk
mengosongkan kolom agama dalam KTP warga sebagai sesuatu yang “jauh panggang dari api”
dalam kerangka Visi Tri Sakti itu. Politik pengosongan kolom agama dalam KTP tidak
memiliki basis ontologis yang relevan, bahkan cenderung berhadapan secara diametral dengan
esensi dan semangat dari phrasa “Mewujudkan Indonesia yang Berkpribadian dalam
Kebudayaan.” Argumentasi, bahwa pencantuman identitas agama dalam KTP dikhawatirkan
berdampak pada perlakuan diskriminatif berbasis agama adalah berlebihan dan refleksi dari
suatu paranoida sosial belaka, yang tidak pernah terkonfirmasi dalam fakta sosial.
Sementara dari aspek aksiologi, politik pengosongan kolom agama dalam KTP ini juga
tidak memberikan harapan kebaikan apapun bagi masa depan kehidupan sosial masyarakat
bangsa Indonesia. Alih-alih dapat mewujudkan Indonesia yang berkepribadian, pilihan
kebijakan ini justru dapat memicu kontroversi baru; melahirkan problematika baru, yang pada
ujungnya tidak mustahil dapat melahirkan disharmoni sosial dan instabilitas politik.
Terkait dengan kenyataan bahwa masih banyak warga yang belum atau tidak menganut
salah satu dari enam agama resmi yang diakui negara, dan dikuatirkan terjadi pemaksaan atau
perlakuan diskriminatif, penulis menyarankan hendaknya pemerintah mengambil “jalan
cepat” : mengakui dan menetapkan aliran-aliran kepercayaan itu sebagai agama yang sah dan
diakui setara dengan enam agama lainnya. Masyarakat ini tidak boleh dibiarkan terombangambing, terseret oleh arus deras aliran-aliran pemikiran yang tidak mencerminkan jatidiri,
karakter dan kepribadian kolektif kebangsaan.

Bibliograf
1. Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan, Malang: UMMPress,
2009
2. Harian Kompas, 14 November 2014
3. Hidayatullah.com, “Musdah Mulia : Jika Menang, Jokowi-JK Janji Hapuskan
Kolom Agama KTP”, 19 Juni 2014
15

4. Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta : Paradigma, 2010
5. Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Calon Presiden dan Wakil
Presiden Periode 2014-2019, 2014
6. Liputan6.com, “Jokowi: Saya Tak Berencana Hapus Kolom Agama di KTP”,
20 Juni 2014.
7. M.Jpnn.com. “Mendagri: Pengosongan Kolom Agama Diatur UU”, 12
November 2014.
8. Republika Online, “Soal Kolom Agama di KTP, Mendagri : Baca UndangUndang”, 17 Desember 2013.
9. Republika Online, “Tim Bantah Jokowi-JK Setujui Penghapusan Kolom
Agama di KTP”, 19 Juni 2014.
10. Republika Online, “NU Tolak Penghapusan Kolom Agama di KTP”, 20
Juni 2014.
11. Roso
Daras,
Benang
Merah
Pidato
Bung
Karno,
dalam
Rosodaras.wordpress.com
12. Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung: Fatayat NU
dan The Ford Foundation, 2005.
13. Tempo.co., “Alasan Musdah Mulia Soal Kolom Agama KTP Dihapus “,
19 Juni 2014.
14. Tempo.co., “MUI Setuju Pengosongan Kolom Agama di KTP”, 13
November 2014.
15. Tempo.co., “Kontroversi Agama di KTP Bisa Jadi Bola Politik”, 10
November 2014.

16