Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masya

PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DAN
DINAMIKA MASYARAKAT KONTEMPORER

A. Pendahuluan
Islam adalah ajaran Allah swt. yang secara struktur adalah merupakan
agama terakhir, dimana substansi ajarannya mencakup segala aktivitas manusia di
atas permukaan bumi. Dalam formalitas kehidupan lahiriyah, Islam tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta, tetapi juga hubungan
manusia dengan sesamanya serta dengan lingkungan sekitarnya. Aturan hubungan
manusia dengan Tuhannya serta hubungan manusia dengan sesamanya telah diatur
dalam sebuah kaidah yang bernama syariat dan fiqh, yang kini populer disebut
hukum Islam.
Hukum Islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua
hal yang sangat berbeda dan sering dikatakan saling bertentangan. Dalam satu
sudut pandang, hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin
mengalami perubahan, karena berdasarkan wahyu Allah swt. yang bersifat qodim.
Sesuatu yang qodim bersifat statis atau tidak berubah. Sebaliknya, kehidupan
dalam masyarakat secara substansial mengalami perubahan yang cukup besar dan
bersifat dinamis. Sesuatu yang dinamis tidak mungkin dihubungkan dengan
sesuatu yang bersifat statis dan stabil. Akan tetapi hukum Islam tidak statis, tetapi
mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan sesuatu yang berubah dan

bergerak.1
Hukum selain berfungsi sebagai pengatur kehidupan dalam masyarakat
atau social control, dapat juga berfungsi sebagai pembentuk masyarakat
atau social engineering. Kedua fungsi hukum diatas juga terdapat dalam hukum
Islam. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat mengarahkan kehidupan
masyarakat, sehingga dapat sejalan dengan perkembangan masa kontemporer saat
ini. Kedua fungsi ini tidak serta-merta mudah dipahami, karena akan berhadapan
dengan cara pemahaman terhadap hukum Islam itu sendiri. Diperlukan
1 Amir Syarifuddin, Meretas Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 3

2

kesungguhan dan keluwesan dalam memahami dan menganalisis setiap ajaran
hukum Islam, agar tidak mudah termakan oleh waktu serta mampu menjawab
tantangan jaman.
Hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu
bukanlah merupakan hal yang absolut atau tidak dapat diperbaharui. Sebaliknya,
hasil pemikiran yang tidak sesuai dengan jaman kekinian perlu ditinjau ulang, dan
hal ini menunjukkan bahwa pemikiran tersebut kurang mampu mempertahankan

diri dalam perkembangan jaman. Tidak mengherankan jika terjadi berbagai
pergumulan hukum Islam dengan dinamika masyarakat kontemporer, dimana
selalu menimbulkan berbagai pertanyaan terhadap produk-produk pemikiran
ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spektrum masalah dewasa ini
yang semakin luas dan kompleks. Salah satu masalah yang mendasar adalah
apakah hukum Islam mampu mengantisipasi perkembangan dinamika masyarakat
kontemporer atau tidak. Dalam konteks ini, tentu dibutuhkan terobosan-terobosan
baru dalam perumusan hukum Islam. Salah satu terobosan baru tersebut adalah
mengintegrasikan pemikiran hukum Islam dan dinamika masyarakat kontemporer
yang terus berkembang.
B. Pembahasan
1.

Hukum Islam
Hukum secara etimologis berakar pada kata atau huruf ‫ م‬,‫ ك‬,‫ ح‬yang

berarti “menolak”. Dari sini terbentuk kata ‫ الحكم‬, yang berarti “menolak
kezaliman atau penganiayaan”.2 Sedangkan secara terminologis, ulama ushul
mendefinisikan hukum dengan titah Allah swt. yang berkenaan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun larangan. Sedangkan

ulama fiqh mengartikannya sebagai efek yang dikehendaki oleh perintah Allah
swt. dari perbuatan manusia, seperti wajib, haram dan mubah.3

2 Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, (Cet. I; Semarang: Dina
Utama, 1996), h. 8
3 Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-‘Ala al-Andalusia li alDa’wah al-Islamiyah, 1972), h. 11

3

Kata hukum mengandung pengertian yang begitu luas selain definisidefinisi yang dikemukakan di atas. Secara sederhana, hukum dapat diartikan
sebagai seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan
diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku serta mengikat untuk
seluruh anggotanya.4 Namun demikian dalam istilah hukum Islam dan literatur
berbahasa Arab, kata yang biasa digunakan adalah fiqh dan syariat atau hukum
syara’. Pengertian syariat sendiri adalah kumpulan perintah dan hukum-hukum
akidah serta muamalah yang diwajibkan oleh Islam, untuk diterapkan guna
mewujudkan tujuannya yaitu kebaikan dalam masyarakat.5 Jadi ketentuan hukum
syara’ itu terbatas pada ketentuan yang telah dirumuskan dalam al-Qur’an dan
hadis.
Segala tindakan manusia di dunia haruslah merujuk kepada aturan Allah

swt. dan rasulNya dalam upaya mencapai kehidupan yang bahagia. Kehendak
Allah swt. dan rasulNya itu sebagian telah terdapat secara tertulis dalam kitabkitabNya yang disebut syariat, serta sebagian lainnya tersimpan di balik apa yang
tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan mengenai apa yang dikehendaki Allah
swt. tentang tingkah laku manusia, maka harus ada pemahaman yang mendalam
tentang syariat, sehingga secara amaliah dapat diterapkan dalam kondisi dan
situasi apapun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang
terperinci.

Ketentuan

terperinci

tentang

tindakan-tindakan

manusia yang

diformulasikan dan diramu sebagai hasil pemahaman terhadap syariat itulah yang
disebut fiqh. Jadi fiqh secara sederhana dapat diartikan sebagai hasil penalaran

pakar hukum (mujtahid) atas hukum syara’, yang dirumuskan dalam bentuk
aturan secara terperinci.6

4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
281
5 Mustafa Muhammad al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islamiy fi Jaubih al-Jadidah Jilid I, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1968), h. 30
6 Amir Syarifuddin, Meretas Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, h. 4

4

Dari uraian-uraian di atas, hukum Islam merupakan refleksi dari
perkembangan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan kondisi jamannya.7
Adapun pengertian hukum Islam secara terminologis adalah merupakan gabungan
antara syariat dan fiqh, yaitu seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah swt.
dan sunnah rasul, tentang tingkah laku mukallaf yang diakui berlaku dan mengikat
untuk semua orang yang beragama Islam.8 Kata “seperangkat peraturan”
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam adalah peraturan yang
dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan mengikat. Sedangkan kata

“berdasarkan wahyu Allah swt. dan sunnah rasul” menjelaskan bahwa seperangkat
peraturan itu digali dari dan berdasar kepada wahyu Allah swt. dan sunnah rasul.
Kata “tentang tingkah laku mukallaf “ mengandung arti bahwa hukum Islam
mengatur tindakan lahir dari manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut
berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran
wahyu dan hadis tersebut, dimana yang dimaksudkan disini adalah umat Islam.9
Ada juga yang mendefinisikan hukum Islam sebagai koleksi daya upaya
para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.10 Definisi
hukum Islam ini lebih dekat kepada arti fiqh, dan bukan kepada syariat. Dari
kedua definisi hukum Islam diatas, dapat dikemukakan bahwa pada hakikatnya
hukum Islam mempunyai muatan hukum syara’ dan hukum fiqh, karena
bersumber dari syariat (al-Qur’an dan hadis). Tetapi hukum Islam juga merupakan
hasil ijtihad para ulama (pengerahan seluruh potensi akal). Dengan kata lain,
syariat Islam yang diterjemahkan sebagai hukum Islam (hukum in abstracto)
didasarkan pada pengertian syariat dalam arti sempit, dimana makna yang
terkandung dalam syariat secara luas adalah mencakup aspek akidah, akhlak dan
hukum. Selain itu, jika hukum Islam diterjemahkan dari syariat Islam maka nilai
7 Faruq Abu Zaid, Al-Syari’ah
Mujadiddin, (Kairo: Dar al-Waqaf), h. 12


al-Islamiyah

Baina

al-Muhafizin

wa

al-

8 Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, (Cet. II; Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), h. 17-18
9 Ibid., h. 18
10 TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001), h. 44

5

hukum dalam kajian syariat bersifat qath’i (mutlak benar dan berlaku universal).
Akan tetapi jika hukum Islam merupakan terjemahan dari fiqh, maka hukum Islam

yang dimaksudkan adalah hasil ijtihad yang nilai kebenarannya bersifat zhanni
atau tidak bersifat qath’i.11
Berdasarkan pemahaman di atas, hukum Islam berasal dari apa yang
dikatakan Allah swt. dalam al-Qur’an serta yang disampaikan oleh Rasullah saw.
dalam hadisnya. Bahkan para ahli ushul mengatakan bahwa perintah Allah swt.
dan Rasulullah saw. itulah yang disebut hukum, sedangkan ulama fiqh
mengatakan bahwa hukum syara’ adalah pengaruh atau efek titah Allah swt. dan
Rasulullah saw. terhadap perbuatan manusia, bukan titah itu sendiri.12
Kemunculan istilah hukum Islam dapat dikatakan merupakan adopsi dari
literatur Barat. Pada literatur Barat terdapat kata Islamic Law, dimana secara
harfiah berarti hukum Islam. Dalam penjelasan terhadap kata Islamic Law sering
ditemukan definisi yaitu keseluruhan kitab Allah swt. yang mengatur kehidupan
setiap umat muslim dalam segala aspek. Kata hukum Islam sendiri dalam bahasa
Indonesia merupakan terjemahan dari Islamic Law. Dalam hal ini, definisi hukum
Islam (Islamic Law) tersebut mendekati arti syariat Islam.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum
Islam pada dasarnya mencakup hukum syara’ dan hukum fiqh, karena bersumber
dari wahyu (al-Qur’an dan hadis) serta merupakan hasil kreativitas akal manusia
terhadap wahyu itu. Oleh karena itu, hukum Islam memiliki dimensi ilahiyah
yang transenden serta dimensi insaniyah yang profan.

2.

Pemikiran Hukum Islam
Masa kehidupan Rasulullah saw. sering juga disebut sebagai periode

risalah, karena pada masa ini agama Islam baru didakwahkan. Permasalahan
mengenai hukum Islam diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah saw. pada
waktu itu. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup
11 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 20-21
12 Zaini Dahlan, et. al., Filsafat Hukum Islam, (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
572

6

manusia, dimana ayat demi ayat yang diterima akan diterangkan dan dijabarkan
lebih jauh oleh Rasulullah saw., yang kemudian diamalkan oleh umat Islam saat
itu. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah saw., ayat-ayat al-Qur’an dan hadis
terhenti sementara masalah-masalah baru terus berdatangan sesuai dengan
perkembangan jaman.

Perubahan dan perkembangan jaman terkadang lebih cepat dari hukum
yang mengatur, dimana hukum sering terlambat mengantisipasi masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Demikian pula dengan hukum Islam, sehingga hal ini
membuat para ulama berusaha untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul
belakangan dengan penemuan ijtihad sebagai perspektif hukum Islam. Perspektif
hukum Islam itu dibangun dengan berbagai metode, yang di dalamnya tidak hanya
mengatur hubungan bersifat horizontal tetapi juga bersifat vertikal.
Pemikiran hukum Islam dapat dilihat dengan dua aspek, yaitu aspek
eksoteris dan aspek isoteris. Aspek eksoteris adalah aspek bebas tanpa dibarengi
dogma serta dapat dikatakan murni, sedang aspek isoteris adalah aspek yang
bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh orang-orang tertentu. Dalam
dinamika intelektual Islam, perbedaan pandangan dengan menggunakan kedua
aspek tersebut sering menyebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap
pemikiran. Akibatnya banyak timbul keberagaman dalam pemikiran. Sejarah
mencatat, dalam perjalanan pemikiran hukum Islam muncul berbagai mazhab,
aliran, golongan, ormas dan kelompok-kelompok Islam, baik pada masa klasik,
masa pertengahan hingga masa modern.
a)

Pemikiran Hukum Islam Masa Klasik

Karakter pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari beberapa konsep,

diantaranya iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby (jika hadis itu telah shahih,
maka itulah mazhabku), la masagha lil ijtihad fi maurid al-nash (masalah yang
telah ada nashnya, tidak boleh lagi diijtihad). Kedua konsep populer ini
menunjukkan bahwa sumber utama hukum Islam klasik adalah nash, baik alQur’an maupun hadis.

7

Hampir semua masalah pada masa itu dapat terjawab dengan al-Qur’an
atau hadis, serta fatwa para sahabat Rasulullah saw. Namun ketika Islam mulai
menyebar ke seluruh penjuru dunia, masalah-masalah baru pun mulai
bermunculan. Hal ini tentu tidak dapat lagi sekedar mengandalkan nash secara
teks bahasa, baik dalam al-Qur’an ataupun hadis. Adapun bahasa yang digunakan
dalam al-Qur’an dan hadis adalah bahasa Arab, sehingga metode terpenting dalam
menggali hukum Islam adalah aspek bahasa. Implikasinya, dalam kajian
pemikiran hukum Islam didominasi oleh kaidah kebahasaan (qawaid lughawiyah)
atau logika bahasa yang deduktif, serta sulit menerima perubahan. Sedangkan
hukum dari realitas empiris (al-’Adat, syar’u man qablana, ilmu pengetahuan)
serta nalar rasio (istihsan) menjadi langka dan sulit diterima. Hal inilah yang
mengakibatkan hukum yang dikeluarkan tidak jauh berbeda dengan teks alQur’an maupun hadis.
Para ulama dan ilmuwan mulai berpikir memecahkan permasalahanpermasalahan baru yang dihadapi tersebut, dan hal ini yang menjadi penyebab
lahirnya metode ijtihad. Jejak ijtihad ini sebenarnya telah ada pada jaman para
sahabat, terutama masa khalifah Umar bin Khattab. Salah satu contoh ijtihad yang
dilakukan Umar bin Khattab adalah melarang sahabat Nabi menikah dengan
perempuan Yahudi dan Nasrani, padahal al-Qur’an membolehkannya.
‫ه‬
‫ب حح لل ل لك همم لوط للعاهمك همم حح لل ل لههمم‬
‫ال ميلمولم أ هحح لل ل لك ههم الط ليلحلبا ه‬
‫ت لوط للعاهم ال لحذيلن أوهتوا ال مكحلتا ل‬
‫ه‬
‫ت حملن ال مهمؤمحملنا ح‬
‫ب حممن قلبمل حك همم إحلذا آتليمتههموهه لن أ ههجولرهه لن‬
‫ت لوال مهممحلصلنا ه‬
‫لوال مهممحلصلنا ه‬
‫ت حملن ال لحذيلن أوهتوا ال مكحلتا ل‬
‫علمل ههه لوههلو حفي الحخلرحة حملن‬
‫غيملر هملساحفححيلن لول همت لحخحذي أ ل م‬
‫هممححصحنيلن ل‬
‫ححبطل ل‬
‫خلدانن لولممن ي لك مفهمر حباليلماحن لفقلمد ل‬
‫خاحسحريلن‬
‫ال م ل‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”
(Q.S. Al-Maidah: 5)

8

Umar bin Khattab tidak berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an,
akan tetapi melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam, dimana menurutnya
jika perkawinan antar agama diijinkan maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran
kaum muslimah. Melihat hal ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang
dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi)
yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan menurut tuntutan jaman dan
tempat. Meskipun ijtihad Umar bin Khattab menimbulkan kontroversi dan
penilaian negatif di kalangan para sahabat, tetapi itu merupakan langkah ijtihad
pada masa awal Islam serta sebagai upaya dalam melakukan kontekstualisasi
ajaran Islam dalam sejarah.
Umar bin Khattab tidak meninggalkan nash al-Qur’an maupun hadis,
tetapi menggali semangat yang ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali
dalam konteks masalah kekinian yang dihadapi umat Islam pada masa itu. Dapat
dikatakan bahwa Umar bin Khattab adalah mujaddid pemikir Islam pertama
dalam sejarah hukum Islam. Setelah itu bermunculanlah ulama dan pemikirpemikir Islam yang melakukan ijtihad, sehingga menjadikan Islam mencapai
puncak keemasannya di bidang ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah.
b) Pemikiran Hukum Islam Masa Pertengahan
Banyaknya kitab dan buku-buku yang ditulis oleh para ulama mazhab
dan ilmuwan-ilmuwan lainnya pada masa keemasan Islam membuat umat Islam
seperti terlena dan dimanja. Apalagi ada pemahaman bahwa pintu ijtihad telah
tertutup pasca iman mazhab, dimana hal ini menimbulkan kemunduran
perkembangan hukum Islam. Kemauan dan kemampuan nalar kritis yang menjadi
tradisi ijtihad mulai memudar, bahkan tenggelam.
Ahli hukum Islam pada masa ini berpendapat bahwa empat aliran hokum,
yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali telah
dianggap cukup. Dengan adanya mazhab-mazhab tersebut, pintu ijtihad dianggap
tertutup dan umat Islam selalu memilih jalan taqlid (mengikuti pendapat
mazhab tanpa meneliti sumbernya). Taqlid berjalan terus dalam waktu yang lama,
hingga muncul suatu gerakan baru yang mendobrak tradisi kuno ini. Pada masa

9

ini mulai terlihat adanya konflik antara umat Islam, dan hal tersebut dimanfaatkan
oleh bangsa Eropa. Konflik tersebut berpuncak pada saat jatuhnya kekhilafahan
bani Abbasiyah, yang pada waktu itu merupakan mercusuar peradaban dunia,
akibat serangan Hulagu yang meluluhlantakkan bangunan peradaban Islam.
Sesungguhnya masyarakat di Eropa berutang budi pada umat Islam,
karena banyak peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa, seperti yang terdapat
di Spanyol (Andalusia), perang Salib dan Sisilia (Italia). Spanyol adalah
merupakan tempat paling utama bagi Eropa dalam menyerap ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam, baik dalam bentuk politik, sosial, ekonomi, kebudayaan
dan pendidikan.
c)

Pemikiran Hukum Islam Masa Modern
Pemikiran modern dalam hukum Islam muncul di kalangan para ulama

Islam sejak abad ke-19 M, yang menaruh perhatian pada kebangkitan Islam
setelah mengalami masa kemunduran sejak jatuhnya Daulah Abbasiyah di
Baghdad (1258 M). Umat Islam terkurung dalam koloni taqlid dalam waktu yang
lama dan mengakibatkan perkembangan hukum Islam menjadi stagnan. Inilah
yang menimbulkan keinginan para ulama Islam untuk mendobrak dan melawan
taqlid, dengan kembali membuka pintu ijtihad seluas-luasnya.
Ijtihad adalah interpretasi rasional terhadap al-Qur’an untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat sekarang menurut kaum modernis. Sejarah neo-ijtihad
dapat dilacak pada masa Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), yang menjadi pengikut
mazhab Hambali dan terkenal tidak mempunyai rasa lelah dalam menentang
sikap-sikap yang menerima taqlid tanpa melihat dalil. Begitu juga pada era Jamal
al-Din Afghani (1838-1897 M), yang terkenal sebagai penyokong reformasi dalam
hukum Islam dan menghabiskan hidupnya di Mesir selama delapan tahun, serta
Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian menjabat sebagai mufti besar
di Mesir.

10

3.

Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer
Pengertian kontemporer adalah pada waktu yang sama, semasa, atau pada

masa kini.13 Secara etimologis, kontemporer berasal dari dua kata, yaitu co yang
berarti “bersama” serta tempo yang berarti “waktu”. Jadi kontemporer berarti
bersifat kekinian atau merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Dapat
dikatakan bahwa kontemporer merupakan masa dimana manusia berada dalam
suatu jaman. Karena kontemporer menggambarkan sebuah keadaan waktu yang
sedang berjalan, maka sesuatu yang bersifat kontemporer tidak bersifat tetap dan
cenderung terus-menerus mengalami perubahan. Akan tetapi, kontemporer itu
sendiri tidak dapat lepas dari apa yang sudah berlalu, karena yang ada pada saat
ini juga dipengaruhi oleh sesuatu yang sudah berlalu.
Masyarakat memang tidak berkembang seperti yang digambarkan oleh
August Comte, melalui teori La loi des trois etat yang diciptakannya. Menurut
teori ini, masyarakat berkembang secara linear dari tahap teologis, metafisik
sampai pada tahap terakhir yaitu positivistik. Pada dua tahap pertama dalam teori
tersebut, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam struktur
masyarakat. Jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya akan dikembalikan dan
direkonsiliasikan kepada agama. Pola pemikiran masyarakat masih sangat
sederhana dalam tahap ini.
Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya setelah
masyarakat mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari paham
rasionalisme, dimana ditandai dengan kemajuan di bidang keilmuan dan
tekhnologi. Dilihat dari perspektif filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat alSharqawi dalam kitab Falsafah al-Hadharah al-Islamiyah, proses perkembangan
masyarakat merupakan proses gerak maju ke depan (seperti yang digambarkan
August Comte).14
Dalam hubungannya dengan periode kontemporer, konsekuensi logis
dinamika masyarakat telah memunculkan istilah era globalisasi. Era globalisasi
13 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 522
14 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam serta Pluralisme Budaya dan Politik, (Cet. II;
Yogyakarta: Sipress, 1994), h. 11

11

diartikan sebagai satu titik perhatian (meskipun terdiri dari beberapa negara yang
terpisah dan dihuni oleh kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan
agama). Menyatunya titik pandang ini disebabkan karena begitu lancarnya aspek
transportasi, sehingga jarak menjadi tidak berarti lagi. Selain itu juga karena
derasnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sekat wilayah dan
budaya menjadi kabur. Era globalisasi inilah yang menyebabkan terjadinya
perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh sendi kehidupan.
Pengaruh paling besar yang dirasakan dalam era globalisasi adalah
bidang ekonomi, meski juga berpengaruh pada bidang kehidupan yang lainnya.
Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif atau bermanfaat, dimana menguntungkan
kehidupan manusia, serta dapat pula dalam bentuk negatif atau merugikan
(mudharat). Akan tetapi, umat Islam tidak mungkin lari dari arus globalisasi
walau takut terkena mudharat yang ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki
oleh umat Islam dalam menyikapi era globalisasi adalah meraih sebanyak
mungkin manfaatnya, dan dalam jangka waktu bersamaan harus mampu
menghindari segala kemungkinan mudharatnya.15
Umat Islam mempunyai dua kemungkinan untuk menghadapi arus
globalisasi ini, yaitu memiliki kemampuan, sisi kekuatan serta keterampilan untuk
memanfaatkan sisi positif globalisasi. Dan yang kedua adalah terdapat titik lemah
yang menyebabkan umat Islam tidak mampu menghadapi sisi negatifnya,
sehingga era globalisasi menjadi sumber malapetaka. Tindakan ynag perlu
dilakukan dalam mengikis sisi negatif ini adalah memaksimalkan kemampuan
yang ada dan peluang yang terbuka, sehingga dapat memperoleh unsur positif
dalam era globalisasi. Selain itu, umat Islam harus berusaha menghilangkan titik
lemah yang ada pada dirinya, sehingga dapat meminimalisir sekecil mungkin
dampak negatif pada era globalisasi.16

15 Amir Syarifuddin, Meretas Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, h. 7
16 Ibid., h. 9

12

4.

Pemikiran Hukum Islam dan Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer
Pemikiran hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum

untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat, dimana hal ini bersumber
dari pemahaman atas aturan Allah swt. yang mungkin mengalami pengembangan
dan perubahan. Dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat, dapat
dikatakan bahwa dalam hukum Islam mempunyai wilayah tertutup yang tidak
menerima perubahan dan dinamika, yaitu berupa hukum-hukum yang telah pasti
(qath’i). Hal inilah yang menyebabkan terpeliharanya kesatuan pemikiran dan
perilaku umat Islam. Akan tetapi, hukum Islam juga mempunyai wilayah yang
terbuka dan meliputi hukum-hukum yang tidak pasti (zhanni), dimana bisa dari
segi sumbernya (qath’i ats-Tsubut) maupun penunjukannya (qath’i al-Dalalah).
Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad dan merupakan bagian terbesar dari
hukum-hukum fiqh, yang mengarahkan fiqh atau pemikiran hukum Islam ke
dalam dinamika, perkembangan dan pembaruan.
Ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya elastisitas pada
hukum Islam. Faktor-faktor tersebut adalah :
1.

Allah swt. sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for
granted (segenap hal), tetapi membiarkan adanya suatu wilayah yang luas
tanpa terikat dengan nash. Hal ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan,
kemudahan dan rahmat bagi makhlukNya.

2.

Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukumhukum yang universal, dimana tidak mengemukakan berbagai rincian dan
bagian-bagiannya, kecuali dalam perkara yang tidak berubah karena
perubahan tempat dan waktu (perkara-perkara ibadah, pernikahan, talak,
warisan). Selain perkara-perkara tersebut, syariat Islam cukup menetapkannya
secara global

3.

Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum parsial menghadirkan
suatu bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan
penafsiran, baik secara ketat maupun secara longgar, baik dengan
menggunakan harfiah teks maupun memanfaatkan substansi dan maknanya.
Jarang ditemukan teks-teks yang tidak menyebabkan perbedaan pemahaman

13

di kalangan para ulama, dalam penentuan makna-maknanya serta dalam
menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini dikembalikan pada
watak bahasa dan berbagai fungsinya.
4.

Dalam penetapan atau penghapusan hukum Islam terdapat kemungkinan
untuk memanfaatkan berbagai wilayah-wilayah terbuka dan sarana yang
beraneka ragam, sehingga dapat menyebabkan para mujtahid berbeda
pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah
muncul peranan qiyas, istihsan, ‘urf, istishhab dan lain-lain, sebagai dalil bagi
sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.

5.

Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai
kendala dan berbagai kondisi yang dikecualikan, dengan cara menggugurkan
hukum atau meringankannya. Hal ini bermaksud untuk memudahkan atau
membantu manusia, karena kelemahan manusia adalah ketika dihadapkan
pada keadaan darurat yang memaksa serta kondisi-kondisi menekan.17

Dari berbagai faktor-faktor yang dijelaskan di atas, maka dapat dipahami dengan
mudah mengapa hukum Islam dapat mengakomodir segala bentuk dinamika
masyarakat.
Dalam hukum Islam, para ulama mengenal adanya kaidah Mulazamah.
Kaidah ini mengatakan bahwa setiap hukum Islam menurut para ulama (wajib,
mustahab, haram dan makruh), pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu
maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Oleh karena itu, hukumhukum Islam mempunyai karakteristik yang sangat bijaksana. Hukum Islam tidak
akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya. Ada hubungan yang sangat erat
antara hukum Islam dan akal, suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agamaagama lain.18 Selain itu, para ulama juga mengenal kaidah taqdim al-Ahamm ‘ala
al-Muhimm (mendahulukan yang lebih penting dari yang penting). Hal ini dapat
berarti bahwa jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak mampu
mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka wajib memikirkan mana
17 A. Zarkasyi Chumaidy, Fiqh Statis dan Dinamis, (Cet. I; Bandung: Pustaka alHidayah, 1998), h. 211
18 Ahmad Sobandi, Islam dan Tantangan Jaman, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah,
1996), h. 256

14

yang lebih penting dari kedua hukum itu lalu mengorbankan hukum yang lebih
sedikit nilai pentingnya, demi hukum yang lebih banyak nilai pentingnya. Salah
satu contoh kaidah al-Ahamm ‘ala al-Muhimm adalah “lakukanlah shalat qashar
dan janganlah engkau berpuasa ketika kamu dalam perjalanan”.
Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya mengatakan :
‫ت ممدن ال نمهددى دوال نمفنردقامن دفدمنن دشمهدد ممن نك ممم‬
‫دشنهمر دردمدضادن ال ي دمذي أ من نمزدل مفيمه ال نمقنرآمن مهددى ملل يدنامس دوبد مي يدنا ت‬
‫عدلى دولمتمك نممملوا ال نمع ي دددة‬
‫دممريدضا أ دنو د‬.… ‫ال ي دشنهدر دفل ني دمصنممه دودمنن دكادن‬
“…Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain….”
(Q.S. Al-Baqarah: 185)
Jika ditanyakan hal ihwal mengapa demikian, maka ayat tersebut juga berbicara
tentang penyebabnya.
….‫…ي ممريمد الل ي دمه مبك ممم ال ني منسدر دودلا ي ممريمد مبك ممم ال نمعنسدر‬
“…Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan
bagimu….”
(Q.S. Al-Baqarah: 185)
Demikianlah hukum Islam menyesuaikan diri dengan berbagai macam
keadaan. Hukum Islam mampu mengakomodasi perubahan jaman dan dinamika
masyarakat dikarenakan daya lentur yang terdapat padanya.

C. Penutup
Setelah membaca uraian-uraian di atas, maka ada beberapa inti pokok
yang dapat dijadikan kesimpulan mengenai pemikiran hukum Islam dan dinamika
masyarakat periode kontemporer, yaitu :
1.

Hukum Islam memiliki beberapa karakteristik unik, yang tidak dimiliki
oleh sistem hukum lainnya. Keluwesan dalam memahami dan menganalisa
setiap ajaran hukum Islam sangat diperlukan, agar tidak termakan oleh waktu
serta dapat menjawab tantangan jaman.

15

2.

Konsekuensi dinamika masyarakat pada periode kontemporer adalah
timbulnya era globalisasi yang mempengaruhi kehidupan. Pengaruh ini bisa
dalam bentuk positif, yang berarti menguntungkan kehidupan manusia, serta
dapat pula dalam bentuk negatif, yang berarti merugikan manusia.

3.

Faktor-faktor keluwesan hukum Islam sehingga mampu menghadapi
dinamika masyarakat adalah :
- Allah swt. sebagai pembuat hukum tidak menetapkan hukum secara taken
for granted,
- Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukumhukum yang universal,
- Nash yang berkaitan dengan hukum-hukum parsial mampu memperluas
berbagai pemahaman dan penafsiran, serta
- Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai
kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara
menggugurkan hukum atau meringankannya.