Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Sindroma Koroner Akut

2.1.1

Definisi Sindroma Koroner Akut
Sindroma koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang

melibatkan ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh
kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindroma koroner akut
ini merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada
arteri koronaria (Torry et al, 2012).

2.2

Klasifikasi Sindroma Koroner Akut
Sebelum era fibrinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q-


wave dan non Q-wave. Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran
elektrokardiogram (EKG) yang terjadi pada beberapa hari setelah
serangan. Infark miokardium tipe Q-wave menggambarkan adanya infark
transmural. Sedangkan infark non Q-wave menggambarkan infark yang
terjadi hanya pada lapisan subendokardium. Pada saat ini, istilah yang
dipakai adalah STEMI (ST elevation myocardial infarction), NSTEMI
(non ST elevation myocardial infarction), dan angina pektoris tidak stabil
(Myrtha, 2012). Oleh itu, sindroma koroner akut mencakup penyakit
jantung koroner yang bervariasi mulai dari (Torry et al, 2012):
i.

angina pektoris tidak stabil

ii.

infark miokard tanpa ST-elevasi (NSTEMI)

iii.


infark miokard dengan ST-elevasi (STEMI)

Ketiganya merupakan suatu spektrum klinis yang disebut sindroma
koroner akut (Myrtha, 2012). Ketiga gangguan ini disebut sindroma
koroner akut karena gejala awal serta manajemen awal sering serupa
(Torry et al, 2012). Ketiganya mempunyai dasar patofisiologi yang sama,
hanya berbeda derajat keparahannya (Myrtha, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1

Angina Pektoris Tidak Stabil
Istilah lain yang sering digunakan untuk angina tidak stabil (ATS)

adalah Angina preinfark, Angina dekubitus, dan Angina kresendo.
Insufisiensi koroner akut atau sindroma koroner pertengahan. Bentuk ini
merupakan kelompok suatu keadaan yang dapat berubah seperti keluhan
yang bertambah progresif, sebelumnya dengan angina stabil atau angina
pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun

bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang
mempunyai ciri tersendiri (Anwar, 2004).
Sindroma ATS telah lama dikenal sebagai gejala awal dari infark
miokard akut (IMA). Banyak penelitian melaporkan bahwa ATS
merupakan resiko untuk terjadinya IMA dan kematian. Beberapa
penelitian retrospektif menunjukkan bahwa 60-70% penderita IMA dan
60% penderita mati mendadak pada riwayat penyakitnya mengalami
gejala prodroma ATS. Sedangkan penelitian jangka panjang mendapatkan
IMA terjadi pada 5-20% penderita ATS dengan tingkat kematian 14-80%.
ATS menarik perhatian karena letaknya di antara spektrum angina
pektoris stabil dan infark miokard, sehingga merupakan tantangan dalam
upaya pencegahan terjadinya infark miokard (Anwar, 2004).
Angina pektoris tidak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma
iskemik miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan
infark miokard akut. Terminologi ATS harus tercakup dalam kriteria
penampilan klinis sebagai berikut (Anwar, 2004):
i.Angina pertama kali
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami
oleh penderita dalam priode 1 bulan terakhir
ii.Angina progresif

Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1
bulan terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama,
timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak

Universitas Sumatera Utara

hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya
menderita angina pektoris stabil.
iii.Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang
dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama
angina sedikitnya 15 menit.
iv.Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA
2.2.2

Infark Miokard tanpa elevasi segmen ST
Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah

oklusi sebagian dari arteri coroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan

miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG (Farissa,
2013). Secara klinis angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang
sama dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan
miokard dan dijumpai pada gambran EKG yang abnormal atau EKG
normal dan juga tidak terjadi peningkatan troponin (Furqan, 2013).

2.2.3

Infark Miokard dengan elevasi segmen ST
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation

Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindroma koroner
akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa
elevasi segmen ST, dan IMA dengan elevasi segmen ST (Farissa, 2013).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Farissa,
2013).


2.3

Patofisiologi Sindroma Koroner Akut

Universitas Sumatera Utara

Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh
aterosklerosis arteri koroner. Untuk memahaminya secara komprehensif
diperlukan pengetahuan tentang patofisiologi iskemia miokardium.
Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada
suplai oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada
arterikoroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium
(Gambar 1). Contoh lain, pada pasien dengan plak intrakoroner yang
bersifat stabil, peningkatan frekuensi denyut jantung dapat menyebabkan
terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium,
tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke
miokardium (Myrtha, 2012).

Gambar 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan oksigen

miokardium

Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium
merupakan peristiwa

yang awal terjadi.

Daerah subendokardial

merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh dari
aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel
miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel
miokardium. Infark miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada

Universitas Sumatera Utara

sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan). Faktorfaktor yang berperan dalam progresi SKA dapat dilihat pada gambar 2
(Myrtha, 2012).

Gambar 2: Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya SKA


2.3.1

Pembentukan Plak Ateroskerotik
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan

proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui
bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting.
Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel
karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena
adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit,
melekat ke lumen pembuluh darah (Myrtha, 2012).

2.3.1.1 Inisiasi Proses Aterosklerosis : Peran Endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika
intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama
hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis
ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol
LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons
inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis (Myrtha, 2012).


Universitas Sumatera Utara

Beberapa faktor resiko koroner turut berperan dalam proses
aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan
merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan
kerusakan endotel. Faktor-faktor resiko ini dapat menyebabkan kerusakan
endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi
endotel

memegang

peranan

penting

dalam

terjadinya


proses

aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan
proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya
menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami disfungsi
ditandai hal-hal sebagai berikut (Myrtha, 2012) :
i. Berkurangnya

bioavailabilitas

nitrit

oksida

dan

produksi

endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis
vaskuler

ii. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin,
molekul adhesifantarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah,
seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM1])
iii. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa
substansi aktif lokal.

2.3.1.2 Perkembangan Proses Aterosklerosis: Peran Proses Inflamasi
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit,
bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan
molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, selsel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan
mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri,
berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks
(Myrtha, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3: Pembentukan fatty streaks

Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan
dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor
necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin
mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T,
dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks
ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah
bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis
kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara
membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga
menghasilkan matriks metalloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna
matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak (Gambar
3) (Myrtha, 2012).

2.3.1.3 Stabilitas Plak dan Kecenderungan Mengalami Ruptur
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel
otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak
dan kecenderungan untuk mengalami ruptur (Myrtha, 2012).

Universitas Sumatera Utara

LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh
makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan
lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya
mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi
akan memproduksi matriks metalloproteinase yang mendegradasi
kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang
membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul
fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran
darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan
terbentuknya bekuan (Myrtha, 2012).
Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan
instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi
pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4
dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak.
Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.
Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh
darah dan menjadi rentan mengalami rupture (Gambar 4) (Myrtha, 2012).

Gambar 4: Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks

2.3.1.4 Disrupsi Plak, Trombosis, dan SKA

Universitas Sumatera Utara

Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan
seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul
bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi
karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya
menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang
ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul
fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi
untuk terjadinya ruptur (Myrtha, 2012).
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini
menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan
jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan
dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Proses
hemostasis primer maupun sekunder bisa dilihat pada gambar 5 (Myrtha,
2012).
Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk:
a.

Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit.

Hanya menyebabkan oklusi sebagian.
b.

Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fibrin.

Terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada
arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkann
terjadinya oklusi total.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5: Skema pembentukan trombus dan target farmakologi obat-obat
penghambat pembentukan trombus

2.4

Gambaran Klinis
SKA merupakan suatu kontinuum. Gejala muncul apabila terjadi

ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen jantung.
Angina stabil ditandai dengan adanya plak ateroskerosis dengan stenosis
permanen. Gejala klinis muncul apabila kebutuhan oksigen melebihi
suplai oksigen ke jantung (latihan, stres). Jika terjadi dalam jangka waktu
lama, biasanya didapatkan aliran darah kolateral yang signifikan. Angina
tidak-stabil terjadi karena menurunnya perfusi ke jantung (disrupsi plak
menyebabkan terbentuknya trombus dan penurunan perfusi) atau
peningkatan kebutuhan oksigen (oxygen mismatch). Trombus biasanya
bersifat labil dengan oklusi tidak menetap. Pada angina tidak stabil,
miokardium mengalami stres tetapi bisa membaik kembali. NSTEMI
terjadi bila perfusi miokardium mengalami disrupsi karena oklusi
trombus persisten atau vasospasme. Adanya trombolisis spontan,
berhentinya vasokonstriksi, atau adanya sirkulasi kolateral membatasi

Universitas Sumatera Utara

kerusakan miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI terjadi bila
disrupsi plak dan thrombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi
iskemia transmural dan nekrosis (Myrtha, 2012).
2.5

Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut
Berdasarkan buku kardiologi oleh Bender (2006), diketahui bahwa

faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi
dua atau lebih faktor risiko antara lain: faktor yang tidak dapat
dikendalikan (nonmodifiable factors) dan faktor yang dapat dikendalikan
(modifiable factors). Faktor yang dapat dikendalikan, yaitu: merokok,
hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, makanan tinggi
lemak, dan kurang fisik. Sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan,
yaitu: usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga
(Furqan, 2013).

2.5.1

Faktor Resiko Mayor

2.5.1.1 Hipertensi
Hipertensi

pada

koroner

jantung

biasanya

disebabkan

meningkatnya tekanan darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis.
Peningkatan tekanan darah menyebabkan beban jantung menjadi berat,
sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor miokard) pada
akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium. Keadaan ini
tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Peningkatan tekanan darah
yang menetap, menurut Anwar (2004), akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini
menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark
lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang
normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium (Furqan, 2013).

2.5.1.2 Hiperlipidemia

Universitas Sumatera Utara

Hiperlipidemia meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah.
Secara klinis, hiperlipidemia merupakan akumulasi berlebih salah satu
lemak utama dalam darah sebagai kelainan metabolisme ataupun kelainan
transportasi lemak. Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol
merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung. Kolesterol
akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.
Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga
pembuluh arteri coroner yang mengalami inflamasi atau terjadi
penumpukan lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010).
Hiperlipidemia juga disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam
darah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL kolesterol dan
menurunnya HDL kolesterol (Kumar, 2009).
Peningkatan

kadar

kolesterol

dan

trigliserida

dapat

mengindikasikan adanya faktor resiko untuk aterosklerosis. Kadar
kolesterol di atas 180 mg/dL pada orang berusia 30 tahun atau kurang,
atau di atas 200 mg/dL untuk berusia lebih dari 30 tahun. Bila kadar
kolesterol di atas 200 mg/dL merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan erat dengan proses
aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol mencapai 260
mg/dL,

kemungkinan

terjadinya

klinis

aterosklerosis

3-5

kali

dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50
tahun, hiperkolesterolemia mengungguli faktor resiko hipertensi, obesitas
dan faktor (Furqan, 2013).

2.5.1.3 Merokok
Merokok dapat mengubah metabolisme, khususnya dengan
meningkatnya kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat
menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai
pengaruh yang besar terhadap terjadinya penyakit jantung koroner
(Furqan, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian Framingham dalam Anwar (2004), mendapatkan
kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki
perokok 10x lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan
perokok 4,5x lebih daripada bukan perokok. Hal ini disebabkan
meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan
menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan
takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, mengubah permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi karboksi -Hb.
Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL
kolesterol makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada
perempuan lebih besar dibandingkan laki–laki perokok. Efek merokok ini
akan berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai
obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih
mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok
(Furqan, 2013).
Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi
peningkatan peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag,
gangguan intoleransi glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah. Jika frekuensi dan intensitas merokok
meningkat, maka kecenderungan terjadi kerusakan pembuluh darah lebih
tinggi sehingga lebih mudah terjadi aterosklerosis (Furqan, 2013).

2.5.1.4 Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan
metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang
disebabkan oleh defek sekresi insulin atau keduanya. Dalam penelitian
Suyono (2003), diabetes melitus merupakan faktor resiko penyakit
jantung koroner dengan perbandingan dua kali lebih tinggi disbanding
non diabetes melitus. Diabetes melitus bukan merupakan faktor tunggal
resiko penyakit jantung koroner namun obesitas, hipertensi, dan
hiperlipidemia juga sering menggambarkan gangguan karbohidrat.

Universitas Sumatera Utara

Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi darah
menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis (Furqan, 2013).
Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM
dengan kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200
mg/dl akan cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini
dan penyakit yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita
diabetes dari pada non- diabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak
penting dalam metabolisme lipid dan kelainan-kelainan lipid pada
penderita diabetes. Selain meupakan faktor resiko penyakit jantung
koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme
lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis
(peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen
(Furqan, 2013).

2.5.2

Faktor Resiko Minor
Antara faktor minor sindroma koroner akut adalah berikut (Anwar,

2004):

2.6

a)

Obesitas

b)

Stress

c)

Kurang olahraga

d)

Laki-laki

e)

Perempuan menopause

Terapi Sindroma Koroner Akut
Sejak 1960‐an, ketika terapi standard menjadi istirahat penuh (bed

rest) dan defibrilasi (jika diperlukan), angka kematian infark miokard
akut menurun terus. Penurunan yang stabil ini disebabkan oleh beberapa
faktor (Lyrawati, 2008):
a)

Meningkatnya informasi dan edukasi untuk masyarakat

mengenai perlunya mencari bantuan medis sesegera mungkin jika ada
dugaan terjadi nyeri dada/jantung.

Universitas Sumatera Utara

b)

Adanya obat‐obat baru (beta blocker pada ~1970an)

c)

Tersedianya obat trombolisis (pada ~1980‐an)

d)

Pengembangan

angioplasi

koroner

dan

stent

(pada

~1990an)
e)

Diketahuinya faktor resiko yang dapat dimodifikasi

(misalnya hipertensi, diabetes, merokok) dan strategi penatalaksanaannya.
Artikel ini akan membahas terapi obat terkini untuk SKA dan pentingnya
intervensi koroner perkutan primer (primary percutaneous coronary
intervention, PCI) sebagai alternatif trombolisis pada infark miokard akut.
Keberhasilan terapi SKA bergantung pada pengenalan dini gejala
dan transfer pasien segera ke unit/instalasi gawat darurat. Terapi awal
untuk semua SKA, yang diberikan oleh tenaga paramedik ataupun pada
unit/instalasi gawat darurat sebenarnya sama. Manifestasi angina tidak
stabil dan MI akut seringkali berbeda. Umumnya, gejala MI akut bersifat
parah dan mendadak, sedangkan infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau angina tidak stabil berkembang dalam 24‐72 jam atau
lebih. Pada kedua kasus tersebut tujuan awal terapi adalah untuk
menstabilkan kondisi, mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pasien.
Stabilisasi akan tercapai dengan berbagai tindakan. Oksigen diberikan
untuk menjaga kadar saturasi dan memperbaiki oksigen yang sampai ke
miokard. Diamorfin 5 mg (jika perlu diikuti dengan injeksi intravena
perlahan 2,5‐5 mg) diberikan sebagai analgesik dan untuk mengurangi
kecemasan pasien. Selain itu juga menurunkan respon adrenalin,
frekuensi nadi (heart rate) dan tekanan darah, dan kebutuhan oksigen
miokard. Morfin 10 mg diikuti dengan dosis 5‐10mg injeksi intravena
perlahan merupakan alternatif pilihan jika diamorfin tidak dapat
digunakan (Lyrawati, 2008).
Metoklopramid 10 mg intravena diberikan untuk mengatasi mual,
dan gliseril trinitrat sublingual untuk menurunkan atau meredakan nyeri
dada. Pada pembuluh darah koroner, agregasi platelet dan pembentukan
trombus dilakukan oleh tromboksan A2 (TXA‐2) yang dihasilkan oleh

Universitas Sumatera Utara

platelet yang teraktivasi, dan dikatalisis oleh enzim siklooksigenase 1
(COX‐1). Pasien yang diduga infark miokard harus diberi aspirin (300
mg) secepat mungkin untuk membatasi trombus. Aspirin menghambat
COX‐1 dalam platelet, menghambat produksi TXA‐2 dan agregasi
platelet. Pasien yang alergi aspirin diberi clopidogrel 300 mg (Lyrawati,
2008).
Pada saat tiba di rumah sakit, pasien akan dihubungkan dengan
pencatat elektrokardiogram. Hitung darah komplit juga harus dilakukan,
demikian juga kadar urea dan elektrolit, uji fungsi hati, fungsi tiroid,
profil lipid dan kadar gula. Pada kondisi ini, semua pasien dengan elevasi
segmen ST atau left bundle branch block baru dianggap menunjukkan
infark miokard akut. Diperlukan reperfusi segera dengan trombolisis atau
PCI primer. Pasien nyeri dada yang tidak menunjukkan elevasi segmen
ST dianggap sebagai pasien NSTEMI/angina tidak stabil, dan kadar
troponin harus diperiksa 12 jam setelah onset nyeri dada (Lyrawati,
2008).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Faktor Prognostik Yang Mempengaruhi Mortalitas Dan Morbiditas Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari 2011 – Desember 2011 Di RSUP. H. Adam Malik Medan

1 48 90

Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

0 4 57

Hubungan Diabetes Mellitus Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Dengan Masa Perawatan Di RSUP Haji Adam Malik Medan Pada Periode Januari Sampai Dengan Desember 2013

0 4 72

Hubungan Diabetes Mellitus Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Dengan Masa Perawatan Di RSUP Haji Adam Malik Medan Pada Periode Januari Sampai Dengan Desember 2013

0 0 13

Hubungan Diabetes Mellitus Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Dengan Masa Perawatan Di RSUP Haji Adam Malik Medan Pada Periode Januari Sampai Dengan Desember 2013

0 0 2

Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

0 0 11

Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

0 0 2

Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

0 0 4

Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

0 0 3

Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

0 0 2