Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang teletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1.5 m 2 dengan berat kirakira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks,
elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga
bergantung pada lokasi tubuh (Ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI, 2013).
Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya; kulit
yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir, dan preputium, kulit
yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit yang
tipis terdapat pada muka, yang lembut pada leher dan badan, dan yang
berambut kasar terdapat pada kepala (Ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI,
2013).

2.1.1. Anatomi Kulit Secara Histologi
Selain dikenal sebagai lapisan kutaneus atau integumen (L. integumentum,
lapisan), kulit terdiri atas epidermis, yaitu lapisan epitel yang berasal dari
ektoderm, dan dermis, suatu lapisan jaringan ikat yang berasal dari mesoderm.
Taut dermis dan epidermis tidak teratur, dan tonjolan dermis yang disebut

papila saling mengunci dengan evaginasi epidermis yang disebut epidermal
ridges (rigi epidermis). Dibawah dermis terdapat hipodermis atau jaringan

subkutan Jaringan subkutan mengikat kulit secara longgar pada jaringan di
bawahnya (Mescher, 2010).

5
Universitas Sumatera Utara

6

Gambar 2.1 Penampang Anatomi Kulit (Sumber: Junqueira, 2010)

A. Epidermis
Terutama terdiri atas epitel berlapis gepeng berkeratin yang disebut
keratinosit. Tiga jenis sel epidermis yang jumlahnya lebih sedikit juga ditemukan:
melanosit, sel Langerhans penyaji-antigen, dan sel Merkel atau sel taktil epitelial.
Epidermis menimbulkan perbedaan utama antara kulit tebal yang terdapat pada
telapak tangan dan kaki dengan kulit tipis yang terdapat pada bagian tubuh
lainnya (Mescher, 2010).


Dari dermis ke atas, epidermis terdiri atas lima lapisan keratinosit, yaitu:
Lapisan Basal (Stratum Basale)

Terdiri atas selapis sel kuboid atau kolumnar basofilik yang terletak di atas
membran basal pada perbatasan epidermis-dermis. Stratum basale ditandai
dengan tingginya aktivitas mitosis dan bertanggung jawab, bersama
dengan bagian awal lapisan berikutnya atas produksi sel-sel epidermis
secara berkesinambungan. Epidermis manusia diperbarui setiap 15-30 hari,
bergantung usia, bagian tubuh, dan faktor lain (Mescher, 2010).

Universitas Sumatera Utara

7

Lapisan Spinosa (stratum spinosum)

Yang normalnya lapisan epidermis, terdiri atas sel-sel kuboid atau agak
gepeng dengan inti di tengah nukleolus dan sitoplasma yang aktif
menyintesis filamen keratin. Tepat di atas lapisan basal, sejumlah sel

masih membelah dan zona kombinasi ini terkadang disebut stratum
germinativum. Filamen keratin disebut tonofibril yang berkonvergensi dan
berakhir pada sejumlah desmosom yang menghubungkan sel bersamasama secara kuat untuk menghindari gesekan. Epidermis di daerah yang
rentan gesekan dan tekanan memiliki stratum spinosum yang lebih tebal
(Mescher, 2010).

Lapisan Granular (stratum granulosum)

Terdiri atas 3-5 lapisan sel poligonal yang mengalami diferensiasi
terminal. Sitoplasmanya berisikan massa basofilik intens keratohialin.
Ditempat ini, materi yang kaya lipid membentuk lembaran-lembaran yang
melapisi sel, yang kini lebih kecil dan juga seluruh lipid merupakan
komponen utama sawar epidermis terhadap kehilangan air dari kulit
(Mescher, 2010).

Stratum Lusidum

Hanya dijumpai pada kulit tebal dan terdiri atas lapisan tipis translusen sel
eosinofilik yang sangat pipih. Organel dan inti telah menghilang dan
sitoplasma hampir sepenuhnya terdiri atas filamen keratin (Mescher,

2010).

Stratum Korneum

Terdiri atas 15-20 lapisan sel gepeng berkeratin tanpa inti dengan
sitoplasma yang dipenuhi keratin filamentosa birefrigen. Setelah
mengalami keratinisasi, sel-sel hanya terdiri atas protein amorf dan fibrilar
dan membran plasma yang menebal dan disebut sisik atau sel bertanduk.

Universitas Sumatera Utara

8

Sel-sel tersebut kontinu dilepaskan pada permukaan stratum korneum
(Mescher, 2010).

B. Dermis
Dermis adalah jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya
pada jaringan subkutan (hipodermis). Permukaan dermis sangat iregular dan
memiliki banyak tonjolan (papilla dermis) yang saling mengunci dengan juluranjuluran epidermis (rabung epidermis). Dermis merupakan tempat turunan

epidermis berupa folikel rambut dan kelenjar. Terdapat banyak serabut saraf pada
dermis berupa serabut pascaganglionik ganglia simpatis (Mescher, 2010).

Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, lapisan papilar
disebelah luar dan lapisan retikular yang lebih dalam.
Lapisan Papilar, tipis yang terdiri atas jaringan ikat longgar, dengan
fibroblas dan sel jaringan ikat longgar, dengan fibroblas dan sel jaringan
ikat lainnya, seperti sel mast dan makrofag.
Lapisan Retikular, lebih tebal yang terdiri atas jaringan ikat padat iregular
(terutama kolagen tipe I) dan memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit
sel daripada lapisan papilar. Jaringan serat elastin juga ditemukan yang
menghasilkan elastisitas kulit (Mescher, 2010).

C. Jaringan Subkutan
Terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada
organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser di atasnya. Lapisan
tersebut (hipodermis atau fascia superficialis) sering mengandung sel-sel lemak
yang jumlahnya bervariasi sesuai daerah tubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai
status gizi (Mescher, 2010).


Universitas Sumatera Utara

9

2.2. Acne Vulgaris
Acne Vulgaris adalah gangguan pada unit pilosebasea yang dapat sembuh

sendiri yang biasanya terjadi di awal masa kedewasaan. Kebanyakan kasus
akne hadir dengan variasi pleomorfik lesi, yaitu dapat terdiri dari komedo,
papula, pustula, dan nodul. Walaupun akne dapat sembuh sendiri, namun gejala
sisanya tetap bertahan, mulai dari bintik-bintik atau skar hipertropik (Zaenglein
et al., 2008).

2.2.1.Epidemiologi
Akne cukup sering terjadi secara fisiologi. Akne dengan derajat
ringan biasa terlihat saat kelahiran, mungkin dikarenakan dari stimulasi
folikular oleh androgens adrenal, dan bertahan terus hingga masa neonatus.
Bagaimanapun, dalam kebanyakan kasus terjadi hingga masa puber dimana
akne menjadi masalah yang lebih signifikan. Akne sering menjadi
manifestasi awal pubertas, pada pasien yang masih muda di dominasi

dengan lesi jenis comedone. Pada anak perempuan, kejadian akne dapat
mengawali terjadinya menstruasi pertama (menarche) sepanjang 1 tahun.
Kejadian terbesar kasus terlihat selama masa pertengahan hingga akhir
remaja. Setelah itu, insidensi perlahan-lahan menurun. Bagaimanapun, pada
sebagian wanita, akne dapat saja bertahan sepanjang dekade ketiga atau
lebih lama lagi. Akne pun dapat diturunkan di keluarga, tapi nilainya masih
sulit untuk di diperoleh. Akne nodulistik dilaporkan lebih sering terjadi pada
laki-laki berkulit putih daripada pada laki-laki berkulit hitam, dan satu grup
invetigator menemukan bahwa akne lebih berbahaya pada pasien dengan
genotip XYY (Zaenglein et al., 2008).

2.2.2.Etiologi dan patogenesis
Patogenesis terjadinya akne multifaktorial, tapi 4 kunci dasar telah
diketahui. Keempat elemen kunci ini adalah sebagai berikut (Zaenglein et
al., 2008) :

(1) Hiperproliferasi folikular epidermal

Universitas Sumatera Utara


10

(2) Produksi sebum yang berlebihan
(3) Inflamasi
(4) Keberadaan dan aktifitas dari bakteri Propionibacterium acnes

Hiperproliferasi folikular epidermal menyebabkan pembentukan lesi
awal akne, mikrokomedo. Epitelium dari folikel rambut atas, infundibulum,
menjadi hiperkeratotik dengan meningkatnya kohesi keratinosit. Sel-sel
yang berlebihan dan melekat membuat penyumbatan plak pada ostium
folikel. Sumbatan plak ini menyumbat sejumlah keratin, sebum, dan bakteri
yang saling berakumulasi dalam folikel. Gabungan komponen ini membuat
dilatasi

folikel

rambut

atas,


membentuk

mikrokomedo.

Stimulus

hiperproliferasi keratinosit dan peningkatan adesi masih belum diketahui.
Bagaimanapun juga, beberapa faktor yang diusulkan pada hiperproliferasi
keratinosit yaitu: stimulasi androgen, penurunan asam linoleik, dan
peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α (Zaenglein et al., 2008).

Hormon androgen dapat berperan dalam keratinosit folikel untuk
stimulasi hiperproliferasi. Dihidrotestosterone (DHT) adalah androgen poten
yang

dapat

berperan

dalam


pembentukan

akne.

Gambar

2.2

mendemonstrasikan jalur metabolisme untuk hydroepiandrosterone sulfate
(DHEAS)

konversi

menjadi

androgen

DHT.


17β-hydroxysteroid

dehydrogenase dan 5α-reduktase adalah enzim yang bertanggung jawab
terhadap konversi DHEAS menjadi DHT. Saat bergabung ke keratinosit
epidermal, keratinosit folikel menunjukkan peningkatan aktivitas 17βhydroxysteroid dehydrogenase dan 5α-reduktase, sehingga meningkatkan
produksi DHT. DHT dapat menstimulas proliferasi keratinosit folikel. Juga
mendukung peran androgen dalam patogenesis akne dimana terbukti pada
individu dengan insensitifitas androgen tidak berjerawat (Zaenglein et al.,
2008).

Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 2.2 Jalur metabolisme steroid (Sumber: Zaenglein et al., 2008).

Proliferasi keratinosit folikel juga dapat diregulasi oleh asam
linoleik. Asam linoleik adalah asam lemak esensial pada kulit yang
jumlahnya menurun pada subjek yang berjerawat. Kuantitas asam linoleik
kembali normal setelah sukses terapi dengan isotretinoin. Jumlah dibawah
normal asam linoleik dapat memicu hiperproliferasi keratinosit folikel dan
membentuk sitokin pro-inflamasi. Hal ini juga telah diperkirakan bahwa
kuantitas reguler asam linoleik diproduksi seperti biasa tapi terjadi dilusi
sederhana oleh peningkatan produksi sebum (Zaenglein et al., 2008).
IL-1 dapat juga berkontrubusi pada hiperproliferasi keratinosit.
Reseptor antagonis IL-1 menghambat pembentukan mikrokomedo, memberi
dukungan tambahan untuk peran sitokin dalam patogenesis akne (Zaenglein
et al., 2008).

Kunci kedua dalam patogenesis akne adalah kelebihan produksi
sebum dari kelenjar sebasea. Pasien dengan akne memproduksi lebih banyak
sebum daripada yang tidak punya akne, walaupun kualitas sebum adalah
sama antara keduanya. Sala satu komponen sebum yaitu trigliserida yang
punya peran dalam patogenesis akne. Trigliserida diubah menjadi asam
lemak bebas oleh Propionibacterium acnes yaitu flora normal pada

Universitas Sumatera Utara

12

pilosebasea. Asam lemak bebas ini memicu kolonisasi Propionibacterium
acnes, kemudian terjadi inflamasi, dan dapat menjadi komedogenik

(Zaenglein et al., 2008).
Hormon androgenik juga berpengaruh pada produksi sebum.
Seseorang dengan akne memiliki jumlah hormon androgenik lebih tinggi
dibanding yang tidak. Enzim 5α-reduktase bertanggungjawab pada
perubahan testosteron menjadi DHT poten dimana aktifitas terbesarnya
adalah di area yang rentan akne yaitu wajah, dada, dan punggung (Zaenglein
et al., 2008).

Mikrokomedo terus berkembang dengan kumpulan keratin, sebum,
dan bakteri yang memadat. Akhirnya penumpukan ini menyebabkan ruptur
dinding folikel. Ektruksi keratin, sebum, dan bakteri dalam dermis
menyebabkan respon inflamasi cepat. Tipe sel dominan dalam 24 jam
rupturnya komedo adalah limfosit. Limfosit CD4+ ditemukan disekitar
pilosebasea sedangkan sel CD8+ ditemukan pada perivascular. Satu sampai
dua hari setelah rupturnya komedo, neutrofil menjadi dominan mengelilingi
mikrokomedo (Zaenglein et al., 2008).

Gambar 2.3 Patogenesis Akne Vulgaris: (a) Mikrokomedo, (b) komedo, (c)
inflamasi papula/pustula, (d) nodul (Sumber: Zaenglein et al., 2008).

Kunci yang keempat adalah peran Propionibacterium acnes dalam
proses inflamasi. Propionibacterium acnes adalah bakteri gram positif,
anaerobik, dan mikroaerobik yang dapat ditemukan dalam folikel sebasea.
Seseorang dengan akne memiliki konsentrasi Propionibacterium acnes lebih

Universitas Sumatera Utara

13

banyak dibanding dengan yang tidak. Bagaimanapun juga, tidak ada korelasi
antara jumlah baku Propionibacterium acnes dalam folikel sebasea dan
keparahan akne (Zaenglein et al., 2008).
Dinding sel Propionibacterium acnes terdiri atas antigen karbohidrat
yang menstimulasi perkembangan antibodi. Pasien dengan akne berat
memiliki

titer

antibodi

tertinggi.

Propionibacterium

acnes

juga

memfasilitasi inflamasi dengan menimbulkan respon hipersensitivitas tipe
lambat dan produksi lipase, protease, hialuronidase, dan faktor kemotaktik.
Apalagi Propionibacterium acnes telah terbukti untuk stimulasi peningkatan
regulasi sitokin oleh ikatan pada reseptor seperti tol 2 dengan sel monosit
dan sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebasea. Setelah ikatan
reseptor seperti tol 2, sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan
faktor nekrosis tumor-α dilepaskan (Zaenglein et al., 2008).
Keempat elemen patogenesis akne tersebut saling berhubungan
dalam pembentukan akne. Berbagai sasaran terapi akne dapat dilihat melalui
patogenesisnya. Memahami mekanisme kerja dari banyak pilihan terapi
akne akan membantu memberikan hasil terapi yang lebih baik (Zaenglein et
al., 2008).

2.2.3. Temuan Klinis
Kebanyakan pasien dengan akne vulgaris melaporkan onset lesi yang
gradual dimasa puber. Pada kasus lainnya, akne dapat dilihat pada neonatus
atau bayi. Akne neonatus kira-kira muncul di usia 2 minggu dan akne bayi
berkembang pada usia 3-6 bulan (Zaenglein et al., 2008).
Hiperandrogenisme dapat dipertimbangkan pada wanita dengan akne
berat, onsen tiba-tiba, atau diikuti dengan hirsutisme atau periode menstruasi
yang tidak teratur. Pasien harusnya ditanyakan tentang frekuensi dan
karakter periode menstruasinya dan adanya hubungan munculnya jerawat
dengan perubahan siklus menstruasi. Hiperandrogenisme juga dapat
berperan dengan suara yang memberat, peningkatan libido, dan hirsutisme
(Zaenglein et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

14

Obat-obatan yang memicu timbulnya akne pun harus ditanyakan
seperti: anabolik steroid, kortikosteroid, kortikotropin, fenitoin, litium,
isoniazid, halogen, vitamin B komplek, dan beberapa obat kemoterapi
(Zaenglein et al., 2008).
Tempat utama akne yaitu wajah, punggung, dada, dan bahu.
Walaupun satu tipe lesi dapat dominan, namun observasi yang lebih dekat
biasanya menyatakan tipe lesi lainnya. Lesi dapat inflamasi atau noninflamasi. Lesi non-inflamasi adalah komedo, dimana dapat tipe terbuka
(blackhead) atau tipe tertutup (whitehead). Komedo terbuka muncul bentuk
lesi datar atau sedikit naik dengan pusat folikel berwarna gelap dampak dari
keratin dan lipid. Komedo tertutup lebih sulit untuk dilihat karena lebih
pucat, sedikit naik, papul kecil, dan tidak ada temuan klinis. Menarik kulit
dapat membantu untuk deteksi lesi (Zaenglein et al., 2008).

Gambar 2.4 Korelasi klinikopatologis lesi akne: (a) komedo tertutup, (b) komedo
terbuka, (c) inflamasi papula, (d) nodul (Sumber: Zaenglein et al., 2008).

Inflamasi lesi bervariasi dari papula kecil dengan pinggir kemerahan
hingga pustula hingga nodul yang besar, tender , dan fluctuant. Beberapa
nodul yang besar sering disebut kista (cyst) dan bentuk nodulocystic
digunakan untuk mendeskripsikan kasus akne yang berat. Apapun bentuk
lesinya sebagai papula, pustula, atau nodul tergantung pada lokasi infiltrasi
inflamasi dalam dermis (Zaenglein et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 2.5 Akne vulgaris, ringan hingga sedang: (a) wajah bagian bawah dengan
tampilan komedo, papula, pustula, dan skar; (b) tampilan pipi yang menunjukkan
komedo terbuka yang besar dan inflamasi papula dan pustula (Sumber: Zaenglein
et al., 2008).

2.2.4. Diagnosis Banding
Walaupun satu tipe lesi dapat dominan, akne vulgaris didiagnosis
dengan lesi akne yang bermacam-macam (komedo, pustula, papula, dan
nodul) pada wajah, punggung, dan dada. Akne dapat saja membingungkan
pada folikulitis, rosasea, atau perioral dermatitis. Ini tidak memiliki komedo
(Zaenglein et al., 2008).
Akne dapat juga bersama dengan pasien abnormal endokrin. Pasien
dengan hiperandrogenisme dapat memiliki akne dan lainnya (hirsutisme,
suara memberat, menstruasi tidak teratur). Gangguan endokrin seperti
sindrom polycystic ovarian (hiperandrogenisme, resisten insulin, dan
acanthosis nigricans sindrom), CAH, dan adrenal dan neoplasma ovarium,
sering memiliki akne (Zaenglein et al., 2008).

2.2.5. Komplikasi
Semua tipe lesi akne berpotensi untuk membaik dengan sekuel.
Hampir keseluruhan lesi akne meninggalkan eritema makular transien
setelah sembuh.

Orang berkulit gelap, hiperpigmentasi paska inflamasi

dapat bertahan berbulan bulan setelah perbaikan lesi akne. Pada beberapa
individu, lesi akne dapat menyebabkan skar permanen (Zaenglein et al.,
2008).
Akne vulgaris juga berpengaruh terhadap psikologis pasien.
Diperkirakan 30-50% orang dewasa dengan pengalaman akne memiliki

Universitas Sumatera Utara

16

masalah psikiatri karena akne. Penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan akne punya kemiripan gangguan sosial, psikologi, dan emosi dengan
pasien asma dan epilepsi. Juga, angka pengangguran lebih tinggi diantar
orang dewasa dengan akne dibanding yang tidak. Penting untuk menilai
dengan serius konsekuensi psikologis yang dapat terjadi pada pasien, setelah
sebaiknya dikonsultasikan pada konseling psikiatri (Zaenglein et al., 2008).

2.2.6. Prognosis
Onset usia akne vulgaris sangat bervariasi. Akne dapat dimulai saat
usia 6-8 tahun atau dapat tidak muncul hingga usia 20 tahun atau lebih.
Walaupun kebanyakan pasien kembali sehat pada usia 20-an, namun
beberapa kejadian akne memanjang hingga 30-an atau 40-an (Zaenglein et
al., 2008).

Pada wanita kejadian akne sering secara fluktuasi mengikuti siklus
menstruasi yaitu muncul sebelum onset menstruasi. Munculnya akne ini
bukan karena perubahan dalam aktivitas kelenjar sebasea karena tidak ada
peningkatan dalam produksi sebum pada fase luteal dalam siklus menstruasi
(Zaenglein et al., 2008).
Secara keseluruhan prognosis untuk akne adalah baik. Semakin awal
terapi yang diberikan makan prognosis semakin baik. Jika terdapat bekas
skar yang cukup signifikan, terapi secara operasi dapat menjamin (Zaenglein
et al., 2008).

2.3.

Karakteristik Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur

2.3.1. Triclosan
Triclosan merupakan antiseptik non ionik dari golongan bisphenol

sintetis. Terdapat dua kelompok antiseptik yang sering digunakan pada
golongan ini, yaitu triclosan dan hexachlorophere . Namun karena
toksisitasnya, maka saat ini penggunaan hexachlorophene sangat terbatas.

Universitas Sumatera Utara

17

Triclosan tersusun dari 2 cincin benzen, tiap cincin terdiri dari 6 atom

karbon (Loho & Utami, 2007).

Gambar 2.6 Struktur kimia triclosan (Sumber: Loho & Utami, 2007)

Triclosan tidak larut dalam air kecuali pada pH alkali. Triclosan

hampir larut dalam semua pelarut organik. Secara kimiawi triclosan bersifat
stabil dan tahan dalam pemanasan hingga 200°C selama 2 jam (Loho &
Utami, 2007).
Triclosan mempunyai spektrum aktivitas yang luas, mencakup

hampir semua bakteri Gram positif dan Gram negatif, Plasmodium
falciparum, dan Toxoplasma gondii. Aktivitas triclosan terhadap bakteri
Gram positif lebih besar daripada bakteri Gram negatif dan antiseptik ini
efektif melawan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA),
namun aktivitasnya rendah terhadap P.aeruginosa . triclosan tidak efektif
terhadap spora. Aktivitas fungisidal triclosan terbatas, terhadap yeast cukup
baik, sedangkan terhadap mold kurang. Aktivitas terhadap virus belum
diketahui (Loho & Utami, 2007).
Aktivitas antimikroba triclosan didapatkan pada konsentrasi 0,2-2%.
Pada konsentrasi tersebut triclosan bersifat bakteriostatik. Konsentrasi
hambat minimal (Minimum inhibitory concentration , MIC) triclosan
berkisar 0,1-10µg/mL. (0,0l%- 1%), sedangkan konsentrasi bakterisidal
besarnya 25 µg/mL (2,5%) atau lebih (Loho & Utami, 2007).

Universitas Sumatera Utara

18

2.3.1.1. Mekamisme kerja Triclosan
Penelitian terbaru oleh Russell, menyatakan bahwa membran inner
sitoplasma bakterisidal merupakan target utama kerja triclosan. Penelitian
pada Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan organisme rentan
triclosan lainnya bahwa aktifitas hambat pertumbuhan phenylether

dihasilkan dari pemblokan sintesis lipid dengan menghambat secara spesifik
NADH-dependent enoyl-acyl carrier protein (ACP) reduktase, atau Fabl.
Enoyl reductase, InhA, dalam Mycobacterium smegmatis juga merupakan

target kerja triclosan (Russell, 2004).
Pertanyaan yang kemudian muncul apakah penghambatan enzim
tunggal oleh triclosan bertanggungjawab terhadap kerja penghambatan dan
letal nya. Triclosan normalnya digunakan dalam praktek pada konsentrasi
yang lumayan besar daripada MIC diatas melawan bakteri yang sangat
rentan. Pada konsentrasi demikian triclosan dengan cepat bersifat
bakterisidal yaitu aktifitas letal memanjang hingga resistensi pada bakteri
Escherichia coli. Pada tahap bakterisidal triclosan membuat pengeluaran K+

indikasi dari kerusakan membra. Efek stabilisasi kembali membran juga
telah didemonstrasikan oleh Villalain et al dimana triclosan menunjukkan
sebuah tipe absorpsi berpola Z dimana merupakan indikasi dari kerusakan
struktur, mungkin membran, dan generasi terbaru dari tempat serap. Seperti
agen biosidal lainnya, triclosan memiliki lebih dari satu cara kerja dan itu
memungkinkan untuk menggambarkan efek hambatan pertumbuhan bakteri
dan efek letal bakteri (Russell, 2004).
Villalain et al menemukan bahwa triclosan juga mempunyai efek
membranotropik, yaitu mengganggu stabilitas struktur membran yang
mengakibatkan penurunan integritas fungsional membran sel tanpa
menginduksi terjadinya lisis sel tersebut. Pada konsentrasi bakterisidal,
triclosan menyebabkan kebocoran kalium yang menandakan terjadinya

kerusakan membran (Loho & Utami, 2007).

Universitas Sumatera Utara

19

2.3.2. Asam Salisilat
2.3.2.1. Sifat Kimia
Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic acid atau
orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat

memiliki pKa 2,97. Asam salisilat dapat diekstraksi dari pohon willow bark,
daun wintergreen, spearmint, dan sweet birch. Saat ini asam salisilat telah
dapat diproduksi secara sintetik. Bentuk makroskopik asam salisilat berupa
bubuk kristal putih dengan rasa manis, tidak berbau, dan stabil pada udara
bebas. Bubuk asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut
dalam lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas
pada lapisan epidermis (Sulistyaningrum et al., 2012).

Gambar 2.7 Struktur Kimia Asam Salisilat (Sumber: Katzung, 2011)

2.3.2.2. Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat Topikal
a. Efek Keratolitik dan Desmolitik

Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi topikal
sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan keratolitik tertua yang
digunakan sejak 1874. Berbagai penelitian menyimpulkan terdapat tiga
faktor yang berperan penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat,
yaitu menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselular, dan
melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit (Sulistyaningrum et al.,
2012).
Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan menghilangkan
ikatan kovalen lipid interselular yang berikatan dengan cornified envelope di
sekitar keratinosit. Mekanisme kerja zat ini adalah pemecahan struktur

Universitas Sumatera Utara

20

demosom yang menyebabkan disentegrasi ikatan antar sel korneosit.
Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja asam
salisilat topikal. Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan
peningkatan konsentrasi (Sulistyaningrum et al., 2012).

b. Efek Keratoplastik

Pada konsentrasi 0.5-2%, asam salisilat memiliki stabilisasi stratum
korneum yang menyebabkan efek keratoplastik. Mekanisme belum diketahui
secara pasti, namun hal tersebut diduga merupakan fenomena adaptasi
homeopatik, yaitu asam salisilat menyebabkan rangsangan keratolitik lemah
yang menyebabkan peningkatan keratinisasi (Sulistyaningrum et al., 2012).

c. Efek Anti-pruritus

Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan. Efek ini dapat
diamati pada konsentrasi 1-2%. Mekanisme kerja asam salisilat sebagai
antipruritus belum diketahui secara pasti (Sulistyaningrum et al., 2012).

d.

Efek Anti-Inflamasi

Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki khasiat antiinflamasi. Sebagaimana diketahui, aspirin (asam asetil salisilat) telah
digunakan secara luas sebagai analgesik, anti-piretik, dan anti-inflamasi
sistemik. Asam salisilat menghambat biosistesis prostaglandin dan memiliki
efek anti-inflamasi pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0.5-5%
(Sulistyaningrum et al., 2012).

e.

Efek Analgetik

Asam salisialt digunakan pula sebagai bahan analgesia. Metil
salisilat topikal (sebagi contoh: minyak gandapura) memiliki sifat sebagai
counter irritant ringan. Zat ini kerap dikombinasikan dengan mentol sebagai

sediaan topikal yang digunakan dalam pengobatan nyeri pada otot dan
persendian (Sulistyaningrum et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

21

f. Efek Bakteriostatik dan Disinfektan

Efek bakteriostatik lemah asam salisilat tampat terutama terhadap
golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp., Escherechia coli, dan
Pseudomonas aeruginosa . Solusio asam salisilat 1:1000 dapat digunakan

sebagai kompres pada luka. Solusio asam salisilat 1:1000 lebih nyaman
digunakan dari solusio permanganas kalikus maupun rivanol, karena tidak
mengotori pakaian atau mewarnai kulit (Sulistyaningrum et al., 2012).

g.

Efek Fungistatik

Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam salisilat
topikal dapat diamati terhadap Trichophyton spp. dan Candida spp. Efek ini
diamati pada konsentrasi rendah 2-3g/l (

Dokumen yang terkait

Analisis Kadar Gas Sulfur Dioksida (SO2) di Udara Ambien pada Industri Makanan Ringan yang Menggunakan Briket Batubara dan Keluhan Saluran Pernafasan pada Masyarakat di Desa Bakaran Batu Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

10 100 106

Uji efektivitas antibakteri ekstrak etanol daun dan umbi bakung putih (crinum asiaticum L) terhadap bekteri penyebab jerawat

2 51 103

Uji efektivitas larutan bawang putih (allium sativum) terhadap pertumbuhan bakteri propionibacterium acnes secara in vitro

5 55 63

Efektivitas beberapa sabun pembersih wajah antiacne terhadap pertumbuhan bakteri propionibacterium acnes

0 9 0

Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes

1 0 12

Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes

0 0 2

Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes

0 2 4

Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes

0 0 3

Efektivitas Kombinasi Triclosan, Asam Salisilat, Sulfur dalam Beberapa Produk Bedak Antiacne Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium Acnes

0 0 9

EFEKTIVITAS BEBERAPA PRODUK PEMBERSIH WAJAH ANTIACNE TERHADAP BAKTERI PENYEBAB JERAWAT Propionibacterium acnes The Effectivity of Some Antiacne Facial Cleansing Products Against The Cause of Acne Propionibacterium acnes

1 5 11