Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lateks Alam
2.1.1 Tanaman karet

Di Indonesia, tanaman karet sudah diperkenalkan kepada masyarakat pada zaman
kolonial Belanda (1864). Mulanya tanaman karet Indonesia dibawa oleh Hofland dan
dijadikan sebagai salah satu jenis tanaman koleksi di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya
dikembangkan di daerah Ciasem dan Pamanukan Jawa Barat sebagai komoditas
perkebunan. Jenis karet yang pertama kali ditanam di Indonesia adalah jenis karet
rembung (Ficus Elastic). Sementara itu, penanaman jenis karet Hevea brasiliensis di
Indonesia pada tahun 1902 di Pulau Sumatera dan tahun 1906 di Pulau Jawa (Didit,
2005).

Dalam taksonomi tumbuhan, kedudukan tanaman karet diklasifikasikan
sebagai berikut (Nurhakim, 2014) :
Kingdom

: Plantae


Devisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae


Genus

: Hevea

Spesies

: Hevea Brasiliensis

Universitas Sumatera Utara

Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) adalah tanaman yang tumbuh subur pada
iklim tropis. Tanaman ini dapat tumbuh subur pada temperatur rata-rata 800F (270C)
dan mengalami penurunan hujan tahunan sebanyak 80 inci (Blackley, 1997).
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh meninggi dan berbatang cukup besar
dengan tinggi pohon mencapai 15-25 m. Batang tanaman ini mengandung getah yang
dikenal dengan nama lateks (Nurhakim, 2014).

Lateks karet alam yang diperoleh dari lateks Hevea brasiliensis adalah berupa
cairan putih seperti susu yang diperoleh dari proses penyadapan batang pohon karet.

Cairan ini mengandung 30-40% partikel-partikel hidrokarbon karet yang terkandung
di dalam serum dan mengandung partikel-partikel seperti protein, karbohidrat dan
lainnya (Ong et al,1998). Sementara itu, menurut Goutara, et al (1985), lateks
merupakan suatu sistem koloid dengan partikel karet yang dilapisi oleh protein dan
fosfolipid yang terdispersi di dalam air.

Karet alam adalah polimer alam yang banyak digunakan dalam dunia industri.
Karet alam merupakan polimer yang memiliki daya pegas atau kemampuan meregang
dan kembali ke keadaan semula dengan cepat dan sebagian besar memiliki struktur
jaringan. Karet alam terdiri dari 94% cis 1,4 poliisopren yang diperoleh dengan
menyadap kulit dari pohon karet (Stevens, 2001). Struktur karet alam cis-1,4poliisoprena ditunjukan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Karet Alam Cis-1,4-Poliisoprena

Universitas Sumatera Utara

Karet alam memiliki sifat umum yaitu memiliki warna agak kecoklatcoklatan, sifat mekaniknya tergantung dari derajat vulkanisasinya, sehingga
dihasilkan banyak jenis sampai jenis yang kaku seperti ebonite. Suhu penggunaan
yang paling tinggi sekitar 990C, melunak pada suhu 1300C, dan terurai sekitar 2000C
Sifat isolasi listriknya berbeda karena percampuran dengan adiktif. Namun demikian

karakterisasi listrik pada frekuensi tinggi sangat jelek. Zat tersebut dapat larut dalam
hidrokarbon, ester asam asetat (Ompusunggu, 1987).

2.1.2 Komposisi lateks

Karet alam merupakan hasil ekstraksi getah pohon Havea braziliensis yang tersusun
atas monomer isoprana. Lateks karet alam mengandung partikel karet dan partikel
bukan karet yang kebanyakkan berada dalam fase serum. Lateks karet alam kebun
yang baru ditoreh mengandung 33% karet alam kering. Kandungan karet dalam lateks
kebun biasanya ditingkatkan menjadi 60% kandungan karet kering melalui proses
pemekatan atau pengemparan sebelum di produksi (Blackley, 1997). Komposisi
kimia lateks alam dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi kimia lateks (Sankaranarayanan, 2005).
Kandungan dalam lateks

Kadar (%)

Karet (cis-1,4-poliisoprana)


30-40

Resin

1,5-3,5

Abu

0,5-1,0

Gula

1,0-2,0

Air

55,0-65,0

Secara fisiologis lateks merupakan sitoplasma dari sel-sel pembuluh lateks
yang mengandung partikel karet, lutoid, nukleus, mitokondria, partikel Frey

Wessling, dan ribosom. Selain partikel karet, di dalam lateks terdapat bahan-bahan

Universitas Sumatera Utara

bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya meskipun
dalam jumlah relatif kecil (Suparto, 2002).
Apabila lateks Hevea Brasiliensis dilakukan sentrifugasi pada kecepatan
32.000 rpm selama 1 jam, maka akan terbentuk 4 (empat) fraksi :
1.

Fraksi Karet
Fraki karet terdiri dari partikel-partikel karet yang berbentuk bulat dengan
diameter 0,05 – 3 mikron (μ). Partikel karet diselubungi oleh lapisan pelindung
yang terdiri dari protein dan lipida dan berfungsi sebagai pemantap.

2.

Fraksi Kuning
Fraksi ini terdiri dari partikel-partikel berwarna kuning yang mula-mula
ditemukan oleh Frey Wyssling, sehingga disebut partikel Frey Wyssling. Ukuran

partikel dan berat jenisnya lebih besar dari partikel karet dan bentuknya seperti
bola. Setelah pemusingan dilakukan, partikel Frey Wyssling biasanya terletak di
bawah partikel karet dan di atas fraksi dasar.

3.

Fraksi Serum
Fraksi serum juga disebut fraksi C (centrifuge cerumi) mengandung sebagian
besar komponen bukan karet yaitu air, karbohidrat, protein, dan ion-ion logam.

4.

Fraksi Dasar
Fraksi dasar biasanya terdiri dari partikel-partikel dasar. Partikel dasar
mempunyai diameter 2 - 5 mikron dan berat jenisnya lebih besar dari berat jenis
karet, sehingga pada saat pemusingan partikel-partikel dasar berkumpul di bagian
bawah atau dasar (Bhatnagar, 2004).

Lateks pekat adalah lateks dari karet alam yang sekurang-kurangnya
mengandung 60% kadar karet kering. Pengolahan lateks pekat didasarkan dengan

cara pemekatan dan jenis pengawetannya. Untuk membuat barang jadi lateks, maka
terlebih dahulu lateks harus dipekatkan. Pemekatan lateks bertujuan untuk
memperoleh kadar karet kering sebanyak 60%, mengurangi kenaikan biaya produksi,
mengetahui jumlah air yang ditambahkan pada pengenceran lateks sampai kadar yang
dikehendaki (Stagg, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.2 Bahan Pembuatan Kompon

Dalam proses pembuatan barang jadi karet terlebih dahulu cairan lateks pekat harus
dibuat menjadi kompon lateks cair (Coumpounding). Kompon lateks adalah lateks
pekat yang ditambahkan dengan berbagai bahan kimia untuk memberikan sifat
barang jadi karet yang diinginkan (Barlow, 1993). Campuran karet mentah dengan
bahan kimia karet disebut sebagai kompon karet. Kompon lateks pada umumnya
mengandung 6 atau lebih bahan kimia karet tergantung dari karakteristik barang jadi
karet yang diinginkan. Bahan-bahan kimia tersebut memiliki fungsi spesifik dan
mempunyai pengaruh tehadap sifat karakteristik pengolahan dan harga dari kompon
lateksnya.


2.2.1 Bahan Vulkanisasi

Vulkanisasi adalah proses dimana molekul karet yang linier membentuk ikatan silang
antara molekul-molekul karet sehingga merubah sifat karet dari viskositas yang lunak
menjadi produk akhir dengan sifat yang dikehendaki (Morton, 1959). Tanpa proses
vulkanisasi, karet alam tidak akan memberikan sifat elastis dan tidak stabil terhadap
suhu. Hal ini dikarenakan unsur karet yang terdiri dari polimer isoprene yang
panjang. Rantai polimer yang belum divulkanisasi akan lebih mudah bergeser saat
terjadi perubahan bentuk ( Nijasure, 1997).

Secara umum proses vulkanisasi diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu
vulkanisasi konvensional, semi effisien, dan effisien. Proses vulkanisasi ini dibedakan
berdasarkan jumlah sulfur yang ditambahkan. Untuk proses konvensional
membutuhkan lebih banyak sulfur. Proses effisiensi membutuhkan lebih sedikit
jumlah sulfur. Sedangkan proses semi-effisiensi membutuhkan jumlah sulfur dengan

Universitas Sumatera Utara

kadar yang sama banyak dengan bahan kimia lainnya. Reaksi vulkanisasi karet alam
dengan sulfur dapat dilihat pada Gambar 2.2.


H3C
CH2

C

H3C
CH

CH2

+ Sulfur

n

CH2

C

S S R

CH CH2

S
S
CH2

C

H3C

CH CH2
S
S
R

n

Gambar 2.2 Reaksi Vulkanisasi Karet Alam ( Sperling, 1986)

Bahan vulkanisasi yang sering digunakan dalam industri pengolahan karet
adalah sulfur yang mempercepat kematangan kompon. Bahan lain untuk vulkanisasi
adalah peroksida organik dan dammar fenolik (Setiawan, 2005).

2.2.2 Bahan Pemercepat Reaksi

Vulkanisasi konvensional yang hanya menggunakan belerang memilik kelemahan
yaitu proses ini memerlukan waktu yang lama karena reaksinya berjalan sangat
lambat, proses vulkanisasi membutuhkan belerang dalam jumlah yang sangat banyak
dan temperature yang sangat tinggi. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan
pemercepat vulkanisasi yang dikenal sebagai bahan pemercepat (accelerator). Fungsi
utama bahan pemercepat ini adalah untuk mempercepat proses vulkanisasi oleh
belerang serta bahan pencepat ini dapat meningkatkan jumlah produksi karena waktu
vulkanisasi menjadi lebih cepat dan perbaikan kualitas barang jadi karet (Nola, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Secara umum, bahan

pemercepat yang digunakan adalah dari golongan

dithiokarbamat antara lain ZDBC (Zinc dibuthyl dithio carbamate), ZDEC (Zinc
diethyl dithio carbamate) serta ZDMC (Zinc dimethyl dithio carbamate), dari
golongan sulfenamida yaitu CBS (N-Cyclohxylbenzothiazole) dan MBS (2morpholinthiobenzothiazole),

dari

golongan

tiuransulfida

yaitu

TMTD

(Tetramethylthiuram disulfide) dan juga dari golongan Tiazol adalah MBT (2mercaptobenzothiazole) dan MBTS (2,2-mercaptodithiobenzothiazole). Struktur
senyawa bahan pemercepat reaksi dapat dilihat pada Gambar 2.3.
N

N

N

SH

S

S

S

MBT

S

MBTS

S

H 3C

N

S

S
CH3

NH

N

S

S

S

H 3C

CBS

N
CH3

TMTD
S
H3C

N

S
S

Zn

H3C

S

N

CH3
CH3

ZDEC

Gambar 2.3 Struktur Senyawa Bahan Pemercepat Reaksi (Sasongko, 2012)

Sebagian besar bahan pemercepat vulkanisasi membutuhkan bahan pengaktif
pemercepat atau disebut sebagai bahan penggiat vulkanisasi untuk bisa mempercepat
proses vulkanisasi secara maksimal. Bahan penggiat yang umum digunakan adalah
Zinc Oxida (ZnO) serta dapat juga digunakan asam stearat sebagai bahan penggiat
(Nola, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Bahan Antioksidan

Bahan antioksidan adalah bahan kimia yang ditambahkan ke dalam kompon lateks
untuk mencegah terjadinya proses oksidasi pada produk karet alam. Bahan
antioksidan dapat menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan
elektron pada radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan sifat oksidatif pada barang jadi
karet. Penambahan bahan antioksidan juga dapat melindungi barang jadi karet
terhadap ion-ion peroksida sehingga barang jadi lateks memiliki ketahan terhadap
suhu tinggi (Kalingensmith, 1982). Bahan antioksidan dikelompokkan antara lain
Fenil nafrilamin (contoh: PAN dan PBN), kondensat aldehid-amina (contoh: agerite
resin), kondesat keton-amina (contoh: fuctol H), serta turunan difenil amina (contoh:
Norox OD).

2.2.4 Bahan Pemantap

Bahan pemantap (Stabilizer) ini digunakan untuk mencegah penggumpalan lateks
yang terlalu cepat. Selain itu bahan pemantap digunakan untuk melindungi lateks dari
tegangan terhadap beberapa campuran dan berfungsi sebagai bahan pendispersi.
Contoh bahan pemantap yang umum digunakan adalah Kalium Hidroksida (KOH)
(Nijasure, 1997).

2.2.5 Bahan Pengisi

Bahan pengisi (filler) adalah bahan yang ditambahkan pada komposit untuk
meningkatkan sifat mekanik dan sifat fisik. Bahan pengisi digunakan sebagai bahan
penguat pada matriks. Fungsi bahan pengisi sebagai penguat adalah sebagai penopang
kekuatan dari komposit, sehingga tinggi rendahnya kekuatan komposit sangat
tergantung dari penguat yang digunakan ( Long, 1985).

Universitas Sumatera Utara

Bahan pengisi terbagi atas 2 (dua) golongan berdasarkan keaktifannya yaitu
bahan pengisi yang tidak aktif dan bahan pengisi aktif. Umumnya, bahan pengisi
tidak aktif digunakan untuk mengurangi biaya dan memanfaatkan limbah contohnya
kaolin, serat kayu. Sedangkan bahan pengisi aktif adalah bahan pengisi yang dapat
meningkatkan kekerasan, modulus, tegangan putus, abrasi, sifat termal, ketahanan
sobek dan ketahanan kikis contohnya karbon black, silika, aluminium silika dan
sebagainya (Bhatnagar, 2004). Perubahan sifat-sifat akibat penambahan bahan pengsi
dipengaruhu oleh ukuran,keadaan permukaan, bentuk, dan jumlah bahan pengisi.

Secara umum, keupayaan penguatan bahan pengisi dipengaruhi oleh tiga ciri
utama yaitu ukuran dan luas permukaan, bentuk dan struktur permukaan serta
aktifitas dan sifat-sifat permukaan kimia dari bahan pengisi (Hanafi, 2000). Untuk
memperoleh penguatan yang optimum maka partikel bahan pengisi tersebut harus
tersebar merata dalam kompon karet. Semakin kecil ukuran partikel bahan pengisi
maka pada penambahan dengan jumlah berat yang sama, kekuatan tarik barang jadi
yang dihasilkan akan bertambah. Perpanjangan putus serta modulus tidak banyak
berpengaruh sedangkan daya pantulnya berkurang.

2.3. Tandan Kosong Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack) merupakan salah satu jenis tanaman
perkebunan yang menduduki posisi penting dalam sektor pertanian umumnya dan
sektor perkebunan khususnya. Hal ini disebabkan karena dari sekian banyak tanaman
yang menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang menghasilkan nilai
ekonomi terbesar per hektarnya di dunia (Khaswarina, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Tandan kosong sawit (TKS) adalah limbah padat yang dihasilkan dari industri
kelapa sawit. Setelah panen tandan buah segar dari pohon kelapa sawit tersebut
disterilkan dalam alat pensteril untuk menonaktifkan enzim dan melonggarkan buah
dari tandan. Peningkatan produksi kelapa sawit akan meningkatkan limbah padat
berupa tandan kosong, serat perasan buah, pelepah dan sabut kelapa. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penanganan dalam pengolahan limbah tandan kosong sawit tersebut
sehingga tidak menimbulkan masalah yang dapat merusak lingkungan sekitar
(Kerdsuwan, 2011). Komposisi Kimia Tandan Kosong Sawit dapat dilihat pada
Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Tandan Kosong Sawit (Mulia, 2007)
No Komponen kimia

Komposisi (%)

1

Lignin

22,60

2

Pentose

25,90

3

α-sellosa

45,80

4

Holoselulosa

71,88

5

Abu

1,60

6

Pektin

12,85

Pengolahan dan pemanfaatan TKS oleh pabrik kelapa sawit masih sangat
terbatas. Sebagian besar pabrik kelapa sawit di Indonesia masih membakar TKS
dalam incinerator, meskipun cara ini sudah dilarang pemerintah. Alternatif
pengolahan lainnya adalah dengan menimbun (open dumping), dijadikan mulsa di
perkebunan kelapa sawit atau diolah menjadi kompos. Cara terakhir meupakan
pilihan terbaik, namun cara ini belum banyak dilakukan karena adanya beberapa
kendala (Utami, 2011).

Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa limbah kelapa
sawit dapat dimamfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Tandan kosong sawit dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik karena mengandung unsur hara yang

Universitas Sumatera Utara

dibutuhkan tanaman sehingga dapat menghemat penggunaan pupuk sintetis (Fauzi,
2012).
Menurut Muthia (2011), TKS terdiri atas kumpulan serat yang mempunyai
kemampuan untuk menahan air yang ada di sekitarnya. Struktur tersebut akan
mengalami proses dekomposisi dan degradasi bahan organik sehingga akan
mengalami perubahan struktur menjadi lebih kuat dan lebih lentur.

2.4 Selulosa

Selulosa merupakan biopolimer alami yang berlimbah yang terdapat di alam yang
bersifat terbaharui dan biodegradable serta tidak beracun. Struktur molekul selulosa
dapat

menjelaskan

karakteristik

sifat

selulosa

seperti

bersifat

hidrofobik,

biodegradasi, fungsionalitas yang tinggi. Selulosa dan turunannya telah digunakan
lebih dari 150 tahun dalam berbagai aplikasi (Coffey, 1995). Diperkirakan selulosa
terdapat di alam sebanyak 7,5 x 1010 ton per tahun yang diperoleh dari tumbuhan
tinggi seperti kayu dan juga sumber lainnya yang mengandung banyak selulosa
(Habibi, 2010).

Selulosa merupakan substrat berserat yang terdapat pada struktur tanaman.
Setiap molekul selulosa terdiri dari homopolisakarida linear yang terdiri dari unit βD-Glukopiranosa yang saling berikatan membentuk rantai panjang dengan ikatan β1,4 (Maya, 2008). Selulosa terdiri atas polimer linier panjang hingga 10.000 unit
glukosa, terikat dalam bentuk ikatan β-1,4. Kabohidrat dalam bentuk β (beta) tidak
dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, serta memiliki struktur kristal yang
stabil (Almatsier, 2003). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Struktur Selulosa (Khalid, 2006)

Berdasarkan strukturnya, selulosa diharapkan mempunyai kelarutan yang
besar dalam air karena selulosa banyak mengandung gugus hidroksi yang dapat
membentuk ikatan hydrogen dengan air (antaraksi yang tinggi anatara pelarutterlarut). Namun kenyataannya tidak demikian, selulosa tidak hanya tidak larut dalam
air tapi juga tidak larut dalam pelarut lain. Hal ini dikarenakan kekakuan rantai dan
tinggi gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antar gugus hidroksil pada rantai yang
berdekatan. Faktor ini dipandang sebagai penyebab kekristalan yang tinggi dari serat
selulosa (Azizi, 2005).

Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa Natrium
Hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu
(Sumada, 2011):
1. α-selulosa adalah selulosa berantai panjang yangtidak larut dalam larutan NaOH
17,5% ataularutan basa kuat dengan derajat polimerisasi (DP) 600 – 1500.αselulosa digunakan sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa.
Selulosa dengan derajat kemurnian 92% memenuhi syarat untuk bahan baku utama

Universitas Sumatera Utara

pembuatan propelan atau bahan peledak. Semakin tinggi kadar α-selulosa, semakin
baik mutu bahannya.
2. β-selulosa adalah selulosa berantai pendek yang larut dalam larutan NaOH 17,5%
atau basa kuat dengan DP 15 – 90 dan dapat mengendap bila dinetralkan.
3. γ-selulosa adalah selulosa berantai pendek yang larut dalam NaOH 17,5% atau
basa kuat dengan derajat polimerisasi (DP) kurang dari 15, kandungan utamanya
adalah hemiselulosa.

2.5 Nanokristal Selulosa
Istilah “nano” digunakan untuk menunjukkan skala nanometer (10-9m). Polimer
nanokomposit didefinisikan sebagai polimer yang terdiri dari matriks dan bahan
pengisi dengan ukuran lebih kecil dari 100 nm. Komponen dari material komposit
dapat

bersumber

dari

bahan

anorganik/anorganik,

anorganik/organik

atau

organik/organik .

Nanokristal selulosa merupakan nanomaterial yang terbaharukan yang dapat
dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti bidang kesehatan, obat-obatan, bahan
kimia, makanan dan lain sebagainya. Modifikasi nanokristal selulosa sebagai
nanomaterial sangat fungsioanal dengan sifat yang sangat baik secara fisika, kimia,
biologi dan sifat elektonik sehingga perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut.
Nanokristal selulosa merupakan biomaterial terbaharui yang menjanjikan yang dapat
digunakan sebagai agen penguat pada pembuatan nanokomposit (Peng, 2011).

Nanokristal selulosa diperoleh dari hidrolisis asam selulosa yang merupakan
realisasi bidang nanomaterial. Dibandingkan dengan selulosa, nanokristal selulosa
memiliki banyak keuntungan seperti memiliki ukuran partikel berdimensi nanometer,
kekuatan spesifik yang tinggi dan modulus luas permukaan yang tinggi serta sifat

Universitas Sumatera Utara

optiknya yang unik sehingga ke depannya bisa diaplikasikan dalam bidang lainnya
seiring dengan ketertarikan peneliti untuk mengkaji selulosa lebih lanjutnya.

Hidrolisis

asam

merupakan

proses

utama

yang

digunakan

dalam

memproduksi nanokristal selulosa, dimana susunan blok kecil dilepaskan dari serat
selulosa. Selulosa terdiri dari daerah amorf dan daerah kristalin. Daerah amorf
memilki densitas lebih rendah dibandingkan daerah kristalin, sehingga ketika selulosa
diberi perlakuan dengan penambahan asam kuat maka daerah amorf akan putus dan
melepaskan daerah kristalin. Nanokristal selulosa biasanya memeliiki ukuran yang
berkisar antar 100-300 nm. Sifat dari nanokristal selulosa dapat dipengaruhi oleh
sumber selulosa dan kondisi hidrolisisnya (Eichhorn, 2010).

Nanokristal selulosa sebagai dasar nanokomposit umumnya menunjukkan
sifta-sifat yang lebih baik secara signifikan seperti sifat termal, mekanik dan sifatsifat bawaan lainnya, yang dikonversikan menjadi komposit polimer atau
konvensional. Nanokristal selulosa berbentuk kristal batang yang kaku dengan
panjang dan lebar 5-70 nm dan diantara 100 nm. Partikelnya terdiri dari 100%
selulosa dan dalam bentuk kristal hanya antar 54-88% (Moon, et al. 2011). Aspek
rasio didefinisikan sebagai panjang per diameter yang dipengaruhi oleh morfologi,
derajat kristalisasi, sumber selulosa dan proses isolasinya (Habibi, et al. 2010).

Penggunaan nanokristal selulosa (seperti selulosa whisker dan microfibril)
sebagai penguat pada nanokomposit merupakan bidang baru yang menarik perhatian.
Dengan alasan biaya material yang murah, penggunaan selulosa sebagai bahan
penguat memiliki beberapa keuntungan diantaranya densitas yang rendah, dapat
diperbaharui, tersebar luas, konsumsi energy yang rendah, sifat spesifik yang tinggi,
abrasivitas yang rendah selama proses biodegradable, permukaan yang relatif reaktif
serta ketersediaannya yang melimpah (Siqueira, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Dari hasil penelitian Sumaiyah (2014), Nanokristal selulosa yang diisolasi
dari tandan kosong aren dengan metode hidrolisis asam menggunakan asam sulfat
54%. Dan membandingkan antara nanokristal selulosa dan mikrokristal selulosa. Dari
hasil TEM dapat diketauhi bahwa dimensi dari nanokristal selulosa tandan kosong
aren memiliki ukuran nano dan memiliki ukuran spherical (bola). Difraktogram XRD
menunjukkan bahwa nanoselulosa yang dihasilkan merupakan selulosa tipe II dan
mengandung selulosa dengan kristalin yang tinggi.

2.6 Nanokomposit

Nanokomposit dikategorikan dalam nanoteknologi apabila yang dihasilkan
merefleksika keunggulan nanomaterial yaitu kinerja yang meningkat secara sgnifikan.
Dikatakan nanokomposit karena salah satu komponen yang digunakan memiliki
ukuran berkisar1-100 nm. Nanokomposit merupakan bidang cukup baru karena bahan
yang digunakan merupakan bahan yang terbaharukan (Mustar, 2011).

Prinsip dari pembuatan nanokomposit ini adalah adanya ikatan-ikatan yang
terjadi antara atom C, O dan atom lainnya. Karena ikatan sudah dilakukan mulai dari
bentuk nanometer, maka akan menghasilkan suatu material yang lebih kuat pada saat
menjadi material yang berukuran besar. Nanokomposit digunakan pada plastic yang
dipelopori oleh pabrik mobil General motor dan Toyota. Plastka akan lebih tahan
gores, ringan-kuat sehinggamengurangi biaya bahan bakar, umur pemakaian lebih
panjang. Industri akan dapat menarik keuntungan dari penggunaan nanokomposit ini.
Nanokomposit dapat meningkatkan ketahanan dan permebilitas yang baik untuk
digunakan sebagai pengemas makanan dan minuman (Subiyanto, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Potensi nanokomposit yang besar dalam berbagai sector penelitian dan
aplikasi

menjadikannya

sebagai

peluang

untuk

meningkatkan

investasi.

Nanokomposit dapat dibuat biodegradable dengan kekuatan dan kekakuan yang
besar, nanokomposit dapat digunakan dalam peralatan medis sebagai penguat
biomaterial. Jaringan-jaringan biologis dapat terbuat dari material nanokomposit dan
memberikan hasil yang menarik dalam pembuatan nanokomposit sintetik (Dufresne,
2010).

2.8 Teknik Pencetakan

Teknik yang digunakan pada proses pembuatan barang jadi karet tergantung pada
jenis dan spesifikasi bahan baku lateks. Produk yang dihasilkanpun akan memiliki
ciri khas dan sifat tersendiri untuk setiap teknik yang digunakan. Untuk proses
pembuatan souvenir dari karet alam sering digunakan mtode pencetakan (casting).

Teknik pencetakan merupakan suatu teknik yang menghasilkan produk dari
lateks alam yang dilakukan dengan menuangkan kompon lateks ke dalam cetakan
yang sesuai dengan keinginan. Teknik pencetakan terdiri atas 2 (dua) cara
berdasarkan bentuk cetakannya yaitu (Fachry, 2012) :
a. Proses pencetakan dengan cetakan terbuka
Proses pencetakan yang dilakukan dengan menuangkan kompon lateks pada
cetakan dan dibiarkan sebentar kemudian di vulkanisasi pada suhu dan waktu
tertentu sampai menghasilkan vulkanisat.
b. Proses pencetakan cetakan tertutup
Proses ini digunakan untuk membuat produk karet berongga seperti boneka dan
sebagainya, dimana permukaan luar produk merupakan replica dari permukaan
dalam rongga

cetakan.

Pembentukan

padatan lateks dilakukan melalui

Universitas Sumatera Utara

pembentukan gel dalam rongga cetakan yang biasanya terbuat dari gips atau light
alloy. Cetakan berupa pasangan atas dan bawah yang dapat ditutup rapat.
2.9 Uji Karakteristik
2.9.1 Transmission Electron Microscopy

Transmission Electron Microscopy (TEM) merupakan alat karakteristik yang
digunakan untuk mendapatkan gambar nanomaterial, dimana dapat diperoleh ukuran
kuantatif partikel atau ukuran butiran, distribusi ukuran dan morfologi. Pada analisa
TEM elektron lebih digunakan daripada cahaya yang menyinari sampel karena
analisa memiliki resolusi yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan teknik
uang berbasis cahaya. Amplitudo dan variasi fase pada berkas transmisi memberikan
kontras pencitraan yang merupakan fungsi ketebalan dan material sampel.

Ketika elektron ditransmisikan pada spesimen tipis tanpa adanya interaksi
dalam spesimen , maka berkas elektron ini dikatakan mengalami transmisi. Bidang
spesimen yang lebih tebal akan mengalami transmisi elektron lebih sedikit sehingga
akan terlihat gelap, sebaliknya daerah tipis akan mengalami lebih banyak transmisi
elektron, sehingga akan terlihat lebih terang. Semua electron memiliki energy yang
sama dan memasuki specimen secara normal ke permukaannya selebaran elektron ini
dapat disusun menggunakan lensa magnetic untuk membentuk pola bintik-bintik,
masing-masing bintik sesuai dengan jarak atom tertentu. Pola kemudian dapat
menghasilkan informasi mengenai orientasi, susunan atom, dan fase pada bidang
yang diperiksa (Vountou, 2008).

Pencitraan nanopartikel yang bagus menggunakan TEM bergantung kepada
kontras sampel relatif terhadap latar. Sampel disisipkan untuk pencitraan dengan
pengeringan nanopartikel pada kisi tembaga yang dilapisi dengan lapisan tipis
karbon. Material dengan kerapatan elektron yang secara signifikan lebih tinggi
daripada amorfmudah dicitrakan. Material ini termasuk sebagian besar logam
(misalnya perak, emas, tembaga, aluminium), sebagian oksida (misalnya silika,

Universitas Sumatera Utara

oksida aluminium, titanium oksida) dan partikel lainnya seperti polimer nanopartikel
dan nanopartikel magnetik.
2.9.2 Spektroskopi Fourier transform Infrared

Fourier transform Infrared (FTIR) merupakan suatu metode pengujian yang
menggunakan sinar inframerah. Pada analisa ini, sinar inframerah ditembakkan pada
sampel. Sebagian radiasi inframerah diabsorbsi oleh sampel dan sebagian lainnya
ditransmisikan. Hasil spectrum memperlihatkan absorbs dan transmisi molekuler,
membentuk sidik jari molekul sampel. Seperti halnya sidik jari, tidak ada dua struktur
molekul berbeda yang memiliki spectrum inframerah yang sama (Lowson, 2001).
Penggunaan spektroskopi inframerah digunakan untuk mengindentifikasi suatu
senyawa. Hal ini dikarenakan spectrum FTIR suatu senyawa yang khas, artinya
senyawa yang berbeda akan mempunyai spectrum yang berbeda juga. Vibrasi kimia
pada suatu molekul menyebabkan pita serapan hampir seluruh di daerah inframerah
4000-450 cm-1 (Silverstein, 1981).

2.9.3 Uji Kekuatan Tarik

Kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (F maks ) yang
dibutuhkan untuk memutuskan specimen bahan, dibagi dengan luas penampang
bahan. Karena selalu di bawah pengaruh tegangan, specimen mengalami perubahan
bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang
semula (A 0 ). Uji tarik mengikuti standart ASTM D 638 tipe IV dilakukan dengan
memotong sampel

dalam bentuk dumbbell menggunakan pemotong khas

yangmengikuti dimensi yang telah ditetapkan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.5.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Uji tarik berdasarkan ASTM D 638 tipe IV

σt =

F maks

(2.1)

A0

Selama perubahan bentuk, dapat diasumsikan bahwa volume specimen tidak berubah.
Perpanjangan tegangan pada saat bahan terputus disebut kemuluran. Besaran
kemuluran (ε) dapat didefinisikan sebagai:
ε=

l−lo
lo

x 100 %

(2.2)

keterangan :
I 0 = panjang specimen mula-mula (mm)
I = panjang specimen saat putus (mm)
ε = Kemuluran (%)

(Wirjosentono, 1995)

Dimana ι 0 adalah panjang mula-mula sebelum diberi beban dan ι i adalah panjang
setelah diberi beban. Hubungan antara stress dan strain adalah
σ = Eε

(2.3)

Universitas Sumatera Utara

2.9.4 Scanning Electron Microscopy

SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara
makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen
interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu
hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbsi elektron. Adanya
material lain dalam suatu matriks seperti dispersi material tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat perubahan spesimen.
Untuk

melihat perubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa

permukaan, dan alat yang biasa digunakan adalah SEM.

Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari
lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh merupakan
gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan. Gambar
tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh
spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor dan
diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas yang
menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat
dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam kedalam
suatu disket (Wirjosentono, 1996).
Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi
memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan. Aplikasiaplikasi yang khas mencakup penelitian disperse-dispersi pigemn dalam sel,
pelepuhan atau perekatan koting, batas-batas fase dalam polipaduan yang tak dapat
campur, struktur sel busa-busa polimer dan kerusakan pada bahan perekat. SEM
teristimewa berharga dalam mengevaluasi betapa penanaman (implant) pada
polimerik bereaksi baik dengan lingkungan bagian tubuhnya (Stevens, 2001)

Universitas Sumatera Utara

2.8.5 Uji Swelling Index

Uji Swelling (ASTM 3615) dilakukan dengan memotong film lateks sampel karet
yang dibentuk secara bulat dengan diameter 38 mm dan ketebalan 0,2 mm dengan
metode perendaman dalam khlorofom pada suhu kamar selama 25 menit untuk
memungkinkan pengembangan guna mencapai kesetimbangan difusi. Kemudian
permukaan sampel yang mengembang dihitung dengan menggunakan kertas grafik
dan rasio pengembangan di definisikan sebagai :

�������� ������ =

�������� �� ℎ��

(2.4)

������� � ����

Rasio ini tentu merupakan ukuran langsung dari tingkat hubungan silang. Diameter
sampel benda uji sebelum mengembang 38 mm (Maged, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jack) Terhadap Produk Karet Nanokomposit Dengan Teknik Pencelupan

8 70 75

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam

4 39 89

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam

0 0 15

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam

0 0 2

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam

0 0 7

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam Chapter III V

0 0 29

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam

0 1 5

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineens Jack) Terhadap Morfologi dan Sifat Mekanik Produk Lateks Karet Alam

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lateks Alam 2.1.1 Tanaman Karet Alam - Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jack) Terhadap Produk Karet Nanokomposit Dengan Teknik Pencelupan

0 0 16

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jack) Terhadap Produk Karet Nanokomposit Dengan Teknik Pencelupan

0 0 13