Analisis Vegetasi Dan Keanekaragaman Ikan Di Perairan Kawasan Mangrove Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni mencakup 21%
dari luas total dunia. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian
masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai
habitat biota laut, penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai dari
berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut juga merupakan
tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas (Kusmana, 1993).
Ekosistem hutan mangrove sering disebut juga dengan hutan payau karena
terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu daerah yang memiliki kadar garam atau
salinitas antara 0,5 ‰ dan 30 ‰. Nama lainnya adalah ekosistem pasang surut
(tidal forest) karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(Indriyanto, 2006).
Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan
umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang
terlindung di daerah tropika dan subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari
perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue, dan bahasa Inggris yaitu grove.
Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis
tumbuhan, dan kata mangal dipergunakan untuk komunitas hutan yang terdiri atas

individu-individu jenis mangrove. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata
mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau rumputrumputan yang tumbuh di kawasan pesisir maupun untuk individu jenis tumbuhan

Universitas Sumatera Utara

8

lainnya yang tumbuh yang berasosiasi dengannya. Selain itu, kata mangrove
adalah berasal dari bahasa Melayu-kuno, yaitu mangi-mangi yang digunakan
untuk menerangkan marga Avicennia, dan sampai saat ini istilah tersebut masih
digunakan untuk kawasan Maluku. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai
macam istilah yang digunakan untuk memberikan sebutan pada hutan mangrove,
antara lain adalah coastal woodland, mangal dan tidal forest (Pramudji, 2001).
Sebagian masyarakat pesisir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya telah
mengintervensi ekosistem mangrove, melalui alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, permukiman, industri, dan penebangan oleh masyarakat untuk
berbagai kepentingan. Hal tersebut disebabkan letak ekosistem mangrove yang
merupakan daerah peralihan antara laut dengan daratan, sehingga sering
mengalami gangguan untuk kepentingan manusia, dan akibatnya kawasan
mangrove mengalami kerusakan dan penyempitan lahan, dan penurunan keanekaragamannya. Pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove dan penggunaan

lahan di sekitarnya secara nyata mempengaruhi kelestarian ekosistem mangrove
(Alik dkk, 2012).
Pemanfaatan secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kelestarian
dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove yang selanjutnya berdampak
besar, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Dampak ekologis akibat
berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies
flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka
panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan
ekosistem pesisir umumnya (Kordi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Mengingat

pentingnya

keberadaan

ekosistem


mangrove

untuk

mempertahankan fungsi ekologis suatu kawasan, maka perlu dilakukan upaya
untuk mempertahankan fungsi ekologis penting mangrove sebagai pengendali
kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Terkait dengan upaya tersebut, upaya
mengatasi laju kerusakan lingkungan pesisir, berupa abrasi dan intrusi air laut
dengan pendekatan ekosistem merupakan salah satu aspek keseimbangan yang
harus dicapai dan dipertahankan keberlanjutannya (Prasetyo dkk, 2014).
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang
Kriteria Baku Kerusukan Mangrove (2004) menjelaskan bahwa status kondisi
mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam
waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove.
Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak
terhadap kerusakan mangrove, oleh karena itu perlu dilakukan upaya
pengendalian, dimana salah satu upaya pengendalian untuk melindungi mangrove
dari kerusakan adalah dengan mengetahui adanya tingkat kerusakan berdasarkan
kriteria baku kerusakannya. Kriteria baku kerusakan mangrove untuk menentukan
status kondisi mangrove diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu :

1. Sangat baik (sangat padat) dengan penutupan≥ 75% dan kerapatan ≥ 1.500
pohon/ha;
2. Rusak ringan (baik) dengan penutupan antara ≥ 50% -