Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Cetak Alginat
Bahan cetak alginat merupakan bahan cetak yang paling sering digunakan
dalam kedokteran gigi karena mudah dimanipulasi dan relatif tidak mahal.
Umumnya, bahan cetak alginat digunakan sebagai cetakan pendahuluan untuk
membuat sendok cetak perorangan atau untuk membuat model studi yang membantu
dalam pembuatan rencana perawatan dan diskusi dengan pasien (Mc Cabe, 2008).

2.1.1 Komposisi Bahan Cetak Alginat
Bahan cetak alginat termasuk dalam kelompok bahan cetak elastis hidrokoloid
ireversibel. Bahan cetak alginat tersedia dalam bentuk bubuk dan dicampur dengan
air bila akan digunakan. Komposisi alginat bervariasi tergantung pada produsen,
namun ada konsentrasi relatif konsisten untuk masing-masing bahan. Tabel 2.1
menunjukkan komposisi bahan cetak alginat, fungsi, dan persentase berat dari
masing-masing komponen (Anusavice, 2013).
Tabel 2.1 Komposisi bubuk bahan cetak alginat (Anusavice, 2013)
Komponen
Potassium alginate
Kalsium sulfat

Oksida seng
Kalium titanium fluorid
Diatomaceous earth
Natrium fosfat

Persentase berat
15
16
4
3
60
2

Fungsi
Melarutkan alginat dalam air
Reaktor
Partikel pengisi
Pemercepat
Partikel pengisi
Bahan perlambat


Universitas Sumatera Utara

Bubuk alginat yang dicampur dengan air akan menghasilkan bentuk pasta.
Dua reaksi utama terjadi ketika bubuk bereaksi dengan air selama proses setting.
Tahap pertama, sodium fosfat bereaksi dengan kalsium sulfat yang menyediakan
waktu pengerjaan yang adekuat: (Anusavice,2013)
2Na3PO4 + 3CaSO4  Ca3 (PO4)2 + 3Na2SO4
Tahap kedua, setelah sodium fosfat telah bereaksi, sisa kalsium sulfat bereaksi
dengan sodium alginat membentuk kalsium alginat yang tidak larut, yang dengan air
akan membentuk gel:
H2O
Na alginat + CaSO4  Ca alginat + Na2SO4
(bubuk)
(gel)
Menurut kecepatan proses gelasinya, alginat dibedakan menjadi dua jenis,
yakni: (McCabe, 2008)
1. Quick setting alginate, mengeras dalam 1 menit dan digunakan untuk
mencetak rahang anak-anak atau penderita yang mudah mual.
2. Regular setting alginate, mengeras dalam 3 menit dan digunakan untuk

pemakaian rutin.

2.1.2 Teknik Pencampuran Bahan Cetak Alginat
Peralatan yang bersih merupakan faktor penting karena kontaminasi selama
pengadukan dapat membuat bahan mengeras terlalu cepat, kekentalannya tidak
sempurna atau dapat menyebabkan cetakan robek saat dikeluarkan dari rongga mulut
(Anusavice, 2013). Bubuk alginat harus ditimbang dan air ditakar mengikuti petunjuk

Universitas Sumatera Utara

pabrik. Air yang digunakan sebaiknya air destilasi steril karena bila air mengandung
banyak mineral akan mempengaruhi keakuratan dan setting time dari bahan cetak
alginat (Nassar, 2011). Air yang digunakan sebaiknya steril

untuk menghindari

kontaminasi mikroorganime yang berasal dari air (Correia-Sousa, 2013).
Teknik pencampuran bahan cetak alginat adalah sebagai berikut: (Mc Daniel,
2012)
a. Pencampuran manual (manual mixing)

Ketika bahan cetak alginat yang dicampur manual menggunakan mangkuk
dan spatula, udara berpotensi besar terjebak. Untuk teknik pencampuran manual,
beberapa penulis menentukan bahwa operator harus menambahkan bubuk perlahanlahan ke dalam air yang sudah ditakar pada rubber bowl untuk meminimalkan
pembentukan gelembung. Selama pencampuran manual, alginat dicampur dan diaduk
selama 60 detik, sesuai petunjuk pabrik.

Gambar 2.1 Rubber bowl dan
spatula (Mc Daniel,
2012)

Universitas Sumatera Utara

b. Pencampuran mekanis (mechanical mixing)
1. Spinning mixing

Alat semi automatic mechanical mixing disebut spinning bowl (Cadco
Alginator II-Dux Dental) merupakan rubber bowl konvensional yang terpasang pada
spinning turntable. Setelah penambahan bubuk alginat ke dalam air pada rubber
bowl, turntable diaktifkan dan operator memposisikan spatula di dalam mangkuk,


sehingga terjadi pencampuran dan oleskan alginat ke dinding rubber bowl.
Pencampuran membutuhkan waktu 30 detik.
2. Centrifuge mixing

Alat centrifuge mixing disebut centrifugal force mixer (Rite-Dent Alginate
Mixing Machine-Rite-Dent Manufacturing Corporation). Bubuk alginat dan air
ditambahkan ke dalam wadah pencampuran dan dimasukkan ke dalam centrifugal
force mixer . Tutup mixer ditutup, diaktivasi dan mesin mencampur selama 10 detik.

Wadah dikeluarkan dari mixer dan adonan alginat dikeluarkan dengan spatula.
3. Vacuum mixing

Alat yang untuk vacuum mixing sering disebut vacuum mixer (Whip Mix VacU-Mixer-Whip Mix Corporation). Vacuum mixer menggunakan mangkuk dengan
tutup kedap udara. Tutupnya memiliki spatula berputar yang beroperasi dalam
kondisi vakum ketika terhubung ke vacuum mixer . Setelah pencampuran selama 15
detik, tutup dibuka dan adonan alginat dikeluarkan dengan spatula.

Universitas Sumatera Utara

1


2

3

Gambar 2.2 (1) Cadco Alginator II (Dux Dental); (2) Rite-Dent Alginate Mixing Machine
(Rite-Dent Manufacturing Corporation); (3) Whip Mix Vac-U-Mixer (Whip Mix
Corporation) (Mc Daniel, 2012)

Penggunaan alat pencampuran mekanis ( mechanical mixing device ) dapat
mengurangi porositas. Udara yang terjebak atau porositas pada cetakan alginat dapat
mempengaruhi keakuratan cetakan dan model (Culhaoglu, 2014). Porositas
permukaan pada cetakan secara signifikan minimal untuk pencampuran dengan
centrifugal mixer bila dibandingkan manual, sedangkan porositas internal secara

signifikan lebih sedikit untuk pencampuran dengan centrifugal mixer dibandingkan
dengan semua teknik pencampuran lain (Mc Daniel, 2012).

2.1.3 Sifat-Sifat Bahan Cetak Alginat
2.1.3.1 Waktu Kerja (Working Time )

Bahan fast-set memiliki waktu kerja 1,25-2 menit, sedangkan waktu bahan
regular-set biasanya 3 menit, tapi mungkin bisa selama 4,5 menit. Dengan waktu

pencampuran dari 45 detik untuk jenis fast-set, 30-75 detik sisa waktu kerja sebelum
penempatan sendok cetak. Untuk bahan yang regular-set, waktu pencampuran 60
detik, 2-3,5 menit sisa waktu kerja untuk bahan yang mengeras 3,5-5 menit
(Sakaguchi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.2 Waktu Pengerasan (Setting Time)
Waktu pengerasan berkisar antara 1-5 menit. ANSI/ADA (American National
Standards

Institute/American

Dental

Association )


spesifikasi

No.18

(ISO

[International Organization for Standardization ] 1563) mensyaratkan bahwa minimal
nilai yang terdaftar oleh produsen dan setidaknya 15 detik lebih lama dari waktu
kerja. Menggunakan air yang lebih dingin dari 18°C atau lebih hangat dari 24°C tidak
dianjurkan. Waktu pengerasan secara klinis dapat terdeteksi dengan hilangnya
kelengketan permukaan. Jika memungkinkan, cetakan harus dibiarkan di tempat 2
sampai 3 menit, karena tear strength dan elastic recovery (recovery dari deformasi)
meningkat secara signifikan selama periode ini. Warna alginat berubah memberikan
indikasi visual waktu kerja dan waktu pengerasan. Mekanisme perubahan warna
adalah perubahan pH-terkait dari pewarna (Sakaguchi, 2012).

2.1.3.3 Elastic Recovery
Elastic recovery cetakan alginat yang dikompresi sekitar 10% di daerah
undercut selama pelepasan. Sebenarnya besarnya tergantung pada sejauh mana
undercut dan ruang antara sendok cetak dan gigi. ANSI/ADA spesifikasi


mensyaratkan bahwa elastic recovery lebih dari 95% ketika bahan dikompresi 20%
selama 5 detik pada saat itu biasanya akan dikeluarkan dari mulut. Nilai khas untuk
elastic recovery 98,2%, sesuai dengan deformasi permanen 1,8% (Sakaguchi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.4 Pengerutan (Shrinkage ) dan Pengembangan (Expand)
Bahan cetak hidrokoloid gel dapat kehilangan kandungan air melalui
penguapan pada permukaan atau cairan merambat ke permukaan dengan proses yang
disebut sineresis. Pengerutan gel merupakan hasil dari penguapan dan sineresis. Bila
gel ditempatkan di dalam air, air akan diabsorbsi dan proses ini disebut imbibisi
(Anusavice, 2013).

2.1.3.5 Stabilitas Dimensi
Setelah cetakan dikeluarkan dari rongga mulut dan cetakan akan terpapar
udara pada suhu kamar, akan terjadi penyusutan berhubungan dengan sineresis dan
penguapan. Sebaliknya, jika cetakan direndam dalam air, pembengkakan (swelling)
disebabkan oleh imbibisi dapat terjadi. Media penyimpanan dengan kelembaban
100% relatif merupakan penyimpanan terbaik untuk mempertahankan kadar air

normal cetakan (Anusavice, 2013).

2.2 Pembuatan Model
Bahan untuk pengecoran untuk membuat model dapat dibuat dari gips tipe III
yang memiliki kekuatan cukup untuk menahan tekanan selama prosedur laboratoris
dan protesa lebih mudah dikeluarkan setelah proses selesai. Gips tipe III memiliki
kekuatan kompresi minimal 1 jam sebesar 20,7 Mpa (3000 psi) tetapi tidak melebihi
34,5 Mpa (5000 psi) (Anusavice, 2013). Berdasarkan spesifikasi ADA No.25, setting
ekspansi gips tipe III setelah 2 jam pengerasan yaitu sebesar 0,00-0,20% dan besar
rasio W/P sebesar 28-30 ml air/100 gr gips.

Universitas Sumatera Utara

Proses pengecoran, rasio antara bubuk gipsum dan air harus sesuai dengan
petunjuk pabriknya. Adonan terlalu encer akan menghasilkan model yang rapuh.
Sebaliknya, adonan yang terlalu kental akan menyebabkan ketidaktepatan model
karena distorsi alginat begitu gipsum dituang ke dalam cetakan. Penggetaran berlebih
juga dapat menyebabkan distorsi alginat (Anusavice, 2013).
Adanya eksudat mukus pada permukaan cetakan akan memperlambat reaksi
kimia pada model dan menghasilkan permukaan kasar pada model. Waktu

penyimpanan cetakan alginat sampai diisi oleh gips tidak boleh lebih dari 30 menit.
Setelah cetakan diisi, sendok cetak harus diletakkan pada supporting jig atau sendok
bagian posterior diberi alas gulungan kapas supaya tidak terjadi penekanan pada
ujung alginat pada sendok cetak (Power, 2006).
Cara melepas model dari cetakan tergantung dari bahan cetak yang digunakan
karena tiap jenis bahan membutuhkan perlakuan khusus. Untuk alginat, segera setelah
gips tipe III, kurang lebih 60 menit, model harus segera dilepas dari cetakan sehingga
permukaan model akan tetap halus. Bila cetakan dibiarkan dan baru besoknya dilepas,
alginat biasanya mengerut dan keras, sehingga bagian-bagian halus model bisa patah
(Anusavice, 2013).

2.3 Hemimaksilektomi
Hemimaksilektomi merupakan operasi pengangkatan salah satu sisi rahang
atas, termasuk premaksila, rahang atas dan palatum keras yang dilakukan untuk
pengangkatan tumor di palatum keras, hidung, sinus maksilaris atau tumor lain yang

Universitas Sumatera Utara

telah tumbuh melibatkan rahang atas. Pasca hemimaksilektomi akan menimbulkan
defek maksila.

2

1

Gambar 2.3 (1) Defek maksila pasca hemimaksilektomi; (2) Hollow bulb
interim obturator (Daniel, 2015)

2.3.1 Defek Maksila
Defek maksila yang disebabkan karena tindakan operasi (tumor, benjolan,
kista) merupakan suatu kelainan berbentuk sebuah celah atau gerong pada rahang
atas. Defek maksila melibatkan palatum keras dan palatum lunak yang diperpanjang
sampai daerah vellopharyngeal, defek maksila yang ada ini dapat menyebabkan
penderita saat bicara terdengar suara sengau, dapat pula menyebabkan seseorang
mengalami kesulitan saat berbicara, pengunyahan, menelan dan estetik (Bidra, 2012).
Rehabilitasi prostetik diperlukan dengan pembuatan obturator Pada luka pasca
operasi dapat ditemukan bakteri Gram positif (22,5%) dan Gram negatif (77,5%).
Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri patogen Gram negatif yang sering

ditemukan pada luka pasca operasi berdasarkan penelitian di rumah sakit Dar Es
Salaam, Tanzania pada September 2011 sampai Februari 2012 (Manyahi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.3.1.1 Klasifikasi Defek Maksila Disertai Kehilangan Gigi
Klasifikasi defek disertai kehilangan gigi sebagian rahang atas terbagi atas 6
kelas Aramany, yaitu:
 Kelas I
Defek 1 sisi maksila, berupa kehilangan gigi dan tulang alveolar sampai garis median.
 Kelas II
Defek berada di 1 sisi posterior maksila, gigi yang tersisa pada anterior dan posterior
sisi lain.
 Kelas III.
Defek terletak di bagian tengah palatum keras
 Kelas IV.
Defek pada sisi maksila melewati garis median, gigi yang tersisa ada di posterior
disalah satu sisi rahang.
 Kelas V
Defek berada pada regio posterior 2 sisi dan gigi yang sisa padaanterior.
 Kelas VI
Defek berada pada regio anterior 2 sisi dan gigi yang sisa pada posterior.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Klasifikasi defek disertai kehilangan gigi sebagian rahang
atas terbagi atas 6 kelas Aramany (Carr, 2011)

2.3.2 Jenis Protesa Obturator
Obturator adalah protesa maksilofasial yang digunakan untuk menutup
pembukaan jaringan didapat, terutama dari palatum, dan/atau struktur jaringan
alveolar atau lunak berdekatan yang telah dibuang karena operasi (Vojvodic, 2013).
Jenis protesa obturator diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu:
1. Berdasarkan waktu pemasangan,yaitu:
- Protesa obturator immediate (immediate surgical obturator prosthesis ) atau
obturator pembedahan, adalah suatu protesa yang dirancang untuk menggantikan
struktur komponen rahang atas yang hilang dan struktur dento alveolar setelah
operasi

selesai. Dipasang langsung setelah

operasi

selesai

sampai

masa

penyembuhan.

Universitas Sumatera Utara

- Obturator interim adalah suatu protesa yang dibuat beberapa minggu atau beberapa
bulan setelah pembedahan sebagian dari atau kedua bagian maksila termasuk
penggantian gigi di daerah yang mengalami kecacatan. Protesa obturator ini
menggantikan immediate surgical obturator prosthesis yang dipasang segera setelah
pembedahan.
- Obturator definitive adalah obturator permanen yang menggantikan sebagian atau
seluruh rahang atas dan gigi-gigi yang hilang akibat pembedahan atau trauma dan
akan dipergunakan pasien seterusnya.
2. Berdasarkan ada atau tidaknya rongga, dibagi menjadi dua, yaitu:
- Obturator berongga
- Obturator tidak berongga
3. Berdasarkan bahan basis yang paling sering dipergunakan, yaitu:
- Menggunakan resin akrilik
- Menggunakan resin visible ligh cured (VLC)
- Menggunakan framework (kerangka logam)
- Karet silikon
- Kombinasi
4. Berdasarkan fungsinya
- Tipe simple base plate
Membantu untuk memperbaiki saat menelan, saat makan dan saat berbicara.
- Tipe obturator dengan perluasan posterior

Universitas Sumatera Utara

Terdiri dari speech appliance atau speech aid , digunakan untuk memperbaiki defek
pada palatum lunak, palatum keras dan velopharyngeal extension untuk memperbaiki
fungsi bicara.
- Tipe overlay denture

2.4 Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae pertama kali ditemukan oleh Carl Friedlander. Carl

Friedlander mengidentifikasi bakteri Klebsiella pneumoniae dari paru-paru orang
yang meninggal karena pneumonia. Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram
negatif yang berbentuk batang (basil) dan tidak dapat melakukan pergerakan (non
motil). Klebsiella pneumoniae mempunyai diameter berkisar 0,3-1,0 µm dan panjang
0,6-6,0 µm serta terdapat fimbriae. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, Klebsiella
pneumoniae merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella pneumoniae berperan

utama dalam menyebabkan infeksi nosokomial pada pasien immunocompromised
(Samaranayake, 2012).
Centers for Disease Control and Prevention menyatakan untuk mendapatkan

infeksi Klebsiella pneumoniae, seseorang harus terpapar bakteri. Misalnya, Klebsiella
pneumonia masuk ke saluran pernafasan dapat menyebabkan pneumonia, atau darah

menyebabkan infeksi aliran darah. Bakteri Klebsiella pneumoniae dapat menyebar
melalui kontak langsung (misalnya, dari pasien ke pasien melalui tangan yang
terkontaminasi personil kesehatan, atau orang lain) atau, lebih jarang, oleh
kontaminasi lingkungan. Bakteri ini tidak menyebar melalui udara. Pasien dapat

Universitas Sumatera Utara

terpapar Klebsiella pneumoniae melalui ventilator (mesin pernapasan), intravena
(pembuluh darah), kateter atau luka (yang disebabkan oleh cedera atau pembedahan).
Alat-alat dan kondisi medis memungkinkan Klebsiella pneumoniae untuk masuk ke
dalam tubuh dan menyebabkan infeksi (CDC, 2012).
Pencegahan penyebaran infeksi Klebsiella pneumoniae antara pasien, tenaga
kesehatan harus mengikuti tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi tertentu.
Tindakan pencegahan ini dapat mencakup ketaatan kebersihan tangan dan
mengenakan baju pelindung dan sarung tangan saat mereka memasuki kamar pasien
dengan penyakit yang disebabkan Klebsiella pneumoniae . Fasilitas kesehatan juga
harus mengikuti prosedur pembersihan yang ketat untuk mencegah penyebaran
Klebsiella pneumoniae (CDC, 2012).

Untuk mencegah penyebaran infeksi, pasien juga harus sering membersihkan
tangan, termasuk: (CDC, 2012)
a. Sebelum menyiapkan atau makan makanan.
b. Sebelum menyentuh mata, hidung, atau mulut.
c. Sebelum dan setelah mengganti perban.
d. Setelah menggunakan toilet.
e. Setelah batuk atau bersin.
f. Setelah menyentuh permukaan rumah sakit seperti tempat tidur yang
mempunyai rel, meja samping tempat tidur, gagang pintu, atau telepon.

Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Klasifikasi Klebsiella pneumoniae
Klasifikasi Klebsiella pneumoniae adalah sebagai berikut:
Domain/Kingdom

: Bacteria

Phylum

: Proteobacteria

Class

: Gammaproteobacteria

Order

: Enterobacteriales

Family

: Enterobacteriaceae

Genus

: Klebsiella

Species

: Klebsiella pneumoniae

2.4.2 Struktur Sel Klebsiella pneumoniae
Klebsiella

pneumoniae mengandung kapsul besar yang terbuat dari

polisakarida sekitar selnya, sehingga koloni berlendir (mukoid) dan berguna untuk
mempertahankan diri. Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan penyakit karena
mempunyai dua tipe antigen pada permukaan selnya:
1. Antigen O
Antigen O adalah lipopolisakarida yang terdapat dalam sembilan varietas.
2. Antigen K
Antigen K adalah polisakarida yang dikelilingi oleh kapsula dengan lebih dari
77 varietas.
Kedua antigen ini meningkatkan patogenitas Klebsiella pneumoniae.
Selain itu, Klebsiella pneumoniae mampu memproduksi enzim ESBL (Extended

Universitas Sumatera Utara

Spektrum Beta Lactamase ) yang dapat melumpuhkan kerja berbagai jenis antibiotik.

Hal ini dapat menyebabkan bakteri kebal dan menjadi sulit dilumpuhkan (Sikarwar,
2011).

Gambar 2.5 Pewarnaan Gram spesimen
sputum yang menunjukkan
adanya kapsul pada bakteri
Klebsiella pneumoniae
(Yuri, 2010)

Klebsiella pneumoniae memiliki karakteristik fiksasi nitrogen. Klebsiella
pneumoniae dapat mengambil gas nitrogen atmosfer dan mengurangi menjadi asam

amonia dan amino. Suhu untuk kondisi pertumbuhan terbaik adalah 37 0C. Klebsiella
pneumoniae efektif memetabolisme melalui fermentasi (Schmitz, 2002).
Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri patogen yang dapat ditemukan

dalam air, limbah, pada hewan dan mamalia. Klebsiella pneumoniae merupakan
penyebab penting infeksi manusia. Infeksi atau penyakit biasanya nosokomial atau
didapat di rumah sakit. Penyakit termasuk infeksi saluran kemih dan pneumonia.
Penyakit yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae dapat mengakibatkan
kematian bagi pasien yang imunodefisiensi (Kumar, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.4.3 Identifikasi Klebsiella pneumoniae
Identifikasi Klesiella pneumoniae dapat dilakukan beberapa tahap, yaitu:
a. Kultur pada media blood agar
Media blood agar digunakan untuk isolasi, menumbuhkan berbagai macam
bakteri patogen dan menetapkan bentuk hemolisa dari bakteri tersebut. Media kultur
ini kaya nutrien yang menyediakan kondisi pertumbuhan bakteri yang optimal. pH
media ini sekitar 6,8 untuk menstabilkan sel darah merah dan menghasilkan media
hemolisa yang jelas. Kandungan utama pada agar darah adalah nutrien agar dan 510% darah domba. Media blood agar merupakan media differensial yang berfungsi
membedakan bakteri berdasar kemampuan bakteri melisiskan sel darah merah.
Ekspresi dari hemolisis bakteri dapat diketahui ada atau tidaknya zona bening
disekeliling koloni bakteri. Terdapat 3 tipe sifat hemolisis yaitu alpha, beta, dan
gamma.
Klebsiella pneumoniae tumbuh sebagai koloni yang berwarna besar, domeshaped, mukoid, tidak melisiskan darah (gamma hemolisis (γ-haemolysis)) pada

media blood agar (Kumar, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6 Koloni Klebsiella pneumoniae
pada media blood agar
(Gama-hemolisis) (Dok)

b. Kultur pada media MacConkey agar
Media MacConkey agar termasuk salah satu media isolasi primer. MacConkey
agar merupakan media selektif differensial yang mengandung laktosa dan merah

netral sebagai indikator, sehingga bakteri yang meragikan laktosa akan tumbuh
sebagai koloni berwarna merah sedangkan bakteri yang tidak meragikan laktosa
tumbuh sebagai bakteri yang tidak berwarna (Samaranayake, 2012).
Klebsiella pneumoniae pada MacConkey agar tumbuh sebagai koloni yang

berwarna merah muda, membentuk koloni yang mukoid, kapsul polisakarida yang
besar, jika diambil dengan ose, maka akan tertarik karena pada koloni memiliki
kapsul. Klebsiella pneumoniae tidak motil dan positif untuk lisin dekarbosilase dan
sitrat (Kumar, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Koloni Klebsiella pneumoniae
tampak berwarna merah muda
mukoid pada media MacConkey
agar (laktosa positif) (Dok)

c. Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram atau metode Gram adalah suatu metode untuk membedakan
spesies bakteri menjadi dua kelompok besar, yakni Gram positif dan Gram negatif,
berdasarkan karakteristik pewarnaan dinding selnya. Reaksi atau sifat bakteri tersebut
ditentukan oleh komposisi dinding selnya (Samaranayake, 2012).
Bakteri Gram positif akan mempertahankan zat warna metil ungu gelap
setelah dicuci dengan alkohol, sementara bakteri Gram negatif tidak. Bakteri Gram
negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat warna metil ungu pada metode
pewarnaan Gram. Pada uji pewarnaan Gram, suatu pewarna penimbal ( counterstain)
ditambahkan setelah metil ungu, yang membuat semua bakteri Gram negatif menjadi
berwarna merah atau merah muda. Pengujian ini berguna untuk mengklasifikasikan

Universitas Sumatera Utara

kedua tipe bakteri ini berdasarkan perbedaan struktur dinding sel (Samaranayake,
2012).
Perbedaan dasar antara bakteri Gram positif dan Gram negatif adalah pada
komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan
membran sitoplasma organisme Gram positif, sedangkan penyingkiran zat lipida dari
dinding sel organisme Gram negatif dengan pencucian alkohol memungkinkan hilang
dari sel. Bakteri Gram positif memiliki membran tunggal yang dilapisi peptidoglikan
yang tebal (25-50 nm) sedangkan bakteri Gram negatif lapisan peptidoglikan yang
tipis (1-3 nm) (Samaranayake, 2012).
Bakteri Klebsiella pneumoniae terlihat berwarna merah, berbentuk batang
lurus berpasangan atau tunggal, pendek, dan memiliki kapsul secara mikroskopik
(Kumar, 2013).
d. Uji biokimia
Uji biokimia dilakukan untuk melihat karakteristik bakteri melalui reaksi biokimia,
yang biasa dilakukan diantaranya: (Sikarwar, 2011)
1. Uji indol
Uji indol untuk melihat kemampuan suatu organisme menghasilkan indol dari
degradasi asam amino triptopan. Bila positif menghasilkan warna merah sedangkan
bila negatif menghasilkan warna kuning. Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri
dengan indol negatif.
2. Uji methyl red

Universitas Sumatera Utara

Uji methyl red digunakan untuk mendeteksi produksi asam kuat selama proses
fermentasi glukosa. Pembentukan asam pada fermentasi glukosa memberikan warna
merah dengan indikator metil merah. Klebsiella pneumoniae menghasilkan warna
merah.
3. Uji Voges-Proskauer
Uji Voges-Prokauer untuk menentukan mikroorganisme yang memproduksi
dan mengelola asam dan fermentasi glukosa, memperlihatkan kemampuan sistem
buffer dan menentukan bakteri yang menghasilkan produk netral (asetil metal

karbinol atau aseton) dari hasil fermentasi glukosa. Klebsiella pneumoniae
memberikan hasil positif terhadap reaksi uji Voges-Prokauer.
4. Uji Simmon’s citrate
Biakan diinokulasi pada media Simmon’s citrate dengan inokolum yang tipis
kemudian diinkubasi pada suhu 350 selama 48 jam. Jika hasil positif terjadi
perubahan warna indikator dari hijau menjadi biru yang bermakna pertumbuhan
bakteri pada medium sitrat menghasilkan keadaan alkalis dan bakteri telah
menggunakan sitrat. Klebsiella sp. memberikan reaksi positif terhadap penggunaan
sitrat.
5. Uji urease
Bakteri tertentu dapat menghidrolisis urea dan membentuk ammonia dengan
terbentuknya

warna

merah

karena

adanya

indicator

phenol

red ,

Klebsiella pneumoniae pada media urea memiliki pertumbuhan yang lambat

memberikan hasil positif pada dan membentuk ammonia.

Universitas Sumatera Utara

6. Pergerakan bakteri
Dilakukan untuk mengetahui apakah bakteri ini yang akan diidentifikasi dapat
aktif bergerak (motile). Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang non motile.
7. Uji Triple Sugar Iron (TSI)
Uji TSI digunakan untuk membedakan bakteri Gram negatif yang memiliki
kemampuan untuk memetabolisme laktosa dan sukrosa, menghasilkan asam dari
fermentasi, memproduksi gas selama proses fermentasi dan menghasilkan H2S
dengan bakteri yang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Media ini terdiri dari
0,1% glukosa, 1% sukrosa, 1% laktosa. Klebsiella pneumoniae memfermentasi
glukosa yang bersifat asam sehingga terbentuk warna kuning.
8. Fermentasi karbohidrat/gula-gula
Media ini berfungsi untuk melihat kemampuan bakteri memfermentasikan
jenis karbohidrat, jika terjadi fermentasi maka media terlihat berwarna kuning karena
perubahan pH menjadi asam. Klebsiella pneumoniae memfermentasi glukosa,
laktosa, maltosa, manitol dan sukrosa.

2.5 Infeksi Silang
Infeksi silang didefinisikan sebagai transmisi agen infeksi antara pasien
terhadap dokter gigi, perawat, tekniker dalam lingkungan klinik. Transmisi dapat
terjadi dari seseorang ke orang lain yang berkontak atau melalui suatu objek yang
terkontaminasi (Al-Jabrah, 2007; Almortadi, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Transmisi infeksi dari seseorang ke orang lain memerlukan: (Lamont, 2006;
Samaranayake, 2012)
a. Sumber infeksi
Sumber infeksi dalam kedokteran gigi sebagian besar berasal dari manusia
termasuk
- Seseorang dengan penyakit infeksi (contoh: influenza, cacar, atau
tuberkulosis).
- Seseorang dengan infeksi tertentu pada masa prodormal. Selama masa
prodormal atau inkubasi, organisme membelah diri tanpa menunjukkan adanya

infeksi; meskipun pasien sehat pada masa ini, tetapi pasien tersebut merupakan highly
infectious (contoh: infeksi virus, seperti campak, cacar dan mumps).

- Seseorang yang sehat sebagai pembawa dari penyakit yang disebabkan
mikroorganisme (contoh: Streptococcus pyogenes, Neisseria meningitidis dan
Haemophilus influezae ).

- Lingkungan sekitar seperti mikroorganisme yang terdapat di udara, biofilm
dalam saluran air pada dental unit atau pada instrument (contoh: Acinetobacter,
Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium spp. dan Legionella spp.).

b. Perantara (darah, saliva, instrumen yang terkontaminasi darah, saliva dan
debris).
c. Jalur penyebaran infeksi
- Airborne routes pada infeksi silang yang terdiri dari dust-borne routes
(contoh: Clostridium tetani dari debu yang dapat menyebabkan luka pembedahan

Universitas Sumatera Utara

terkontaminasi) dan aerosol routes (mikroorganisme yang tersebar melalui aerosol
yaitu HBV, influenza virus, Mycobacterium tuberculosis dan Bordetella pertussis).
- Contact routes pada infeksi silang melalui seseorang ke orang lain (melalui
tangan dan pakaian), benda (melalui instrumen, chairs and units dan bahan cetak) dan
cairan (melalui saluran air).

2.6 Kontrol Infeksi
Kontrol infeksi merupakan komponen penting yang harus diterapkan di
lingkungan klinik dan fakultas kedokteran gigi. Banyak penyakit yang dapat
ditularkan dalam kedokteran gigi maka dokter gigi memiliki tanggung jawab dalam
profesinya untuk memastikan keamanan dokter gigi, pasien, perawat dan tekniker
(Rutala, 2008).
Prosedur kontrol infeksi ada beberapa tahap yaitu: (Rutala, 2008; Rampal,
2010)
a. Evaluasi pasien
Pemeriksaan medis pada pasien diperlukan pada setiap kunjungan. Hal ini
penting karena berhubungan dengan infeksi silang dan dapat mempengaruhi
perawatan rongga mulut pada pasien.
b. Perlindungan diri
Meliputi personal hygiene, clinic clothing, barrier protection (sarung tangan,
masker wajah, kacamata dan isolasi rubber dam) dan imunisasi. Personal hygiene
seperti kuku jari harus dipotong dan bersih, rambut harus diikat atau menggunakan

Universitas Sumatera Utara

hair net, tangan dan lengan sebaiknya dicuci sebelum dan sesudah berkontak dengan

pasien menggunakan sabun antiseptik kemudian dikeringkan dengan kertas tisu sekali
pakai. Hal ini akan mengurangi jumlah mikroorganisme yang dapat menularkan
penyakit. Clinic clothing seperti seragam yang bersih harus dipakai oleh semua staf di
klinik. Seragam juga harus diganti setiap hari. Barrier protection (sarung tangan
sekali pakai, sesuai dengan ukuran tangan, satu pasang untuk satu pasien dan apabila
robek harus segera diganti untuk melindungi operator dan pasien; masker wajah perlu
digunakan karena penggunaan alat kecepatan tinggi, skeler ultrasonik, penyemprotan
udara dan air ke dalam rongga mulut pasien selama perawatan untuk mencegah
terhirupnya aerosol yang terkontaminasi; kacamata harus digunakan untuk
melindungi mata ketika menggunakan handpiece high-speed, scaling (manual atau
ultrasonik), polishing dan ketika membersihkan instrumen; dan isolasi rubber dam
untuk mengurangi aerosol yang terkontaminasi saliva dan darah) dan imunisasi.
Meskipun telah dilakukan imunisasi, kontrol infeksi tetap diperlukan untuk mencegah
penyakit infeksi lainnya.
c. Sterilisasi instrumen
Instrumen harus dibersihkan segera setelah digunakan. Sterilisasi adalah
proses untuk membunuh semua organisme (termasuk sporanya) pada instrumen atau
benda mati. Biasanya digunakan pada instrumen yang dapat digunakan kembali.
Autoklaf sangat dianjurkan untuk prosedur sterilisasi. Setelah disterilisasi, instrumen
harus disimpan di tempat yang steril.
d. Menggunakan alat sekali pakai seperti jarum, bur, skalpel.

Universitas Sumatera Utara

e. Desinfeksi merupakan proses untuk membunuh organisme patogen pada
suatu bahan atau objek. Metode desinfeksi yaitu dengan pemanasan (pasteurisasi; air
mendidih), fisis (ultrasonik) dan kemis.
f. Asepsis laboratorium
Cetakan beserta sendok cetak dan peralatan lain harus dibilas air mengalir atau
dengan bahan disinfektan untuk menyingkirkan saliva dan darah kemudian disimpan
dalam wadah yang sesuai kemudian dikirim ke laboratorium.
g. Limbah
Alat sekali pakai yang tajam seperti jarum, bur, skalpel dan wadah anestesi
lokal harus ditangani dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya cedera. Semua itu
harus diletakkan pada wadah kaku yang dapat disegel sebelum dibuang.

2.7 Desinfeksi
2.7.1 Disinfektan
Disinfektan secara umum dapat dikategorikan tingkat tinggi, sedang atau
rendah berdasarkan kemampuannya untuk membunuh bermacam kelompok
organisme (Samaranayake, 2012).
a. Disinfektan tingkat tinggi (High-level disinfectant)
Disinfektan yang aktif melawan bakteri gram positif dan gram negatif, spora
dan Mycobacterium tuberculosis. Contoh: aldehid (glutaraldehid, paraformaldelhid,
formaldelhid). Glutaraldelhid merupakan disinfektan yang bersifat tuberkulosidal,
fungisidal, virusidal, bakterisidal dan sporosidal. Glutaraldehid mampu mengalkilasi

Universitas Sumatera Utara

kelompok sulfahydryl, hydroxyl, carboxyl , dan amino pada mikroorganisme, yang
mana mengubah sintesis RNA, DNA, dan protein.
b. Disinfektan tingkat sedang (Intermediate-level disinfectant)
Disinfektan yang menghancurkan Mycobacterium tuberculosis, bakteri
vegetatif, kebanyakan virus dan fungi, tetapi sedikit spora. Contoh: chlorine (sodium
hipoklorit), phenolic (chloroxylenol), iodophor (povidone iodine), alcohol (70%
alcohol, isopropyl). Chloroxylenol adalah fenol yang tidak mengiritasi, digunakan

secara umum sebagai antiseptik, lemah melawan banyak bakteri dan kegunaannya
terbatas untuk desinfeksi secara lokal.
Iodophor merupakan disinfektan yang bersifat

tuberkulosidal, fungisidal,

virusidal, dan bakterisidal tetapi tidak bersifat sporosidal. Iodophor dapat melakukan
penetrasi dengan cepat ke dalam dinding sel mikroorganisme dan efek letal dipercaya
dapat mengganggu struktur protein dan asam nukleat dan sintetis. Alkohol (70%)
merupakan disinfektan yang bersifat bacterisidal, tuberkulosidal, fungisidal, dan
virusidal tetapi tidak dapat menghancurkan spora bakteri. Aksi antimikroba dari
alkohol yaitu denaturasi protein.
c. Disinfektan tingkat rendah (Low-level disinfectant)
Disinfektan membunuh kebanyakan bakteri dan fungi, tetapi bukan
Mycobacterium tuberculosis atau spora. Contoh: Quaternary ammonium compounds

(QUATS). Quaternary ammonium compounds (QUATS) digunakan sebagai
campuran dan sering dikombinasi dengan disinfektan lainnya, seperti alkohol.
QUATS memiliki aktivitas yang baik terhadap beberapa bakteri vegetatif dan virus

Universitas Sumatera Utara

yang mengandung lemak. Jenis tertentu (misalnya benzalkonium klorida) digunakan
sebagai antiseptik. Aktivitas kuman pada jenis QUATS tertentu dapat berkurang
karena bahan organik, kesadahan air dan deterjen anionik sehingga diperlukan prapembersihan.

2.7.1.1 Sodium Hipoklorit
Sodium hipoklorit adalah salah satu bahan kimia yang berfungsi sebagai
disinfektan

karena

dapat

melepaskan

klorin

yang

mampu

membunuh

mikroorganisme. Sodium hipoklorit termasuk golongan halogen yang teroksigenasi.
Bahan tersebut bekerja cepat, sangat efektif melawan virus hepatitis B dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Fukuzaki, 2006).

Struktur kimia sodium hipoklorit adalah NaOCl. Sodium hipoklorit diproduksi
dengan adanya reaksi antara gas klorin (Cl 2) dengan larutan sodium hidroksida
(NaOH) yang akan menghasilkan sodium hipoklorit (NaOCl), garam (NaCl) dan air
(H2O). Reaksi adalah seperti berikut:
Cl2 + NaOH

NaOCl + NaCl+ H2O

Sodium hipoklorit dapat melepaskan klorin sehingga dapat menjadi bahan
antimikroba yang mampu membunuh mikroorganisme. Ketika sodium hipoklorit larut
dalam air akan terbentuk asam hipoklorit atau ion hipoklorit. Asam hipoklorit
kemudian terdegradasi membentuk asam klorida dan oksigen. Oksigen merupakan
oksidator yang sangat kuat, oleh karena itu, sodium hipoklorit sering digunakan untuk
membunuh bakteri, virus, dan jamur. Manfaat larutan ini karena kemampuannya

Universitas Sumatera Utara

mengoksidasi dan menghidrolisa sel dan secara osmosis mengalirkan air keluar dari
sel akibat sifatnya yang hipertonis. Sodium hipoklorit mempunyai pH antara 11-12.
Biofilm dilarutkan dan efek antimikrobanya mampu masuk lebih dalam dan
membersihkan area yang terinfeksi secara lebih baik (Rutala, 2008). Efektivitas dari
sodium hipoklorit pada proses desinfeksi tergantung konsentrasi klorin yang tersedia
dan pH larutan (Fukuzaki, 2006).
Mekanisme kerja sodium hipoklorit terhadap mikroorganisme adalah
berdasarkan kemampuan penetrasi ke dalam sel mikroorganisme melalui dinding sel
dan membran plasma kemudian menghambat aktivitas enzim yang penting untuk
pertumbuhan

mikroorganisme

dan

merusak

membran

plasma

dan

DNA

mikroorganisme (Fukuzaki, 2006).
Sodium hipoklorit berupa larutan berwarna putih agak kekuningan, berbau
khas dan sedikit menyengat. Sodium hipoklorit adalah salah satu zat aktif yang jika
dilarutkan dalam air akan menimbulkan efek bleaching karena dapat melepaskan ion
klorida ke dalam larutan dan juga efektif digunakan untuk pemurnian permukaan,
pemutih, penghilang bau dan disinfektan air. Sodium hipoklorit yang sering
digunakan sebagai pemutih rumah tangga (household bleach) mempunyai konsentrasi
5,25%. Larutan dengan konsentrasi yang rendah, sebagai contoh sodium hipoklorit
1%, dapat ditoleransi oleh jaringan karena compatible secara biologi. American
Dental Association (ADA) (1996) dan Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) (2003) merekomendasikan penggunaan sodium hipoklorit sebagai salah satu

Universitas Sumatera Utara

bahan disinfektan yang dapat digunakan untuk desinfeksi cetakan alginat dengan
pengenceran 1:10 (0,525%).
Dalam penggunaan sodium hipoklorit sebagai bahan disinfektan pada cetakan
alginat terdapat keuntungan dan kekurangan. Keuntungan penggunaan sodium
hipoklorit sebagai bahan disinfektan adalah dapat membunuh bakteri Gram positif
dan Gram negatif, spora, Mycobacterium tuberculosis, HIV dan HBV, mudah
diperoleh, harga murah, mudah digunakan, dan fast acting. Kekurangan penggunaan
sodium hipoklorit sebagai bahan disinfektan adalah dapat mengalami inaktif bila
permukaan yang akan didesinfeksi terdapat bahan organik (saliva, darah, debris)
sehingga harus dibersihkan terlebih dahulu, dapat mengiritasi kulit dan membran
mukosa, harus digunakan pada ruangan dengan ventilasi yang baik dan sangat toksik
bila dicampur amoniak (Fukuzaki, 2006).

2.7.2 Metode Desinfeksi
Metode desinfeksi yang dapat diaplikasikan pada cetakan alginat secara kimia
ada dua yaitu: (Correia-Sousa, 2013)
a. Perendaman
Metode perendaman dapat dilakukan dengan cara merendam seluruh
permukaan cetakan alginat dalam cairan disinfektan dengan konsentrasi dan waktu
tertentu.
Kelebihan metode perendaman yaitu: (Bustos, 2010)
1. Cairan disinfektan dapat mencakup seluruh permukaan hasil cetakan

Universitas Sumatera Utara

2. Menurunkan resiko partikel-partikel larutan disinfektan terhirup
Kekurangan metode perendaman yaitu: (Bustos, 2010)
Distorsi hasil cetakan alginat bila direndam terlalu lama.

b. Penyemprotan
Metode penyemprotan dapat dilakukan dengan cara menyemprot cairan
disinfektan dengan menggunakan sprayer pada hasil cetakan alginat yang akan
didesinfeksi kemudian dibiarkan dalam waktu tertentu.
Kelebihan metode penyemprotan yaitu: (Grahramanloo, 2009)
1. Lebih sederhana dan cepat
2. Kemungkinan terjadinya distorsi lebih rendah
Kekurangan metode penyemprotan yaitu: (Grahramanloo, 2009)
1. Tidak semua permukaan hasil cetakan tercakup dengan sempurna terutama
daerah undercut
2. Partikel-partikel cairan disinfektan dapat terhirup oleh operator

Waktu perendaman maupun penyemprotan tergantung jenis disinfektan dan
potensi bahan cetak mengabsorbsi cairan (Hiraguchi, 2012; Amin, 2009).

2.8 Perubahan Dimensi
Dimensi merupakan parameter atau pengukuran yang dibutuhkan untuk
mendefenisikan sifat-sifat suatu objek, yaitu ukuran seperti panjang, lebar, tinggi, dan
bentuk. Perubahan dimensi dapat diukur secara volumetrik dan linear yang biasanya

Universitas Sumatera Utara

dinyatakan dalam presentase panjang atau volume akhir dibandingkan dengan
panjang atau volume dari suatu objek. Perubahan dimensi gips merupakan perubahan
ukuran pada gips selama proses pengerasannya, biasanya dinyatakan sebagai
persentase dari panjang semula atau volume. Perubahan dimensi linear lebih mudah
dan sederhana untuk diukur dibandingkan dengan perubahan dimensi volumetrik.
Keakuratan dimensi diperlukan untuk mendapatkan tiruan yang tepat dari struktur
anatomis rongga mulut (Powers, 2008).
Pengukuran dimensi pada model dapat dilakukan dengan mengukur crossarch
(CA) dan anteroposterior (AP) (Farzin, 2010). Hasil pengukuran dijumlahkan
kemudian didapatkan rata-ratanya. Hasil rata-rata dari setiap sampel dimasukkan ke
dalam rumus, yaitu: (Powers, 2008)
l1-l0 x 100%
l0
Keterangan:
l1 = rata-rata pengukuran pada sampel yang diberi perlakuan (mm)
l0 = rata-rata pengukuran pada sampel kontrol (mm)
Cetakan alginat harus segera diisi gips setelah dikeluarkan dari rongga mulut.
Keterlambatan diantara pengambilan cetakan dengan waktu pengisian cetakan alginat
dapat menyebabkan cetakan mengerut (shrinkage), mengembang (expand) atau
terjadinya distorsi selama waktu tersebut. Bila pengisian harus ditunda sebaiknya
cetakan disimpan dalam wadah tertutup seperti kantung plastik atau humidor untuk
menciptakan lingkungan lembab 100% (Anusavice, 2013). Cetakan alginat yang

Universitas Sumatera Utara

direndam dalam sodium hipoklorit 0,5% sampai 300 detik tidak menyebabkan
perubahan dimensi (Retzia, 2011).

2.8.1 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Dimensi
2.8.1.1 Suhu Ruangan dan Air
Perubahan suhu ruangan dan suhu air dapat memberikan pengaruh pada gips
selama proses pengerasan. Peningkatan suhu ruangan dan suhu air dapat
menyebabkan pergerakan ion kalsium dan ion sulfat meningkat sehingga setting time
menjadi lebih singkat. Peningkatan suhu ruangan yang berawal 200C menjadi 370C
dapat meningkatkan kecepatan reaksi pengerasan sehingga setting time menjadi lebih
singkat dan setting expansion menjadi lebih besar, tetapi suhu yang meningkat diatas
370C dapat menurunkan kecepatan reaksi pengerasan dan setting time menjadi lebih
lama, serta setting expansion menjadi lebih kecil. Peningkatan suhu air (tidak
melebihi 37,50C) yang digunakan sebagai campuran gips dapat mempersingkat
setting time , tetapi jika suhu air diatas 37,50C dapat memberikan efek retarder pada

pengerasan gips (Powers, 2008; Hatrick, 2011).
2.8.1.2 Rasio W/P
Rasio W/P merupakan faktor penting dalam mempengaruhi sifat fisik dan sifat
kimia dari produk akhir gips, misalnya semakin besar rasio W/P maka setting
expansion menjadi lebih kecil karena semakin meningkat rasio W/P maka semakin

sedikit nukleus kristalisasi per unit volume yang ada dan karena dapat dianggap
bahwa ruangan antar-nukleus lebih besar pada keadaan tersebut, maka pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

interaksi kristal-kristal dihidrat akan semakin sedikit, demikian juga dorongan keluar.
Sebaliknya, penurunan rasio W/P dapat menyebabkan setting expansion menjadi
lebih besar karena kandungan air menjadi lebih sedikit sehingga jarak antar kristal
menjadi lebih dekat, dan hal tersebut menyebabkan dorongan antar kristal menjadi
lebih besar. Oleh karena itu rasio air dan bubuk perlu diperhatikan sesuai dengan
aturan pabrik, contohnya rasio W/P untuk gips tipe III yaitu 28-30 ml air: 100 gram
gips (Anusavice, 2013).

2.8.1.3 Waktu dan Kecepatan Pengadukan
Metode pengadukan yang tepat adalah dengan menambahkan air yang sudah
diukur terlebih dahulu kemudian diikuti dengan penambahan bubuk yang telah
ditimbang secara bertahap. Adonan gips diaduk selama kurang lebih 15 detik dengan
kecepatan pengadukan 120 rpm menggunakan spatula dan diikuti dengan pengadukan
mekanik selama 20-30 detik dengan kecepatan 450 rpm menggunakan vacuum mixer
(Powers, 2008).
Sebagian kristal gipsum terbentuk langsung ketika gipsum berkontak dengan
air. Saat pengadukan dimulai, pembentukan kristal ini meningkat. Pada saat yang
sama, kristal-kristal tersebut diputuskan oleh spatula (pengaduk) dan didistribusikan
merata dalam adukan dengan hasil pembentukan lebih banyak nukleus kristalisasi.
Semakin lama pengadukan maka akan meningkatkan jumlah nukleus kristalisasi dari
partikel dihidrat. Akibatnya, jalinan ikatan kristalin yang terbentuk akan semakin
banyak, pertumbuhan internal dan dorongan keluar dari kristal-kristal dihidrat

Universitas Sumatera Utara

meningkat. Hal ini yang menyebabkan setting ekspansi gipsum meningkat sejalan
dengan semakin lamanya waktu pengadukan (Anusavice, 2013).
2.8.1.4 Retarder
Retarder merupakan suatu bahan kimia yang ditambahkan pada gips dan
berguna untuk memperlambat setting time. Beberapa contoh adalah NaCl > 20%,
natrium sulfat > 3,4%, asetat, dan boraks. Penambahan retarder seperti boraks dapat
mengurangi ekspansi dengan mengubah bentuk kristal dihidrat. Kristal akan menjadi
pendek dan datar serta mencegah pertumbuhan lebih lanjut sehingga dapat
mengurangi ekspansi gypsum (Manappallil, 2008).
2.8.1.5 Aselerator
Aselerator merupakan bahan kimia yang dapat mempercepat reaksi
pengerasan. Penambahan aselerator membuat dihidrat kurang larut dibandingkan
hemihidrat yang menyebabkan reaksi pengerasan bergerak menuju dihidrat sehingga
reaksi pengerasan menjadi lebih cepat. Penambahan bahan aselerator juga
mempunyai efek untuk menurunkan nilai setting expansion dengan cara mengubah
bentuk kristal dihidrat yang terbentuk. Beberapa contoh aselerator yaitu natrium klorit
2%, natrium sulfat 3,4%, kalium sulfat dengan konsentrasi di atas 2%, dan kalsium
sulfat.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2.11 Hipotesis
Berdasarkan rumusan di atas maka dapat disusun hipotesis penelitian bahwa:
4. Ada pengaruh perendaman cetakan alginat pasien pasca hemimaksilektomi
dengan larutan sodium hipoklorit 0,5% selama 2 dan 4 menit terhadap jumlah
Klebsiellla pneumoniae pada cetakan alginat.

5. Ada pengaruh perendaman cetakan alginat pasien pasca hemimaksilektomi
dengan larutan sodium hipoklorit 0,5% selama 2 dan 4 menit terhadap jumlah
Klebsiella pneumoniae pada model.

6. Ada pengaruh perendaman cetakan alginat dengan larutan sodium
hipoklorit 0,5% selama selama 2 dan 4 menit terhadap perubahan dimensi model.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 1 28

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 0 2

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 1 9

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model Chapter III V

0 0 43

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 0 2

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

1 4 20

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

0 0 2

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

0 0 7

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

0 3 26

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

0 0 5