Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Cetak Alginat
Bahan cetak alginat merupakan bahan cetak hidrokoloid bersifat ireversibel
yang telah diperkenalkan sejak tahun 1940. Bahan cetak alginat bersifat hidrofilik
sehingga dapat mencetak detail jaringan keras dan lunak dalam keadaan lembap
(Nassar, 2011).
2.1.1 Komposisi Bahan Cetak Alginat
Komponen aktif utama bahan cetak hidrokoloid ireversibel adalah salah satu
alginat yang larut air, seperti natrium, kalium, atau alginat trietanolamin. Bila alginat
larut air dicampur dengan air, bahan tersebut akan membentuk sol. Bubuk alginat
yang diproduksi pabrik mengandung sejumlah komponen. Komposisi alginat
bervariasi tergantung pada produsen, namun ada konsentrasi relatif konsisten untuk
masing-masing bahan (McCabe, 2008). Tabel 2.1 menunjukkan suatu formula untuk
komposisi bubuk bahan cetak alginat dengan fungsi dari masing-masing komponen
(Anusavice, 2013; McCabe, 2008).
Tabel 2.1 Komposisi bubuk bahan cetak alginat (Anusavice, 2013)
Komponen

Potassium alginat
Kalsium sulfat
Oksida seng
Kalium titanium fluorid
Diatomaceous earth
Natrium fosfat

Persentase
15
16
4
3
60
2

Fungsi
Melarutkan alginat dalam air
Reaktor
Partikel pengisi
Pemercepat

Partikel pengisi
Bahan perlambat

Pada proses gelasi bubuk alginat yang dicampur air akan menghasilkan bentuk
pasta. Dua reaksi utama terjadi ketika bubuk bereaksi dengan air selama proses
setting. Tahap pertama, sodium fosfat bereaksi dengan kalsium sulfat yang
menyediakan waktu pengerjaan yang adekuat (Anusavice, 2013).
2Na3PO4 + 3CaSO4 → Ca3(PO4)2 + 3Na2SO4

Universitas Sumatera Utara

9

Tahap kedua, setelah sodium fosfat telah bereaksi, sisa kalsium sulfat bereaksi
dengan sodium alginat membentuk kalsium alginat yang tidak larut, yang dengan air
akan membentuk gel:
a alginat
(bubuk)

a


a alginat
(gel)

a

Menurut kecepatan proses gelasinya, alginat dibedakan menjadi dua jenis,
yakni: (McCabe, 2008)
a. Quick Setting Alginate, mengeras dalam 1 menit dan digunakan untuk
mencetak rahang anak-anak atau penderita yang mudah mual.
b. Regular Setting Alginate, mengeras dalam 3 menit dan dipakai untuk
pemakaian rutin.
2.1.2 Pemanipulasian Bahan Cetak Alginat
Peralatan yang bersih merupakan faktor penting karena kontaminasi selama
pengadukan dapat membuat bahan mengeras terlalu cepat, kekentalannya tidak
sempurna, atau dapat menyebabkan cetakan robek saat dikeluarkan dari rongga mulut
(Anusavice, 2013). Bubuk alginat harus ditimbang dan air ditakar mengikuti petunjuk
pabrik. Air yang digunakan sebaiknya air destilasi steril karena apabila air
mengandung banyak mineral maka akan memengaruhi keakuratan dan setting time
dari bahan cetak alginat (Nassar, 2011). Air yang digunakan sebaiknya steril untuk

menghindari kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari air (Correia-Sousa,
2013).
Lama penyimpanan bubuk bahan cetak alginat dipengaruhi temperatur
penyimpanan dan kontaminasi kelembapan udara yang merupakan faktor utama.
Bahan yang sudah disimpan selama satu bulan pada 65ºC tidak dapat digunakan
dalam perawatan gigi, karena bahan tersebut tidak dapat mengeras sama sekali atau
mengeras terlalu cepat. Bahan cetak alginat harus disimpan pada lingkungan yang
dingin dan kering (Anusavice, 2013; McCabe, 2008).
Bahan cetak alginat dikemas dalam kemasan tertutup secara individual dengan
berat bubuk yang sudah ditakar untuk membuat satu cetakan atau dalam jumlah besar

Universitas Sumatera Utara

10

di kaleng. Bubuk yang dibungkus per kantung lebih disukai karena mengurangi
kontaminasi selama penyimpanan dan perbandingan air dengan bubuk lebih terjamin
karena dilengkapi dengan takaran plastik untuk mengukur banyaknya air (McCabe,
2008).
2.1.2.1 Teknik Pencampuran Bahan Cetak Alginat

Teknik pencampuran bahan cetak alginat adalah sebagai berikut: (Mc Daniel,
2012)
a. Pencampuran manual (manual mixing)
Ketika bahan cetak alginat yang dicampur manual menggunakan mangkuk
dan spatula (Gambar 2.1), udara berpotensi besar terjebak. Untuk teknik
pencampuran manual, beberapa penulis menentukan bahwa operator harus
menambahkan bubuk perlahan-lahan ke dalam air yang sudah ditakar pada rubber
bowl untuk meminimalkan pembentukan gelembung. Selama pencampuran manual,
alginat dicampur dan diaduk selama 60 detik, sesuai petunjuk pabrik.

Gambar 2.1 Rubber bowl dan
spatula (Mc Daniel,
2012)

b. Pencampuran mekanis (mechanical mixing)
1. Spinning mixing
Alat semi automatic mechanical mixing disebut spinning bowl (Cadco
Alginator II-Dux Dental) merupakan rubber bowl konvensional yang terpasang pada
spinning turntable (Gambar 2.2.a). Setelah penambahan bubuk alginat ke dalam air
pada rubber bowl, turntable diaktifkan dan operator memposisikan spatula di dalam


Universitas Sumatera Utara

11

mangkuk, sehingga terjadi pencampuran dan oleskan alginat ke dinding rubber bowl.
Pencampuran membutuhkan waktu 30 detik.
2. Centrifuge mixing
Alat centrifuge mixing disebut centrifugal force mixer (Rite-Dent Alginate
Mixing Machine-Rite-Dent Manufacturing Corporation) (Gambar 2.2.b). Bubuk
alginat dan air ditambahkan ke dalam wadah pencampuran dan dimasukkan ke dalam
centrifugal force mixer. Tutup mixer ditutup, diaktivasi dan mesin mencampur selama
10 detik. Wadah dikeluarkan dari mixer dan adonan alginat dikeluarkan dengan
spatula.
3. Vacuum mixing
Alat yang untuk vacuum mixing sering disebut vacuum mixer (Whip Mix
Vac-U-Mixer-Whip Mix Corporation) (Gambar 2.2c). Vacuum mixer menggunakan
mangkuk dengan tutup kedap udara. Tutupnya memiliki spatula berputar yang
beroperasi dalam kondisi vakum ketika terhubung ke Whip Mix Unit. Setelah
pencampuran selama 15 detik, tutup dibuka dan adonan alginat dikeluarkan dengan

spatula.

a

b

c

Gambar 2.2 (a) Cadco Alginator II (Dux Dental); (b) Rite-Dent Alginate Mixing Machine
(Rite-Dent Manufacturing Corporation); (c) Whip Mix Vac-U-Mixer (Whip
Mix Corporation) (Mc Daniel, 2012)

Penggunaan alat pencampuran mekanis (mechanical mixing device) dapat
mengurangi porositas. Udara yang terjebak atau porositas pada cetakan alginat dapat
memengaruhi keakuratan cetakan dan model (Culhaoglu, 2014). Porositas permukaan

Universitas Sumatera Utara

12


pada cetakan secara signifikan minimal untuk pencampuran dengan centrifugal mixer
bila dibandingkan dengan manual, sedangkan porositas internal secara signifikan
lebih sedikit untuk pencampuran dengan centrifugal mixer dibandingkan dengan
semua teknik pencampuran lain (Mc Daniel, 2012).
2.1.3 Sifat-Sifat Bahan Cetak Alginat
2.1.3.1 Waktu Kerja (Working Time)
Bahan fast-set memiliki waktu kerja 1,25-2 menit, sedangkan waktu bahan
regular-set biasanya 3 menit, tapi mungkin bisa selama 4,5 menit. Dengan waktu
pencampuran 45 detik untuk jenis fast-set, 30-75 detik sisa waktu kerja sebelum
penempatan sendok cetak. Untuk bahan regular-set, waktu pencampuran 60 detik,
2-3,5 menit sisa waktu kerja untuk bahan yang mengeras 3,5-5 menit (Sakaguchi,
2012).
2.1.3.2 Waktu Pengerasan (Setting time)
Waktu pengerasan berkisar antara 1-5 menit. ANSI/ADA (American National
Standards

Institute/American

Dental


Association)

spesifikasi

[International Organization for Standardization] 1563)

No.18

(ISO

mensyaratkan bahwa

minimal nilai yang terdaftar oleh produsen dan setidaknya 15 detik lebih lama dari
waktu kerja. Menggunakan air yang lebih dingin dari 18°C atau lebih hangat dari
24°C tidak dianjurkan. Waktu pengerasan secara klinis dapat terdeteksi dengan
hilangnya kelengketan permukaan. Jika memungkinkan, cetakan harus dibiarkan di
tempat 2 sampai 3 menit, karena tear strength dan elastic recovery (recovery dari
deformasi) meningkat secara signifikan selama periode ini. Warna alginat yang
berubah memberikan indikasi visual waktu kerja dan waktu pengerasan. Mekanisme
perubahan warna adalah perubahan pH-terkait dari pewarna (Sakaguchi, 2012).

2.1.3.3 Elastic Recovery
Elastic recovery cetakan alginat dikompresi sekitar 10% di daerah undercut
selama pelepasan. Sebenarnya besarnya tergantung pada sejauh mana undercut dan
ruang antara sendok cetak dan gigi. Spesifikasi ANSI/ADA mensyaratkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

13

elastic recovery lebih dari 95% ketika bahan dikompresi 20% selama 5 detik pada
saat itu biasanya akan dikeluarkan dari mulut. Nilai khas untuk elastic recovery
98,2%, sesuai dengan deformasi permanen 1,8% (Sakaguchi, 2012).
2.1.3.4 Pengerutan (Shrinkage) dan Pengembangan (Expand)
Bahan cetak hidrokoloid gel dapat kehilangan kandungan air melalui
penguapan pada permukaan atau cairan merambat ke permukaan dengan proses yang
disebut sineresis. Pengerutan gel merupakan hasil dari penguapan dan sineresis. Bila
gel ditempatkan di dalam air, air akan diabsorpsi dan proses ini disebut imbibisi
(Anusavice, 2013).
2.1.4 Syarat Hasil Cetakan Alginat
Syarat hasil cetakan alginat adalah harus merekam sebagai berikut: (Power,

2008)
a. Semua gigi pada rahang atas dan bawah
b. Seluruh tulang alveolar
c. Daerah hamular notch pada rahang atas
d. Daerah retromolar pada rahang bawah
e. Reproduksi dari sebuah detail, tidak distorsi, dan bubble-free pada jaringan
rongga mulut
2.1.5 Penyimpanan Cetakan Alginat
Cetakan alginat harus segera diisi gips setelah dikeluarkan dari rongga mulut.
Keterlambatan di antara pengambilan cetakan dengan waktu pengisian cetakan
alginat dapat menyebabkan cetakan mengerut (shrinkage), mengembang (expand),
atau terjadinya distorsi selama waktu tersebut. Bila pengisian harus ditunda sebaiknya
cetakan disimpan dalam wadah tertutup seperti kantung plastik atau humidor untuk
menciptakan lingkungan lembap 100% (Anusavice, 2013).

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.6 Keakuratan Cetakan Alginat
Keakuratan cetakan alginat dapat dievaluasi dari stabilitas dimensi dan surface
detail. Keakuratan dimensi dan surface detail merupakan faktor penting untuk
menghasilkan struktur anatomis yang tepat (Power, 2008).
2.1.6.1 Surface Detail Cetakan Alginat
Bahan cetak harus merekam detail dari jaringan keras dan lunak pada rongga
mulut dan detail ini juga harus dapat dipindahkan ke model. Kualitas permukaan yang
kurang baik dengan detail yang rendah dapat berpengaruh terhadap keakuratan
cetakan dan model serta kenyamanan protesa yang akan digunakan pasien. Efek
disinfektan terhadap surface detail menunjukkan bahwa bahan cetak alginat
mempunyai sifat imbibisi yang menyerap disinfektan sehingga menimbulkan
kerusakan pada permukaan alginat (Amin, 2009), karena sifat dari cetakan alginat
yang mempertahankan larutan disinfektan dan disalurkan ke dalam model gipsum,
sehingga memengaruhi surface detail dan kekerasan (hardness). Cetakan harus
didisinfeksi dengan bahan disinfektan yang adekuat dalam jangka waktu yang singkat
sehingga dapat meminimalkan distorsi dan perubahan surface detail pada cetakan dan
model (Sinavarat, 2014). Surface detail cetakan alginat tidak berubah bila konsentrasi
rendah dan waktu pemaparan disinfektan sesingkat mungkin (Amin, 2009).
Permukaan cetakan dapat dinilai melalui reproduksi garis dari test block.
Cetakan diamati di bawah sudut-rendah pencahayaan dengan atau tanpa pembesaran.
Untuk pembedaan yang lebih baik, sebuah sistem pemindaian dengan skor 1-4 adalah
sebagai berikut: (Culhaoglu, 2014)
a. Skor 1: garis jelas, detail yang jelas, garis bersambung (Gambar 2.3.a)
b. Skor 2: garis bersambung dengan keburaman (Gambar 2.3.b)
c. Skor 3: detail yang buruk atau garis tidak bersambung (Gambar 2.3.c)
d. Skor 4: tipis atau tidak tampak sama sekali
Disinfeksi cetakan alginat dengan sodium hipoklorit 0,5% selama 10 menit
menunjukkan

tidak

ada

pengaruh

pada

garis

dengan

diameter

50 µm sebelum dan sesudah disinfeksi (Suprono, 2012).

Universitas Sumatera Utara

15

b

a

c

Gambar 2.3 a. Skor 1: Garis jelas, detail yang jelas, garis bersambung; b. Skor 2: Garis
bersambung dengan keburaman; c. Skor 3: Detail yang buruk atau garis tidak
bersambung (Culhaoglu, 2014).

2.2 Hemimaksilektomi
Hemimaksilektomi merupakan operasi pengangkatan salah satu sisi rahang
atas, termasuk premaksila, rahang atas, dan palatum keras yang dilakukan untuk
pengangkatan tumor di palatum keras, hidung, sinus maksilaris atau tumor lain yang
telah tumbuh melibatkan rahang atas. Pasca hemimaksilektomi akan menimbulkan
defek maksila. Defek maksila yang disebabkan karena tindakan operasi (tumor,
benjolan, kista) merupakan suatu kelainan berbentuk sebuah celah atau
gerong pada rahang atas (Gambar 2.4.a). Defek maksila melibatkan palatum keras
dan palatum lunak yang diperpanjang sampai daerah vellopharyngeal, defek
maksila yang ada ini dapat menyebabkan penderita saat bicara terdengar suara
sengau, dapat pula menyebabkan seseorang mengalami kesulitan saat berbicara,
pengunyahan, menelan, dan estetik (Bidra, 2012). Pasien pasca hemimaksilektomi
yang menjalani terapi radiasi mengalami trismus temporomandibular joint yang dapat
terjadi dengan pengurangan pembukaan mulut (10-15 mm atau kurang) (Vojvodic,
2013).
Rehabilitasi prostetik diperlukan dengan pembuatan obturator (Vojvodic,
2013). Obturator adalah protesa maksilofasial yang digunakan untuk menutup

Universitas Sumatera Utara

16

pembukaan jaringan didapat, terutama dari palatum, dan/atau struktur jaringan
alveolar atau lunak berdekatan yang telah dibuang karena operasi. Pembuatan
obturator definitif dapat dipertimbangkan setelah sekitar 3 bulan setelah terapi radiasi,
walaupun obturator interim (Gambar 2.4.b) dapat dibuat sekitar 10 hari setelah
pembedahan untuk memfasilitasi penutupan defek setelah penyembuhan awal
(Vojvodic, 2013).
Pada luka pasca operasi dapat ditemukan bakteri Gram positif (22,5%) dan
Gram negatif (77,5%). Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri patogen Gram
negatif yang sering ditemukan pada luka pasca operasi berdasarkan penelitian di
rumah sakit Dar Es Salaam, Tanzania pada September 2011 sampai Februari 2012
(Manyahi, 2012).

b

a

Gambar 2.4 (a) Defek maksila pasca hemimaksilektomi; (b) Hollow bulb interim obturator
(Daniel, 2015)

2.3 Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae pertama kali ditemukan oleh Carl Friedlander. Carl
Friedlander mengidentifikasi bakteri Klebsiella pneumoniae dari paru-paru orang
yang meninggal karena pneumonia. Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram
negatif yang berbentuk batang (basil) dan tidak dapat melakukan pergerakan (non
motil). Klebsiella pneumoniae mempunyai diameter berkisar 0,3-1,0 µm dan panjang
0,6-6,0 µm serta terdapat fimbria. Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen,
Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella pneumoniae
berperan

utama

dalam

menyebabkan

infeksi

nosokomial

pada

pasien

immunocompromised (Samaranayake, 2012).

Universitas Sumatera Utara

17

Centers for Disease Control and Prevention (2015) menyatakan untuk
mendapatkan infeksi Klebsiella pneumoniae, seseorang harus terpapar bakteri.
Misalnya, Klebsiella pneumoniae yang masuk ke dalam saluran pernafasan dapat
menyebabkan pneumonia, atau ke dalam darah yang menyebabkan infeksi aliran
darah. Bakteri Klebsiella pneumoniae dapat menyebar melalui kontak orang-ke-orang
(misalnya, dari pasien ke pasien melalui tangan yang terkontaminasi personil
kesehatan, atau orang lain) atau, lebih jarang, oleh kontaminasi lingkungan. Bakteri
ini tidak menyebar melalui udara. Pasien dapat terpapar Klebsiella pneumoniae
melalui ventilator (mesin pernapasan), intravena (pembuluh darah), kateter atau luka
(yang disebabkan oleh cedera atau pembedahan). Alat-alat dan kondisi medis
memungkinkan Klebsiella pneumoniae untuk masuk ke dalam tubuh dan
menyebabkan infeksi.
Untuk mencegah penyebaran infeksi Klebsiella pneumoniae antara pasien,
tenaga kesehatan harus mengikuti tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi
tertentu. Tindakan pencegahan ini dapat mencakup ketaatan kebersihan tangan dan
mengenakan baju pelindung dan sarung tangan saat mereka memasuki kamar di mana
pasien terkait dengan penyakit Klebsiella pneumoniae dirawat. Fasilitas kesehatan
juga harus mengikuti prosedur pembersihan yang ketat untuk mencegah penyebaran
Klebsiella pneumoniae (Siegel, 2007).
Untuk mencegah penyebaran infeksi, pasien juga harus membersihkan tangan
mereka sangat sering, termasuk: (Siegel, 2007)
 Sebelum menyiapkan atau makan makanan.
 Sebelum menyentuh mata, hidung, atau mulut.
 Sebelum dan setelah mengganti perban.
 Setelah menggunakan toilet.
 Setelah meniup dengan hidung, batuk, atau bersin.
 Setelah menyentuh permukaan rumah sakit seperti tempat tidur yang
mempunyai rel, meja samping tempat tidur, gagang pintu, atau telepon.

Universitas Sumatera Utara

18

2.3.1 Klasifikasi Klebsiella pneumoniae
Klasifikasi Klebsiella pneumoniae adalah sebagai berikut
Domain/Kingdom

:

Bacteria

Phylum

: Proteobacteria

Class

:

Order

: Enterobacteriales

Family

: Enterobacteriaceae

Genus

: Klebsiella

Species

: Klebsiella pneumoniae

Gammaproteobacteria

2.3.2 Struktur sel Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae mengandung kapsul besar yang terbuat dari
polisakarida sekitar selnya, sehingga koloni berlendir (mukoid) dan berguna untuk
mempertahankan diri. Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan penyakit karena
mempunyai dua tipe antigen pada permukaan selnya:
1. Antigen O
Antigen O adalah lipopolisakarida yang terdapat dalam sembilan varietas.
2. Antigen K
Antigen K adalah polisakarida yang dikelilingi oleh kapsula dengan lebih dari
77 varietas.
Kedua antigen ini meningkatkan patogenitas Klebsiella pneumoniae.
Selain itu, Klebsiella pneumoniae mampu memproduksi enzim ESBL (Extended
Spectrum Beta-Lactamase) yang dapat melumpuhkan kerja berbagai jenis antibiotik.
Hal ini dapat menyebabkan bakteri kebal dan menjadi sulit dilumpuhkan (Sikarwar,
2011). Klebsiella pneumoniae memiliki karakteristik fiksasi nitrogen. Klebsiella
pneumoniae dapat mengambil gas nitrogen atmosfer dan mengurangi menjadi asam
amonia dan amino. Suhu untuk kondisi pertumbuhan terbaik adalah 37ºC. Klebsiella
pneumoniae efektif memetabolisme melalui fermentasi (Schmitz, 2002).
Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri patogen yang dapat ditemukan
dalam air, limbah, pada hewan dan mamalia. Klebsiella pneumoniae merupakan

Universitas Sumatera Utara

19

penyebab penting infeksi pada manusia. Infeksi atau penyakit biasanya nosokomial
atau didapat di rumah sakit. Penyakit termasuk infeksi saluran kemih dan pneumonia.
Penyakit yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae dapat mengakibatkan
kematian bagi pasien yang imunodefisiensi (Kumar, 2013).
2.3.3 Identifikasi Klebsiella pneumoniae
Identifikasi Klebsiella pneumoniae dapat dilakukan beberapa tahap, yaitu :
a. Kultur bakteri pada Blood Agar
Media blood agar digunakan untuk isolasi, menumbuhkan berbagai macam
bakteri patogen dan menetapkan bentuk hemolisa dari bakteri tersebut. Media kultur
ini kaya nutrien yang menyediakan kondisi pertumbuhan bakteri yang optimal. pH
media ini sekitar 6,8 untuk menstabilkan sel darah merah dan menghasilkan media
hemolisa yang jelas. Kandungan utama pada agar darah adalah nutrien agar dan
5-10% darah domba. Blood agar merupakan media diferensial yang berfungsi
membedakan bakteri berdasarkan kemampuan bakteri melisiskan sel darah merah.
Ekspresi dari hemolisis bakteri dapat diketahui ada atau tidaknya zona bening
di sekeliling koloni bakteri. Terdapat 3 tipe sifat hemolisis yaitu alpha, beta, dan
gamma. Klebsiella pneumoniae tumbuh sebagai koloni yang berwarna, besar, domeshaped, mukoid, dan tidak melisiskan darah (gamma hemolisis (γ-haemolysis)) pada
media blood agar (Kumar, 2013) (Gambar 2.5).
b. Kultur Media MacConkey Agar
Media MacConkey agar termasuk salah satu media isolasi primer. MacConkey
merupakan medium selektif diferensial yang mengandung laktosa dan merah netral
sebagai indikator, sehingga bakteri yang meragikan laktosa akan tumbuh sebagai
koloni berwarna merah yang dapat membedakan dari bakteri yang tidak meragikan
laktosa yang tumbuh sebagai bakteri yang tidak berwarna (Samaranayake, 2012).
Klebsiella pneumoniae tumbuh sebagai koloni yang berwarna merah muda,
membentuk koloni yang mukoid, kapsul polisakarida yang besar, tidak motil, dan
menunjukan positif untuk lisin dekarbosilase dan sitrat. Jika diambil dengan ose,
maka akan tertarik karena pada koloni memiliki kapsul (Kumar, 2013) (Gambar 2.6).

Universitas Sumatera Utara

20

Gambar 2.5 Koloni Klebsiella pneumoniae
pada blood agar (Gamma
hemolisis) (Dok)

Gambar 2.6 Koloni Klebsiella pneumoniae
pada MacConkey agar (Dok)

c. Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram atau metode Gram adalah suatu metode untuk membedakan
spesies bakteri menjadi dua kelompok besar, yakni Gram positif dan Gram negatif,
berdasarkan karakteristik pewarnaan dinding selnya. Reaksi atau sifat bakteri tersebut
ditentukan oleh komposisi dinding selnya (Samaranayake, 2012).
Bakteri Gram positif akan mempertahankan zat warna metil ungu gelap
setelah dicuci dengan alkohol, sementara bakteri Gram negatif tidak. Bakteri Gram
negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat warna metil ungu pada metode
pewarnaan Gram. Pada uji pewarnaan Gram, suatu pewarna penimbal (counterstain)

Universitas Sumatera Utara

21

ditambahkan setelah metil ungu, yang membuat semua bakteri Gram negatif menjadi
berwarna merah atau merah muda. Pengujian ini berguna untuk mengklasifikasikan
kedua tipe bakteri ini berdasarkan perbedaan struktur dinding sel (Samaranayake,
2012).
Perbedaan dasar antara bakteri Gram positif dan Gram negatif adalah pada
komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel dan
membran sitoplasma organisme Gram positif, sedangkan penyingkiran zat lipida dari
dinding sel organisme Gram negatif dengan pencucian alkohol. Bakteri Gram positif
memiliki membran tunggal yang dilapisi peptidoglikan yang tebal (25-50 nm)
sedangkan bakteri negatif lapisan peptidoglikan yang tipis (1-3 nm) (Samaranayake,
2012). Bakteri Klebsiella pneumoniae terlihat berwarna merah, berbentuk batang
lurus berpasangan atau tunggal, pendek, dan memiliki kapsul secara mikroskopik
(Kumar, 2013).
d. Uji biokimia
Uji biokimia dilakukan untuk melihat karakteristik bakteri melalui reaksi
biokimia, yang biasa dilakukan diantaranya: (Sikarwar, 2011)
1. Uji Indol
Uji indol untuk melihat kemampuan suatu organisme menghasilkan indol dari
degradasi asam amino triptopan. Bila positif menghasilkan warna merah sedangkan
apabila negatif menghasilkan warna kuning. Klebsiella pneumoniae merupakan
bakteri dengan indol negatif.
2. Uji metil merah
Uji metil merah digunakan untuk mendeteksi produksi asam kuat selama proses
fermentasi glukosa. Pembentukan asam pada fermentasi glukosa memberikan warna
merah dengan indikator metil merah. Klebsiella pneumoniae menghasilkan warna merah.

3. Uji Voges Proskauer
Voges Proskauer merupakan uji untuk menentukan organisme yang memproduksi
dan mengelola asam dan fermentasi glukosa, memperlihatkan kemampuan sistem buffer
dan menentukan bakteri yang menghasilkan produk netral (asetil metal karbinol atau

Universitas Sumatera Utara

22

aseton) dari hasil fermentasi glukosa. Klebsiella pneumoniae memberikan hasil positif
terhadap reaksi uji Voges-Proskauer.

4. Uji Sitrat (Simmons)
Biakan diinokulasi pada media Simmons sitrat agar dengan inokolum yang tipis
kemudian diinkubasi pada suhu 35ºC selama 48 jam. Jika hasil positif terjadi perubahan
warna indikator dari hijau menjadi biru yang bermakna pertumbuhan bakteri pada
medium sitrat menghasilkan keadaan alkalis dan bakteri telah menggunakan sitrat.
Klebsiella sp. memberikan reaksi positif terhadap penggunaan sitrat.

5. Uji urease
Bakteri tertentu dapat menghidrolisis urea dan membentuk amonia dengan
terbentuknya

warna

merah

karena

adanya

indikator

phenol

red,

Klebsiella pneumoniae pada media urea memiliki pertumbuhan yang lambat,
memberikan hasil positif, dan membentuk amonia.
6. Pergerakan bakteri
Dilakukan untuk mengetahui apakah bakteri ini yang akan diidentifikasi dapat
aktif bergerak (motile). Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang non-motile.
7. Uji Triple Sugar Iron (TSI)
Uji TSI digunakan untuk membedakan bakteri Gram negatif yang memiliki
kemampuan untuk memetabolisme laktosa dan sukrosa, menghasilkan asam dari
fermentasi, memproduksi gas selama proses fermentasi dan menghasilkan H2S
dengan bakteri yang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Media ini terdiri dari
0,1% glukosa, 1% sukrosa, 1% laktosa. Klebsiella pneumoniae memfermentasi
glukosa yang bersifat asam sehingga terbentuk warna kuning.
8. Fermentasi karbohidrat
Media ini berfungsi untuk melihat kemampuan bakteri memfermentasikan
jenis karbohidrat, jika terjadi fermentasi maka media terlihat berwarna kuning karena
perubahan pH menjadi asam. Klebsiella pneumoniae memfermentasi glukosa,
laktosa, maltosa, manitol, dan sukrosa.

Universitas Sumatera Utara

23

2.4 Kontrol Infeksi
Infeksi silang didefinisikan sebagai transmisi agen infeksi antara pasien
dengan dokter gigi, perawat, tekniker dalam lingkungan klinik. Transmisi dapat
terjadi dari seseorang ke orang lain yang berkontak atau melalui suatu objek yang
terkontaminasi (Al-Jabrah, 2007; Almortadi, 2010).
Transmisi infeksi dari seseorang ke orang lain memerlukan: (Lamont, 2006;
Samaranayake, 2012)
a. Sumber infeksi
Sumber infeksi dalam kedokteran gigi sebagian besar berasal dari manusia
termasuk:
- Seseorang dengan penyakit infeksi (contoh: influenza, cacar, atau
tuberkulosis).
- Seseorang dengan infeksi tertentu pada masa prodormal. Selama masa
prodormal atau inkubasi, organisme membelah diri tanpa menunjukkan adanya
infeksi; meskipun pasien sehat pada masa ini, tetapi pasien tersebut merupakan highly
infectious (contoh: infeksi virus, seperti campak, cacar, dan mumps).
- Seseorang yang sehat sebagai pembawa dari penyakit yang disebabkan
mikroorganisme (contoh: Streptococcus pyogenes, Neisseria meningitidis, dan
Haemophilus influenzae).
- Lingkungan sekitar seperti mikroorganisme yang terdapat di udara, biofilm
dalam saluran air pada dental unit, atau pada instrumen (contoh: Acinetobacter,
Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium spp., dan Legionella spp.).
b. Perantara (darah, saliva, instrumen yang terkontaminasi darah, saliva dan
debris).
c. Jalur penyebaran infeksi
- Airborne routes pada infeksi silang yang terdiri dari dust-borne routes
(contoh: Clostridium tetani dari debu yang dapat menyebabkan luka pembedahan
terkontaminasi) dan aerosol routes (mikroorganisme yang tersebar melalui aerosol
yaitu HBV, influenza virus, Mycobacterium tuberculosis, dan Bordetella pertussis).

Universitas Sumatera Utara

24

- Contact routes pada infeksi silang melalui seseorang ke orang lain (melalui
tangan dan pakaian), benda (melalui instrumen, chairs and units dan bahan cetak) dan
cairan (melalui saluran air).
Kontrol infeksi merupakan komponen penting yang harus diterapkan di
lingkungan klinik dan fakultas kedokteran gigi. Banyak penyakit yang dapat
ditularkan dalam kedokteran gigi maka dokter gigi memiliki tanggung jawab dalam
profesinya untuk memastikan keamanan dokter gigi, pasien, perawat, dan tekniker
(Rutala, 2008).
Prosedur kontrol infeksi ada beberapa tahap yaitu: (Rutala, 2008; Rampal,
2010)
a. Evaluasi pasien
Pemeriksaan medis pada pasien diperlukan pada setiap kunjungan. Hal ini
penting karena berhubungan dengan infeksi silang dan dapat memengaruhi perawatan
rongga mulut pada pasien.
b. Perlindungan diri
Perlindungan diri meliputi personal hygiene, clinic clothing, barrier
protection (sarung tangan, masker wajah, kacamata, dan isolasi rubber dam), dan
imunisasi. Personal hygiene seperti kuku jari harus dipotong dan bersih, rambut harus
diikat atau menggunakan hair net, tangan dan lengan sebaiknya dicuci sebelum dan
sesudah berkontak dengan pasien menggunakan sabun antiseptik kemudian
dikeringkan dengan kertas tisu sekali pakai. Hal ini akan mengurangi jumlah
mikroorganisme yang dapat menularkan penyakit. Clinic clothing seperti seragam
yang bersih harus dipakai oleh semua staf di klinik. Seragam juga harus diganti setiap
hari. Barrier protection (sarung tangan sekali pakai, sesuai dengan ukuran tangan,
satu pasang untuk satu pasien dan apabila robek harus segera diganti untuk
melindungi operator dan pasien; masker wajah perlu digunakan karena penggunaan
alat kecepatan tinggi, skeler ultrasonik, penyemprotan udara dan air ke dalam rongga
mulut pasien selama perawatan untuk mencegah terhirupnya aerosol yang
terkontaminasi; kacamata harus digunakan

untuk melindungi mata

ketika

menggunakan handpiece high-speed, scaling (manual atau ultrasonik), polishing, dan

Universitas Sumatera Utara

25

ketika membersihkan instrumen; dan isolasi rubber dam untuk mengurangi aerosol
yang terkontaminasi saliva dan darah) dan imunisasi. Meskipun telah dilakukan
imunisasi, kontrol infeksi tetap diperlukan untuk mencegah penyakit infeksi lainnya.
c. Sterilisasi instrumen
Instrumen harus dibersihkan segera setelah digunakan. Sterilisasi adalah
proses untuk membunuh semua organisme (termasuk sporanya) pada instrumen atau
benda mati, biasanya digunakan pada instrumen yang dapat digunakan kembali.
Autoklaf sangat dianjurkan untuk prosedur sterilisasi. Setelah disterilisasi, instrumen
harus disimpan di tempat yang steril.
d. Menggunakan alat sekali pakai seperti jarum, bur, dan skalpel.
e. Disinfeksi merupakan proses untuk membunuh organisme patogen pada
suatu bahan atau objek. Metode disinfeksi yaitu dengan pemanasan (pasteurisasi; air
mendidih), fisis (ultrasonik), dan kemis.
f. Asepsis laboratorium
Cetakan beserta sendok cetak dan peralatan lain harus dibilas air mengalir atau
dengan bahan disinfektan untuk menyingkirkan saliva dan darah kemudian disimpan
dalam wadah yang sesuai kemudian dikirim ke laboratorium.
g. Limbah
Alat sekali pakai yang tajam seperti jarum, bur, skalpel, dan wadah anestesi
lokal harus ditangani dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya cedera. Semuanya
itu harus diletakkan pada wadah kaku yang dapat disegel sebelum dibuang.
2.5 Disinfeksi
2.5.1 Disinfektan
Disinfektan secara umum dapat dikategorikan mempunyai potensi high,
intermediate, atau low potency, tergantung kemampuannya untuk membunuh
berbagai macam kelompok mikroorganisme: (Samaranayake, 2012)
a. Disinfektan tingkat tinggi (high-level disinfectant)
Disinfektan yang aktif melawan bakteri Gram positif dan Gram negatif, spora,
dan Mycobacterium tuberculosis. Contoh: aldehid (glutaraldehid, paraformaldelhid,

Universitas Sumatera Utara

26

formaldelhid). Glutaraldelhid merupakan disinfektan yang bersifat tuberkulosidal,
fungisidal, virusidal, dan bakterisidal tetapi tidak bersifat sporosidal. Glutaraldehid
mampu mengalkilasi kelompok sulfahydryl, hydroxyl, carboxyl, dan amino pada
mikroorganisme, yang mana mengubah sintesis RNA, DNA, dan protein.
b. Disinfektan tingkat sedang (intermediate-level disinfectant)
Disinfektan yang menghancurkan Mycobacterium tuberculosis, bakteri
vegetatif, kebanyakan virus dan fungi, tetapi sedikit spora. Contoh: chlorine (sodium
hipoklorit), phenolic (Chloroxylenol), iodophor (povidone iodine), alcohol (alkohol
70%, isopropyl). Chloroxylenol adalah fenol yang tidak mengiritasi, digunakan secara
umum sebagai antiseptik, lemah melawan banyak bakteri dan kegunaannya terbatas
untuk disinfeksi secara lokal. Iodophor merupakan disinfektan yang bersifat
tuberkulosidal, fungisidal, virusidal, dan bakterisidal tetapi tidak bersifat sporosidal.
Iodophor dapat melakukan penetrasi dengan cepat ke dalam dinding sel
mikroorganisme dan efek letal dipercaya dapat mengganggu struktur protein dan
asam nukleat dan sintetis. Alkohol 70% merupakan disinfektan yang bersifat
bakterisidal,

tuberkulosidal,

fungisidal,

dan

virusidal

tetapi

tidak

dapat

menghancurkan spora bakteri. Aksi antimikroba dari alkohol yaitu denaturasi protein.
c. Disinfektan tingkat rendah (low-level disinfectant)
Disinfektan membunuh kebanyakan bakteri dan fungi, tetapi bukan
Mycobacterium tuberculosis atau spora. Contoh: Quaternary ammonium compounds
(QUATS). Quaternary ammonium compounds (QUATS) digunakan sebagai
campuran dan sering dikombinasi dengan disinfektan lainnya, seperti alkohol.
QUATS memiliki aktivitas yang baik terhadap beberapa bakteri vegetatif dan virus
yang mengandung lemak. Jenis tertentu (misalnya benzalkonium klorida) digunakan
sebagai antiseptik. Aktivitas kuman pada jenis QUATS tertentu dapat berkurang
karena bahan organik, kesadahan air dan deterjen anionik sehingga diperlukan prapembersihan.

Universitas Sumatera Utara

27

2.5.1.1 Sodium Hipoklorit
Sodium hipoklorit adalah salah satu bahan kimia yang berfungsi sebagai
disinfektan

karena

dapat

melepaskan

klorin

yang

mampu

membunuh

mikroorganisme. Sodium hipoklorit termasuk golongan halogen yang teroksigenasi.
Bahan tersebut bekerja cepat, sangat efektif melawan virus hepatitis B dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Fukuzaki, 2006).
Struktur kimia sodium hipoklorit adalah NaOCl. Sodium hipoklorit diproduksi
dengan adanya reaksi antara gas klorin (Cl 2) dengan larutan sodium hidroksida
(NaOH) yang akan menghasilkan sodium hipoklorit (NaOCl), garam (NaCl) dan air
(H2O). Reaksi adalah seperti berikut:
Cl2 + 2NaOH ⇌ NaOCl + NaCl + H2O

Sodium hipoklorit dapat melepaskan klorin sehingga dapat menjadi bahan
antimikroba yang mampu membunuh mikroorganisme. Ketika sodium hipoklorit larut
dalam air akan terbentuk asam hipoklorit atau ion hipoklorit. Asam hipoklorit
kemudian terdegradasi membentuk asam klorida dan oksigen. Oksigen merupakan
oksidator yang sangat kuat, oleh karena itu, sodium hipoklorit sering digunakan untuk
membunuh bakteri, virus, dan jamur. Larutan ini bermanfaat karena kemampuannya
mengoksidasi dan menghidrolisa sel dan secara osmosis mengalirkan air keluar dari
sel akibat sifatnya yang hipertonis. Sodium hipoklorit mempunyai pH antara 11-12.
Biofilm dilarutkan dan efek antimikrobanya mampu masuk lebih dalam dan
membersihkan area yang terinfeksi secara lebih baik (Rutala, 2008). Efektivitas dari
sodium hipoklorit pada proses disinfeksi tergantung konsentrasi klorin yang tersedia
dan pH larutan (Fukuzaki, 2006).
Mekanisme kerja sodium hipoklorit terhadap mikroorganisme adalah
berdasarkan kemampuan penetrasi ke dalam sel mikroorganisme melalui dinding sel
dan membran plasma dengan menghambat aktivitas enzim yang penting untuk
pertumbuhan

mikroorganisme

dan

merusak

membran

plasma

dan

DNA

mikroorganisme (Fukuzaki, 2006).

Universitas Sumatera Utara

28

Sodium hipoklorit berupa larutan berwarna putih agak kekuningan, berbau
khas dan sedikit menyengat. Sodium hipoklorit adalah salah satu zat aktif yang jika
dilarutkan dalam air akan menimbulkan efek bleaching karena dapat melepaskan ion
klorida ke dalam larutan dan juga efektif digunakan untuk pemurnian permukaan,
pemutih, penghilang bau, dan disinfektan air. Sodium hipoklorit yang sering
digunakan sebagai pemutih rumah tangga (household bleach) mempunyai konsentrasi
5,25%. Larutan dengan konsentrasi yang rendah, sebagai contoh sodium hipoklorit
1%, dapat ditoleransi oleh jaringan karena compatible secara biologi. Centers for
Disease Control and Prevention (2003) merekomendasikan penggunaan sodium
hipoklorit sebagai salah satu bahan disinfektan yang dapat digunakan untuk disinfeksi
cetakan alginat dengan pengenceran 1:10 (0,525%).
Penggunaan sodium hipoklorit sebagai bahan disinfektan pada cetakan alginat
terdapat keuntungan dan kekurangan. Keuntungan penggunaan sodium hipoklorit
sebagai bahan disinfektan adalah dapat membunuh bakteri Gram positif dan Gram
negatif, spora, Mycobacterium tuberculosis, HIV dan HBV, mudah diperoleh, harga
murah, mudah digunakan, dan fast acting. Kekurangan penggunaan sodium hipoklorit
sebagai bahan disinfektan adalah dapat mengalami inaktif bila permukaan yang akan
didisinfeksi terdapat bahan organik (saliva, darah, debris) sehingga harus dibersihkan
terlebih dahulu, dapat mengiritasi kulit dan membran mukosa, harus digunakan pada
ruangan dengan ventilasi yang baik dan sangat toksik bila dicampur amonia
(Fukuzaki, 2006).
2.5.2 Metode Disinfeksi
Metode disinfeksi yang dapat diaplikasikan pada cetakan alginat secara kimia
ada dua yaitu: (Correia-Sousa, 2013)
a. Perendaman
Metode perendaman dapat dilakukan dengan cara merendam seluruh
permukaan cetakan alginat dalam cairan disinfektan dengan konsentrasi dan waktu
tertentu. Kelebihan metode perendaman yaitu cairan disinfektan dapat mencakup
seluruh permukaan hasil cetakan dan menurunkan risiko partikel-partikel larutan

Universitas Sumatera Utara

29

disinfektan terhirup. Kekurangan metode perendaman yaitu distorsi hasil cetakan
alginat bila direndam terlalu lama (Bustos, 2010).
Cetakan yang direndam dalam sodium hipoklorit konsentrasi 0,5%-1% selama
10-15

menit

mampu

menghambat

pertumbuhan

mikroorganisme

seperti

Streptococcus sanguis,

Streptococcus pyogenes, Streptococcus

agalactiac,

Staphylococcus aureus,

Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa

(Memarian, 2007). Disinfeksi cetakan dengan perendaman dalam sodium hipoklorit
0,5% selama 10 menit paling efisien dimana mikroorganisme berkurang sampai
99,99% (Correia-Sousa, 2013). Cetakan alginat yang direndam dengan sodium
hipoklorit 0,5% selama 10 menit menghasilkan perubahan dimensi yang kecil
sehingga tidak signifikan secara klinis dan tidak terdapat pengaruh terhadap kualitas
permukaan cetakan alginat (Amin, 2009). Kekurangan metode perendaman cetakan
alginat dengan menggunakan sodium hipoklorit 0,5% dapat diatasi dengan
mempersingkat waktu perendaman yang kurang dari 10 menit supaya tidak terjadi
perubahan surface detail dan mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme
yang terdapat pada cetakan.
b. Penyemprotan
Metode penyemprotan dapat dilakukan dengan cara menyemprot cairan
disinfektan dengan menggunakan sprayer pada hasil cetakan alginat yang akan
didisinfeksi kemudian dibiarkan dalam waktu tertentu. Keuntungan metode
penyemprotan yaitu lebih sederhana dan cepat dan kemungkinan terjadinya distorsi
lebih rendah. Kekurangan metode penyemprotan yaitu tidak semua permukaan hasil
cetakan tercakup dengan sempurna terutama daerah undercut dan partikel-partikel
cairan disinfektan dapat terhirup oleh operator (Grahramanloo, 2009). Waktu
perendaman maupun penyemprotan tergantung jenis disinfektan dan potensi bahan
cetak mengabsorbsi cairan (Hiraguchi, 2012; Amin, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.6 Kerangka Teori

30

Universitas Sumatera Utara

31

Bahan cetak alginat digunakan untuk mencetak detail jaringan keras dan lunak
pasien pasca hemimaksilektomi. Sebelum kita melakukan pengambilan cetakan
sebaiknya kita mengetahui komposisi, pemanipulasian, sifat-sifat bahan cetak alginat
dan penyimpanan cetakan alginat. Pemanipulasian bahan cetak alginat memerlukan
teknik pencampuran bahan cetak. Teknik pencampuran bahan cetak ada dua yaitu
pencampuran manual dan mekanis. Pencampuran mekanis meliputi spinning mixing,
centrifuge mixing, dan vacuum mixing.
Pengambilan cetakan alginat dilakukan pada pasien pasca hemimaksilektomi.
Bakteri Klebsiella pneumoniae yang terdapat pada pasien hemimaksilektomi
ditemukan di cetakan alginat. Pencegahan terhadap infeksi silang yang dapat terjadi
dari pasien ke dokter gigi, perawat, dan tekniker maka diperlukan kontrol infeksi
dengan mendisinfeksi cetakan alginat. Syarat disinfektan yaitu efektif sebagai
antimikroba dan tidak ada respon negatif terhadap keakuratan cetakan. Disinfektan
secara umum dapat dikategorikan mempunyai potensi high, intermediate, atau low
potency, tergantung kemampuannya untuk membunuh berbagai macam kelompok
mikroorganisme. Cetakan alginat yang terdapat Klebsiella pneumoniae didisinfeksi
menggunakan disinfektan sodium hipoklorit 0,5% yang merupakan salah satu
disinfektan kategori intermediate dengan metode semprot dan rendam.
Setelah dilakukan disinfeksi dilakukan evaluasi apakah ada pengaruh
disinfeksi cetakan alginat dengan menggunakan sodium hipoklorit metode rendam
terhadap jumlah Klebsiella pneumoniae dan keakuratan cetakan terutama surface
detail cetakan alginat.

Universitas Sumatera Utara

2.7 Kerangka Konsep

32

Universitas Sumatera Utara

33

2.8 Hipotesis
Berdasarkan rumusan di atas maka dapat disusun hipotesis penelitian bahwa:
1. Bakteri Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri dominan pada pasien
pasca hemimaksilektomi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ada pengaruh perendaman cetakan alginat pasien pasca hemimaksilektomi
dengan larutan sodium hipoklorit 0,5% selama 1, 3, dan 5 menit terhadap jumlah
bakteri Klebsiella pneumoniae.
3. Tidak ada pengaruh perendaman cetakan alginat dengan larutan sodium
hipoklorit 0,5% selama 1, 3, dan 5 menit terhadap surface detail cetakan alginat.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 1 28

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 0 2

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 1 9

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 0 38

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Dengan Sodium Hipoklorit 0,5% Terhadap Jumlah Klebsiella pneumoniae dan Perubahan Dimensi Model

0 0 2

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

1 4 20

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

0 0 2

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

0 0 7

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi Chapter III V

0 1 33

Pengaruh Sodium Hipoklorit 0,5% terhadap Pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dan Surface Detail Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi

0 0 5