Perbandingan Formulasi Mikonazol Nitrat dalam Sediaan Nanoemulsi dan Krim terhadap Aktivitas Antijamur Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Candida albicans

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kulit Karena Infeksi Jamur (Dermatomikosis)
Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut dan mukosa
yang disebabkan infeksi jamur (Marwali, 2000). Dermatomikosis mempunyai arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit (Djuanda, 2005). Faktor
yang mempengaruhi terjadinya penyakit kulit antara lain iklim yang panas, tingkat
pengetahuan, pendidikan dan personal hygiene masyarakat yang rendah. Oleh
karena itu, infeksi jamur pada umumnya terjadi di negara-negara tropis dan
diperparah oleh mengenakan pakaian yang tidak menyerap keringat (Havlickova
dan Friedrich, 2008).
Kondisi dengan kelembaban tinggi merupakan lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan jamur penyebab penyakit kulit (Sarudji, 2010). Jamur penyebab
penyakit kulit bertahan pada temperatur 25-280C dan dapat menginfeksi kulit
manusia didukung oleh kondisi hangat dan lembab (Havlickova dan Friedrich,
2008). Ruangan tertutup yang kurang ventilasi serta terdapat banyak manusia di
dalamnya akan memiliki kelembaban lebih tinggi dibanding di luar ruangan
(Sarudji, 2010).
2.1.1 Macam-macam dermatomikosis
a. Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh dermatofita
yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya

8
Universitas Sumatera Utara

sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin, seperti stratum
korneum pada epidermis, rambut, dan kuku (Verma, 2008).
Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial yang
terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Kemampuannya untuk membentuk ikatan molekuler terhadap keratin dan
menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan mereka mampu
berkolonisasi pada jaringan keratin. Jamur ini hanya menginfeksi jaringan keratin
superfisial seperti kulit, rambut dan kuku sehingga dermatofita disebut sebagai
jamur keratinofilik (Djuanda, 2007).
Penamaan kelainan akibat jamur memiliki aturan tertentu. Kata pertama
biasanya diawali ”tinea” dan diikuti oleh kata kedua yang menyatakan lokasi
tubuh yang terinfeksi. Gambaran klinik jamur dermatofita menyebabkan beberapa
bentuk klinis yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan klinis yang berbeda
tergantung lokasi anatominya (Djuanda, 2005).

Bentuk-bentuk gejala klinis dermatofitosis:
1. Tinea korporis
Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus
skin) di daerah muka, badan, lengan dan glutea. Penyakit ini lebih sering
menyerang anak-anak dari pada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat
infeksi baru pertama kali (Djuanda, 2007). Gejala tinea korporis bervariasi, mulai
dari rasa gatal disertai kemerahan, skuama yang semakin parah dan besar. Gejala
tersebut dapat berakhir dengan peradangan, krusta, papul, vesikel, dan bahkan
bulla (Jack, 2015).

9
Universitas Sumatera Utara

Tinea korporis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang
mempunyai sifat mencernakan keratin. Penyebab tersering adalah Trichophyton
rubrum dan Trichophyton mentagropytes. Gambaran klinis yaitu keluhan gatal
terutama bila berkeringat. Oleh karena gatal dan digaruk, lesi semakin meluas,
terutama di daerah kulit yang lembab. Kelainan yang terlihat dalam klinis
merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama,
kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih

tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan
kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir polisiklik, karena
beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Khas dari infeksi ini ada central healing
(Djuanda, 2007).

Gambar 2.1 Gambaran klinis dari tinea korporis
2. Tinea kruris
Tinea Kruris adalah penyakit jamur dermatofita didaerah lipat paha,
genital dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan
dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat
terbatas pada daerah genitokrural saja, atau meluas kedaerah sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Penyebab utama

10
Universitas Sumatera Utara

infeksi ini adalah Epidermophyton floccosum lalu diikuti oleh Trichophyton
mentagrophytes dan Trichophyton rubrum. Ketiga spesies ini merupakan
dermatofit yang menyukai daerah yang hangat dan lembab pada intertriginosa dan

kulit yang mengalamin oklusi seperti disela paha (Djuanda, 2007).
Tinea kruris sering terdapat di daerah dengan iklim hangat, lembab, dan
faktor predisposisi meliputi sepatu tertutup dan sering terpapar. Tinea kruris
adalah invasi folikel rambut, ini paling sering terjadi pada musim panas, pada pria
muda, dan orang dengan pakaian ketat (Budimulja, 2009).
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Bila penyakit ini
menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan (Djuanda, 2007).
Gambaran klinisnya merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi.
Daerah tengahnya biasa lebih tenang, sementara di tepi lebih aktif yang sering
disebut dengan central healing. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak
khas terutama pada pasien imunodefisiensi (Djuanda,2007).

Gambar 2.2 Gambaran klinis dari tinea kruris

11

Universitas Sumatera Utara

3. Tinea pedis
Tinea pedis atau sering juga disebut Athelete foot yaitu merupakan penyakit
yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan
kaki, punggung kaki, serta daerah interdigital. Penyakit ini disebabkan oleh jamur
yang tumbuh dengan subur dalam keadaan lembab. Penyakit ini sering terjadi
pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup dan pada orang
yang sering bekerja ditempat basah, mencuci, disawah dan sebagainya. Keluhan
penderita bervariasi mulai dari tanda keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan
nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan (Madani, 2000).
Tinea pedis merupakan kelainan dermatofitosis terbanyak di dunia.
Dilaporkan 70% dari populasi menderita tinea pedis yang paling banyak
menyerang pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Serta tidak ditentukan dan
dipengaruhi oleh etnik atau ras tertentu. Pada tinea pedis tidak ditemukan
hubungan sebagai penyebab kematian (Cortney dan Robbins, 2015).
Tinea pedis disebabkan oleh jamur Trichophyton mentagrophytes.
Karakteristik Trichophyton mentagrophytes menghasilkan jenis yang relatif tidak
ada peradangan dari dermatofitosis dengan eritema kusam dan sisik keperakan
yang melibatkan seluruh telapak kaki dan sisi kaki menampilkan moccasin

(Chamlin, et al., 2008).
Ada 3 bentuk gambaran klinis yang sering dijumpai pada tinea pedis yaitu:
- Bentuk intertriginosa
Tampak lesi bentuk maserasi, deskuamasi dan erosi, berwama putih dan
basah di sela-sela jari. Bila penyakit kronik terlihat fisura (retak-retak) yang nyeri
bila tersentuh atau kena air sabun.

12
Universitas Sumatera Utara

- Bentuk vesikuler akut
Dijumpai vesikel dan bula di bawah kulit terutama pada telapak kaki
bagian tengah kemudian meluas. Sering disertai infeksi sekunder, keluhan
penderita di sini berupa perasaan gatal dan sakit.
- Bentuk hiperkeratotik
Tampak

pengelupasan

kulit


terus-menerus

disertai

eritama

dan

hiperkeratosis. Bila hiperkeratosis hebat dapat timbul fisura yang dalam. Daerah
yang paling sering dikenai adalah telapak tangan dan kaki.

Gambar 2.3 Gambaran klinis dari tinea pedis
2.2 Antijamur
Menurut Ganiswara (1995), zat antijamur merupakan bahan yang dapat
membasmi jamur pada umumnya, khususnya yang bersifat patogen bagi manusia.
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, senyawa antifungi dibagi atas fungisida dan
fungistatik. Fungisida yaitu senyawa antijamur yang mempunyai kemampuan
untuk membunuh jamur sehingga dinding sel jamur menjadi hancur karena lisis,
akibatnya jamur tidak dapat bereproduksi kembali, meskipun kontak dengan obat

telah dihentikan. Fungistatik yaitu senyawa antijamur yang mempunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur sehingga jumlah sel jamur
yang hidup relatif tetap. Pertumbuhan jamur akan berlangsung kembali bila
kontak dengan obat dihentikan.

13
Universitas Sumatera Utara

Menurut Ganiswara (1995), berdasarkan cara kerjanya, obat antijamur
dibedakan menjadi 4 yaitu :
1) Berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini
mengakibatkan kebocoran membran sel, sehingga terjadi kehilangan beberapa
bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan yang tetap pada sel jamur.
Contoh: nistatin dan amfoterisin.
2) Masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminasi dan dalam
sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminase
menjadi

5-fluorourasil.


Sintesis

protein

sel

jamur

terganggu

akibat

penghambatan langsung sintetis DNA oleh metabolit fluorourasil.
Contoh : flusitosin.
3) Menghambat mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel.
Contoh : griseofulvin.
4) Menimbulkan gangguan terhadap sintesis asam nukleat atau penimbunan
peroksida dalam sel jamur sehingga terjadi kerusakan dinding sel yang
mengakibatkan permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat.
Contoh : imidazol (mikonazol, klotrimazol).

2.2.1 Mikonazol nitrat
2.2.1.1 Struktur kimia mikonazol nitrat (Reynold, 1989)

Gambar 2.4 Struktur kimia mikonazol nitrat

14
Universitas Sumatera Utara

2.2.1.2 Sifat-sifat mikonazol nitrat
Nama

kimia

mikonazol

nitrat

adalah

1-(2,4-dikloro-beta-(2,4-


diklorobenzil) oksi)-fenetil) imidazol mononitrat. Merupakan serbuk hablur, putih
atau praktis putih, berbau lemah. Sangat sukar larut dalam air dan isopropanol,
sukar larut dalam etanol, kloroform, dan propilen glikol, agak sukar larut dalam
metanol, larut dalam dimetilformamid, mudah larut dalam dimetilsulfoksida
(Depkes RI, 1995).
2.2.1.3 Mekanisme kerja mikonazol nitrat
Mikonazol nitrat adalah antijamur spektrum luas dari kelompok imidazol.
Mikonazol nitrat biasanya dioleskan pada kulit atau selaput lendir untuk
menyembuhkan infeksi jamur. Obat ini bekerja dengan menghambat biosintesis
ergosterol pada membran sel jamur yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada
dinding sel jamur, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran, dan pada
akhirnya menyebabkan sel jamur kehilangan nutrisi selulernya. Obat ini terutama
digunakan untuk pengobatan penyakit kulit mikosis (Wyatt, 2001).
2.2.1.4 Farmakodinamika
Mikonazol memiliki aktivitas antifungi terhadap dermatofita dan ragi,
serta memiliki aktivitas antibakteri terhadap basil dan kokus gram positif.
Aktivitas ini menghambat biosintesa ergosterol di dalam jamur dan mengubah
komposisi komponen-komponen lemak di dalam membran, yang menyebabkan
nekrosis sel jamur (Gubbins, 2009).
2.2.1.5 Farmakokinetika
Mikonazol diabsorbsi tidak sempurna pada saluran cerna. Konsentrasi
puncak pada 1 µg/ml plasma dicapai setelah 4 jam setelah pemberian dosis 1

15
Universitas Sumatera Utara

g/hari. Lebih dari 90% dilaporkan terikat pada protein plasma. Mikonazol
dimetabolisme di hati membentuk metabolit inaktif. Pada pemberian secara oral,
sekitar 10-20% diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit, dan sekitar
50% diekskresikan dalam bentuk utuh pada faeces setelah 6 hari. Hanya sedikit
yang diabsorbsi bila diberikan secara topikal. Obat ini tersedia dalam bentuk krim
2% dan bedak tabur, dipakai dua kali sehari, dioleskan secukupnya, merata, pada
kulit yang terinfeksi (Reynold, 1989).
2.2.1.6 Penggunaan Klinik
Mikonazol nitrat diindikasikan untuk infeksi kulit yang disebabkan oleh
dermatofit atau khamir dan fungi lainnya seperti:
1. Pitriasis versikolor (panu)
2. Tinea korporis (kurap di leher/badan)
3. Tinea kruris (kurap di selangkangan)
4. Tinea pedis (kutu air di telapak kaki)
Mikonazol nitrat juga memiliki khasiat antibakteri terhadap bakteri gram
positif, maka dapat juga digunakan untuk mengobati penyakit fungi yang
mengalami infeksi sekunder bakteri (Dismukes, 2000).
2.3 Nanopartikel
Nanosains adalah salah satu penelitian yang paling penting dalam ilmu
pengetahuan modern. Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel
dalam rentang ukuran 1-1000 nm. Beberapa kelebihan nanopartikel adalah
kemampuan untuk menembus ruang-ruang antarsel yang hanya dapat ditembus
oleh ukuran partikel koloidal (Buzea, et al., 2007), kemampuan untuk menembus
dinding sel yang lebih tinggi, baik melalui difusi maupun opsonifikasi, dan

16
Universitas Sumatera Utara

fleksibilitasnya untuk dikombinasi dengan berbagai teknologi lain sehingga
membuka potensi yang luas untuk dikembangkan pada berbagai keperluan dan
target. Kelebihan lain dari nanopartikel adalah adanya peningkatan afinitas dari
sistem karena peningkatan luas permukaan kontak pada jumlah yang sama.
Pembentukan nanopartikel dapat dicapai dengan berbagai teknik yang sederhana.
Nanopartikel pada sediaan farmasi dapat berupa sistem obat dalam matriks seperti
nanosfer, nanokapsul, nanoliposom dan nanoemulsi (Kawashima, et al., 2000).
2.4 Nanoemulsi
Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua fase yang tidak
tercampur, yaitu air dan minyak, dimana cairan yang satu terdispersi menjadi
tetesan kecil (droplet) dalam cairan lainnya yang dstabilkan dengan zat
pengemulsi atau surfaktan yang cocok (Anief, 2000). Tipe emulsi dapat dibuat
berdasarkan perbandingan antara fase minyak dan airnya. Apabila fase minyak
didispersikan ke fase air dalam jumlah yang banyak, maka emulsi merupakan tipe
minyak dalam air dan sebaliknya. Tipe emulsi minyak dalam air lebih disukai
dalam formulasi karena tidak memberikan kesan lengket pada kulit dan lebih
mudah tercucikan (Young, 1972).
Zat pengemulsi atau surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan
antar permukaan sehingga memperlambat kecepatan pemisahan dari kedua fase.
Penggunaan zat pengemulsi pada makroemulsi hanya menunda waktu pemisahan
kedua fase, namun pada nanoemulsi pemisahan antara kedua fase dapat dihindari
karena sediaan ini stabil secara termodinamik (Martin, 2000). Proses
homogenisasi diperlukan untuk memecah tetesan-tetesan minyak kedalam ukuran
yang lebih kecil sehingga dapat dihasilkan emulsi dalam bentuk nano.

17
Universitas Sumatera Utara

Homogenisasi dapat dilakukan dengan magnetic stirrer atau homogenizer dengan
kecepatan yang minimal dimana fase minyak harus diteteskan secara perlahan
kedalam fase air (Young, 1972).
Nanoemulsi merupakan sistem emulsi yang transparan, tembus cahaya dan
merupakan dispersi minyak air yang dstabilkan oleh surfaktan, memiliki ukuran
droplet 2-500 nm (Shakeel, et al., 2008). Nanoemulsi telah diterapkan dalam
berbagai industri farmasi, seperti untuk sistem penghantar transdermal, produk
perawatan tubuh dan pembawa yang baik pada obat sehingga dapat meningkatkan
bioavalabilitas dalam tubuh (Gutierrez, et al., 2008).
Tampilan visual nanoemulsi lebih jernih dibandingkan mikroemulsi
karena mengandung droplet dalam ukuran lebih kecil dari panjang gelombang
pada spektrum tampak (Rajalakshmi, et al., 2011).
Droplet berukuran kecil menyebabkan penurunan gaya gravitasi dan gerak
Brown sehingga mencegah sedimentasi atau creaming dari sediaan selama
penyimpanan (Tadros, 2005). Nanoemulsi memiliki stabilitas dalam jangka
panjang, meningkatkan stabilitas kinetik dan tidak menunjukkan pemisahan atau
pengkeruhan (Kwon, et al., 2014).
2.4.1 Keuntungan nanoemulsi
Nanoemulsi memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut :
1) Ukuran tetesan sangat kecil menyebabkan penurunan pada gaya gravitasi dan
gerak brown yang mungkin cukup untuk mengatasi gravitasi. Hal ini berarti
tidak terjadi creaming atau sedimentasi selama penyimpanan.

18
Universitas Sumatera Utara

2) Ukuran tetesan yang kecil mencegah terjadinya flokulasi dan memungkinkan
sistem untuk tetap tersebar tanpa adanya pemisahan, serta dapat mencegah
koalesens.
3) Nanoemulsi cocok untuk penghantaran bahan aktif melewati kulit. Luas
permukaan yang besar dari sistem emulsi memungkinkan penetrasi yang
cepat dari bahan aktif.
4) Karena ukuran yang kecil, nanoemulsi dapat melewati permukaan kulit yang
kasar dan dapat meningkatkan penetrasi obat.
5) Karena sifatnya yang transparan dan fluiditasnya (pada konsentrasi minyak
yang sesuai) dapat memberikan estetika yang menarik dan menyenangkan
saat digunakan.
6) Ukuran tetesan yang kecil memudahkan penyebarannya dan penetrasi
mungkin dapat ditingkatkan karena tegangan permukaan dan tegangan
antarmuka yang rendah (Swarbrick, 2007).
Nanoemulsi sama seperti mikroemulsi, tipe nanoemulsi dibagi menjadi
minyak dalam air (m/a), air dalam minyak (a/m), dan bicontinuous yang
merupakan bentuk transisi dari tipe m/a dan a/m dengan mengubah volume
minyak dan air, dimana ketiga tipe tersebut bergantung pada konsentrasi dan sifat
kimia surfaktan, minyak, dan bahan yang terlarut didalamnya. Transisi antara
berbagai tipe tersebut dapat terjadi dan disebabkan oleh perubahan suhu atau
modifikasi perbandingan surfaktan dan kosurfaktan (Swarbrick, 2007).
Sebagian besar formula meliputi empat komponen, yaitu minyak, air,
surfaktan, dan kosurfaktan. Sistem yang paling efektif adalah dimana
terbentuknya fase surfaktan. Fase surfaktan dapat mensolubilisasi sejumlah besar

19
Universitas Sumatera Utara

minyak dan air berada dalam kesetimbangan dan menunjukkan tegangan
antarmuka yang rendah antara dua fase (Ansel dan Propovich, 1999).
Solans (2003) mengatakan bahwa pembentukan nanoemulsi memerlukan
pemasukan energi. Energi tersebut diperoleh dari peralatan mekanik ataupun
potensi kimiawi yang terdapat dalam komponen. Meskipun demikian, jumlah
energi yang diperlukan bervariasi. Menurut Fast dan Mecozzi (2009), emulsi akan
terbentuk secara spontan pada penambahan minyak dan surfaktan ke dalam air
karena tegangan antarmuka yang rendah akibat jumlah surfaktan yang besar.
Sistem yang terbentuk secara spontan merupakan sistem yang stabil secara
termodinamika.
2.4.2 Pembuatan nanoemulsi
Nanoemulsi dapat dibuat melalui 3 cara, yaitu:
a. Penggunaan homogenizer bertekanan tinggi
Metode ini menggunakan tekanan tinggi untuk menghasilkan emulsi dalam
ukuran sangat kecil yaitu sekitar 1 nm. Dispersi kedua fase (minyak dan air)
diperoleh dengan melewatkan campuran melalui lubang-lubang kecil pada
tekanan yang sangat tinggi (500-5000 psi), menghasilkan ukuran partikel emulsi
yang sangat halus. Teknik ini sangat efisien namun menghabiskan banyak energi
dan metode ini tidak dapat digunakan untuk zat aktif yang tidak tahan pada
pemanasan karena emulsi dapat mengalami kenaikan suhu selama homogenisasi.
b.

Metode emulsifikasi energi rendah
Emulsifikasi ini meliputi proses penambahan minyak kedalam campuran

air dengan surfaktan atau sebaliknya air dimasukkan kedalam campuran minyak
dengan surfaktan, proses penambahan harus dilakukan dengan tetes demi tetes

20
Universitas Sumatera Utara

kedalam fase pendispersi. Metode ini pada umumnya menghasilkan emulsi
dengan ukuran sekitar 50-500 nm.
c.

Prinsip PIT (Phase Inversion Temperature)
Metode ini dilakukan dengan mengubah faktor yang mempengaruhi HLB,

seperti suhu dan/atau konsentrasi surfaktan. Ketika emulsi minyak dalam air yang
menggunakan surfaktan non ionik dipanaskan hingga mencapai suhu kritis (PIT),
maka emulsi akan berbalik menjadi fase air dalam minyak. Pada suhu ini ukuran
droplet mencapai ukuran minimum dan tegangan antar permukaan juga mencapai
titik minimum, namun droplet kecil ini sangat tidak stabil dan cepat menggumpal.
Apabila didinginkan secara cepat, maka dapat diperoleh droplet berukuran kecil
dan stabil (Rajalakshmi, et al., 2011).
2.4.3 Surfaktan
Surfaktan atau zat aktif permukaan adalah molekul dan ion yang
diadsorpsi pada antar muka. Secara kimia, molekul surfaktan terdiri atas gugus
polar dan non polar. Apabila surfaktan dimasukkan dalam sistem yang terdiri dari
air dan minyak, maka gugus polar akan mengarah ke fase air sedangkan gugus
non polar akan mengarah ke fase minyak. Surfaktan yang memiliki gugus polar
lebih kuat cenderung membentuk tipe minyak dalam air (m/a), sedangkan apabila
gugus non polar yang lebih kuat cenderung membentuk tipe air dalam minyak
(a/m) (Martin, et al., 1993).
Surfaktan yang dipilih harus:
1. Dapat menurunkan tegangan antarmuka untuk membantu proses penyebaran
selama proses pembentukan sistem.

21
Universitas Sumatera Utara

2. Menghasilkan film yang fleksibel yang dapat merusak bentuk tetesan pada
kedua fase sehingga dapat bercampur.
3. Memiliki sifat hidrofil-lipofil untuk memberikan lengkungan yang tepat pada
daerah antarmuka agar dapat terlihat tipe sistem yang diinginkan, m/a, a/m atau
biocontinuous (Swarbrick, 2007).
Molekul surfaktan dapat dikelompokkan berdasarkan sifat alami gugus
hidrofiliknya. Ada empat klasifikasi dari surfaktan, yaitu (Swarbrick, 2007):
1. Surfaktan anionik
Surfaktan ini gugus hidrofiliknya bermuatan negatif.
Contoh: Sodium lauril sulfat, potassium laurat.
2. Surfaktan kationik
Surfaktan ini gugus hidrofiliknya bermuatan positif.
Contoh: Cetrimid, benzalkonium klorida
3. Surfaktan amfolitik (zwitterionik)
Surfaktan ini gugus hidrofiliknya dapat bermuatan negatif dan positif.
Contoh: Lesitin
4. Surfaktan nonionik
Surfaktan ini gugus hidrofiliknya tidak bermuatan.
Contoh: Sotbitan ester (span), polisorbat (tween).
2.4.4

Kosurfaktan
Sebagian besar surfaktan tidak cukup untuk menurunkan tegangan

antarmuka antara minyak dengan air. Fungsi kosurfaktan adalah untuk membantu
menurunkan tegangan antarmuka antara fase air dan fase minyak. Penambahan
kosurfaktan berperan dalam meningkatkan solubilisasi gugus non polar dan

22
Universitas Sumatera Utara

meningkatkan mobilitas ekor hidrokarbon sehingga penetrasi minyak pada bagian
ekor menjadi lebih besar (Swarbrick, 2007).
Kosurfaktan umumnya molekul kecil, khususnya alkohol rantai pendek
hingga sedang (C3-C8) yang dapat berdifusi cepat diantara fase minyak dan air.
Alkohol rantai sedang, seperti pentanol dan heksanol adalah kosurfaktan yang
efektif tetapi sangat berpotensi menimbulkan iritasi. Beberapa peneliti telah
meneliti kemungkinan penggunaan surfaktan nonionink sebagai kosurfaktan
karena iritasinya rendah (Swarbrick, 2007).
2.4.5 Penentuan ukuran nanopartikel
Metode yang paling umum digunakan adalah analisa gambar (mikrografi).
Metode ini meliputi metode mikroskopi dan metode holografi. Alat yang sering
digunakan biasanya SEM, TEM dan AFM. Namun seiring dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan yang lebih mengarah ke era nanoteknologi, para peneliti mulai
menggunakan Laser Diffraction dan Dynamic Light Scattering (DLS). Metode ini
dinilai lebih akurat bila dibandingkan dengan metode analisa gambar maupun
metode ayakan (sieve analyses), terutama untuk sample-sampel dalam ukuran
nanometer. Alat yang sering digunakan untuk mengukur partikel beserta
distribusinya adalah particle size analyzer (PSA). Salah satu metode yang
digunakan alat ini adalah prinsip dynamic light scattering (DLS). Metode ini juga
dikenal sebagai quasi-elastic light scattering (QELS). Alat ini berbasis Photon
Correlation Spectroscopy (PCS). DLS cocok digunakan untuk sampel-sampel
dalam orde nanometer (Soppimath, et al., 2001).
Pengukuran

partikel

dengan

menggunakan

PSA-DLS

biasanya

menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan

23
Universitas Sumatera Utara

dengan metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan
analisa gambar untuk sampel-sampel berukuran kecil. Terutama untuk sampelsampel ukuran nanometer dan submicron yang biasanya memliki kecenderungan
aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media
sehingga partikel tidak saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian
ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil
pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan
sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (Soppimath, et al., 2001).
2.4.6 Stabilitas fisik nanoemulsi
Stabilitas merupakan kemampuan suatu produk obat atau kosmetik untuk
bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan
dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian
produk. Sediaan yang stabil adalah sediaan yang masih berada dalam batas yang
dapat diterima selama periode penyimpanan dan penggunaan. Kestabilan suatu
emulsi ditandai dengan tidak terjadinya creaming atau tetap jernih, tidak
mengalami perubahan pada bau, warna, dan sifat-sifat fisik lainnya (Martin, et al.,
1993).
Beberapa parameter stabilitas fisik nanoemulsi adalah:
a. Organoleptis atau pemisahan fisik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengamati adanya perubahan atau pemisahan
fase, timbulnya bau dan perubahan warna.
b. Viskositas
Viskositas dipengaruhi zat pengental, surfaktan, jumlah fase terdispersi dan
ukuran partikel.

24
Universitas Sumatera Utara

c. Ukuran partikel
Perubahan ukuran partikel rerata atau distribusi ukuran partkel merupakan hal
yang penting, karena diameter partikel nanoemulsi harus berkisar antara 2-500
nm (paling baik dibawah 100 nm).
d. Pemeriksaan pH
Sediaan topikal sebaiknya memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit, yaitu 4,56,5. Apabila pH terlalu basa akan menyebabkan kulit menjadi kering,
sedangkan pH yang terlalu asam akan menimbulkan iritasi pada kulit.
e. Pemeriksaan tipe nanoemulsi
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tipe nanoemulsi yang terbentuk
adalah berupa tipe minyak dalam air (m/a) atau air dalam minyak (a/m).
f. Pemeriksaan tegangan permukaan
Uji ini dilakukan untuk memeriksa tegangan permukaan nanoemulsi yang
terbentuk.
g. Uji mekanik (uji sentrifugasi)
Uji mekanik ini dilakukan untuk mengetahui terjadinya pemisahan fase.
Sediaan disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selam 5 jam atau 5000-10000
rpm selam 30 menit. Hal ini dilakukan karena perlakuan tersebut sama
besarnya dengan pengaruh gaya gravitasi terhadap penyimpanan selama
setahun (Abdulkarim, et al., 2010).
Ketidakstabilan fisik sediaan ditandai dengan adanya pemucatan warna
atau munculnya warna, timbul bau, perubahan konsistensi, pertumbuhan kristal,
terbentuknya gas dan perubahan fisik lainnya (Martin, et al., 1993).

25
Universitas Sumatera Utara

Beberapa ketidakstabilan yang sering timbul dalam sediaan nanoemulsi,
yaitu:
1. Creaming
Creaming adalah pemisahan fase emulsi atau terbentuknya dua lapisan
emulsi akibat perbedaan densitas antara fase terdispersi dan medium pandispersi
karena agregat mempunyai kecendrungan yang lebih besar untuk naik
kepermukaan emulsi. Ketidakstabilan ini bersifat reversibel sehingga dapat
didispersi kembali dengan pengocokan. Untuk mencegah terjadinya creaming,
densitas fase terdispersi dan medium pendispersi harus berkisar sedekat mungkin
(Abdulkarim, et al., 2010).
2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan antara padatan dan cairan karena pengaruh
gaya gravitasi, akibatnya partikel berukuran besar turun dan mengendap di bagian
bawah emulsi (Abdulkarim, et al., 2010).
3. Flokulasi
Flokulasi adalah penggabungan partikel bergantung pada gaya tolakmenolak elektrostatis (zeta potensial). Ketidakstabilan ini masih dapat diperbaiki
dengan pengocokan karena film antar permukaan masih ada (Martin, et al., 1993).
4. Inversi
Inversi adalah peristiwa terjadinya perubahan fase eksternal menjadi fase
internal atau sebaliknya. Inversi fase dapat terjadi karena jumlah fase terdispersi
dan pendispersi yang tidak sesuai, perubahan suhu yang ekstrim, penambahan
bahan yang dapat mengganggu kestabilan emulsi (Abdulkarim, et al., 2010).

26
Universitas Sumatera Utara

5. Koalesens
Koalesens adalah proses ketika tetesan fase dalam mendekat dan
berkombinasi membentuk partikel lebih besar dan menjadi suatu lapisan. Hal ini
terjadi bukan hanya karena energi bebas permukaan tetapi juga karena tidak
semua permukaan partikel terlapisi oleh surfaktan (Martin, et al., 1993).
Ketidakstabilan ini merupakan kerusakan yang lebih besar dari pada creaming.
Usaha untuk menstabilkan kembali keadaan ini tidak dapat dilakukan dengan
pengocokan, namun membutuhkan pengemulsi tambahan dan pemrosesan
kembali (Ansel, 1989).
6. Ostwald Ripening
Ostwald Ripening adalah proses ketika tetesan yang kecil berubah menjadi
besar dan membentuk tetesan yang baru. Fenomena ini berhubungan dengan
sistem yang memiliki ukuran tetesan yang bervariasi. Fenomena koalesens dan
ostwald ripening menyebabkan pemisahan sistem menjadi tiga fase, yaitu fase
internal, eksternal dan emulgator (Abdulkarim, et al., 2010).
Skema kerusakan pada emulsi dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Gambar skema ketidakstabilan emulsi (Tadros, 2005)

27
Universitas Sumatera Utara

2.5 Sediaan Krim
Krim adalah sediaan setengan pada berupa emulsi mengandung air tidak
kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar (Depkes RI, 1979).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah
padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan
dasar yang sesuai (Depkes RI, 1995).
Krim dapat diformulasikan dalam dua tipe yaitu tipe minyak dalam air
(m/a) dan tipe air dalam minyak (a/m). Kedua fase yang berbeda dalam krim
distabilkan dengan penambahan surfaktan (Ansel, 1989). Krim tipe minyak dalam
air lebih disukai konsumen karena tidak memberikan kesan lengket dan
berminyak serta lebih mudah dibersihkan dibandingkan krim tipe air dalam
minyak (Mishra, et al., 2014).
2.6 Permeabilitas dan Penetrasi Kulit
Penyampaian obat melalui kulit menjadi alternatif yang lebih diinginkan
dari pada penyampaian obat secara oral. Penyampaian obat oral sering
menyebabkan gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first paa
metabolism di hati. Absorbsi obat melalui kulit menghasilkan level dalam darah
yang lebih lama dan lebih disukai daripada obat oral (Kumar, et al., 2010).
Permeabilitas kulit adalah kemampuan membran untuk dilalui atau
dimasuki zat aktif atau bahan obat dari luar kulit. Membran pembatas ini adalah
stratum korneum yang bersifat tidak permeabel terutama terhadap zat yang
bersifat larut air (Barry, 1983). Stratum korneum merupakan sawar utama yang
menghambat terjadinya penetrasi (Polano, 1987). Tanpa adanya penetrasi kedalam
kulit, kerja farmakologi tidak akan terjadi.

28
Universitas Sumatera Utara

Penetrasi melalui stratum korneum terjadi secara difusi pasif. Setiap bahan
mempunyai kemampuan tertentu untuk berdifusi, namun bahan-bahan yang larut
dalam lemak lebih mudah berdifusi daripada bahan-bahan yang larut dalam air
(Putro, 1997). Beberapa faktor yang mempengaruhi penetrasi di kulit adalah usia,
jenis kelamin, lokasi kulit, kelembapan kulit, keadaan kulit seperti kulit normal
atau mengalami perubahan, kulit dengan atau tanpa rambut serta kecepatan
metabolisme bahan dalam kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).
Faktor-faktor yang berpengaruh pada bahan yang diaplikasikan pada kulit
antara lain:
a. Besar atau kecilnya molekul dari bahan tersebut
b. Daya larut bahan itu dalam lemak atau air
c. Berbasis lemak atau garam
d. Tingkat keasaman (pH) dari bahan
e. Kecepatan pemberian bahan pada kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).
2.7 Uji Penetrasi in vitro
Studi penetrasi in vitro dilakukan untuk mengukur kecepatan dan jumlah
senyawa yang melewati kulit, dimana hal tersebut bergantung pada obat, bentuk
sediaan, bahan eksipien, bahan peningkat penetrasi dan variabel formulasi lainnya
(Witt dan Bucks, 2003).
Salah satu cara metode in vitro untuk mengukur jumlah obat yang
terpenetrasi melalui kulit yaitu dengan menggunakan sel difusi Franz yang terbagi
atas dua kompartemen yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor yang
terpisahkan oleh suatu pelapis atau potongan kulit. Membran yang digunakan
dalam uji penetrasi ini dapat digunakan membran berupa kulit manusia atau kulit

29
Universitas Sumatera Utara

hewan. Membran diletakkan diantara kedua kompartemen yang dilengkapi 0-ring
untuk menjaga letak membran. Selanjutnya kompartemen reseptor diisi dengan
larutan penerima. Suhu pada sel dijaga dengan air menggunakan water jacket di
sekeliling kompartemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada
membran kulit. Kemudian pada interval waktu tertentu cairan dari kompartemen
reseptor diambil beberapa mL dan segera digantikan dengan cairan yang sama
sejumlah cairan yang diambil. Selanjutnya jumlah obat yang terpenetrasi melalui
kulit dapat dianalisis dengan metode yang sesuai (Fan, et al., 2007).
2.8 Pengujian Aktivitas Antijamur
Pengujian aktivitas antijamur sama artinya dengan menentukan kerentanan
jamur terhadap suatu zat antijamur. Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas
antijamur in vitro antara lain adalah pH lingkungan, komponen media, stabilitas
zat antijamur, ukuran inokulum, masa inkubasi dan aktivitas metabolisme
mikroorganisme (Asmaedy, 1991).
Menurut Ganiswara (1995), metode pengujian aktivitas antijamur in vitro
berdasarkan prinsipnya dibagi menjadi :
a) Metode Difusi
Pada metode ini zat antijamur ditentukan aktivitasnya berdasarkan
kemampuan berdifusi pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji.
Dasar pengamatannya adalah dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan
(daerah bening yang tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan jamur) yang
terbentuk disekeliling zat antijamur.

30
Universitas Sumatera Utara

Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
- Cara cakram (disc)
Pada cara ini dipergunakan cakram kertas saring yang mengandung suatu
zat antijamur dengan kekuatan tertentu yang diletakkan pada lempeng agar yang
telah diinokulasi dengan jamur uji, selanjutnya diinkubasi pada suhu 250C selama
7-14 hari. Pengamatan dilakukan terhadap daerah bening yang terbentuk di
sekeliling kertas cakram yang menunjukkan zona hambatan pertumbuhan jamur.
- Cara sumur
Pada lempeng agar yang telah diinokulasi oleh jamur uji dibuat sebidang
sumur. Sumur kemudian diisi dengan zat uji, diinkubasi 25ºC selama 7-14 hari.
Pengamatan dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di
sekeliling sumur.
b) Metode Dilusi
Pada metode ini zat antijamur dicampur dengan media agar yang
kemudian diinokulasi dengan jamur uji. Pengamatan dilakukan dengan melihat
tumbuh atau tidaknya jamur dalam media. Aktivitas zat antijamur ditentukan
dengan melihat konsentrasi hambat minimum (KHM), yaitu konsentrasi hambatan
terkecil dari zat antijamur yang dapat menghambat pertumbuhan jamur uji.
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara :
- Cara penipisan lempeng agar
Pada cara ini, zat uji diencerkan sehingga diperoleh suatu larutan uji yang
mengandung 100μg/mL, larutan ini sebagai larutan sediaan. Dari larutan sediaan
dibuat secara serial penipisan larutan uji dengan metode pengenceran kelipatan
dua dalam media agar yang masih cair, kemudian dituang ke dalam cawan petri.

31
Universitas Sumatera Utara

Jamur uji diinokulasikan setelah agar membeku dan kering. Zat diinkubasi pada
suhu 250C selama 7-14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM.
- Cara pengenceran tabung
Prinsip dari cara ini adalah penghambatan pertumbuhan jamur dalam
pembenihan cair oleh suatu zat antijamur yang dicampur ke dalam pembenihan.
Zat uji diencerkan secara serial dengan metode pengenceran kelipatan dua dalam
media cair, kemudian diinokulasi dengan jamur uji dan diinkubasi pada suhu 370C
selama 7-14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM.
2.8.1

Parameter aktifitas antijamur

1. Zona Hambat
Menurut Gaman dan Sherrington (1994), metode difusi agar dari prosedur
Kirby-Bauer, sering digunakan untuk mengetahui sensitivitas mikroba. Prinsip
dari metode ini adalah penghambatan terhadap pertumbuhan mikroba, yaitu zona
hambat akan terlihat sebagai daerah jernih di sekitar sumuran yang mengandung
zat antimikrobia. Luas zona hambat pertumbuhan mikrobia menunjukkan
sensitifitasnya terhadap zat antimikrobia yang digunakan. Selanjutnya, dikatakan
bahwa semakin besar luas zona hambat yang terbentuk berarti mikrobia tersebut
semakin sensitif. Zona hambat merupakan tempat mikrobia terhambat
pertumbuhannya akibat senyawa antimikrobia.
2. Konsentrasi Hambat Minimal (KHM)
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) atau lebih dikenal dengan MIC
(Minimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah dari senyawa
antibiotik atau antimikrobia yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba
tertentu (Jawetz dkk., 2001). Menurut Pratiwi (2008), KHM merupakan bagian

32
Universitas Sumatera Utara

dari metode tube dilution. KHM ditentukan dengan mengamati tingkat kekeruhan
pada tabung yang telah dibuat seri pengenceran. Penentuan KHM mula-mula
dilakukan dengan membuat pengenceran ekstrak antijamur pada medium cair
yang ditambahkan dengan jamur uji pada beberapa konsentrasi berbeda dalam
persen (%). Larutan ekstrak antijamur pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan jamur uji ditetapkan sebagai KHM.
3. Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM)
Bahan

antimikrobia

bersifat

menghambat

bila

digunakan

dalam

konsentrasi kecil, namun bila ditingkatkan dapat mematikan mikroorganisme.
Berdasarkan hal tersebut, perlu diketahui KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum)
bahan antimikrobia terhadap mikroorganisme. KBM adalah konsentrasi terendah
bahan antimikrobia yang mematikan. Pada penentuan KBM, uji tidak
menggunakan medium perbenihan sehingga jamur tidak diberi nutrisi untuk
tumbuh sehingga yang dibunuh adalah jamur yang tidak mengalami pertumbuhan
(Lay, 1994).
2.8.2 Tricophyton mentagrophytes
Klasifikasi Tricophyton mentagrophytes:
Kingdom

: Fungi

Phylum

: Ascomycota

Class

: Euascomycetes

Order

: Onygenales

Family

: Arthrodermataceae

Genus

: Trichophyton

Spesies

: Trichophyton mentagrophytes

33
Universitas Sumatera Utara

Bentuk makroskopis Trichophyton mentagrophytes adalah merupakan
tenunan lilin, berwarna putih sampai putih kekuningan yang agak terang atau
berwarna violet merah. Kadang bahkan berwarna pucat kekuningan dan coklat.
Jamur ini merupakan jamur filamentous yang menyerang kulit yang menggunakan
keratin sebagai nutrisinya. Keratin adalah protein utama dalam kulit, rambut dan
kuku. Jamur Trichophyton mentagrophytes tumbuh dengan subur di area yang
hangat dan lembab. Hal tersebut menjadi lazim apabila kita memakai sepatu
berbahan plastik atau berkeringat banyak (Anonim, 2007).
2.8.3 Microsporum canis
Klasifikasi Microsporum canis :
Kingdom

: Fungi

Phylum

: Ascomycota

Class

: Eurotiomycota

Order

: Onygenales

Family

: Arthrodermataceae

Genus

: Microsporum

Spesies

: Microsporum canis
Microsporum canis memiliki konidia yang besar, berdinding kasar,

multiseluler, berbentuk kumparan dan terbentuk pada ujung-ujung hifa. Konidia
yang seperti ini disebut makrokonidia. Spesies ini membentuk banyak
makrokonidia yang terdiri dari 8-15 sel, berdinding tebal dan sering sekali
mempunyai ujung-ujung yang melengkung. Pigmen kuning-jingga biasanya
terbentuk pada sisi berlawanan dari koloni.

34
Universitas Sumatera Utara

Jamur ini menyebabkan tinea kapitis pada anak-anak. Cendawan ini
menyebar secara radial pada lapisan kulit berkeratin dengan pembentukan cabang
hifa dan kadang-kadang artrospora. Peradangan jaringan hidup di bawahnya
sangat ringan dan hanya terlihat sedikit bagian yang bersisik kering. Biasanya
terjadi iritasi, eritema (merah dan menyebar pada kulit), edema (akumulasi
berlebihan zat alir serum di dalam jaringan), dan terbentuk gelembung pada
bagian tepi yang menjalar, lingkaran berwarna merah jambu ini menimbulkan
nama ringworm (kadas).
2.8.4 Candida albicans
Klasifikasi Candida albicans menurut Waluyo (2004) adalah:
Kingdom

: Fungi

Phylum

: Thallophyta

Class

: Deuteromycetes

Order

: Moniliales

Family

: Cryptococcaceae

Genus

: Candida

Species

: Candida albicans

Bentuk Candida albicans yaitu bulat, lonjong, atau bulat lonjong, dengan
permukaan halus, licin atau berlipat-lipat, berwarna putih kekuning-kuningan dan
berbau ragi. Candida albicans memiliki dua jenis morfologi yaitu seperti khamir
dan hifa. Pada kondisi anaerob dan aerob, Candida albicans mampu melakukan
metabolisme sel. Pertumbuhan juga lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan
dengan pH normal atau alkali (Biswas dan Chaffin, 2005).

35
Universitas Sumatera Utara

Candida albicans dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan
kelainan di dalam berbagai organ tubuh manusia. Faktor rentan dapat
menyababkan

Candida

albicans

dapat

berubah

menjadi

patogen

dan

menyebabkan penyakit yang disebut kandidiasis. Kandidiasis adalah suatu infeksi
akut atau subakut yang dapat menyerang berbagai jaringan tubuh. Misalnya
kandidiasis mulut (sariawan), kandidiasis vagina (vaginitis), kandidiasis kulit
yang sifatnya sistemik. Beberapa faktor yang menyebabkan Candida albicans
menjadi patogen adalah daya tahan tubuh menurun, pemberian antibiotik yang
terlalu lama dan berlebihan. Pada mulanya penyakit kandidiasis dianggap hanya
penyakit ringan, tetapi setelah ditemukan kasus yang fatal pada penderita
kandidiasis, maka dapat disimpulkan bahwa kandiasis juga dapat menyerang
organ dalam seperti jantung, ginjal, paru-paru (Siregar, 2005).

36
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS ANTIJAMUR KRIM MINYAK SEREH (Cymbopogon citratus (DC) Stapf.) DENGAN BASIS VANISHING CREAM TERHADAP Candida albicans DENGAN METODE SUMURAN

0 8 23

UJI ANTIJAMUR KOMBUCHA COFFEE TERHADAP Candida albicans DAN Tricophyton mentagrophytes

0 3 8

Antijamur Ekstrak Etanol Umbi Lapis Bawang Putih (Allium sativum) terhadap Candida albicans dan Kesetaraannya dengan Mikonazol Nitrat - Ubaya Repository

0 1 1

Perbandingan Formulasi Mikonazol Nitrat dalam Sediaan Nanoemulsi dan Krim terhadap Aktivitas Antijamur Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Candida albicans

0 1 17

Perbandingan Formulasi Mikonazol Nitrat dalam Sediaan Nanoemulsi dan Krim terhadap Aktivitas Antijamur Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Candida albicans

0 0 2

Perbandingan Formulasi Mikonazol Nitrat dalam Sediaan Nanoemulsi dan Krim terhadap Aktivitas Antijamur Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Candida albicans

0 1 7

Perbandingan Formulasi Mikonazol Nitrat dalam Sediaan Nanoemulsi dan Krim terhadap Aktivitas Antijamur Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Candida albicans Chapter III V

0 0 33

Perbandingan Formulasi Mikonazol Nitrat dalam Sediaan Nanoemulsi dan Krim terhadap Aktivitas Antijamur Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Candida albicans

0 2 7

Perbandingan Formulasi Mikonazol Nitrat dalam Sediaan Nanoemulsi dan Krim terhadap Aktivitas Antijamur Tricophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Candida albicans

1 1 54

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL dan FRAKSI DAUN KEMANGI (Ocimum Sanctum L.) TERHADAP JAMUR Candida albicans, Microsporum gypseum, dan Aspergillus flavus

0 1 6