BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Peranan Dukungan Organisasi dan Bullying di Tempat Kerja terhadap Komitmen Karyawan pada Organisasi

  mengelola berbagai macam sumber daya yang dimiliki, salah satu yang sangat penting yaitu sumber daya manusia (SDM). SDM memiliki andil yang cukup besar dalam menentukan maju atau berkembangnya suatu organisasi. SDM dalam organisasi terdiri atas karyawan-karyawan yang merupakan penggerak dan harus selalu diperhatikan, dipertahankan serta dikembangkan oleh organisasi (Kurniasari, 2004). Salah satu hal penting yang harus diperhatikan organisasi adalah komitmen karyawan pada organisasi. Tidak adanya komitmen dapat mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan organisasi dan mengurangi efektivitas organisasi (Chow & Holden, 1997; Suntari, 2004)

  Komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah satu kunci penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Karyawan yang mempunyai komitmen kepada organisasi biasanya menunjukan sikap kerja yang penuh perhatian terhadap tugasnya, sangat memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas serta sangat loyal terhadap perusahaan. Komitmen berdampak kepada performansi kerja karyawan dan pada akhirnya juga sangat berpengaruh terhadap kinerja organisasi (Aktami, 2008). Dampak dari komitmen bukan hanya tampak dari performa kerja yang meningkat, namun juga dapat dilihat dari tingkat absensi yang rendah dan rendahnya tingkat keluar karyawan dari organisasi (Erenstein & McCaffrey, 2007).

  Oleh karena itu, organisasi perlu meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi. Mengingat semakin tinggi komitmen karyawan semakin besar usaha yang dilakukannya dalam melaksanakan pekerjaan dan semakin lama pula ia ingin tetap berada dalam organisasi (Mowday, Porter & Steers, 1982). Komitmen pada setiap karyawan sangat penting karena dengan adanya komitmen seorang karyawan dapat menjadi lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dibanding dengan karyawan yang tidak mempunyai komitmen. Disamping itu, menurut Arthur (2004) karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi akan meningkatkan keefektifan organisasi melalui keterlibatan yang tinggi dalam organisasi dan akan bekerja keras mencapai tujuan organisasi (Bhatnagar, 2007).

  Sebaliknya karyawan dengan komitmen organisasi yang rendah cenderung tidak produktif dan malas dalam bekerja. Begitu juga halnya dengan tingginya tingkat turnover dan ketidakhadiran karyawan sering dihubungkan dengan tingkat komitmen organisasi yang rendah (Morrow, 1993). Karyawan yang memiliki komitmen cenderung memberikan lebih banyak kontribusi positif terhadap organisasi dibandingkan dengan karyawan yang kurang memiliki komitmen. Cohen (2003) menyatakan bahwa organisasi yang karyawannya memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi menunjukkan kinerja dan produktivitas yang lebih baik serta tingkat absensi dan keterlambatan yang rendah. Hal ini berarti bahwa karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi cenderung untuk melakukan usaha yang lebih besar untuk melakukan dan menginvestasikan sumber daya mereka dalam organisasi.

  Komitmen karyawan pada organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi secara sepihak. Dalam hal ini, organisasi dan karyawan harus secara bersama-sama menciptakan kondisi yang mendukung untuk mencapai komitmen organisasi (Aktami, 2008). Organisasi yang memberikan kesempatan pencapaian prestasi bagi karyawan akan berdampak signifikan terhadap perilaku dan komitmennya pada organisasi. Muhlau (2004) menemukan bahwa karyawan menjadi lebih berkomitmen setelah menerima hadiah atau keuntungan tambahan dari organisasi (Lambooij, Flache & Siegers, 2007). Demikian juga halnya, karyawan yang secara emosional memiliki komitmen terhadap organisasi akan menunjukkan performansi kerja yang tinggi, mengurangi tingkat absensi dan memiliki kemungkinan yang rendah untuk berhenti dari pekerjaannya (Meyer & Allen, 1997; Rhoades & Eisenberger, 2002). Sebaliknya, karyawan juga akan menuntut bagaimana dukungan organisasi terhadap mereka. Hal ini dapat dinilai karyawan dari penerimaan dan penghargaan organisasi terhadap mereka, gaji, kesempatan promosi dan akses terhadap informasi organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002).

  Berdasarkan hal tersebut diatas, terlihat bahwa komitmen karyawan pada organisasi memainkan peran yang cukup penting dalam pencapaian tujuan dan efektivitas organisasi. Termasuk dalam hal ini komitmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam melaksanakan tugas pada organisasi pemerintah. Dalam pelaksanaan tugasnya setiap Pegawai Negeri Sipil harus memahami dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, menjunjung tinggi ketidakberpihakan terhadap semua golongan, masyarakat, individu, serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan. Di samping itu, setiap PNS harus menunjukkan akuntabilitasnya dengan mempertanggungjawabkan seluruh pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya baik kepada bangsa dan negara maupun masyarakat melalui pimpinan atau atasan langsungnya (Harahap & Kariono, 2011).

  Oleh karena itu, PNS sebagai penyelenggara negara dituntut untuk memiliki komitmen yang tinggi dalam pelaksanaan visi dan misi organisasi pemerintah agar kinerja organisasi pemerintah dapat dicapai secara optimal (Surjadi, 2014). Namun dalam kenyataannya, lemahnya sistem reward dan punishment menjadi kendala bagi organisasi pemerintah untuk mendapatkan PNS yang memiliki komitmen yang tinggi dalam pencapaian visi dan misi organisasi. Hal ini terlihat dari banyaknya PNS yang sering tidak masuk kerja dengan alasan yang macam-macam atau sekedar keluar kantor untuk mencari makan atau belanja. Jika masuk kantor, itupun sekedar memenuhi absensi dan kewajiban apel pagi, setelah itu sibuk menghindari pekerjaan yang diberikan atasan dengan berbagai alasan. Hal ini menjadi tantangan yang cukup kompleks bagi organisasi pemerintah untuk mendapatkan PNS yang memiliki komitmen yang tinggi (Lutfi, 2007).

  Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, diantaranya kepuasan akan pembayaran, bagaimana lingkungan kerja, sikap atasan dan pengawasan yang ada, serta hubungan dengan sesama rekan kerja (Armansyah, 2002). Disamping itu terdapat faktor lain yang berhubungan dengan komitmen karyawan pada organisasi yaitu persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi. (Arokiasamy, Marimuthu & Moorthy, 2010).

  Persepsi tersebut berhubungan dengan suatu kondisi dimana karyawan merasa bahwa organisasi dapat memenuhi kebutuhan sosio emosional karyawan dan memberikan kompensasi secara adil terhadap usaha atau kinerja yang ditunjukkan karyawan (Eisenberger, Aselage, Sucharski & Jones, 2004). Perlakuan yang adil, dukungan atasan, imbalan yang diterima dan kondisi pekerjaan yang mendukung, menunjukkan hubungan yang kuat dengan dukungan organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002). Karyawan cenderung membentuk keyakinan umum mengenai sejauhmana organisasi menghargai kontribusi dan mempedulikan kesejahteraan mereka. Secara khusus, mereka juga menilai perlakuan dari organisasi terhadap mereka dan menyimpulkan motif umum yang mendasari perlakuan tersebut. Beberapa karyawan mungkin merasakan dukungan organisasi melalui keinginan atasan untuk memberikan bantuan bagi mereka dalam mengerjakan suatu tugas, dan bagi beberapa karyawan lainnya merasakan dukungan organisasi melalui kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pelatihan yang menarik bagi mereka (LaMastro, 1999).

  Karyawan yang meyakini bahwa organisasi akan memberikan sejumlah sumber daya yang berharga bagi pengembangan karir mereka seperti kesempatan mengikuti pelatihan dan keamanan dalam bekerja, cenderung memiliki persepsi terhadap dukungan organisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang hanya melihat kesempatan tersebut sebagai janji semata (Eisenberger et al., 2004). Dengan demikian, karyawan yang merasakan dukungan organisasi yang cukup kuat secara teoritis merasa perlu untuk membalas perlakuan organisasi yang menguntungkan dengan sikap dan tingkahlaku yang menguntungkan organisasi (Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986).

  Persepsi terhadap dukungan organisasi memainkan peranan penting dalam meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi. Dukungan organisasi yang dirasakan karyawan membuat karyawan merasa lebih berkewajiban dan berkomitmen terhadap organisasi, yang mengarahkan pada manfaat positif bagi organisasi seperti efektivitas organisasi, peningkatan kinerja dan mengurangi tingkat ketidakhadiran karyawan (Shumaila, Aslam, Sadaqat, Maqsood & Nazir, 2012)

  Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan organisasi berhubungan positif dengan tingkat kehadiran dan performansi kerja (Eisenberger, Fasolo & La Mastro, 1990), kecenderungan untuk membantu rekan kerja (Shore & Wayne, 1993), kecenderungan untuk memberikan saran pengembangan untuk perbaikan organisasi dan komitmen organisasi afektif (Eisenberger et al., 1990). Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa karyawan yang merasakan dukungan organisasi yang lebih kuat cenderung lebih berkomitmen dan lebih bersedia untuk terlibat dalam peran tambahan atau perilaku organizational citizenship (Organ, 1988).

  Faktor lainnya yang berhubungan dengan komitmen karyawan pada organisasi yaitu bullying di tempat kerja (Hoel & Cooper, 2000). Bullying di tempat kerja menjadi isu utama bagi organisasi saat ini (Rasool, Arzu, Hasan, Rafi & Kashif, 2013). Bullying biasa terjadi di tempat kerja dan sangat merusak. Dari hasil analisis mendalam terhadap 148 organisasi di seluruh dunia, ditemukan bahwa

  bullying terjadi secara rutin pada 49% dari total organisasi yang dianalisis (Hodson,

  Roscigno & Lopez, 2006; dalam Lutgen-Sandvik & Sypher, 2009). Penelitian di Amerika Serikat juga menunjukkan tingkat kejadian yang mengkhawatirkan.

  Selama periode 6 hingga 12 bulan, 13% karyawan di-bully di tempat kerja dan hal ini meningkat secara signifikan ketika dilakukan perhitungan terhadap bullying yang diterima sepanjang karir mereka yaitu sebesar 30% (Lutgen-Sandvik, Tracy & Alberts, 2008).

  Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Institute of Bullying in Workplace pada tahun 2006, terdapat beberapa bentuk bullying yang sering terjadi yaitu tuduhan (71%), ancaman nonverbal (68%), meremehkan pendapat orang lain (64%), mengucilkan seseorang (64%), menghindari memberikan pujian meskipun hasil kerja memuaskan (58%), kritikan pedas dan menetapkan standar yang berbeda untuk suatu tugas (57%), menyebarkan gosip mengenai seseorang (56%) dan meminta orang lain untuk memperlakukan karyawan secara tidak adil (55%) (Gholipour, Sanjari, Bod & Kozekanan, 2011).

  Salah satu contoh bullying di tempat kerja yaitu kasus yang dialami seorang wanita yang bekerja sebagai asisten eksekutif di salah satu kota di Amerika Serikat.

  Ia mengalami bullying dari atasannya saat meminta cuti hamil, atasannya menganggap hamil adalah pengganggu bagi para karyawannya. Sebelumnya atasannya juga sering mengolok-olok dengan mengatakan ia jelek saat hamil dan kinerjanya buruk. Setelah selesai menjalani cuti hamil, atasannya memberikan banyak pekerjaan sehingga waktu untuk anak dan keluarga semakin sedikit. Selain itu, atasannya sering mengacuhkan dan tidak pernah mengikutsertakannya lagi dalam rapat serta menyuruh karyawan lain untuk tidak berbicara kepadanya. Hal ini membuat karyawan tersebut merasa takut, bingung dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan dengan baik (Frieda, 2012).

  Kasus di atas merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kasus bullying di tempat kerja. Bullying di tempat kerja meliputi berbagai perilaku baik yang melibatkan kekerasan ataupun tidak seperti melecehkan, menyinggung atau mengucilkan secara sosial (Hoel, Rayner & Cooper, 1999). Perilaku bullying di tempat kerja dapat berupa ancaman terhadap status profesional (penghinaan publik), ancaman terhadap posisi pribadi (intimidasi), isolasi (mencegah akses untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan), beban kerja yang berlebihan (menetapkan tenggat waktu yang tidak mungkin) dan destabilisasi (mengingatkan kesalahan yang dilakukan berulangkali) (Rayner & Hoel, 1997).

  Bullying di tempat kerja berdampak tidak hanya terhadap individu namun

  juga berdampak terhadap organisasi (Hoel & Copper, 2000). Bagi individu, bullying di tempat kerja telah terbukti memiliki dampak psikologis dan fisiologis yang merugikan karyawan yang di-bully. Dampak psikologis yang dilaporkan adalah ketakutan, ketidakberdayaan, kecemasan dan depresi (De Gucht, Fischler & Heiser, 2004; Mikkelsen & Einarsen, 2001), sementara dampak fisiologis berupa sakit kepala dan gangguan perut (Vartia, 2001).

  

Bullying juga menyebabkan karyawan kurang mampu mengatasi tugas sehari-

hari dan bekerjasama dengan orang lain di lingkungan kerjanya (Einarsen, 2000).

  Selain itu ditemukan karyawan cenderung menarik diri, enggan berkomunikasi karena takut dikritik dan kehilangan semangat kerja (Field, 1996). Hasil penelitian Leymann (1996) juga menunjukkan bahwa bullying memiliki dampak kognitif terhadap karyawan yang mengalami bullying seperti masalah konsentrasi, ketidaknyaman dalam bekerja dan kurang inisiatif.

  Dampak bullying terhadap individu ini ikut mempengaruhi organisasi berkaitan dengan kurangnya motivasi dan kreativitas karyawan serta peningkatan terjadinya kesalahan dan kecelakaan kerja. Di samping itu, bullying di tempat kerja juga ikut mempengaruhi tingkat ketidakhadiran, turnover dan produktivitas serta performansi karyawan (Einarsen, Hoel, Zapf & Cooper, 2003).

  Terkait dengan performansi organisasi, bullying di tempat kerja juga menimbulkan dampak yang merugikan bagi organisasi (Hoel et al, 1999). Efisiensi yang rendah dari karyawan pada akhirnya ikut mengurangi efisiensi organisasi dalam hal inovasi dan hasil (Rayner, Hoel & Cooper, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bullying menyebabkan tingkat ketidakhadiran, niat untuk meninggalkan organisasi dan turnover yang lebih tinggi serta pensiun dini (Leyman,

  1996; Salin, 2001). Selain itu bullying juga memiliki efek negatif terhadap performansi karyawan (Kirel, 2007; Yuksel & Tuncsiper, 2011) dan komitmen organisasi (Demirgil, 2008; Yuksel & Tuncsiper, 2011).

  Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian McCormack, Casimir, Djurkovic & Yank (2006) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara komitmen organisasi dengan bullying di tempat kerja. Bullying menyebabkan komitmen yang rendah dikarenakan pekerja yang mengalami bullying merasa dikecewakan oleh organisasi karena membiarkan perilaku bullying terjadi. Selanjutnya McCormack et al., (2006) menjelaskan bahwa di-bully cenderung menurunkan komitmen afektif karyawan karena bullying mengurangi kelekatan emosional karyawan terhadap organisasi mengingat kejadian interpersonal yang negatif biasanya akan memunculkan respons perasaan yang negatif pula.

  Hasil penelitian lainnya menemukan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi lebih tinggi jarang menunjukkan sikap dan perilaku kerja negatif yang berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental, kepuasan kerja dan niat untuk meninggalkan organisasi dibandingkan karyawan dengan komitmen organisasi rendah (Czajka & Begley, 1993). Tidak dapat dipungkiri bahwa karyawan tidak akan merasa berkomitmen terhadap organisasi jika dihadapkan pada hambatan yang disengaja dalam pelaksanaan pekerjaannya baik secara pribadi maupun profesional (Duffy, Ganster & Pagon, 2002). Karyawan yang merasa memiliki hubungan yang mendukung dengan atasan memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang merasa dihalangi dalam pelaksanaan pekerjaannya oleh atasan (Firth, Mellor, Moore & Loquet, 2004).

  Komitmen karyawan pada organisasi menjadi sangat penting dalam keberlangsungan pekerjaan yang berhubungan dengan bullying, karena perilaku

  

bullying ini berhubungan secara langsung dengan kinerja karyawan yang mengalami

bullying (Djurkovic, McCormack & Casimir, 2004). Dapat disimpulkan bahwa

  semakin tinggi tingkat bullying yang diterima oleh karyawan maka akan semakin rendah komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan tersebut. Hal ini terkait dengan dampak yang ditimbulkan oleh bullying terhadap organisasi, seperti ketidakhadiran, turnover, produktivitas dan performansi karyawan (Einarsen et al., 2003).

  Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui peran dukungan organisasi dan bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi.

  B. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana peran dukungan organisasi dan bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi?

  2. Bagaimana gambaran dukungan organisasi karyawan?

  3. Bagaimana gambaran bullying di tempat kerja?

  4. Bagaimana gambaran komitmen karyawan pada organisasi?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran dukungan organisasi dan

  

bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Selain itu

  penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui gambaran dukungan organisasi, gambaran bullying di tempat kerja dan gambaran komitmen karyawan pada organisasi serta deskripsi demografi subjek penelitian.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data empiris bagi disiplin ilmu psikologi industri dan organisasi, terutama teori-teori yang berkaitan dengan dukungan organisasi, bullying di tempat kerja dan komitmen karyawan pada organisasi.

  b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi teoritis dan empiris sebagai penunjang untuk penelitian di masa yang akan datang.

  2. Manfaat Praktis

  a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu organisasi untuk mengetahui sejauh mana peranan dukungan organisasi dan bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu organisasi untuk mengetahui tingkat komitmen karyawan pada organisasi, dukungan organisasi dan

  bullying di tempat kerja.

  E. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Landasan teori yang diuraikan adalah mengenai komitmen karyawan pada organisasi, dukungan organisasi,

  bullying di tempat kerja, hubungan dukungan organisasi dengan

  komitmen karyawan pada organisasi, hubungan bullying ditempat kerja dengan komitmen karyawan pada organisasi serta hubungan dukungan organisasi dan bullying di tempat kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Bab ini juga mengemukakan hipotesis penelitian sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan dukungan organisasi dan bullying di tempat kerja dengan komitmen karyawan organisasi.

  BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, metode pengambilan data, uji validitas, uji reliabilitas, uji coba alat ukur, prosedur penelitian dan metode analisa data.

  BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang gambaran umum subjek penelitian, uji asumsi, hasil penelitian yang disertai analisa data dan pembahasan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran metodologis dan saran praktis untuk penelitian selanjutnya.