BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sel Darah Merah - Sistem Untuk Mengklasifikasikan Bentuk Sel Darah Merah Normal Dan Abnormal Dengan Metode Self-Organizing Map (SOM)

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Sel Darah Merah

  Sel yang paling banyak di dalam selaput darah adalah sel darah merah atau juga dikenal dengan eritrosit. Sel darah merah berbentuk cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 mikron, tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikron atau kurang, tersusun atas membran yang sangat tipis sehingga sangat mudah terjadi diffusi oksigen, karbondioksida dan sitoplasma, tetapi tidak mempunyai inti sel (Tarwoto & Wartonah, 2008). Dilihat dari samping, eritrosit nampak seperti cakram atau bikonkaf dengan sentral akromia kira- kira ⅓ - ½ diameter sel (Warni, 2009).

  2.1.1 Sel darah merah normal.

  Sel darah merah normal berbentuk cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 mikron, tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikron atau kurang. Sel darah merah normal dapat dilihat pada Gambar 2.1.

  (a) (b)

Gambar 2.1. Sel darah merah normal: (a) Sel darah merah normal, (b) Sel darah merah normal dari pandangan tepi, pandangan hadapan dan pandangan

  

samping.

  2.1.2 Sel darah merah abnormal

  Bentuk sel darah merah abnormal sangat beragam macamnya. Beberapa bentuk sel

  (b) (c)

  (a) (b) (c) (d) (e) (f)

Gambar 2.2. Jenis sel darah merah abnormal: (a) Target Cell, (b) Akankosit, (c) Helmet

  Cell, (d) Ellipthocyte, (e) Tear Drop Cell, (f) Sel Sabit

  2.1.3 Perhitungan darah

  Laboratorium hematologi tidak hanya meneliti selaput darah. Mereka juga melaksanakan berbagai macam perhitungan yang berhubungan dengan isi hemoglobin di dalam sel darah merah, sel darah putih dan Platelet (Bain, 2004). Perhitungan tersebut dirumuskan sebagai perhitungan darah penuh (FBC). Ketika sakit, ke-abnormalitas dapat berkembang dalam setiap sel di dalam darah. Tujuan dari pelaksanaan perhitungan darah dan meneliti sebuah selaput darah adalah menemukan kuantitas dan kualitas abnormalitas di dalam sel darah. Penemuan itu dapat membantu dalam mendiagnosa seorang pasien (Bain, 2004).

  2.1.4 Perhitungan sel

  Secara konvensional sel darah dihitung dengan mencairkan beberapa tetes darah di dalam larutan pencair. Darah yang dicairkan diletakkan di dalam ruang perhitungan berdasarkan jumlah yang diketahui dan jumlah dari sel yang ada dihitung secara mikroskopik. Pehitungan sel diekspresikan sebagai jumlah dari sel dalam seliter darah. Perhitungan sel darah merah

  12

  12

  (RBC) diekspresikan sebagai sebuah angka yang dikali 10 perliternya (contoh: 5 x 10 / l) (Bain, 2004).

2.2 Pengolahan Citra Digital

  Menurut Efford (2000), pengolahan citra adalah istilah untuk berbagai teknik contoh gambar berdimensi dua yang dapat diolah dengan mudah. Pengolahan citra digital adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan kualitas gambar (peningkatan kontras, transformasi warna, restorasi citra), transformasi gambar (rotasi, translasi, skala, transformasi geometric), melakukan pemilihan citra ciri (feature image) yang optimal untuk tujuan analisis, melakukan proses penarikan informasi atau deskripsi objek atau pengenalan objek yang terkandung pada citra, melakukan kompresi atau reduksi data unutk tujuan penyimpanan data, transmisi data, dan waktu proses data. Input dari pengolahan citra adalah citra, sedangkan output-nya adalah citra hasil pengolahan (Sutoyo et al, 2009).

  2.2.1 Pengertian citra

  Sebuah citra adalah kumpulan piksel-piksel yang disusun dalam larik dua-dimensi. Indeks baris dan kolom (x,y) dari sebuah piksel dinyatakan dalam bilangan bulat. Piksel (0,0) terletak pada sudut kiri atas pada citra, indeks x bergerak ke kanan dan indeks y bergerah ke bawah (Ahmad, 2005).

  2.2.2 Penerapan pengolahan citra digital

  Pengolahan citra digital dapat diterapkan dalam berbagai bidang. Bidang yang termasuk diterapkannya pengolahan citra digital antara lain adalah bidang biomedis, bidang biometrika, bidang penginderaan jarak jauh, bidang fotografi, bidang hukum, bidang ekonomi dan lain sebagainya. Pengolahan citra digital pada bidang medis dapat mendeteksi berbagai penyakit seperti mendeteksi penyakit jantung dan kanker, identifikasi penyakit paru-paru, identifikasi sel darah merah dan lain-lain (Putra, 2009).

  2.2.3 Aras Keabuan (grayscale)

  Aras keabuan adalah proses perubahan nilai nilai piksel dari warna (RGB) menjadi gray-

  

level atau grayscale. Proses grayscaling dilakukan dengan meratakan nilai piksel dari tiga

  nilai RGB menjadi 1 nilai (Sutoyo et al, 2009). Proses konversi citra berwarna ke citra

  grayscale dapat dilakukan dengan cara yang terdapat pada persamaan (2.1) :

  (2.1) ( , ) =

  3 dengan I(x,y) adalah tingkat warna keabuan pada posisi (x,y). Sedangkan R,G, dan B berturut-turut menyatakan nilai komponen ruang warna dari setiap nilai piksel citra berwarna pada posisi (x,y).

  2.2.4 Pengambangan (Thresholding)

  Proses pengambangan akan menghasilkan citra biner, yaitu citra yang memiliki dua tingkat keabuan yaitu hitam dan putih. Secara umum proses pengambangan citra grayscale untuk menghasilkan citra biner dengan cara yang terdapat pada persamaan (2.2):

  ( , ) ≥ (2.2)

  ( , ) = {1 0 ( , ) < } dengan g(x,y) adalah citra biner dari citra grayscale f(x,y), dan T menyatakan nilai ambang. Nilai T memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengambangan (Putra, 2009).

  2.2.5 Erosi Operasi erosi dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.3).

  E(A,B) = = { ∶ ⊂ } (2.3)

  Proses erosi dilakukan dengan membandingkan setiap pixel citra input dengan nilai pusat SE dengan cara melapiskan SE dengan citra sehingga pusat SE tepat dengan posisi pixel citra yang diproses. Dalam proses erosi akan menghasilkan objek yang menyempit (mengecil). Lubang pada objek juga akan tampak membesar seiring menyempitnya batas objek tersebut.

  2.2.6 Dilasi Operasi dilasi dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.4).

  D(A,B) = A ⊕ B = { ∶ ⋂ ≠ ∅} (2.4)

  Dengan ∅ menyatakan himpunan kosong. Proses erosi dilakukan dengan membandingkan setiap pixel citra input dengan nilai pusat SE dengan cara melapiskan SE dengan citra sehingga pusat SE tepat dengan posisi pixel citra yang diproses.

2.2.7 Momen Invariant

  Fitur momen invariant bermanfaat untuk menyatakan objek dengan memperhitungkan area objek. Fitur ini menggunakan dasar momen pusat yang ternormalisasi. Momen yang dihasilkan dapat digunakan untuk menangani translasi, penyekalan, dan rotasi gambar (Kadir & Susanto, 2012). Jika ada sebuah citra dengan nilai intensitas adalah f(i,j), dimana nilai i sebagai baris dan j sebagai kolom maka momen invariant yang mentransformasikan fungsi citra f(i,j) pada sistem diskrit dinyatakan dengan persamaan (2.5)

  −1 p q −1

  m pq = i j f(i,j) (2.5) ∑ ∑

  =0 =

  dimana:

  pq

  m = citra dua dimensi H = tinggi citra W = lebar citra i = baris j = kolom Pencipta Momen Invariant adalah Hu, menciptakan tujuh momen invariant seperti persamaan (2.6), (2.7), (2.8), (2.9), (2.10), (2.11) dan (2.12)

  (2.6) ∅ = ŋ + ŋ

  1

  20

  02

  2

  2

  (2.7) ∅ = (ŋ − ŋ ) + (2ŋ )

  2

  20

  02

  02

  2

  2

  (2.8) ∅ = (ŋ − 3ŋ ) + (ŋ − 3ŋ )

  3

  30

  12

  03

  21

  2

  2

  (2.9) ∅ = (ŋ + ŋ ) + (ŋ + ŋ )

  4

  30

  12

  03

  21

  2

  2

  ∅ = (ŋ − 3ŋ ) (ŋ + ŋ )⦋ (ŋ + ŋ ) − 3(ŋ + ŋ ) ⦌ +

  5

  30

  12

  30

  12

  30

  

12

  21

  03

  2

  2

  (2.10) ⦌

  (ŋ − 3ŋ ) (ŋ + ŋ )⦋ (ŋ + ŋ ) − 3(ŋ + ŋ )

  03

  12

  03

  21

  03

  

12

  12

  30

  2

  2

  ∅ = (ŋ − ŋ ) ⦋(ŋ + ŋ ) − (ŋ + ŋ ) ⦌ +

  6

  20

  02

  30

  12

  21

  03

  (2.11) 4ŋ (ŋ + ŋ )(ŋ + ŋ )

  11

  30

  12

  03

  21

  2

  2

  ⦌ ∅ = (3ŋ − ŋ ) (ŋ + ŋ )⦋ (ŋ + ŋ ) − 3(ŋ + ŋ )

  7

  21

  03

  30

  12

  30

  

12

  21

  03

  2

  2

  (2.12) ⦌

  (ŋ − 3ŋ ) (ŋ + ŋ )⦋ (ŋ + ŋ ) − 3(ŋ + ŋ )

  03

  12

  21

  03

  03

  

21

  30

  12 Dimana:

  ∅ = Momen Invariant ŋ = Momen pusat ternormalisasi

  2.2.8 Roundness (R)

Roundness menggambarkan tingkat kebulatan sel. Kebulatan bentuk (Roundness) adalah

  perbandingan antara luas objek (area) dan kuadrat perimeter, yang dapat dihitung dari persamaan 2.13.

  ( )

  ) (2.13)

  R= (4π)(

  2 ( )

  Dimana: R

  = Kebulatan bentuk (Roundness) A = Area P = Perimeter Hasilnya berupa nilai ≤1. Nilai 1 menyatakan bahwa objek R berbentuk lingkaran.

2.3 Unsupervised learning

  

Unsupervised learning merupakan pembelajaran yang tidak terawasi dimana tidak

  memerlukan target output. Pada metode ini tidak dapat ditentukan hasil seperti apa yang diharapkan selama proses pembelajaran, nilai bobot yang disusun dalam proses range tertentu tergantung pada nilai output yang diberikan. Tujuan metode Unsupervised learning yaitu agar dapat mengelompokkan unit-unit yang hampir sama dalam satu area tertentu. Pembelajaran ini biasanya sangat cocok untuk klasifikasi pola.

2.4 Self-Organizing Map

  Teknik Self-organizing map (SOM) atau kohonen pertama kali diperkenalkan oleh Touvo Kohonen, merupakan sistem jaringan neural berbasis kompetisi yang mampu melakukan pembelajaran tanpa terbimbing karena memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-

  

organizing ). Jaringan ini akan mempelajari distribusi pola-pola himpunan tanpa informasi

  kelas sebelumnya (Putra, 2009). Jaringan kohonen dipakai untuk membagi pola masukkan kedalam beberapa kelompok (cluster). Arsitektur jaringan kohonen dapat dilihat pada

  Gambar 2.3.

Prinsip kerja dari algoritma SOM adalah pengurangan node-node tetangganya

(neighbor), sehingga pada akhirnya hanya ada satu node output yang terpilih (winner node).

  Laurene menjelaskan kerja algoritma SOM memiliki langkah-langkah sebagai berikut (Tae et al, 2010): 1. ij, radius tetangga dan learning rate α

  Melakukan inisialisasi bobot W 2. Selama kondisi stop bernilai false, lakukan tahap 3 s/d 9 3. Untuk setiap input vektor x, lakukan tahap 4 s/d

  2 j ij i

  4. = (W - X ) Untuk setiap j dihitung : d

   i ij

  5. -nya terkecil Temukan indeks j yang nilai D 6.

  Update semua bobot yang menuju indeks j dengan rumus:

  ij ij i ij

  W (baru) = W (lama) + ( X - W (lama)) dimana: W = bobot 0 < (t) <1 = alpha / learning rate

  

  x = input pixel i = index node input j = index node output

7. Update learning rate (α) 8.

  Kurangi radius tetangga 9. Cek kondisi stop.

Gambar 2.3 : Arsitektur jaringan saraf kohonen

2.5 Penelitian Terdahulu

  Di bagian ini akan dijabarkan beberapa penelitian terdahulu. Pada tabel 2.1 akan dijelaskan beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik ini.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Penulis Judul Penelitian Keterangan

  

Zunairoh et al, Klasifikasi Status Gizi Balita Self-Organizing Map digunakan

2012 Menggunakan Kohonen Self untuk menentukan klasifikasi Organizing Map data pada kelas tertentu (klasifikasi status gizi).

  Tae et al, 2010 Penerapan Kohonen Self

  Organizing Map dalam Kuantisasi Vektor pada Kompresi Citra Bitmap 24 Bit

  Self-Organizing Map digunakan untuk mencari kedekatan nilai warna pada citra dengan nilai- nilai pada codebook.

  Usman, 2008 Perhitungan Sel Darah Merah

  Bertumpuk Berbasis Pengolahan Citra Digital Dengan Operasi Morfologi.

  Operasi morfologi erosi digunakan untuk mengatasi sel darah merah bertumpuk