BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA OUTSOURCING PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING PT. MAHKOTA GROUP A. Outsourcing di Indonesia 1. Gambaran Umum Pelaksanaan Outsourcing - Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing

BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN PENGGUNA OUTSOURCING JASA OUTSOURCING PT. MAHKOTA GROUP A. Outsourcing di Indonesia

  1. Gambaran Umum Pelaksanaan Outsourcing

  Pelaksanaan outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena apabila dilihat dari hubungan kerja sebagian besar dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah sebatas upah minimum yang ditetapkan pemerintah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti ini dikatakan praktek

  

outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan

   industrial.

  Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu 34 Muzni Tambusai, “Pelaksanaan outsourcing Ditinjau Dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan

  Tidak Mengaburkan Hubungan Industrial”, diakses dari http//outsourcingonline.wordpress.com/2007/03/06. Diakses terakhir tanggal 18 Februari 2012. luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam

   menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.

  Pelaksanaan outsourcing dalam beberapa tahun setelah terbitnya Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih terdapat bebagai kelemahan terutama disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan

  

  pemerintah yang berdampak pada rendahnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh outsourcing. Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lainnya adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, tidak menghambat proses produksi secara langsung dan terpisah dari kegiatan utama namun tidak dijelaskan pekerjaan yang tergolong dalam kegiatan utama suatu perusahaan sehingga dalam prakteknya sulit ditentukan mana

  

  yang termasuk kegiatan utama dan kegiatan penunjang perusahaan. Permasalahan upah juga ditemukan dalam sistem outsourcing dimana pada kenyataannya pekerja

  

outsourcing menerima upah sebesar upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah

  sedangkan perusahaan pengguna jasa outsourcing membayar upah yang jauh lebih tinggi. Sampai saat ini belum ada aturan dari pemerintah yang mengatur besarnya 35 36 Ibid.

  Andari Yurikosari, Hubungan Kerja dan Outsourcing, makalah disampaikan pada Forum

Konsultasi Peraturan Perundang-undangan Bidang Hubungan Industrial Direktorat Jenderal

Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bogor, 27 November 2010, hal 1. 37 Lalu Husni, Op Cit., hal. 193 presentase potongan maksimal yang boleh dilakukan perusahaan penyedia jasa

   pekerja/buruh dari upah yang diterima pekerja .

  Outsourcing sering dikaitkan dengan istilah perbudakan jaman modern hal ini

  disebabkan karena pekerja outsourcing merupakan pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang ditempatkan pada perusahaan pemberi pekerjaan, dimana perusahaan penyedia jasa pekerja mendapatkan sejumlah uang dari perusahaan pemberi pekerjaan kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sebagian dari upah tersebut sebagai imbalan atas jasa penyediaan pekerja/buruh, sisanya dibayarkan kepada pekerja outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pemberi pekerjaan, dalam hal ini seolah-olah antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan terjadi perjanjian sewa-

   menyewa buruh.

  Perjanjian kerja antara pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh atau perusahaan pemborongan pekerjaan sebagian besar didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sehingga tidak ada job

  

security bagi para pekerja outsourcing, tidak adanya kepastian akan kesinambungan

   kerja bagi pekerja outsourcing menyebabkan pekerja selalu merasa terancam.

  Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, pemanfaatan outsourcing sudah sedemikian mengglobal karena menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan/ usaha pokoknya sehingga lebih fokus pada keunggulan 38 39 Ibid, hal 194. 40 Andari Yukosari, Op. Cit., hal 4.

   Ibid, hal 8. pelayanan produknya. Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan.

  Salah satu kunci kesuksesan dari outsourcing adalah kesepakatan untuk membuat hubungan jangka panjang (long term relationship), tidak hanya kepada proyek jangka pendek. Alasannya sangat sederhana, yaitu perusahaan outsourcing ini harus memahami proses bisnis dari perusahaan. Perusahaan juga akan menjadi sedikit banyak tergantung kepada perusahaan outsourcing. Namun ternyata hal ini tidak mudah dilakukan di Indonesia. Terlebih-lebih lagi di Indonesia ada banyak masalah dalam menentukan mitra outsourcing. Di institusi milik pemerintah, seperti BUMN, pemilihan penyedia layanan harus dilakukan melalui tender. Akibatnya pemenang tender sulit untuk diramalkan. Demikian pula perpanjangan layanan mungkin harus ditenderkan lagi. Hubungan baik antara pengguna jasa outsourcing dan penyedia jasa

  outsourcing sulit tejadi.

  Persaingan usaha yang begitu ketat dewasa ini menuntut perusahaan untuk melakukan efisiensi dan efektifitas dalam melaksanakan kegiatannya. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa biaya-biaya yang dikeluarkan sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan outsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri

   kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.

  Pada lingkungan persaingan global, outsourcing dapat sangat membantu suatu organisasi atau membantu membuat permasalahan organisasi dapat terorganisir dengan baik dan menjadi stabil. Kuncinya adalah menemukan dan memelihara kestabilan. Dalam menghadapi tantangan, manajemen harus menentukan fungsi- fungsi yang merupakan kemampuan inti dari organisasi dan mempertahankannya. Salah satu cara untuk mempertahankan kemampuan inti tersebut dengan melakukan

  

  Untuk menjamin keberhasilan dalam kegiatan outsourcing harus dilakukan melalui langkah-langkah tepat. Kekeliruan yang diambil akan menyebabkan

  outsourcing tidak efektif, bahkan dapat menghasilkan akibat yang membahayakan

  perusahaan. Melakukan implementasi outsoutcing bukanlah hal yang sederhana, berbagai pertimbangan harus diperhitungkan dan diputuskan. Kesalahan pengambilan keputusan mengenai outsourcing dapat mengakibatkan masalah, terutama masalah

  41 Muzni Tambusai, Pelaksanaan outsourcing dari Aspek Hukum Naker, http://www.nakertrans. go.id/250604/html, diakses tanggal 10 Desember 2011. 42 Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi di Indonesia, (Jakarta: Alex Media Komputindo, 2003), hal. 148. yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Agar efektif, implementasi outsourcing harus dilakukan langkah-langkah yang tepat sebagai berikut: a.

  Mendefinisikan tujuan outsourcing; b. Identifikasi fungsi-fungsi yang akan di- outsourcing ; c. Memperhitungkan resiko; d. Mengajukan permintaan tertulis (kepada penyedia jasa outsourcing); e. Menseleksi vendor yang ada pada daftar permintaan proposal; f. Mengevaluasi proposal g.

  Menegosiasikan harga akhir.

  Sebelum melakukan outsourcing, setiap operasi/proses bisnis harus dianalisa dan di evaluasi dalam ketentuan kualitas, efektifitas biaya, dan efesiensi secara keseluruhan. Selain itu, diperlukan juga perhitungan dan kalkulasi akurat dalam setiap operasi dan layanan yang akan di-outsourcing, fungsi-fungsi awal yang harus di outsourcing sangat bergantung pada jenis perusahaan, kondisi perusahaan, tujuan perusahaan, serta situasi dan kondisi makro ekonomi yang melingkupi perusahaan

   tersebut.

  Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerimaan pemborongan pekerjaan antara lain perjanjian penyerahan pekerjaan tersebut harus dilaksanakan melalui perjanjian tertulis dan perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus memiliki badan hukum. Dalam hal dibeberapa daerah yang tidak terdapat perusahaan pemborongan 43 Ibid, hal. 119. pekerjaan yang berbadan hukum, penyerahan pekerjaan dapat diserahkan pada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum, dimana pemenuhan hak-hak pekerja/buruh merupakan tanggung jawab perusahan yang bukan berbadan hukum tersebut dan harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.

  Selain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, perusahaan juga dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya melalui perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh. Hal yang harus diperhatikan dalam perjanjian penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penyedia pekerja/buruh yaitu perjanjian itu harus dibuat secara tertulis dan perusahaan pemberi pekerjaan harus dapat memastikan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh berbadan hukum dan memiliki ijin dari instansi terkait dalam hal ini adalah instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

2. Outsourcing Menurut Peraturan Perundang-undangan a.

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  Pasal 1601b KUH Perdata mengatur perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Perjanjian pemborongan ini yang kemudian setelah keluarnya Undang-undang Ketenagakerjaan dikenal dengan istilah penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan yang populer dimasyarakat dengan istilah outsourcing pekerjaan.

  Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antar kedua belah pihak yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya, harga borongan atau kontrak dan lamanya jangka waktu pemborongan serta sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

  Pihak pemborong mengikatkan diri kepada pihak pemberi borongan untuk menyelesaikan suatu borongan tertentu, dan sebagai imbalan atas penyelesaian tersebut, pihak pemborong mendapat prestasi harga tertentu sebagai upah. Upah tertentu dalam pemborongan ini tidak hanya dimaksudkan semata-mata hanya upah yang ditentukan lebih dahulu, tapi harus diartikan lebih luas dari pada itu yaitu:

   meliputi upah yang dapat ditentukan kemudian.

  Prestasi upah yang diterima pemborong dalam pemborongan kerja, tergantung pada objek kerja yang diborongkan. Bisa saja pemborong hanya menyediakan bahan- bahan atau barang-barang borongan, namun bisa juga sekaligus pemborong itu sendiri yang menyediakan bahan dan menyiapkan kerja borongan. Seperti memborong bangunan rumah. Seorang pemborong hanya ditugaskan untuk menyediakan bahan bangunan saja, sedang pembangunan rumah diserahkan kepada pemborong lain.

  Tetapi bisa juga sekaligus bahan bangunan dan pembangunan rumah diserahkan

   kepada seorang pemborong.

  Apabila pemborong diwajibkan/ ditugaskan menyediakan bahan dan melakukan pekerjaan, dan pekerjaannya musnah sebelum diserahkan kepada pihak 44 45 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Jakarta: Alumni, 1986), hal 258.

  Ibid. yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan pemborong, namun jika pemborong hanya diwajibkan untuk melakukan pekerjaan saja dan pekerjaannya musnah, maka pemborong hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal-Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata), ketentuan ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan dari pihak yang memborongkan ditanggung oleh pihak yang

   memborongkan pekerjaan.

  Apabila pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, oleh Pasal 1607 disebutkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu kelalaian dari pihaknya pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila

   musnahnya barang (pekerjaan) itu disebabkan oleh suatu cacat dalam bahannya.

  Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tak disengaja yang memusnahkan pekerjaan itu: pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah disediakan olehnya sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menggarap pekerjaan. Pihak yang memborongkan hanya dapat menuntut penggantian kerugiannya apabila dapat membuktikan adanya kesalahan dari pemborong, sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut 46 47 R. Subekti , Aneka Perjanjian, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal 65 Ibid, hal. 66.

  harga yang dijanjikan apabila berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan oleh pihak yang memborongkan mengandung cacat yang menyebabkan

   kemusnahan pekerjaannya.

  Jika suatu pekerjaan dikerjakan sepotong demi sepotong (sebagian demi sebagian) atau seukuran demi seukuran, maka pekerjaan itu dapat diperiksa sebagian demi sebagian. Pemeriksaan tersebut dianggap terjadi (dilakukan) untuk semua bagian yang telah dibayar apabila pihak yang memborongkan tiap-tiap kali membayar pemborong menurut imbangan dari apa yang telah selesai dikerjakan (Pasal 1608). Ketentuan ini mengandung maksud bahwa sebagian pekerjaan yang sudah dibayar itu menjadi tanggungan pihak yang memborongkan apabila terjadi suatu peristiwa (diluar

   kesalahan salah satu pihak) yang memusnahkan bagian pekerjaan itu.

  Ada beberapa prinsip yang diatur oleh KUH Perdata yang berlaku dalam

  

  pemborongan pekerjaan antara lain sebagai berikut : 1)

  Ketika kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan telah terjadi dan pekerjaan telah mulai dikerjakan maka pihak yang memborongkan pekerjaan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan;

  2) Dalam hal pemborongan pekerjaan berhenti akibat meninggalnya si pemborong, pihak yang memborongkan wajib membayar kepada ahli waris si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan 48 yang telah dilakukan; 49 Ibid. 50 Ibid Lalu Husni, Op. Cit, hal. 188 – 189.

  3) Tanggung jawab terhadap orang-orang yang dipekerjakan dalam pemborongan pekerjaan berada pada pihak pemborong;

  4) Buruh berhak menahan barang kepunyaan orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut sampai biaya dan upah – upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali bila pihak yang memborongkan telah memberikan jaminan untuk pembayaran biaya dan upah- upah tersebut.

  b.

  Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat disebut sebagai suatu kodifikasi dari berbagai ketentuan ketenagakerjaan yang sebelumnya terpisah-pisah. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, ada sekitar lima belas ordonansi dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk mengatur ketenagakerjaan.

  Dengan berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini, maka kelima belas

   ordonansi/peraturan tersebut telah dinyatakan tidak berlaku.

  Ketentuan yang mengatur outsourcing ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal

  64 Undang-Undang Ketenagakerjaan menentukan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari perumusan Pasal 64 tersebut di atas, dalam kaitan ini terdapat 2 (dua) macam perjanjian yaitu: 51 Sehat Damanik, Op. Cit, hal. 12

  1) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu suatu perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.

  2) Perjanjian Penyediaan Jasa Buruh/Pekerja, yaitu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menyediakan pekerja/buruh kepada perusahaan yang akan menggunakan pekerja/buruh.

  Perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 65. Pengaturan perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Pasal 65 ini terdapat kejanggalan. Hal ini tercermin dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b yang menentukan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketentuan pasal ini menimbulkan kritik karena bagaimana mungkin perusahaan yang telah menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada orang lain masih memiliki kewenangan untuk memberikan perintah baik langsung maupun tidak langsung terhadap pekerjaan yang telah diborongkan

   kepada perusahaan lain.

  Pelaksanaan penyerahaan sebagian pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja/buruh dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat antara lain:

  1) Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;

  2) Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima 52 pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Andari Yukosari, Op. Cit., hal 4. a) Bagian pekerjaan yang tersebut dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b) bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidaklah menghambat proses produksi secara langsung; dan c) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.

  Semua persyaratan di atas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di outsourcing- kan. Kemudian persyaratan lainnya menurut Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah bahwa perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar, oleh karena itu memiliki badan hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari

   tanggung jawab.

  Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mengatur masalah perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja, dimana sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh 53 Aloysius Uwiyono, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi , Vol 22 No. 5, (Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis, 2003), hal. 12. baik diperusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.

   Pada perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, sesuai dengan ketentuan Pasal

  66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh perusahaan pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, tetapi untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Selain itu penyerahan sebagai pekerjaan melalui penyediaan jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  1) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

  2) Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 Undang-Undang No.13 tahun 2003 dan/ atau perjanjian kerja waktu tidak tentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak;

  3) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

  4) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara 54 Ibid. tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ketenagakerjaan.

  Penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

  Dalam hal terjadi pelanggaran antara lain : 1)

  Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing merupakan pekerjaan inti dan bukan penunjang; 2)

  Tidak adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja secara tertulis, baik itu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT);

  3) Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan lain yang bertindak sebagai penyedia jasa pekerja/buruh tidak dibuat secara tertulis;

  4) Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak berbadan hukum dan tidak memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

  Maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan, yang artinya segala tanggung jawab ketenagakerjaan seperti pemenuhan hak-hak normatif yang berkaitan dengan pekerja/

   buruh sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi pekerjaan. 55 Pasal 66 ayat( 4) Undang-Undang No. 13 Tahun tentang Ketenagakerjaan.

3. Keberadaan Outsourcing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

  Dalam rangka menghindari kesimpangsiuran dan perbedaan cara pandang antara kalangan pekerja dan pengusaha dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan pada 17 Januari 2012 yang lalu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menindaklanjuti putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.

  Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

  27/PUU-IX/2011 diarahkan untuk melindungi pekerja, namun kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai putusan Mahkamah Konstitusi makin melegalkan praktik outsourcing.

  

Ada tiga hal penting yang dikritik, pertama, putusan Mahkamah Konstitusi

  semakin mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih tetap bekerja di perusahaan penyedia (agent) tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja (user). Kalangan serikat pekerja 56 Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing, diakses dari

  http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f1f92ad10d9b/putusan-mk-dianggap-makin-melegalkan- outsourcing. Diakses terakhir kali tanggal 01 Februari 2012 menginginkan outsourcing yang bergerak di bidang penyediaan pekerja/buruh (bukan borongan) dihapuskan. Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan secara langsung tanpa outsourcing. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi memang memperkecil jarak keuntungan yang diperoleh pekerja outsourcing dengan pekerja tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi sangat penting, sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapkan, tetapi tetap saja pekerja

  outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di perusahaan pemberi

  pekerjaan. Ketiga, posisi tawar pekerja outsourcing sangat lemah terutama dalam membentuk serikat buruh. Ketika pekerja outsourcing ingin menuntut kenyamanan di tempat kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana perusahaan penyedia atau pemberi pekerjaan.

  Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.

  B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, menyatakan bahwa ada 2 (dua) model yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja

  outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja

  dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

  Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyiratkan bahwa setiap pekerja

  

outsourcing terjamin kedudukannya dalam perusahaan pengguna karena pengalihan

  perlindungan/ kerja bagi pekerja/buruh outsourcing kepada perusahaan outsourcing lainnya. Akan tetapi masalah kemudian timbul secara yuridis, yaitu siapakah sebenarnya para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, sebab seperti dikemukakan sebelumnya, perjanjian kerja outsourcing dilakukan antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja outsourcing, di samping sifat dan jenis pekerjaan outsourcing pada dasarnya bukan untuk pekerjaan pokok dan oleh karenanya disubkontrakkan.

  Bagi perjanjian kerja yang sudah disepakati dengan pekerja outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No.

  B.31/PHI.JSK/I/2012.

  Pada lain sisi, bagi pekerja outsourcing, sebenarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap makin melegalkan outsourcing di Indonesia, dan terutama tidak disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengenai pekerjaan apa saja yang dapat di outsourcingkan.

  Perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja. Model kontrak

  

outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena

  Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konflik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat

  

  kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus, pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan pemberi pekerjaan maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja, bukan dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Kalaupun di dalam ketentuan undang-undang diatur bahwa pekerja outsourcing dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa namun apabila terjadi pelanggaran hal tersebut tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah.

  Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerja outsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika pekerja 57 Beberapa kasus, a.l. adalah tahun 2002 pekerja di PT Tri Patra Engineer and Contractor

  

menolak PHK yang dilakukan terhadap mereka dan minta dipekerjakan kembali di PT Caltex Pacific

Indonesia, karena menganggap PT TPEC bukan majikan mereka sebagai perusahaan penyedia jasa,

juga kasus PHK karyawan outsourcing PT Bakrie Tosan Jaya berdasarkan Putusan Kasasi MA No 192 K/PHI/2007 yang memenangkan termohon kasasi PT Bakrie Tosan Jaya sebagai perusahaan pengguna yang menolak memberikan kompensasi PHK kepada karyawan outsourcingnya.

  

outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna yang

sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing.

  Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak- haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pemberi kerja.

  Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dapat ditarik analogi seperti hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pemberi pekerjaan dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa.

  Konsekuensi apabila perjanjian kerja waktu tidak tertentu tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 13 Tahun

  2003 tentang ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi pekerja kontrak tetapi di angkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun dimulai sejak pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja, akan tetapi ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membatasi pekerja yang bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu secara terus menerus dan demi hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap serta ketentuan mengenai pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna apabila terjadi pelanggaran ketentuan Pasal 65 dan 66 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut mengenai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, mengakibatkan akal-akalan yang terjadi selama ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru dengan memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut dipekerjakan kembali. Hal tersebut di atas tentu sangat merugikan pekerja, sebab status dan kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi pihak pekerja itu sendiri.

  Keluhan lain datang dari pihak perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing. Hampir semua perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan kemampuan dan kompetensi pekerja outsourcing yang rendah di samping apabila pekerja outsourcing dari perusahaannya melakukan tindakan pidana dalam perusahaan atau pelanggaran lain yang merugikan perusahaan pemberi pekerjaaan, maka perusahaan outsourcing yang menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat, oleh karena tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Sulitnya memperoleh pekerja yang berkualitas baik secara akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih menjadi masalah bagi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

  Keluhan terakhir akhirnya tetap datang dari pekerja outsourcing yang semula berstatus sebagai pekerja kontrak bertahun-tahun dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerja outsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan jasa

  

  dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan. Sebagian pekerja

  

outsourcing ini cenderung lebih memilih bekerja kontrak dibandingkan dengan

  bekerja secara outsourcing karena kemudian menjadi lebih tidak jelas mengenai hak dan kedudukannya.

  Menurut analisa peneliti model outsourcing yang pertama dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.

  B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 yaitu dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan

  

outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi

  berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), lebih efektif diterapkan pada outsourcing pekerja/buruh karena pada umumnya outsourcing pekerja/buruh 58 Kasus pekerja wartawan korespondensi kontrak PT Tempo Interaktif area Jawa Tengah yang beralih status menjadi pekerja outsourcing, Purwokerto, Oktober 2011. digunakan untuk jenis pekerjaan yang tetap ada seperti security dan cleaning service sehingga job security dan pengembangan karir dari pekerja outsourcing bisa terlaksana dengan baik dengan demikian tidak adalagi perbedaan dalam hal keamanan kerja dan pemenuhan hak-hak normatif yang diatur dalam Undang-Undang antara pekerja/buruh dari perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerja/buruh outsouricng.

  Model outsourcing yang kedua dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 yaitu bagi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing yang menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing (Transfer Of

  

Undertaking Protection Of Employment ) untuk objek kerja yang sama lebih efektif

  diterapkan dalam outsourcing pekerjaan. Dengan adanya pengalihan perlindungan bagi pekerja outsourcing akan memberikan jaminan akan kelangsungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dari awal, dengan demikian walaupun terjadi penggantian perusahaan pemborong pekerjaan sebelum habis masa perjanjian pemborongan pekerjaan para pekerja/buruh outsourcing tetap akan dipekerjakan oleh perusahaan pemborong pekerjaan lainnya yang menggantikan perusahaan pemborong sebelumnya sampai perjanjian pemborongan pekerjaan selesai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

  Dalam amar putusannya pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-

  IX/2011 disebutkan perjanjian kerja waktu tertentu dalam pasal 65 ayat (7) dan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia pekerja/buruh, namun tidak dijelaskan konsekuensi hukum atas tidak dimilikinya kekuatan hukum yang mengikat atas perjanjian kerja waktu tertentu tersebut hal.

  Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selaku pelaksana teknis mengenai ketenagakerjaan dalam Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. B.31/PHI.JSK/I/2012 hanya mempertegas Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai konsekuensi hukum yang ditimbulkan akibat putusan tersebut. Hal inilah yang menurut peneliti Putusan Mahkamah Konstitusi malah semakin membuat binggung para kalangan baik pengusaha maupun pekerja, yang seharusnya hal ini tidak boleh sampai terjadi karena masalah ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat penting dan menyangkut harkat hidup orang banyak.

  

B. Pelaksanaan Outsourcing antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS

Indonesia

  Pasal 59 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merumuskan bahwa: perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 1.

  Pekerja yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun;

  3. Pekerjaan yang bersifat musiman, atau; 4.

  Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

  Pada awal berdirinya pihak manajemen PT. Mahkota Group merencanakan mengenai status pekerja, selain pekerja dengan status pekerja tetap pada level

  

managerial juga akan direkrut pekerja/buruh kontrak untuk pekerjaan pendukung

  

  seperti cleaning service dan security, namun setelah mengetahui adanya pengaturan yang melarang memperkerjakan pekerja kontrak lebih dari tiga tahun untuk pekerjaan yang dilakukan terus menerus maka perekrutan pekerja/buruh kontrak dibatalkan, pihak manajemen memilih menyerahkan sebagian dari pekerjaan tersebut kepada pihak ketiga dengan menggunakan jasa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

  59 Wawancara dengan Julia (HCM Coordinator PT. Mahkota Group) pada tanggal 2 Maret 2012.

  Faktor lain yang mendorong pihak manajemen PT. Mahkota Group melakukan penyerahan sebagian pekerjaan melalui perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh adalah PT. Mahkota Group menyadari dari sudut pandang ekonomi penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain membawa dampak yang

   positif bagi efisiensi dan efektifitas dalam hal biaya dan resiko ketenagakerjaan.

  Keuntungan yang diperoleh dari PT. Mahkota Group dengan menyerahkan sebagian pekerjaan melalui perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh adalah PT.

  Mahkota Group dapat membagi resiko dengan pihak lain, dengan diserahkan beberapa aktivitas perusahaan kepada pihak ketiga maka resiko akan ditanggung bersama misalnya ketika perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja dimana hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

  Selain itu, dengan outsourcing, perusahaan dapat mengurangi dan mengendalikan biaya operasional seperti biaya pengawasan dan pelatihan pekerja/buruh, Pengurangan biaya ini dapat dimungkinkan dengan bekerjasama dengan mitra

  

outsourcing yang memberikan penawaran jasa penyedia pekerja/buruh yang

   kompeten dibidangnya dengan harga yang kompetitif.

  Penggunaan pekerja/buruh outsourcing membuat perusahaan dapat memusatkan diri pada masalah dan strategi utama, karena pelaksanaan tugas sehari- hari yang kecil-kecil, seperti cleaning service diserahkan kepada pihak ketiga. Pelaksanaan tugas sehari-hari yang kecil-kecil seringkali menghabiskan waktu dan 60 61 Ibid Ibid tenaga para manajer tengah yang sering kali bersifat counter productive terhadap pencapaian tujuan utama perusahaan, dengan mengalihkan non core business, para manajer perusahaan dapat lebih mengkonsentrasikan diri pada bisnis utama atau core businessnya sehingga akan dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik dan mempercepat perkembangan perusahaan.

  Umumnya jenis pekerjaan yang diserahkan kepada pihak melalui pekerjaan pemborongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh adalah sebagai berikut:

  1. Outsourcing Pekerjaan, seperti: jasa pemeliharaan jalan untuk perkebunan kelapa sawit, dan jasa pembukaan lahan (land clearing).

  2. Outsourcing Pekerja, seperti: Cleaning Service dan Security.

  Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa tidak semua pekerjaan diserahkan kepada pihak lain yang dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Hanya pekerjaan yang bersifat penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau core business yang diserahkan kepada perusahaan lain.

  PT. Mahkota Group tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas cleaning service dan security secara baik dan memadai, oleh sebab beberapa hal yang telah diuraikan diatas, PT. Mahkota Group menyerahkan kepada pihak ketiga melalui perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerja/buruh.

  Penyerahan kepada pihak ketiga telah dilakukan sejak perusahaan ini berdiri sampai dengan sekarang. Mitra kerja perusahaan dalam jasa cleaning service adalah PT. ISS

62 Indonesia.

  Penyerahan sebagian pekerjaan dari PT. Mahkota Group kepada PT. ISS Indonesia dilaksanakan melalui Perjanjian kerjasama penyediaan jasa cleaning

  

sercive No. 073/MRS/2010/IV/M328. Perjanjian kerjasama tersebut bila dinalisa dari

  perspektif KUH perdata yaitu Pasal 1338 KUH Perdata (asas kebebasan berkontrak), “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Dengan demikian suatu kontrak yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338, diakui oleh hukum pelaksanaannya.

  Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat merupakan syarat pokok, yang dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu:

  

  1. yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek Syarat subyektif kontrak, terdiri: a) 62 Kesepakatan 63 Ibid Suatu kontrak yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat subyektif dapat dimintakan

  

pembatalannya. Dengan kata lain, kontrak ini dari semula sudah dilaksanakan atau berlaku bagi para

pihak, tetapi karena tidak terpenuhinya syarat subyektifnya, yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan

dari para pihak, atas permintaan dari pihak yang meminta pembatalan dapat dinyatakan batal oleh hakim, jika tidak kontrak itu selamanya sah dan berlaku b) Kecakapan

  

  2. yaitu syarat-syarat mengenai obyek dari kontrak, yaitu: Syarat obyektif,

  a) Hal tertentu

  b) Sebab yang halal

  Perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerja/buruh antara PT. Mahkota Group dan PT. ISS Indonesia telah memenuhi persyaratan subjektif yaitu para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, dimana pihak yang mengadakan kesepakatan memiliki kecakapan untuk mewakili PT. Mahkota Group dan PT. ISS Indonesia dan persyaratan objektif dalam kontrak tersebut terdapat hal tertentu yaitu penyediaan jasa pekerja/buruh untuk cleaning service dan dilakukan dengan sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada didalam masyarakat.

  Dari perspektif hukum ketenagakerjaan, dalam perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerja/buruh antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia No. 073/MRS/2010/IV/M328 ada 4 (empat) hal yang dapat dianalisa antara lain : 1.

  Pekerjaan yang diberikan kepada pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh merupakan pekerjaan yang bersifat penunjang yaitu cleaning

  service dan bukan pekerjaan pokok yang berhubungan langsung dengan