Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Grup Dengan PT. ISS Indonesia

(1)

ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING

STUDI PADA PERJANJIAN KERJA ANTARA PT. MAHKOTA

GROUP DENGAN PT. ISS INDONESIA

T E S I S

Oleh

RONNY EDWARD

107005058/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING

STUDI PADA PERJANJIAN KERJA ANTARA PT. MAHKOTA

GROUP DENGAN PT. ISS INDONESIA

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RONNY EDWARD

107005058/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING

STUDI PADA PERJANJIAN KERJA ANTARA PT. MAHKOTA GRUP DENGAN PT. ISS INDONESIA

Nama Mahasiswa : Ronny Edward Nomor Pokok : 107005058 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum Ketua

)

(Dr. Agusmida, SH, M.Hum Anggota

) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS Anggota

)

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

D e k a n

) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 26 Mei 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. Agusmida, SH, M.Hum

2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 3. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Beberapa tahun terakhir ini, pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh banyak kalangan, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh ditambah lagi belum ditemukan perangkat hukum dalam hal ini Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun peraturan dibawahnya yang memberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran khususnya yang berkaitan dengan outsourcing. Berkaitan dengan hal itu permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengaturan hak dan kewajiban tenaga kerja outsourcing PT ISS Indonesia dan perusahaan pengguna jasa outsourcing yakni PT. Mahkota Group, tanggung jawab hukum PT ISS Indonesia terhadap pekerja outsourcing yang melanggar aturan kerja pada perusahaan PT. Mahkota Group, dan upaya yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group.

Jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen menggunakan peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain yang didukung dengan wawancara kepada para informan menggunakan pedoman wawancara sehingga hasilnya diharapkan sesuai pada sasaran yang diinginkan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan hak dan kewajiban pekerja outsourcing dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja yaitu PT. ISS Indonesia karena adanya hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, dengan adanya hubungan kerja tersebut sehingga jika pekerja outsourcing melanggar peraturan kerja perusahaan pemberi pekerjaan, yang bertanggung jawab secara hukum menyelesaikan hal tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja hal ini sesuai dengan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upaya yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group yaitu: kesehatan kerja, jaminan sosial dan keselamatan kerja.

Belum lengkapnya regulasi pemerintah dalam mengatur outsourcing menimbulkan dampak yang negatif terhadap pelaksanaan outsourcing di Indonesia untuk itu pemerintah disarankan agar membuat regulasi yang menegaskan definisi dari pekerjaan pokok dan penunjang dan sekaligus mengatur mengenai pemberian sanksi terhadap perusahaan penyedia jasa pekerja yang tidak memenuhi kewajibannya dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja outsourcing, disamping itu sosialisasi dan pengawasan secara berkala yang tetap harus dilakukan oleh pemerintah guna memastikan peraturan tersebut diimplementasikan dengan baik. Kata kunci : Pekerja/buruh, Outsourcing, Perlindungan hukum.


(6)

ABSTRACT

In the previous years, the implementation of outsourcing, related to work relations, has been much discussed be many people since it is done intentionally in order to reduce the cost of paying workers. It is under the protection and working condition of being far below than it should be given so that workers are very disadvantageous. Moreover, Law No. 13/2003 on Employment or the regulation under it which imposes strict sanction upon those who violate the regulations on outsourcing. Based on the explanation above, the research presents some problems in this research, as follows: the disposition of rights and obligations on outsourcing workers at PT ISS Indonesia and PT Mahkota Group which uses outsourcing services, PT ISS Indonesia’s legal responsibilities for the outsourcing workers who violate the work regulations at PT Mahkota Group, and the attempts made by PT ISS Indonesia to use legal protection for outsourcing workers at PT Mahkota Group.

The research was judicial normative, for it was library research or documentation study by using written regulations and other legal documents which were supported by conducting interviews with the informants, using interview guidance so that the results would be in accordance with the intended target.

The results showed that the disposition of rights and obligations of the outsourcing workers was done by PT ISS Indonesia as the provider of work services because it was related to the relationship between the outsourcing workers and the provider of work services. In this work relationship, if the outsourcing workers violate the regulations, the company which provided the work services would take legal responsibility for solving the case, according to Article 66, Paragraph (2) of Law No. 13/2003 on Employment. Some attempts made by PT ISS Indonesia to use legal protection for outsourcing workers who worked at PT Mahkota Group were health care, social security, and work safety.

The lack of the government regulations on outsourcing has negative effects on the implementation of outsourcing in Indonesia; therefore, it is recommended that the government should make regulations which emphasize the definition of the main and supplementary jobs and about imposing sanctions on the companies which provide work services if they do not give legal protection to the outsourcing workers. It is also recommended that the socialization and regular controls should be done by the government in order to ensure that the implementation is carried out properly.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat dan karunia – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini bisa diselesaikan tidak terlepas dari banyaknya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi – tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Agusmidah, SH, M.Hum serta Dr.


(8)

Pendastaren Tarigan, SH, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide serta saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku penguji tesis penulis.

6. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada program Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU yang telah memberikan ilmu dan motivasi dalam setiap perkuliahan.

7. Kepada rekan-rekan pada PT. Mahkota Group dan PT. ISS Indonesia yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan dan pengadaan data-data yang dibutuhkan penulis dalam pembahasan tesis ini

8. Semua pihak yang telah berpartisipasi membantu penulis dalam menjalani pendidikan maupun dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi diri penulis sendiri pada khususnya dan khayalak pembaca pada umumnya.

Medan, Mei 2012 Penulis

Ronny Edward NIM. 107005058


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori... 11

2. Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian... 20

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 22


(10)

BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA OUTSOURCING PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN

PENGGUNA JASA OUTSOURCING PT. MAHKOTA GROUP ... 24

A. Outsourcing di Indonesia ... 24

1. Gambaran Umum Pelaksanaan Outsourcing ... 24

2. Outsourcing Menurut Peraturan Perundang - Undangan ... 30

3. Keberadaan Outsourcing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ……… 39

B. Pelaksanaan Outsourcing antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia ... 48

C. Hak dan Kewajiban Pekerja ... 55

1. Hak – Hak Pekerja ……….. 55

2. Kewajiban Pekerja ... 58

D. Hak dan Kewajiban Antara Pekerja Outsourcing dan PT. Mahkota Group ... 58

BAB III TANGGUNG JAWAB HUKUM PT. ISS INDONESIA TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING YANG MELANGGAR PERATURAN KERJA PT. MAHKOTA GROUP ... 68

A. Hubungan Hukum Dalam Outsourcing ... 68

1. Hubungan Hukum Antara Pekerja/Buruh Dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh ……….. 68

2. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan Dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh ... 71

3. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan Dengan Pekerja/Buruh ... 73

B. Peraturan Kerja PT. Mahkota Group ... 75

C. Tanggung Jawab Hukum PT. ISS Indonesia atas Pelanggaran yang dilakukan oleh Pekerja Outsourcing ... 77


(11)

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. ISS INDONESIA DALAM MELAKUKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING YANG DITEMPATKAN

PADA PT. MAHKOTA GROUP ... 81

A. Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia ... 81

B. Perlindungan Pekerja/ Buruh Outsourcing PT. ISS Indonesia yang ditempatkan Pada PT. Mahkota Group ... 92

1. Kesehatan Kerja ……….. 93

2. Jaminan Sosial ... 95

3. Keselamatan Kerja ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN


(12)

ABSTRAK

Beberapa tahun terakhir ini, pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh banyak kalangan, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh ditambah lagi belum ditemukan perangkat hukum dalam hal ini Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun peraturan dibawahnya yang memberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran khususnya yang berkaitan dengan outsourcing. Berkaitan dengan hal itu permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengaturan hak dan kewajiban tenaga kerja outsourcing PT ISS Indonesia dan perusahaan pengguna jasa outsourcing yakni PT. Mahkota Group, tanggung jawab hukum PT ISS Indonesia terhadap pekerja outsourcing yang melanggar aturan kerja pada perusahaan PT. Mahkota Group, dan upaya yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group.

Jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen menggunakan peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain yang didukung dengan wawancara kepada para informan menggunakan pedoman wawancara sehingga hasilnya diharapkan sesuai pada sasaran yang diinginkan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan hak dan kewajiban pekerja outsourcing dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja yaitu PT. ISS Indonesia karena adanya hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, dengan adanya hubungan kerja tersebut sehingga jika pekerja outsourcing melanggar peraturan kerja perusahaan pemberi pekerjaan, yang bertanggung jawab secara hukum menyelesaikan hal tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja hal ini sesuai dengan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upaya yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group yaitu: kesehatan kerja, jaminan sosial dan keselamatan kerja.

Belum lengkapnya regulasi pemerintah dalam mengatur outsourcing menimbulkan dampak yang negatif terhadap pelaksanaan outsourcing di Indonesia untuk itu pemerintah disarankan agar membuat regulasi yang menegaskan definisi dari pekerjaan pokok dan penunjang dan sekaligus mengatur mengenai pemberian sanksi terhadap perusahaan penyedia jasa pekerja yang tidak memenuhi kewajibannya dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja outsourcing, disamping itu sosialisasi dan pengawasan secara berkala yang tetap harus dilakukan oleh pemerintah guna memastikan peraturan tersebut diimplementasikan dengan baik. Kata kunci : Pekerja/buruh, Outsourcing, Perlindungan hukum.


(13)

ABSTRACT

In the previous years, the implementation of outsourcing, related to work relations, has been much discussed be many people since it is done intentionally in order to reduce the cost of paying workers. It is under the protection and working condition of being far below than it should be given so that workers are very disadvantageous. Moreover, Law No. 13/2003 on Employment or the regulation under it which imposes strict sanction upon those who violate the regulations on outsourcing. Based on the explanation above, the research presents some problems in this research, as follows: the disposition of rights and obligations on outsourcing workers at PT ISS Indonesia and PT Mahkota Group which uses outsourcing services, PT ISS Indonesia’s legal responsibilities for the outsourcing workers who violate the work regulations at PT Mahkota Group, and the attempts made by PT ISS Indonesia to use legal protection for outsourcing workers at PT Mahkota Group.

The research was judicial normative, for it was library research or documentation study by using written regulations and other legal documents which were supported by conducting interviews with the informants, using interview guidance so that the results would be in accordance with the intended target.

The results showed that the disposition of rights and obligations of the outsourcing workers was done by PT ISS Indonesia as the provider of work services because it was related to the relationship between the outsourcing workers and the provider of work services. In this work relationship, if the outsourcing workers violate the regulations, the company which provided the work services would take legal responsibility for solving the case, according to Article 66, Paragraph (2) of Law No. 13/2003 on Employment. Some attempts made by PT ISS Indonesia to use legal protection for outsourcing workers who worked at PT Mahkota Group were health care, social security, and work safety.

The lack of the government regulations on outsourcing has negative effects on the implementation of outsourcing in Indonesia; therefore, it is recommended that the government should make regulations which emphasize the definition of the main and supplementary jobs and about imposing sanctions on the companies which provide work services if they do not give legal protection to the outsourcing workers. It is also recommended that the socialization and regular controls should be done by the government in order to ensure that the implementation is carried out properly.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian pesat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat yang terjadi di semua lini. Dalam menghadapi persaingan global, perusahaan akan mengalami kesulitan bila memiliki struktur manajemen yang tidak efisien akibatnya resiko usaha dalam segala hal, termasuk resiko ketenagakerjaan pun meningkat. Untuk meningkatkan keluwesan dan kreatifitas, banyak perusahaan besar yang membuat strategi baru dengan konsentrasi pada inti bisnis, mengidentifikasikan proses yang kritikal, dan memutuskan hal-hal yang perlu diserahkan kepada perusahaan lain.1

Pengertian atau definisi dari outsourcing tidak ditemukan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang-Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur dua bentuk penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, inilah yang kemudian populer dan dikenal oleh masyarakat sebagai outsourcing dan sekaligus menjadi dasar pelaksanaan outsourcing di Indonesia. Bentuk penyerahan pekerjaan itu adalah

Hal ini merupakan faktor yang menyebabkan semakin tumbuh dan berkembangnya outsourcing di berbagai negara termasuk di Indonesia.

1

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 186.


(15)

melalui pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.

Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “alih daya”. Outsourcing mempunyai nama lain yaitu “contracting out” merupakan sebuah pemindahan operasi dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal lain.

Prinsip-prinsip outsourcing telah dijalankan sejak dulu. Pada waktu itu, bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk bertempur pada peperangan mereka serta menyewa ahli bangunan untuk membangun kota beserta istana, dengan perkembangan sosial yang ada, prinsip outsourcing mulai diterapkan dalam dunia usaha.2

Sejalan dengan terjadinya revolusi industri di Inggris, perusahaan-perusahaan mencoba melakukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan persaingan. Perusahaan mulai melakukan outsource terhadap fungsi-fungsi yang penting bagi perusahaan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan. Pada tahap ini, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu saja tidak cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesanggupan menciptakan produk yang bermutu tinggi dengan biaya yang rendah.

“Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan. Pada tahap awal

2

Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003), hal.2.


(16)

outsourcing belum diidentifikasikan secara formal sebagai strategi bisnis”.3 Hal ini terjadi karena “banyak perusahaan yang semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian tertentu yang bisa dikerjakan, sedangkan untuk bagian-bagian yang tidak bisa dikerjakan secara internal, dikerjakan melalui outsource.”4

Outsourcing telah mulai berperan sebagai jasa pendukung pada sekitar tahun 1990, ketatnya persaingan mengharuskan manajemen perusahaan melakukan efisensi dalam hal biaya. Perusahaan mulai melakukan outsource terhadap fungsi-fungsi yang penting bagi perusahaan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan.5

Perusahaan pemberi pekerjaan dalam prakteknya menetapkan kualifikasi dan syarat-syarat kerja, dan atas dasar itu perusahaan outsourcing merekrut calon tenaga kerja. Hubungan hukum pekerja bukan dengan perusahaan pemberi pekerjaan akan tetapi dengan perusahaan outsourcing. Oleh sebab itu ada 3 pihak dalam sistem outsourcing yaitu:

1. Perusahaan Pemberi Kerja (Principal) 2. Perusahaan Jasa Outsourcing

3. Pekerja/buruh

Penggunaan jasa perusahaan outsourcing dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja akan memberikan berbagai benefit: “Pertama, perusahaan principal dapat

3

Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (Jakarta: DDS Publishing, 2006), hal. 7.

4

Lalu Husni, Op. Cit, hal. 187.

5


(17)

membagi beban/risiko usaha. Kedua, tercapai efisiensi karena segala sumber daya perusahaan tersebut diarahkan pada pekerjaan-pekerjaan yang merupakan bisnis inti perusahaan. Jadi, penyerahan pekerjaan-pekerjaan tertentu kepada pihak lain sesungguhnya tidak hanya dilakukan dalam rangka menekan biaya produksi.”6

Outsourcing berkaitan erat dengan ketenagakerjaan, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan menjadi faktor penting dalam mengacu perkembangan outsourcing di Indonesia. Legalisasi penggunaan jasa outsourcing baru terjadi pada tahun 2003, yakni dengan keluarnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pengaturan hukum penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep.220/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.

Perumusan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang paling dekat dengan penyediaan pekerja/buruh outsourcing adalah pada Pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja yang

6


(18)

dibutuhkan melalui pelaksanaan penempatan tenaga kerja. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari:7

1. Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan 2. Lembaga swasta yang berbadan hukum yang telah memiliki izin dari

menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Selain itu, Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:8

1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan 4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Terkait dengan pelaksanaan outsourcing ini, pada tanggal 17 Januari 2012 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 27/PUU-IX/2011 mengeluarkan aturan baru tentang pelaksanaan outsourcing. Mahkamah Kostitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materil Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan Didik Suprijadi, pekerja dari Alinsi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML).

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja

7

Gunarto Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Outsourcing, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2006), hal 12

8


(19)

tidak dieksploitasi, Kementerian Tenaga Kerja selaku pelaksana teknis mengenai ketenagakerjaan melalui Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 menawarkan dua model outsourcing: pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT); kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.9

Pada model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan.

Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandangan dalam menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui tentang Pelaksanaan 17 Januari 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi itu ditindaklanjuti dengan Surat

9

Diana Kusumasari, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja OutsourcingPasca-Putusan MK,

diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f2186f3b9d1b/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-outsourcing-pasca-putusan-mk, terakhir kali diakses pada tanggal 05 Maret 2012


(20)

Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin.

Beberapa tahun terakhir ini, pelaksanaan outsourcing sangat banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh, pengaturan hak dan kewajiban pekerja outsourcing yang tidak jelas, tidak adanya hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan yang mengakibatkan lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh outsourcing, ditambah lagi belum ditemukan perangkat hukum dalam hal ini Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun peraturan dibawahnya yang memberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran khususnya dalam hal yang berkaitan dengan

outsourcing. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan tidak

terpenuhinya kesejahteraan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga tujuan dari diadakannya outsourcing menjadi tidak tercapai.

PT. Mahkota Group merupakan Holding Company yang terbentuk pada Maret 2011 dan berkantor pusat di Medan, Sumatera Utara. PT. Mahkota Group membawahi beberapa bidang usaha yang tersebar di pulau Sumatera, seperti beberapa perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit di Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan, usaha di bidang transportasi darat di Sumatera Selatan, usaha di bidang pabrik karet (Rubber Industry) di Sumatera Utara, usaha di bidang jasa


(21)

konstruksi dan usaha di bidang properti di Sumatera Utara.

PT. Mahkota Group dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya bekerjasama dengan pihak perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh salah satunya adalah PT. ISS Indonesia. PT. ISS Indonesia menyediakan tenaga kerja yang bersifat pendukung/penunjang (support), adapun kegiatan tersebut adalah usaha pelayanan kebersihan (cleaning service).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia.

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini difokuskan pada beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban antara pekerja outsourcing PT ISS Indonesia dan perusahaan pengguna jasa outsourcing yakni PT. Mahkota Group?

2. Bagaimana tanggung jawab hukum PT. ISS Indonesia terhadap pekerja

outsourcing yang melanggar peraturan kerja pada perusahaan PT. Mahkota


(22)

3. Upaya apa yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban antara pekerja outsourcing PT ISS Indonesia dan perusahaan pengguna jasa outsourcing yakni PT. Mahkota Group.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum PT. ISS Indonesia terhadap pekerja outsourcing yang melanggar peraturan kerja pada perusahaan PT. Mahkota Group.

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil Penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis, hasil Penelitian ini merupakan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum ketenagakerjaan.


(23)

2. Secara Praktis, bahwa Penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perdata, bagi praktisi hukum serta profesi lainnya yang berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan. Demikian halnya bagi masyarakat umum yang merupakan subjek hukum yang dalam kehidupan sehari-harinya melakukan perjanjian outsourcing.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia.” belum pernah dilakukan.

Beberapa hasil penelitian yang telah ditelusuri memiliki topik yang sama, namun permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda, yaitu:

1. Analisis Hukum Perjanjian Kerja outsourcing di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003), diteliti oleh Swary Natali Tarigan, NIM 077011070. Penelitian ini membahas mengenai klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing, hubungan hukum antara pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan pengguna


(24)

jasa outsourcing, dan penyelesaian sengketa terhadap pekerja/buruh outsourcing yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja. 2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh dalam Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu (PWKT) Ditinjau dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diteliti oleh Muhammad Fajrin Pane, NIM 067005017. Penelitian ini membahas mengenai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mengatur tentang PKWT, pengaturan PKWT dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, perlindungan hukum terhadap pekerja/ buruh yang terikat dalam PKWT.

Dengan demikian penelitian dengan judul “Analisis Hukum Perjanjian Kerja outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia” adalah asli dan dapat saya pertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya10

Menetapkan landasan teori mutlak dilakukan agar pada waktu diadakan penelitian tidak salah arah. Rumusan Landasan teori seperti yang dikemukakan M.

.

10

J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203


(25)

Solly Lubis, yang menyebutkan “Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan” 11

Teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah “Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut”12

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati dan sebagai pisau analisis bagi peneliti untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini ada Teori Hukum Perjanjian dan Teori Perlindungan Hukum.

Mengenai pengertian perjanjian R. Subekti mengemukakan: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”13

11

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80.

Perjanjian ini menerbitkan

12

Maria S.W. Sumarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia, 1989), hal.12.

13


(26)

suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut Sudikno Mertokusumo, “perjanjian adalah sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”14

Agar suatu perjanjian sah harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa dalam suatu perjanjian akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari pihak yang membuat perjanjian, masing-masing pihak terkait satu dengan yang lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian.

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri b. Kecakapan untuk membuat perjanjian c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut: Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan

14

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal 96.


(27)

untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Selain pengertian normatif seperti tersebut di atas, Iman Soepomo berpendapat, bahwa “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”.15

Definisi perjanjian kerja menurut Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.16 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.17

15

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 3.

Subyek hukum dalam perjanjian kerja terdiri dari pengusaha dan pekerja. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud sebagai pekerja/buruh setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha pada Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

16

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

17


(28)

dalam suatu hubungan kerja diawali dengan suatu perjanjian yang dalam hal ini adalah suatu perjanjian kerja terlebih dahulu.

Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.18 Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan hukum menjadi dua macam yaitu19

a. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa.

:

b. Perlindungan hukum yang represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.

Perlindungan hukum pada prinsipnya tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.

18

Satijpto Raharjo, Sisi – Sisi Lain dari Hukum di Indonesia,(Jakarta : Kompas,2003), hal. 121.

19

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya : Bina Ilmu,1987), hal. 205.


(29)

Selanjutnya mengenai pengertian perlindungan hukum bagi pekerja/buruh, Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja menjadi 3 (tiga) macam yaitu20

a. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya.

:

b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang bertujuan memungkinkan pekerja mengenyam dan mengembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan anggota masyarakat dan anggota keluarga pada khususnya.

c. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan.

Tujuan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh itu sendiri untuk menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh agar dapat hidup, berkembang dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Persoalan tenaga kerja khususnya mengenai perlindungan hukum tenaga kerja merupakan persoalan yang tidak mudah karena masalah perlindungan hukum tenaga kerja mempunyai kaitan erat dalam pembentukan, peningkatan tenaga kerja yang berkualitas, kemampuan dan keterampilan tenaga kerja. Tujuan terpenting adalah membangun masyarakat sejahtera, karena pekerja/buruh sebagai pelaksana pembangunan harus dijamin haknya dan diatur kewajibannya.

20

Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, (Bogor : Gahlia Indonesia, 2010), hal. 61.


(30)

Kedudukan pekerja/buruh sebagai pelaku pembangunan dan peranannya dalam meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan masyarakat harus diberdayakan sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi, untuk itu diperlukan perlindungan hukum terlebih bagi calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan sebagai tenaga outsourcing.

Maraknya perkembangan di bidang tenaga kerja khususnya penggunaan pekerja/buruh outsourcing selama ini menimbulkan berbagai macam penyimpangan-penyimpangan, seperti pelanggaran terhadap hak-hak normatif pekerja/buruh. Terhadap penyimpangan yang terjadi tersebut maka diperlukan upaya perlindungan hukum bagi pekerja/buruh outsourcing.

2. Konsepsi

Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.21

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.22

Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari pada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga

21

Samadi Suryabrata, Metodelogi penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3

22

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.7


(31)

diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian23.

Selanjutnya, konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, apabila masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. “Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris”24

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran penelitian ini berikut didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut:

.

a. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.25

b. “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.”26

c. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal.133

24

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21

25

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

26


(32)

pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.27

d. Outsourcing pekerjaan adalah istilah lain dari penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan

Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain inilah yang populer dikenal di masyarakat sebagai outsourcing

28

e. Outsourcing pekerja/buruh adalah istilah lain dari penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui penyediaan jasa pekerja/buruh

29

f. Hak Normatif pekerja adalah semua hak pekerja yang tercantum dalam peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama.

30

g. Kewajiban pekerja adalah suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh pekerja setelah adanya kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja, kewajiban harus dilakukan dan akan mendapat sanksi bila melanggarnya.

h. Pekerjaan Penunjang (non core activity) adalah kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha

27

Pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

28

Agusmidah, Op. Cit., hal 54

29

Ibid.

30

Bambang Supriyanto, Apa Saja Hak Normatif Karyawan, diakses dari http://portalhr.com/konsultasi/apa-saja-hak-normatif-karyawan/. Diakses terakhir kali tanggal 10 Maret 2012.


(33)

penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.31

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dari asal kata Methodos yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.32

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitan hukum normatif (yuridis normatif), karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

33

Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu Penelitian dalam rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi dalam analisis hukum perjanjian kerja outsourcing studi pada perjanjian kerja sama antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia.

31

Penjelasan Pasal 66 Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

32

Koentjaraningrat, Op. Cit, hal.16.

33


(34)

2. Sumber Data

Dalam penelitan hukum normatif, umumnya data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Adapun data sekunder terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dan merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep.220/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. Kep. 102/MEN/IV/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, Perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerja/buruh antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia No. 073/MRS/2010/IV/M328 dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan objek penelitian.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar, karya ilmiah atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.


(35)

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan jurnal-jurnal ilmiah

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui :

a) Studi kepustakaan

Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain.

b) Wawancara

Wawancara dilakukan dengan pejabat di PT. Mahkota Group dan PT. ISS Indonesia yaitu dengan Julia (HCM Coordinator PT. Mahkota Group) dan Fachrizal Hidayat (Supervisor PT. ISS Indonesia) dengan menggunakan pedoman wawancara agar lebih fokus dan sistematis.

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh dari wawancara dianalisis secara kualitatif. Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul melalui penelitian kepustakaan dan wawancara yang dilakukan, inventarisasi peraturan, data-data yang berkaitan dengan


(36)

penelitian, sehingga analisis yang dilakukan dapat memberikan gambaran mengenai perjanjian kerja outsourcing antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia.

Data yang didapat dari penelitian studi dokumen dan data yang diperoleh dari wawancara akan disusun secara sistematik untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban antara pekerja outsourcing PT ISS Indonesia dan perusahaan pemberi pekerjaan/ pengguna jasa outsourcing yakni PT. Mahkota Group, tanggung jawab hukum PT ISS Indonesia terhadap pekerja outsourcing yang melanggar peraturan kerja pada perusahaan PT. Mahkota Group, upaya yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group.


(37)

BAB II

PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA

OUTSOURCING PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN PENGGUNA

JASA OUTSOURCING PT. MAHKOTA GROUP

A. Outsourcing di Indonesia

1. Gambaran Umum Pelaksanaan Outsourcing

Pelaksanaan outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena apabila dilihat dari hubungan kerja sebagian besar dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah sebatas upah minimum yang ditetapkan pemerintah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti ini dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.34

Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu

34

Muzni Tambusai, “Pelaksanaan outsourcing Ditinjau Dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan Tidak Mengaburkan Hubungan Industrial”, diakses dari http//outsourcingonline.wordpress.com/2007/03/06. Diakses terakhir tanggal 18 Februari 2012.


(38)

luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.35

Pelaksanaan outsourcing dalam beberapa tahun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih terdapat bebagai kelemahan terutama disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan pemerintah

36

yang berdampak pada rendahnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh outsourcing. Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lainnya adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, tidak menghambat proses produksi secara langsung dan terpisah dari kegiatan utama namun tidak dijelaskan pekerjaan yang tergolong dalam kegiatan utama suatu perusahaan sehingga dalam prakteknya sulit ditentukan mana yang termasuk kegiatan utama dan kegiatan penunjang perusahaan.37

35

Ibid.

Permasalahan upah juga ditemukan dalam sistem outsourcing dimana pada kenyataannya pekerja outsourcing menerima upah sebesar upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah sedangkan perusahaan pengguna jasa outsourcing membayar upah yang jauh lebih tinggi. Sampai saat ini belum ada aturan dari pemerintah yang mengatur besarnya

36

Andari Yurikosari, Hubungan Kerja dan Outsourcing, makalah disampaikan pada Forum Konsultasi Peraturan Perundang-undangan Bidang Hubungan Industrial Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bogor, 27 November 2010, hal 1.

37


(39)

presentase potongan maksimal yang boleh dilakukan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dari upah yang diterima pekerja38

Outsourcing sering dikaitkan dengan istilah perbudakan jaman modern hal ini disebabkan karena pekerja outsourcing merupakan pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang ditempatkan pada perusahaan pemberi pekerjaan, dimana perusahaan penyedia jasa pekerja mendapatkan sejumlah uang dari perusahaan pemberi pekerjaan kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sebagian dari upah tersebut sebagai imbalan atas jasa penyediaan pekerja/buruh, sisanya dibayarkan kepada pekerja outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pemberi pekerjaan, dalam hal ini seolah-olah antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan terjadi perjanjian sewa-menyewa buruh.

.

39

Perjanjian kerja antara pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh atau perusahaan pemborongan pekerjaan sebagian besar didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sehingga tidak ada job security bagi para pekerja outsourcing, tidak adanya kepastian akan kesinambungan kerja bagi pekerja outsourcing menyebabkan pekerja selalu merasa terancam.

40

Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, pemanfaatan outsourcing sudah sedemikian mengglobal karena menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan/ usaha pokoknya sehingga lebih fokus pada keunggulan

38

Ibid, hal 194.

39

Andari Yukosari, Op. Cit., hal 4.

40


(40)

pelayanan produknya. Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan.

Salah satu kunci kesuksesan dari outsourcing adalah kesepakatan untuk membuat hubungan jangka panjang (long term relationship), tidak hanya kepada proyek jangka pendek. Alasannya sangat sederhana, yaitu perusahaan outsourcing ini harus memahami proses bisnis dari perusahaan. Perusahaan juga akan menjadi sedikit banyak tergantung kepada perusahaan outsourcing. Namun ternyata hal ini tidak mudah dilakukan di Indonesia. Terlebih-lebih lagi di Indonesia ada banyak masalah dalam menentukan mitra outsourcing. Di institusi milik pemerintah, seperti BUMN, pemilihan penyedia layanan harus dilakukan melalui tender. Akibatnya pemenang tender sulit untuk diramalkan. Demikian pula perpanjangan layanan mungkin harus ditenderkan lagi. Hubungan baik antara pengguna jasa outsourcing dan penyedia jasa outsourcing sulit tejadi.

Persaingan usaha yang begitu ketat dewasa ini menuntut perusahaan untuk melakukan efisiensi dan efektifitas dalam melaksanakan kegiatannya. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen,


(41)

dengan memangkas sedemikian rupa biaya-biaya yang dikeluarkan sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan outsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.41

Pada lingkungan persaingan global, outsourcing dapat sangat membantu suatu organisasi atau membantu membuat permasalahan organisasi dapat terorganisir dengan baik dan menjadi stabil. Kuncinya adalah menemukan dan memelihara kestabilan. Dalam menghadapi tantangan, manajemen harus menentukan fungsi-fungsi yang merupakan kemampuan inti dari organisasi dan mempertahankannya. Salah satu cara untuk mempertahankan kemampuan inti tersebut dengan melakukan outsourcing guna meminimalkan investasi dan resiko pada organisasi.

42

Untuk menjamin keberhasilan dalam kegiatan outsourcing harus dilakukan melalui langkah-langkah tepat. Kekeliruan yang diambil akan menyebabkan outsourcing tidak efektif, bahkan dapat menghasilkan akibat yang membahayakan perusahaan. Melakukan implementasi outsoutcing bukanlah hal yang sederhana, berbagai pertimbangan harus diperhitungkan dan diputuskan. Kesalahan pengambilan keputusan mengenai outsourcing dapat mengakibatkan masalah, terutama masalah

41

Muzni Tambusai, Pelaksanaan outsourcing dari Aspek Hukum Naker,http://www.nakertrans. go.id/250604/html, diakses tanggal 10 Desember 2011.

42

Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi di Indonesia, (Jakarta: Alex Media Komputindo, 2003), hal. 148.


(42)

yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Agar efektif, implementasi outsourcing harus dilakukan langkah-langkah yang tepat sebagai berikut:

a. Mendefinisikan tujuan outsourcing;

b. Identifikasi fungsi-fungsi yang akan di- outsourcing ; c. Memperhitungkan resiko;

d. Mengajukan permintaan tertulis (kepada penyedia jasa outsourcing); e. Menseleksi vendor yang ada pada daftar permintaan proposal; f. Mengevaluasi proposal

g. Menegosiasikan harga akhir.

Sebelum melakukan outsourcing, setiap operasi/proses bisnis harus dianalisa dan di evaluasi dalam ketentuan kualitas, efektifitas biaya, dan efesiensi secara keseluruhan. Selain itu, diperlukan juga perhitungan dan kalkulasi akurat dalam setiap operasi dan layanan yang akan di-outsourcing, fungsi-fungsi awal yang harus di outsourcing sangat bergantung pada jenis perusahaan, kondisi perusahaan, tujuan perusahaan, serta situasi dan kondisi makro ekonomi yang melingkupi perusahaan tersebut.43

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerimaan pemborongan pekerjaan antara lain perjanjian penyerahan pekerjaan tersebut harus dilaksanakan melalui perjanjian tertulis dan perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus memiliki badan hukum. Dalam hal dibeberapa daerah yang tidak terdapat perusahaan pemborongan

43


(43)

pekerjaan yang berbadan hukum, penyerahan pekerjaan dapat diserahkan pada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum, dimana pemenuhan hak-hak pekerja/buruh merupakan tanggung jawab perusahan yang bukan berbadan hukum tersebut dan harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.

Selain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, perusahaan juga dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya melalui perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh. Hal yang harus diperhatikan dalam perjanjian penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penyedia pekerja/buruh yaitu perjanjian itu harus dibuat secara tertulis dan perusahaan pemberi pekerjaan harus dapat memastikan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh berbadan hukum dan memiliki ijin dari instansi terkait dalam hal ini adalah instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

2. Outsourcing Menurut Peraturan Perundang-undangan

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1601b KUH Perdata mengatur perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Perjanjian pemborongan ini yang kemudian setelah keluarnya Undang-undang Ketenagakerjaan dikenal dengan istilah penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan yang populer dimasyarakat dengan istilah outsourcing pekerjaan.


(44)

Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antar kedua belah pihak yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya, harga borongan atau kontrak dan lamanya jangka waktu pemborongan serta sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

Pihak pemborong mengikatkan diri kepada pihak pemberi borongan untuk menyelesaikan suatu borongan tertentu, dan sebagai imbalan atas penyelesaian tersebut, pihak pemborong mendapat prestasi harga tertentu sebagai upah. Upah tertentu dalam pemborongan ini tidak hanya dimaksudkan semata-mata hanya upah yang ditentukan lebih dahulu, tapi harus diartikan lebih luas dari pada itu yaitu: meliputi upah yang dapat ditentukan kemudian.44

Prestasi upah yang diterima pemborong dalam pemborongan kerja, tergantung pada objek kerja yang diborongkan. Bisa saja pemborong hanya menyediakan bahan-bahan atau barang-barang borongan, namun bisa juga sekaligus pemborong itu sendiri yang menyediakan bahan dan menyiapkan kerja borongan. Seperti memborong bangunan rumah. Seorang pemborong hanya ditugaskan untuk menyediakan bahan bangunan saja, sedang pembangunan rumah diserahkan kepada pemborong lain. Tetapi bisa juga sekaligus bahan bangunan dan pembangunan rumah diserahkan kepada seorang pemborong.45

Apabila pemborong diwajibkan/ ditugaskan menyediakan bahan dan melakukan pekerjaan, dan pekerjaannya musnah sebelum diserahkan kepada pihak

44

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Jakarta: Alumni, 1986), hal 258.

45


(45)

yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan pemborong, namun jika pemborong hanya diwajibkan untuk melakukan pekerjaan saja dan pekerjaannya musnah, maka pemborong hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal-Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata), ketentuan ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan dari pihak yang memborongkan ditanggung oleh pihak yang memborongkan pekerjaan.46

Apabila pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, oleh Pasal 1607 disebutkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu kelalaian dari pihaknya pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang (pekerjaan) itu disebabkan oleh suatu cacat dalam bahannya.47

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tak disengaja yang memusnahkan pekerjaan itu: pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah disediakan olehnya sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menggarap pekerjaan. Pihak yang memborongkan hanya dapat menuntut penggantian kerugiannya apabila dapat membuktikan adanya kesalahan dari pemborong, sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut

46

R. Subekti , Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal 65

47


(46)

harga yang dijanjikan apabila berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan oleh pihak yang memborongkan mengandung cacat yang menyebabkan kemusnahan pekerjaannya.48

Jika suatu pekerjaan dikerjakan sepotong demi sepotong (sebagian demi sebagian) atau seukuran demi seukuran, maka pekerjaan itu dapat diperiksa sebagian demi sebagian. Pemeriksaan tersebut dianggap terjadi (dilakukan) untuk semua bagian yang telah dibayar apabila pihak yang memborongkan tiap-tiap kali membayar pemborong menurut imbangan dari apa yang telah selesai dikerjakan (Pasal 1608). Ketentuan ini mengandung maksud bahwa sebagian pekerjaan yang sudah dibayar itu menjadi tanggungan pihak yang memborongkan apabila terjadi suatu peristiwa (diluar kesalahan salah satu pihak) yang memusnahkan bagian pekerjaan itu.49

Ada beberapa prinsip yang diatur oleh KUH Perdata yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan antara lain sebagai berikut50

1) Ketika kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan telah terjadi dan pekerjaan telah mulai dikerjakan maka pihak yang memborongkan pekerjaan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan;

:

2) Dalam hal pemborongan pekerjaan berhenti akibat meninggalnya si pemborong, pihak yang memborongkan wajib membayar kepada ahli waris si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan;

48

Ibid.

49

Ibid

50


(47)

3) Tanggung jawab terhadap orang-orang yang dipekerjakan dalam pemborongan pekerjaan berada pada pihak pemborong;

4) Buruh berhak menahan barang kepunyaan orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut sampai biaya dan upah – upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali bila pihak yang memborongkan telah memberikan jaminan untuk pembayaran biaya dan upah- upah tersebut.

b. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat disebut sebagai suatu kodifikasi dari berbagai ketentuan ketenagakerjaan yang sebelumnya terpisah-pisah. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, ada sekitar lima belas ordonansi dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk mengatur ketenagakerjaan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini, maka kelima belas ordonansi/peraturan tersebut telah dinyatakan tidak berlaku.51

Ketentuan yang mengatur outsourcing ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan menentukan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari perumusan Pasal 64 tersebut di atas, dalam kaitan ini terdapat 2 (dua) macam perjanjian yaitu:

51


(48)

1) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu suatu perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.

2) Perjanjian Penyediaan Jasa Buruh/Pekerja, yaitu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menyediakan pekerja/buruh kepada perusahaan yang akan menggunakan pekerja/buruh.

Perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 65. Pengaturan perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Pasal 65 ini terdapat kejanggalan. Hal ini tercermin dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b yang menentukan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketentuan pasal ini menimbulkan kritik karena bagaimana mungkin perusahaan yang telah menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada orang lain masih memiliki kewenangan untuk memberikan perintah baik langsung maupun tidak langsung terhadap pekerjaan yang telah diborongkan kepada perusahaan lain.52

Pelaksanaan penyerahaan sebagian pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja/buruh dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat antara lain:

1) Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;

2) Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

52


(49)

a) Bagian pekerjaan yang tersebut dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b) bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidaklah menghambat proses produksi secara langsung; dan

c) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.

Semua persyaratan di atas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di outsourcing-kan. Kemudian persyaratan lainnya menurut Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah bahwa perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar, oleh karena itu memiliki badan hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab.53

Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mengatur masalah perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja, dimana sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh

53

Aloysius Uwiyono, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi , Vol 22 No. 5, (Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis, 2003), hal. 12.


(50)

baik diperusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.54

Pada perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh perusahaan pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, tetapi untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Selain itu penyerahan sebagai pekerjaan melalui penyediaan jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

2) Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 Undang-Undang No.13 tahun 2003 dan/ atau perjanjian kerja waktu tidak tentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak;

3) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; 4) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara

54


(51)

tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ketenagakerjaan.

Penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Dalam hal terjadi pelanggaran antara lain :

1) Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing merupakan pekerjaan inti dan bukan penunjang;

2) Tidak adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja secara tertulis, baik itu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT);

3) Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan lain yang bertindak sebagai penyedia jasa pekerja/buruh tidak dibuat secara tertulis; 4) Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak berbadan hukum dan tidak

memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan, yang artinya segala tanggung jawab ketenagakerjaan seperti pemenuhan hak-hak normatif yang berkaitan dengan pekerja/ buruh sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi pekerjaan.55

55


(52)

3. Keberadaan Outsourcing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam rangka menghindari kesimpangsiuran dan perbedaan cara pandang antara kalangan pekerja dan pengusaha dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan pada 17 Januari 2012 yang lalu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menindaklanjuti putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 diarahkan untuk melindungi pekerja, namun kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai putusan Mahkamah Konstitusi makin melegalkan praktik outsourcing.

Ada tiga hal penting yang dikritik,56

56

Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f1f92ad10d9b/putusan-mk-dianggap-makin-melegalkan-outsourcing. Diakses terakhir kali tanggal 01 Februari 2012

pertama, putusan Mahkamah Konstitusi semakin mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih tetap bekerja di perusahaan penyedia (agent) tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja (user). Kalangan serikat pekerja


(53)

menginginkan outsourcing yang bergerak di bidang penyediaan pekerja/buruh (bukan borongan) dihapuskan. Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan secara langsung tanpa outsourcing. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi memang memperkecil jarak keuntungan yang diperoleh pekerja outsourcing dengan pekerja tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi sangat penting, sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapkan, tetapi tetap saja pekerja outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di perusahaan pemberi pekerjaan. Ketiga, posisi tawar pekerja outsourcing sangat lemah terutama dalam membentuk serikat buruh. Ketika pekerja outsourcing ingin menuntut kenyamanan di tempat kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana perusahaan penyedia atau pemberi pekerjaan.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, menyatakan bahwa ada 2 (dua) model yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.


(54)

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyiratkan bahwa setiap pekerja outsourcing terjamin kedudukannya dalam perusahaan pengguna karena pengalihan perlindungan/ kerja bagi pekerja/buruh outsourcing kepada perusahaan outsourcing lainnya. Akan tetapi masalah kemudian timbul secara yuridis, yaitu siapakah sebenarnya para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, sebab seperti dikemukakan sebelumnya, perjanjian kerja outsourcing dilakukan antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja outsourcing, di samping sifat dan jenis pekerjaan outsourcing pada dasarnya bukan untuk pekerjaan pokok dan oleh karenanya disubkontrakkan.

Bagi perjanjian kerja yang sudah disepakati dengan pekerja outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. B.31/PHI.JSK/I/2012.

Pada lain sisi, bagi pekerja outsourcing, sebenarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap makin melegalkan outsourcing di Indonesia, dan terutama tidak disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengenai pekerjaan apa saja yang dapat di outsourcingkan.

Perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja. Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status


(1)

kerja pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan dan bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja. 3. Upaya yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia dalam melakukan perlindungan

hukum terhadap pekerja outsourcing yang bekerja pada PT. Mahkota Group yaitu: pertama kesehatan kerja, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga; kedua

jaminan sosial, merupakan perlindungan perburuhan yang bertujuan agar buruh dapat menikmati penghasilannya secara layak dalam memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. dan

ketiga keselamatan kerja merupakan perlindungan perburuhan yang bertujuan agar buruh dapat terhindarkan dari segala resiko bahaya yang timbul dalam suatu hubungan kerja.

B. Saran

1. Tidak adanya kriteria pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan berpotensi menimbulkan penyimpangan atas penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, akibat hukum dari penyimpangan tersebut adalah peralihan hubungan kerja antara pekerja

outsourcing dari perusahaan penyedia jasa kepada perusahaan pemberi pekerjaan dan jika hal ini terjadi akan menyebabkan hak pekerja outsourcing


(2)

sering kali dikorbankan. Untuk itu agar pemerintah menentukan kriteria pekerjaan pokok dan penunjang untuk mempermudah pengawasan dan meminimalisir penyimpangan penyerahan sebagian pekerjaan maupun penggunaan pekerja/buruh outsourcing.

2. Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang sanksi yang akan diterima oleh perusahaan penyedia jasa pekerja

outsourcing apabila tidak melaksanakan perlindungan terhadap terhadap hak-hak pekerja/ buruh outsourcing, oleh karenanya ketentuan ini harus segera diatur dalam perundang-undangan untuk memberikan jaminan atas perlindungan terhadap hak-hak pekerja/ buruh outsourcing di Indonesia.

3. Sosialisasi mengenai ketentuan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, hubungan kerja dan tanggung jawab hukum perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh terhadap pekerja/buruh outsourcing harus dilakukan oleh pemerintah secara berkala, untuk menghindari penyalahgunaan pemanfaatan pekerja/buruh outsourcing dan memberikan kesadaran peran perusahaan penyedia jasa tidak hanya terbatas pada pemberian upah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika Dan Kajian Teori, Bogor: Gahlia Indonesia, 2010.

Buku

Asyhadie, Zaeni, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Asikin, Zainal dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Damanik, Sehat, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menutut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DDS Publishing, 2006. Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina

Ilmu, 1987.

Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Jakarta: Alumni, 1986.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Jehani, Libertus, Hak-Hak Karyawan Kontrak, Jakarta: Forum Sahabat, 2008.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Prints, Darwin, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.


(4)

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Djambatan, 1983.

..., Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1983. Subekti,R, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

..., Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005.

Suhardi, Gunarto, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja outsourcing, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2006.

Sumarjono, Maria S.W, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: Gramedia, 1989.

Supriyanto, Hari, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004.

Suryabrata, Samadi, Metodelogi penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Suwondo, Chandra, Outsourcing Implementasi di Indonesia, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003.

Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Widjaja, Amin, Outsourcing Konsep dan Kasus, Jakarta: Harvarindo, 2008.

Wuisman, J.J.J M, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


(5)

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor

Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Kep. 102/MEN/IV/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur Republik Indonesia, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor

Kep.220/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Syarat – Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Uwiyono, Aloysius, Implikasi Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Terhadap iklim investasi. Jakarta: Jurnal hukum Bisnis, Vol. 22 No.5, Jakarta 2003.

Jurnal Ilmiah, Makalah

Yurikosari, Andari, Hubungan Kerja dan Outsourcing, makalah disampaikan pada Forum Konsultasi Peraturan Perundang-undangan Bidang Hubungan Industrial Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bogor, 27 November 2010.

Faiz, P. Mohd., “Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelola Tenaga Kerja pada Perusahaan: Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”,

Internet

Kusumasari, Diana “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja OutsourcingPasca-Putusan MK”,http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f2186f3b9d1b/perlindu ngan-hukum-bagi-pekerja-outsourcing-pasca-putusan-mk.

“Program Jaminan Hari Tua”, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3& id=18.

“Program Jaminan Kecelakaan Kerja”, http:// www.jamsostek.co.id/ content/i.php?mid=3&id=18.


(6)

“Program Jaminan Kematian”, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3& id=18.

“Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f1f92ad10d9b/putusan-mk-dianggap-makin-melegalkan-outsourcing.

Supriyanto, Bambang, “Apa Saja Hak Normatif Karyawan”, http://www.portalhr.com/konsultasi/apa-saja-hak-normatif-karyawan/. Tambusai, Muzni, “Pelaksanaan Outsourcing dari Aspek Hukum Naker”,

http://www.nakertrans.go.id/250604/html.

..., “Pelaksanaan outsourcing Ditinjau Dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan Tidak Mengaburkan Hubungan Industrial”, http//

outsourcingonline.wordpress.com/2007/03/06.

“Teori Perlindungan Hukum”, http://anamencoba.blogspot.com/2011/04/teori-perlindungan-hukum-dalam-melihat.html.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Dengan Sistem Outsourcing Di Indonesia

1 47 91

TANGGUNG JAWAB HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA PT. DIAN YOGYA PERDANA DENGAN CALON Tanggung Jawab Hukum Terhadap Perjanjian Kerja Antara Pt.Dian Yogya Perdana Dengan Calon Tenaga Kerja Indonesia Serta Realisasinya Terhadap Tenaga Kerja Indonesia D

0 1 16

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Group Dengan PT. Iss Indonesia

0 1 11

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Group Dengan PT. Iss Indonesia

0 0 2

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Group Dengan PT. Iss Indonesia

0 0 23

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Group Dengan PT. Iss Indonesia

0 0 44

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Group Dengan PT. Iss Indonesia

0 0 4

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Grup Dengan PT. ISS Indonesia

0 0 11

BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA OUTSOURCING PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING PT. MAHKOTA GROUP A. Outsourcing di Indonesia 1. Gambaran Umum Pelaksanaan Outsourcing - Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing

0 1 44

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Grup Dengan PT. ISS Indonesia

0 0 23