Mengembangkan Pendidikan Khusus dan Laya

Mengembangkan
Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus di Indonesia
Ignatius Dharta Ranu Wijaya
Pendahuluan
Sistem Pendidikan Nasional (UU No: 20 tahun 2003) memberi hak kepada setiap
warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5). Komitmen ini
ditunjukkan melalui upaya Negara dan Pemerintah dalam mengupayakan pendidikan dasar
12 tahun sebagai pendidikan minimum yang wajib diikuti oleh setiap warga negara sebagai
upaya memenuhi kebutuhan hidup layak sebagai warga negara dan harga diri suatu bangsa.
Kewajiban belajar pendidikan dasar menunjukan bahwa peserta didik dalam usia pendidikan
dasar harus dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya tanpa terputus.

Komitmen tersebut

ditunjukkan juga melalui pencapaian di bidang pendidikan. Secara statistik tecermin antara lain
dalam pencapaian Angka Partisipasi Murni (APM) 2012/2013. Menurut Pusat Data dan Statistik
Pendidikan 2013, pada SD/MI sederajat, angka partisipasi murni mencapai 95,97 persen. Pada
jenjang SMP/MTs sederajat, Angka Partisipasi Murni mencapai 78,43 persen. Pencapai ini tentu
tidak terlepas dari komitmen pemerintah dalam pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan keinginan
yang kuat untuk melanjutkannya menjadi wajib belajar 12 tahun.

Berbagai penyebab putus sekolah dapat disebutkan, diantaranya adalah kemiskinan,
infrastruktur buruk, kurangnya pemahaman akan arti penting pendidikan, dan disabilitas.
Berdasarkan data

BPS (2012) terdapat 11-13%

orang dengan disabilitas di Indonesia

sehingga kewajiban mengikuti pendidikan dasar juga berlaku bagi warga negara yang
memiliki kelainan emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus.
Prinsip yang kemudian mengakar dalam kehidupan banga Indonesia adalah prinsip
yang menghargai hak-hak dasar dan akses terhadap hak sosial serta ekonomi menjadi
prekondisi dalam pembangunan yang demokratis, dan prinsip nondiskriminasi dan peluang
yang sama terhadap hak-hak sosial seluruh warga negara menjadi pertimbang utama dan

perlu terus dimonitoring. Berbagai tantangan dan hambatan dapat ditemukan dalam prosesnya
demi mewujudkan komitmen Negara dan Pemerintah. Secara spesifik dapat disebutkan rintangan

terhadap akses pemenuhan hak sosial dan partisipasi penuh warga negara penyandang disabilitas,
misalnya dalam pendidikan di daerah, pelatihan kejuruan dan pekerjaan, pembangunan
lingkungan dan transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, kesehatan dan perlindungan
sosial. Namun demikinan banyak contoh konkret dari praktik baik yang telah dilakukan selama
ini, yaitu tindakan diambil oleh negara untuk mengatasi hambatan tersebut.
Beberapa Pengertian
Beberapa pengertian yang relefan dalam tulisan ini diantaranya adalah ‘hak sosial’
sebagaimana mengacu dalam pasal 31 dan 32 Undang-Undang Dasar Negara kita sehingga dapat
dimaknai sebagai integrasi kebutuhan individual dan sosial. Ketentuan mengenai hak sosial
dinyatakan dalam hukum dan layanan lain untuk memenuhi kebutuhan sosial rakyat

dan

mempromosikan solidaritas dan keutuhan sosial. Bentuknya dapat berupa layanan kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Pengertian ‘kesejahteraan’ juga diadopsi dari Undang-Undang Dasar beserta seluruh
turunannya, yaitu sebagai kapasitas bagi seluruh manusia untuk dapat mengenali dan
mewujudkan aspirasinya, memenuhi berbagai kebutuhan atau menghadapi berbagai tantangan
sosial yang ada sehingga dapat meliputi akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan jaminan sosial.
Disabilitas diambil dari WHO (2002) dan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas sebagai konsep kerja yang dapat dipertukarkan
dengan istilah individu/anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam praktik pendidikan khusus dan
layanan khusus (PKLK) dewasa ini. Pengertian disabilitas kemudian adalah hambatan yang
dapat disebabkan kondisi fisik, psikologis, sensori, sosial, kultural, hukum, atau hambatanhambatan lainnya yang menghalangi partisipasi orang penyandang disabilitas dalam setiap aspek
kehidupannya sebagaimana orang pada umumnya. Disabilitas ini meliputi berbagai jenis
kerusakan organ, seperti anggota gerak, penglihatan, pendengaran, penalaran dan kelainan
psikologis lainnya yang dapat dialami oleh seseorang. Kondisi disabilitas pada seseorang dapat
dimunculkan secara individual, dari lingkungan maupun disebabkan oleh kombinasi keduanya.
Kemiskinan dalam derajat yang berat akan juga membawa dampak untuk berpartisipasi secara
penuh baik secara sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik.

Akses mengandung pengertian berbagai peluang dalam kepemilikan dan keberadaan
yang diakui secara hukum dan sosial sehingga melekat dalam berbagai bentuk martabat manusia.
Secara spesifik akses meliputi adanya peluang bagi semua orang untuk berpartisipasi dan
komitmen untuk mengembangkan diri. Berbagai area hak-hak sosial orang dengan disabilitas
menuntut perhatian yang khusus, baik karena belum terbukanya akses terhadap berbagai hak
mereka maupun terbatasnya akses dimasyarakat karena solidaritas dan kohesifitas sosial yang
rendah. Fakta-fakta bagi sebagian orang menunjukkan bahwa disabilitas yang dialami membawa
dampak pada aktualisasi diri baik sebagai laki-laki dan perempuan dalam berbagai situasi yang
dirasakan tidak adil. Akses pada hak-hak sosial sesungguhnya telah diperkuat melalui

keberadaan Direktorat Pendidikan Khusus Dan Layanan Khusus (PKLK) dimana martabat
individu sebagai manusia dilindungi dan didukung secara penuh hak-hak dasar setiap warga
negara yang mengalami disabilitas.
Pendidikan Inklusif
Kebijakan pendidikan inklusif telah diterapkan sejak awal tahun 2000 lalu, berdasarkan
data dari Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) ada 14.309 sekolah inklusi
di seluruh Indonesia. Sekolah-sekolah tersebut telah menunjukkan komitmennya untuk
memberikan layanan pendidikan yang terbuka bagi semua anak tanpa terkecuali. Anak
penyandang disabilitas diakomodasikan kebutuhan belajarnya di sekolah-sekolah regular yang
telah ditunjuk menjadi sekolah inklusi. Walaupun dari 14.309 sekolah masih didominasi dengan
sekolah dasar (76%) lalu sekolah menengah pertama (20%) dan terakhir sekolah kejuruan atau
menengah atas (2%), namun:


Kebijakan sekolah inklusif telah mendapat dukungkan yang luas dari dinas pendidikan
setempat, orangtua, pemimpin masyarakat, dan para siswa sendiri karena prinsip-prinsip
inklusi yang sesuai dengan nilai luhur bangsa. Sekolah-sekolah tersebut hingga hari ini
berkomitmen untu secara aktif mencari anak-anak dalam masyarakatnya yang tidak
bersekolah dan menempatkan mereka dalam pendaftaran, mengidentifikasi hambatan
terpenting


dalam

mengakses

dan

belajar

di

sekolah

dan

mencoba

untuk

menghilangkannya, mempersonalisasikan instruksi untuk merespon keragaman di antara

para siswa, dan merangkul keragaman ini serta menggunakannya secara aktif untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di daerah mereka.



Pelatihan dan peningkatan kemampuan manajerial serta kepemimpinan kepala sekolah di
sekolah-sekolah inklusi berkembang secara signifikan. Kepemimpinan dan pengawasan
sekolah yang simpatik dan berpengetahuan luas. Kepala sekolah dan pengawas telah
menginternalisasikan filosofi dan prinsip inklusi serta mendukung praktek belajar dan



mengajar yang inklusif.
Berbagai bantuan baik berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembangunan Unit
Sekolah

Baru

(USB),


pembangunan

Ruang

Kelas

Baru

(RKB),

bantuan

pelayanan/personal. Bantuan tambahan, bahkan staf tambahan juga diupayakan dalam
penerapan pendidikan yang lebih inklusif. Pengalaman terdahulu adalah dengan melatih
guru di Sekolah Khusus (Luar Biasa) dan dipusatkan di pusat sumber setempat. Para guru,
staff bantu pengajar, dan anggota masyarakat bahkan membantu dalam program
pendidikan dwi-bahasa; konselor sekolah/guru senior wanita untuk membantu anak-anak
perempuan dalam perkembangan menuju kedewasaan; guru kunjung yang mampu
menyediakan pendidikan bagi anak-anak di rumah; dan guru remediasi, khususnya untuk
belajar baca dan tulis awal , untuk memastikan peserta didik yang lamban menerima



dukungan yang mereka butuhkan.
Pengembangan Pelatihan dan Praktik Profesional. Membuat pendidikan lebih inklusif dan
tanggap terhadap peserta didik, seperti yang telah dilakukan oleh Direktorat PKLK
membutuhkan ketrampilan guru baru. Pengembangan pelatihan profesional oleh
karenanya juga dilakukan serta praktek yang baik dalam pendidikan inklusif terus
dikembangkan dan disesuaikan bagi konteks yang berbeda, misalnya bagaimana menjadi
inklusif dalam kelas yang lebih luas dan untuk bekerja dengan anak-anak disabilitas di
sekolah inklusi dan kelompok sumber daya yang digunakan bagi perencana dan



pelaksana pendidikan untuk menyertakan kesamaan gender dalam pekerjaan mereka.
Konten kurikulum lokal. Inklusi dibuat lebih mudah sejalan dengan kurikulum yang
dibuat relevan dengan konteks lokal dan kebutuhan peserta didik daripada
menstandarisasi selengkapnya konteks nasional dan seringkali bias perkotaan. Banyak
sistem pendidikan, kenyataannya, saat ini mengharuskan persentase tertentu dari
kurikulum pendidikan dasar (25%) merupakan konten lokal. Oleh karena itu ada
kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan lokal untuk diadaptasi

dan mengembangkan kurikulum dengan konteks lokal dan lebih inklusif. Peningkatan

kapasitas guru untuk menjadi rekanan para pengembang seperti kurikulum adalah sebuah


bagian penting dari proses tersebut.
Keterlibatan Masyarakat. Pendidikan yang lebih inklusif hingga saat ini hanya dapat
dicapai melalui dukungan dan bantuan dari masyarakat setempat. Ini sebagian adalah
masalah sikap; jika orangtua tidak ingin anak-anak dengan disabilitas, atau yang berbeda
kasta atau etnik, atau yang terdampak HIV/AIDS berada dalam kelas yang sama dengan
anak-anak mereka - dan sekolah tidak melakukan apa pun untuk melawan sikap
pengeksklusifan ini, maka inklusi tidak akan pernah tercapai. Masyarakat saat ini terus
didorong untuk mendukung pendidikan bagi semua anak yang tinggal bersama mereka.
Orangtua dan anggota masyarakat yang lain juga lebih secara aktif mendukung praktek
inklusi; mereka ikut terlibat dalam pemetaan anak-anak yang tidak bersekolah, dalam
kampanye pendaftaran sekolah, dan dalam dukungan di ruang kelas bagi kelompok
peserta didik yang tersisihkan.
Sejak tahun 2012 telah terjadi perubahan berpikir menuju peluang pendidikan yang sama

dan nondiskriminasi dalam pendidikan bagi para peserta didik dengan disabilitas. Kesadaran

masyarakat terhadap pendidikan para penyandang disabilitas semakin tinggi; menjadi hal yang
biasa bila kemudian ada beberapa siswa yang memerlukan pendekatan pembelajaran yang
khusus di sekolah-sekolah regular. Upaya lanjutan dalam mengembangkan layanan pendidikan
yang inklusif bagi semua peserta didik tentu tidak terlepas dari dukungan anggaran dan alokasi
anggaran pengembangan yang sesuai.
Akses Pendidikan Vokasional dan Peluang Pekerjaan di Sekolah Khusus
Direktorat PKLK sejak tahun 2014 lalu telah berupaya menerapkan pendidikan pra
vokasional di sekolah-sekolah khusus (SLB) sejak jenjang pendidikan dasar dan berlanjut terus
hingga pendidikan menengah. Prosesnya juga diawali dengan melakukan asesmen vokasional
yang mencakup: minat, bakat, preferensi, jenis disabilitas atau kebutuhan khusus, misalnya
peserta didik dengan gangguan penglihatan dan ketunanetraan akan sangat berbeda dengan
mereka yang mengalami gangguan pendengaran dan ketunarunguan, hambatan fisik dan motorik,
dan hambatan intelektual. Proses ini dilakukan di kelas 6 SDLB dengan mempertimbangkan
berbagai kemampuan yang dipersyaratkan dalam suatu keterampilan/kejuruan atau profesi
tertentu, sehingga telah terbangun kurikulum vokasional dalam bidang:

a. memasak (tata boga)
b. rias dan menata rambut
c. tata busana
d. teknik (reparasi radio, hp, dan alat elektronik lainnya)

e. otomotif/perbengkelan (roda dua dan empat)
f. perhotelan (front office, cleaning services, kitchen, room, dsb.)
g. kewirausahaan, dsb.
Prosesnya saat ini tengah mempertimbangkan tenaga kependidikan yang memadai baik
guru vokasional (di sekolah regular dan SLB) sesuai bidang kejuruan/keahlian atau profesi
mereka, guru pendidikan khusus (di SLB) sesuai dengan jenis disabilitas yang dipelajarinya, dan
para professional yang dapat dilibatkan dalam pendidikan vokasional di SLB. Tantangan lainnya
yang hingga hari ini terus dirasakan adalah pemenuhan terhadap sarana dan prasarana pendidikan
vokasional baik di tingkat dasar, menengah maupun kejuruan di pendidikan khusus. Sarana dan
prasarana tersebut meliputi peralatan dan perlengkapan, ruang praktik, dan bengkel kerja.
Kurikulum vokasional di pendidikan khusus telah terbentuk di tahun 2015 yang meliputi
pelajaran teori/tatap muka di kelas sesuai dengan jenis keterampilan (12 bidang) atau profesi
yang ingin dikenalkan pada peserta didik dengan disabilitas, praktik di ruang praktik dan bengkel
kerja sesuai dengan jenis keterampilan atau profesi yang ingin diajarkan, dan magang di tempat
yang sesungguhnya sesuai dengan jenis keterampilan atau profesi yang sudah diajarkan.
Sementara alokasi isi kurikulum juga disesuaikan berdasarkan jenjang. Pendidikan dasar diisi
dengan pra vokasional dan pelajaran tatap muka di kelas dengan intensitas dan waktu yang yang
tidak sebanyak di pendidikan menengah. Pendidikan menengah diisi dengan landasan vokasional
dan praktik dengan intensitas dan waktu jauh lebih banyak dibandingkan di sekolah dasar.
Pendidikan tingkat atas/kejuruan diisi dengan bobot praktik yang luas dan ditambah dengan
magang dengan intesitas dan waktu yang tinggi.
Pertimbangan lain untuk memperluas kesempatan kerja bagi para peserta didik dengan
disabilitas juga ditempuh melalui kemitraan dengan masyarakat bisnis dan industri. Bentukbentuk kemitraan itu diantaranya adalah memperluas tempat dan area kerja praktik/magang,
memberikan evaluasi dan penilaian terhadap keterampilan vokasional yang dibangun di sekolah
apakah sudah sesuai dengan tuntutan dalam bekerja, memberikan sertifikasi atau kelayakan siap
bekerja, memperluas kesempatan kerja baik di dunia industri, manufaktur, pertanian dan

perkebunan, peternakan dan perikanan, industri rumah tangga, wirausaha, dsb., serta
memperbesar peluang dan kesempatan pada jaminan sosial yang adil sebagai salah satu indikator
‘pekerjaan yang layak’ atau descent work, indikator lainnya termasuk: gaji dan tunjangan yang
layak, kemampuan untuk menabung, libur dan cuti serta jaminan atas hak-hak lainnya.
Upaya lain yang tengah dikembangkan oleh Direktorat PKLK, berkoordinasi dengan
Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dalam pelaksanaan dan monitoring dari
implementasi UU Ketenagakerjaan yang memberikan kuota 1% bagi para penyandang disabilitas.
Perluasan kegiatan dan bidang-bidang dalam pelatihan kerja baik di sekolah kejuruan maupun di
balai-balai latihan kerja dan peluang serta kesempatan untuk bekerjasama dengan masyarakat
industri dan bisnis, khususnya dalam menyiapkan tenaga-tenaga kerja yang terampil sesuai
dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Akses Partisipasi Sosial, Informasi, Komunikasi, dan Teknologi
Bidang lain yang tidak boleh dilupakan adalah pratisipasi sosial dan akses terhadap
informasi, komunikasi dan teknologi-teknologi baru, meskipun Direktorat PKLK memberikan
jaminan bahkan layanan yang sama dan adil bagi para peserta didik dengan disabilitas maupun
berkebutuhan khusus lainnya, namun tidak berarti bahwa mereka tidak perlu disertakan dalam
situasi-situasi tertentu. Seluruh peserta didik, tidak peduli kondisi fisik, kemampuan, usia,
maupun disabilitasnya, semua memliki hak untuk mandiri, berpartisipasi dan berintegrasi dalam
kehidupan sehari-hari di tengah komunitas mereka.
Kebijakan

operasional

yang

ditempuh

oleh

Direktorat

PKLK

harus

juga

mempertimbangkan aspek-aspek partisipasi sosial, informasi, komunikasi dan penggunaan
teknologi-teknologi baru yang potensial dalam meningkatkan peran dan fungsi para peserta didik.
Dampak Anggaran
Sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat tentang desentralisasi maka kewenangan
penyelenggaraan pendidikan dikembalikan kepada pemerintah daerah. Akan tetapi segala
kewajiban yang timbul terhadap penyelenggaran pendidikan tetap ditanggung oleh pemerintah
pusat. Pemerintah pusat telah mengeluarkan berbagai kebijakan menyangkut pembiayaan
pendidikan seperti program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalam penggunaanya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan 5 macam kebijakan seperti:

1.

Biaya satuan BOS, termasuk BOS Buku, per siswa/tahun mulai januari 2009 naik secara
signifikan menjadi SD dikota Rp 400 ribu, SD di kabupaten Rp 397 ribu, SMP di kota
Rp 575 ribu dan SMP di kabupaten Rp 570 ribu.

2.

Dengan kenaikan kesejahteraan guru PNS dan kenaikan BOS mulai januari 2009, semua
SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali
RSBI dan SBI.

3.

Pemerintah daerah wajib mengendalikan pungutan biaya operasional di SD dan SMP
swasta sehingga siswa miskin bebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan
berlebihan kepada siswa mampu.

4.

Pemerintah daerah wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun
2009 serta memberikan sanksi pada pihak yang melanggar.

5.

Pemda wajib memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD bila BOS dari
Depdiknas belum mencukupi.
Bantuan pembiayaan oleh pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pendidikan

memungkinkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis untuk tingkat
pendidikan dasar (SD dan SMP sederajat). Tiap-tiap pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan
yang beraneka ragam sesuai kemampuan daerah, bagi daerah yang memiliki anggaran APBD
yang cukup maka pemerintah daerah akan memberikan bantuan derah yang dapat dipergunakan
untuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan.
Wajib belajar bagi seluruh anak Indonesia bertujuan memberikan pendidikan minimal
bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup
mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Perluasan

dan

mutu

pendidikan

dapat

dilakukan

oleh

Direktorat

PKLK

secara

bersamaan, melalui program wajib belajar yang tentu saja membutuhkan anggaran yang tidak
sedikit. Alokasi anggaran yang cukup dalam rangka program wajib belajar secara langsung akan
berfungsi sebagai strategi dasar dalam upaya:
(1) mencerdaskan kehidupan bangsa karena diperuntukkan bagi semua warga negara
tanpa membedakan golongan, agama, suku bangsa, dan status sosial ekonomi;
(2) menyiapkan tenaga kerja industri masa depan melalui pengembangan kemampuan dan
keterampilan dasar belajar, serta dapat menunjang terciptanya pemerataan kesempatan
pendidikan kejuruan dan profesional lebih lanjut;

(3) membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena melalui program wajib
belajar memungkinkan untuk dapat memperluas mekanisme seleksi bagi seluruh siswa
yang memiliki kemampuan luar biasa untuk melanjutkan kejenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
Semua hal di atas dapat mengatasi adanya fakta bahwa masih cukup tinggi angka
prosentase anak putus sekolah akibat disabilitas yang dialami. Masih sering ditemukan anakanak penyandang disabilitas baik di kota maupun kabupaten, propinsi di Indonesia, yang tidak
bersekolah.
Daftar Pustaka dan Sumber

(1) UUD 1945 amandemen, 2003 Sekretaris Negara
(2) Inpres No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
(3) Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara
(4) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara

Pemerintah,

Pemerintahan

Daerah

Provinsi dan

Pemerintahan

Daerah

Kabupaten/Kota
(5) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(6) Desntralisasi Pendidikan Butuh Kejelasan Kewenangan, Kompas, 18 Desember 2007
(7) Prospek dan Tantangan Desentralisasi Pendidikan, http://caturratna.wordpress.com, Juni
2012
(8) Bentri, Alwen. “Efektifitas Pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan Tahun di Sumatera
Barat. Universitas Negeri Padang. 2010.
(9) SMERU. “Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan: Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). September 2006.
(10) http://www.google.co.id. 27 Agustus 2016
(11) http://www.indonesia.go.id. 27 Agustus 2016