Metode agglomerative dan metode (13)

A. Pendahuluan

B. Sejarah Hukum Kontrak di Indonesia dan pengertian beserta dasar
hukum
Sebagaimana   diketahui   bahwa   sebelum   para   penjajah   Indonesia
memberlakukan hukumnya di Indonesia ini, yang berlaku adalah hukum
adat   dari   berbagai   wilayah   hukum   adat   di   Indonesia,   yang   satu   wilayah

dengan wilayah lainnya saling berbeda­beda. Hukum kontrak merupakan
satu   bagian   dari   hukum   adat   tersebut.kontrak   yang   paling   meluas
dilakukan   dalam   hukum   adat   tentu   kontrak   jual   beli,   tetapi   tempo   dulu
sebelum   mata   uang   meluas   dipakai,   kontrak   tukar­menukarlah   yang
banyak   dilakukan.   Misalnya   para   petani   membawa   barang­barang   hasil
pertaniannya   ke   pasar   untuk   ditukar   dengan   barang­barang   keperluan
rumah tangga lainnya.Di Indonesia, Kitab Undang­Undang Hukum Perdata
ini atau yang disebut dengan Burgerlijke Wetboek (BW) mulai berlaku sejak
tahun   1848   berdasarkan   asas   konkordansi.   Adapun   yang   merupakan
prinsip­prinsip   utama   dari   hukum   kontrak   menurut   KUHPerdata   adalah
sebagai berikut:






Kebebasan Berkontrak
Prinsip konsensual
Prinsip Obligatoir
Prinsip Pacta Sunt Servanda

Yang   dimaksud   dengan   prinsip   kebebasan   berkontrak   (freedom   of
contract) adalah  prinsip yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu
kontrak   pada   prinsipnya   bebas   untuk   membuat   atau   tidak   membuat
kontrak,   demikian   juga   kebebasan   untuk   mengatur   isi   kontrak   tersebut,
sepanjang   tidak   bertentangan   dengan   hukum   yang   berlaku   yang   besifat
memaksa.
Dengan prinsip konsensual yang dimaksudkan adalah bahwa jika suatu
kontrak   di   buat,   maka   dia   telah   sah   dan   megikat   secara   penuh,   tanpa
memerlukan   prsyaratan   lain,   seperti   persyaratan   tertulis,   kecuali   jika
undang­undang menentukan lain.
Prinsip  Obligator   adalah   suatu   prinsip   yang   mengajarkan   bahwa   jika
suatu   kontrak   telah   dibuat,   maka   para   pihak   telah   terikat,   tetapi

kekerikatannya   itu   hanya   sebatas   timbulnya   hak   dan   kewajiban   semata­
mata, dan haknya belum beralih sebelum dilakukan penyerahan (leverling).

Prinsip  pacta   sunt  servanda  secara   harfiah   berati   “janji   itu   mengikat”.
Yang dimaksudkan adalah bahwa jika suatu kontrak sudah dibuat secara
sah   oleh   para   pihak,   maka   kontrak   tersebut   sudah   mengikat   para
pihak.bahkan, mengikatnya kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut
sama kekuatannya dengan mengikatkannya sebuah undang­undang yang
dibuat oleh parlemen dan pemerintah.
Jika   Kitab   Undang­Undang   Hukum   Perdata   berlaku   terhadap   hukum
materil,   maka   dalam   bidang   hukum   formal   yang   berlaku   adalah   Kitab
Undang­Undang Hukum Acara Perdata atau yang disebut dengan Herziene
Indonesische Reglement  (HR). HR ini berlaku di Indonesia juga bersamaan
dengan   berlakunya   Kitab   Undang­Undang   Hukum   Perdata,   yaitu   berlaku
sejak   tahun   1848.Dalam   perkembangan   dari   hukum   kontrak,   asas
kebebasan berkontrak banyak dibatasi oleh berbagai hal, antara lain oleh
berbagai perundang­undangan yanag berlaku. Misalnya, dengan keluarnya
Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan   Persaingan   Usaha   Tidak   Sehat,   maka   banyak   pembatasan   yang
diberikan   kepada   para   pihak   dalam   membuat   klausula­klausula   dalam

suatu   kontrak   perdagangan.Disamping   itu,   munculnya   banyak   kontrak
baku   (standard   contract)   juga   menyebabkan   banyak   terjadi   pembatasan
terhadap asas kebebasan berkontrak, baik kontrak baku yang dibuat oleh
pemerintah maupun kontrak baku yang dibuat di antara sesama kalangan
bisnis.   Kontrak   baku   yang   dibuat   oleh   pemerintah,   misalnya   berbagai
formulir kontrak yang berkenaan dengan peralihan hak atas tanah, yang
dikenal dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (Akta PPAT). Sedangkan
kontrak   baku   yang   dibuat   dikalangan   bisnis   sangat   banyak   macamnya,
seperti polis asuransi, formulir perbankan dan sebagainya.
Black’s   Law   Dictionary   contract   diartikan   sebagai   suatu   perjanjian
antara   dua   atau   lebih   yang   menciptakan   kewajiban   untuk   berbuat   atau
tidak berbuat sesuatu hal yang khusus
Prof   Subekti   kontrak   adalah   lebih   sempit   daripada   perjanjian   karena
ditunjukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis

Menurut   kamus   bahwa   kontrak   adalah   suatu   kesepakatan   yang
diperjanjikan (promissory agreement)  di antara dua atau lebih pihak yang
dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum 
Steven H mengungkapkan pengertian kontrak sebagai suatu perjanjian,
atau serangkaian perjanjian dimna hukum memberikan ganti rugi terhadap

wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak
tersebut oleh hukum di anggap sebagai suatu tugas
KHU Perdata memberikan pengertian kepada kontrak ini (dalam hal ini
disebut perjanjian) sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengingatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

Syarat sah kontrak dan konsekuensi yuridisnya
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat
kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat sahnya kontrak tersebut dapat
digolongkan sebagai berikut;
(1)Syarat sah yang umum, yang terdiri dari :

(a) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, yang
terdiri dari :
(i)
kesepakatan kehendak
(ii)
wenang berbuat
(iii)

perihal tertentu; dan
(iv) Kuasa yang legal
(b)Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata,
yang terdiri dari :
(i)
Syarat itikad baik
(ii)
Syarat sesuai dengan kebiasaan
(iii) Syarat sesuai dengan kepatutan
(iv) Syarat sesuai dengan kepentingan umum
(2)Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari :
(a) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
(b)Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
(c) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk
kontrak-kontrak tertentu
(d)Syarat izin dari yang berwenang

Perlindungan hukum terhadap kosumen akibat wanprestasi
Wanprestasi   adalah   pelaksanaan   kewajiban   yang   tidak   tepat
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya

      Ada 3 bentuk wanprestasi :
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

2. Terlambat memenuhi prestasi
3. Pemenuhan prestasi secara tidak layak
Untuk menentukan pada saat kapan kreditur wanprestasi diberikan
Penetapan lalai  / in gebrekke sterling.Bentuk penetapan lalai ( pasal 1238
BM ) :
1. Berbentuk surat perintah atau akta lain yag sejenis 
2. Berdasarkan pada kekuatan perjanjian itu sendiri
3. Jika tegoran sudah dilakukan barulah diberikan peringatan atau
somasi
          Yang merupakan konskuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah
satu   atau   lebih   dari   syarat­syarat   sahnya   kontrak   bervariasi   mengikuti
syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai
berikut:
(1) Batal   demi   hukum   (nietig,   null   and   void),   misalnya   dalam   hal
dilanggarnya syarat objektif dalam pasal 1320 KUH Perdata. Syarat
objektif tesebut adalah :
    (a) Perihal tertentu, dan 

    (b) Kausa yang legal
(2) Dapat dibatalkan (vernietigbaaar, voidable) misalnya dalam hal tidak
terpenuhinya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat
ubjektif tersebut adalah:
    (a) Kesepakatan kehendak, dan
    (b) Kecakapan berbuat.

(3) Kontrak tidak dapat dilaksanakan (unenforceable)
Kontrak tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak begitu
saja   batal   tetapi   tidak   dapat   dilaksanakan,   melainkan   masih
mempunyai   status   hukum   tertentu.   Bedanya   dengan   kontrak   yang
batal   (demi   hukum)   adalah   bahwa   kontrak   yang   tidak   dapat
dilaksanakan   masih   mungkin   dikonversi   menjadi   kontrak   yang
sah.sedangkan bedanya dengan kontrak dibatalkan, kontrak tersebut
sudah   sah,   mengikat   dan   dapat   dilaksanakan   sampai   dengan

dibatalkan   kontrak   tersebut,   sementara   kontrak   yang   tidak   dapat
dilaksanakan   belum   mempunyai   kekuatan   hukum   sebelum
dikonversi menjadi kontrak yang sah.
(4) Sanksi administratif

Ada   juga   syarat   kontrak   yang   apabila   tidak   dipenuhinya   hanya
mengakibatkan   dikenakan   sanksi   administratif   saja   terhadap   salah
satu pihak atau kedua belah pihak dalam kontrak tersebut 
Menurut Pasal 19 dalam buku hukum perlindungan konsumen
(1) Pelaku   usaha   bertanggung   jawab   memberikan   ganti   rugi   atas
kerusakan,   pencemaran,   dan/atau   kerugian   konsumen   akibat
mengkonsumsi   barang   dan/atau   jasa   yang   dihasilkan   atau
dipedagangkan.
(2) Ganti   rugi   sebagaimana   yang   di   maksud   ayat   (1)   dapat   berupa
pengembalian   uang   atau   penggantian   barang   dan/atau   jasa   yang
sejenis   atau   setara   nilainya,   atau   perawatan   kesehatan   dan/atau
pemberian   santunan   yang   sesuai   dengan   ketentuan   peraturan
perundang­undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2)   tidak   menghapuskan   kemungkinan   adanya   tuntutan   pidana
berdasarkan   pembuktian   lebih   lanjut   mengenai   adanya   unsur
kesalahan.
(5) Ketentuan   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   dan   ayat   (2)   tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan   substansi   Pasal   19   ayat   (1)   dapat   diketahui   bahwa
tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan
2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran dan
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen
Berdasarkan   hal   ini,   maka   adanya   produk   barang   dan/atau   jasa
cacat   bukan   merupakan   satu­satunya   dasar   pertanggungjawaban   pelaku
usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala
kerugian   yang   dialami  konsumen   secara  umum,   tuntutan  ganti  kerugian

atas   kerugian   yang   dialami   oleh   konsumen   sebagai   akibat   penggunaan
produk,   baik   yang   berupa   kerugian   maeri,   fisik   maupun   jiwa,   dapat
didasarkan  pada  beberapa  ketentuan yang  telah disebutkan,  yang  secara
garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang
berdasarkan   perbuatan   melanggar   hukum.   Kedua   dasar   tuntutan   ganti
kerugian ini dibahas secarakhusus di bawah ini:
(a) Tuntutan berdasarkan wanprestasi
                              Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan huku

privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian
yang   didasarkan   pada   wanprestasi   dengan   tuntutan   ganti   kerugian   yang
didasarkan   pada   perbuatan   melanggar   hukum.   Apabila   tuntutan   ganti
kerugian   didasarkan   pada   wanprestasi,   maka   terlebih   dahulu   tergugat
dengan   penggugat   (produsen   dengan   konsumen)   terikat   suatu   perjanjian
dengan demikian pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian)yang
dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi
Ganti   kerugian   yang   diperoleh   karena   adanya   wanprestasi   merupakan
akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang
berupa   kewajiban   atas   prestasi   utama   atau   kewajiban   jaminan/garansi
dalam perjanjian.

                Bentuk­bentuk wanprestasi ini dapat berupa :
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi
c. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya
               

Terjadi wanprestasi pihak debitur dalam suatu perjanjian, membawa


akibat yang tidak mengenakan bagi debitur, karena debitur harus :
a. Mengganti kerugian
b. Benda   yang   menjadi   objek   perikatan,   sejak   terjadi   wanprestasi
menjadi tanggung jawab gugat debitur
c. Jika perikatan itu timbul dari perikatan timbal balik, kreditur dapat
minta pembatalan (pemutusan) perjanjian

Wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebut