Megawati dan Media Massa pdf

Megawati dan Media Massa
Oleh Satrio Arismunandar

Untuk kesekian kalinya, Presiden Megawati Soekarnoputri mengritik pers Indonesia,
baik yang berupa media cetak maupun elektronik. Kali ini, kritik itu dilontarkan di depan
peserta Rakornas Sosialisasi Kebijakan Komunikasi dan Informasi 2003 di Istana Negara, 8
Januari lalu. Megawati mengeluhkan media yang ia anggap "tidak simpatik" terhadap dirinya.
Katanya, "Begini, media 'kan tidak simpatik kepada saya, jadi saya tidak tahu pernah
masuk atau tidak. Saya pernah bicara bahwa bangsa Indonesia adalah 'bangsa setengah', pada
bingung semua. Bingung sendiri-sendiri, interpretasi sendiri-sendiri, saya ketawa sendiri."
Kemudian ia menjelaskan, yang dimaksud "bangsa setengah". itu adalah bangsa yang tidak
serius ingin menjadi bangsa modern namun melupakan budayanya sendiri (Kompas, 9 Januari
2003).
Munculnya pernyataan Megawati ini tampaknya dipicu olehnya maraknya aksi
demonstrasi di berbagai kota, yang menentang kenaikan serentak harga bahan bakar minyak
(BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan tarif telepon sejak awal Januari. Aksi-aksi yang isinya
mengecam kebijakan Pemerintah Megawati ini diberitakan meluas oleh media massa.
Tampaknya, juga ada laporan atau informasi yang sampai ke Megawati, bahwa dalam
aksi-aksi unjuk rasa itu, ada foto atau patung dirinya yang dinjak-injak atau dibakar massa.
Megawati menganggap, foto atau patung kepala negara adalah sama dengan bendera, sebagai
simbol kenegaraan, yang patut dihormati. Aksi-aksi ini, sebagai peristiwa memiliki relevansi

dengan kepentingan publik, tentu juga diberitakan oleh media massa cetak dan elektronik.
Kritik Megawati terhadap cara pemberitaan media massa di Indonesia sudah beberapa
kali dilontarkan. Namun, kritik yang terakhir ini terkesan kurang proporsional. Untuk
menanggapi kritik-kritik Mega ini, penulis akan menyampaikan beberapa catatan, sebagai
masukan. Diharapkan, dengan adanya masukan ini, bisa membantu meluruskan kembali
berbagai mispersepsi dan kesalahpahaman tentang peran pers Indonesia, khususnya dari pihak

1

pemerintah Megawati. Di sisi lain, kalangan pers Indonesia juga diharapkan dapat semakin
cermat, dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya.

Dianggap serangan personal

Catatan pertama, terkesan Megawati menganggap pemberitaan media massa yang
kritis –khususnya, yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM, TDL
dan tarif telepon-- sebagai serangan personal terhadap dirinya. Hal ini terlihat dari ucapannya
bahwa media tidak simpatik kepada "saya," bukan kepada "pemerintah" atau "kebijakan
pemerintah."
Sejauh pengamatan penulis, dalam banyak pemberitaan di media cetak maupun

elektronik, sebagian besar pers Indonesia sebenarnya masih proporsional dalam mengritik
Megawati. Dalam arti, yang dikritik adalah kebijakan atau sikap Megawati sebagai figur
publik, misalnya sebagai Presiden RI atau Ketua Umum PDI Perjuangan. Saya tidak pernah
melihat adanya media, yang secara tidak proporsional mengungkit-ungkit masalah pribadi
Megawati.
Dalam kasus kenaikan tarif terakhir, yang dikritik adalah kebijakan pemerintah, di
mana Megawati menjadi Presiden dan kepala pemerintahan. Sedangkan, dalam kasus
pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang dikritik adalah kebijakan Megawati sebagai Ketua
Umum PDI Perjuangan.
Ketika itu, DPP PDI Perjuangan tidak mendukung kadernya sendiri, tetapi malah
mendukung Sutiyoso untuk menjadi Gubernur DKI. Padahal, Sutiyoso adalah tersangka kasus
Peristiwa 27 Juli 1996, yang telah memakan korban jiwa sejumlah pendukung Megawati
sendiri. Argumen bahwa lingkungan DKI Jakarta yang keras membutuhkan tokoh eks-militer
untuk memimpinnya, tidak cukup menjelaskan, mengapa harus mendukung Sutiyoso. Kalau
toh harus memilih figur eks-militer, masih banyak tokoh eks-militer lain yang lebih
berkualitas dari Sutiyoso, dan tidak terkait Peristiwa 27 Juli.
Sebagaimana berlaku di seluruh dunia, seorang selebritis atau figur publik memang
tidak bisa menikmati privacy seperti layaknya rakyat biasa. Ini adalah harga yang harus
dibayar untuk posisi sebagai figur atau pejabat publik. Apalagi pejabat publik setingkat


2

Presiden, yang digaji dengan uang rakyat, dan mendapat mandat dari MPR untuk
menjalankan berbagai tugas dan kewajiban dengan segala kewenangannya, untuk kepentingan
rakyat.
Dalam hal ini, Megawati tampaknya harus belajar membedakan, mana kritik
terhadapnya dirinya sebagai pribadi, dan mana pula kritik terhadap dirinya sebagai figur atau
pejabat publik. Rakyat, melalui media massa, berhak mengontrol perilaku dan sepak terjang
Megawati sebagai pejabat publik.

Kegagalan komunikasi

Catatan kedua, Megawati tampaknya harus menyadari, "komunikasi politik yang tidak
memadai" telah menjadi salah satu problem pemerintahannya. Dari caranya menyikapi
ketidakmengertian publik tentang ucapan dan tindakannya, penulis ragu, apakah Megawati
benar-benar menyadari adanya problem ini. Ketika publik dan berbagai kalangan bingung
atau tidak memahami makna suatu ucapan atau tindakannya, Megawati malah cenderung
menyalahkan mereka, karena tidak bisa memahami dirinya.
Tugas seorang pemimpin, selain memberi visi, arahan, memutuskan, dan menjalankan
berbagai kebijakan, adalah mengkomunikasikan dan mensosialisasikan kebijakan tersebut.

Lewat komunikasi atau sosialisasi itu, publik menjadi lebih paham. Dan yang lebih penting
lagi, mereka merasa dihargai dan dilibatkan. Sangat boleh jadi, dari situ mereka akan
terdorong untuk mendukung penuh kebijakan si pemimpin bersangkutan.
Hal itu, sayangnya, tidak terlihat dalam beberapa kebijakan penting Kabinet GotongRoyong yang dipimpin Megawati. Keputusan Pemerintah untuk memberikan R&D (Release
& Discharge) kepada sejumlah obligor kakap; divestasi saham PT. Indosat; dan terakhir,
kenaikan harga BBM, TDL dan tarif telepon; tidak didahului dengan tahapan komunikasi dan
sosialisasi yang memadai. Yang menonjol justru nuansa tidak adanya transparansi, sehingga
memunculkan berbagai spekulasi. Belum lagi menyebut maraknya "perang pernyataan" di
media massa, antara sejumlah menteri di dalam kabinet, yang menggarisbawahi
ketidakkompakan di dalam tim ekonomi Megawati sendiri.

3

Tentu saja, mengkomunikasikan dan mensosialisasikan kebijakan, bukanlah tugas
Megawati sendiri. Seluruh jajaran kabinet wajib mendukung Megawati, dengan menjalankan
peran itu. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, reinkarnasi bentuk-baru dari Menteri
Penerangan era Orde Baru, seharusnya menjalankan peran komunikasi dan sosialisasi
tersebut. Tetapi tidak begitu jelas, apa saja yang dikerjakan institusi ini, kecuali membahas
dan menggolkan RUU Penyiaran, yang sempat memancing demo karyawan dari sejumlah
stasiun televisi, beberapa waktu lalu.


Diamnya Megawati

Sikap "diam" Megawati, dalam sejumlah kasus, tidaklah selalu membantu posisinya.
Sebaliknya, hal ini malah berpotensi menimbulkan spekulasi dan kesalahpahaman publik.
Mega harus mengerti, ada perbedaan antara "diam" dan "diam." Diamnya seorang Megawati -yang beroposisi terhadap penguasa otoriter Soeharto pada periode 1996-1998—tidaklah sama
dengan diamnya Megawati sebagai Wakil Presiden RI periode 1999-2000, dan sebagai
Presiden RI sejak tahun 2000 hingga sekarang.
Di era represif Orde Baru, diamnya Mega bisa dianggap sebagai sebentuk perlawanan
taktis, yang cukup efektif. Ketika media massa dibungkam dengan ancaman breidel, dan
saluran komunikasi didominasi oleh penguasa, maka bicara menjadi tidak banyak berguna,
karena toh tidak akan sampai kepada publik seperti apa adanya.
Tetapi di era kebebasan pers dan reformasi, di mana berbagai informasi simpang-siur
dan publik tak tahu mana yang harus didengar, seorang pemimpin harus bicara. Seorang
pemimpin yang bijak tahu, kapan saatnya ia harus diam, dan kapan saatnya harus bicara.
Publik membutuhkan arah dan kejelasan, bahkan dukungan moral di tengah keterhimpitan
ekonomi yang berat saat ini.
Tetapi, jika dalam situasi demikian, si pemimpin tetap diam, maka yang terjadi
kemudian adalah kesenjangan. Kesenjangan ini bukan hanya dalam hal informasi. Tetapi
publik juga merasa tidak dilibatkan, tidak diacuhkan, disia-siakan, atau bahkan dikorbankan.

Mungkin, demikianlah perasaan sebagian massa "arus bawah", yang dulu mati-matian

4

membela kepemimpinan Mega pada Peristiwa 27 Juli, melihat dukungan penuh DPP PDI
Perjuangan pada Sutiyoso.
Megawati tampaknya memang harus lebih membuka diri, sesudah serangkaian
kegagalan fungsi kehumasan di pemerintahannya. Dalam perayaan HUT PDI Perjuangan di
Badung, Bali, 12 Januari lalu, akhirnya Mega bicara langsung, tentang mengapa Pemerintah
harus menempuh kebijakan tidak populis, dengan menaikkan harga BBM, TDL dan tarif
telepon. Penjelasan ini agak terkesan reaktif, karena berbagai aksi demo sudah terlanjur marak
menentang kebijakan tersebut. Bagaimanapun, lebih baik terlambat, daripada tidak ada
perbaikan sama sekali. Kini, saatnya bagi Mega untuk membenahi cara komunikasi
politiknya.

Jakarta, Januari 2003

* Satrio Arismunandar, mantan Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-97. Kini
pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia). Tulisan ini sudah dimuat di Harian
Kompas.


Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: [email protected]; [email protected]
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

5