PENGANTAR ILMU PENYAKIT.doc

  

INFLUENZA

(R.H.H.NELWAN)

   Pendahuluan

  Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala dan sering diserta pilek, sakit tenggorok dan batuk non produktif. Lama sakit berlangsung antara 2 – 7 hari dan biasanya sembuh sendiri.

   Epidemiologi Influenza merupakan penyakit yang dapat menjalar dengan cepat dilingkungan masyarakat.

  Walaupun penyakit ini ringan tetapi tetap berbahaya untuk mereka yang berusia sangat muda dan orang dewasa dengan fungsi kardiopulmoner yang terbatas. Juga penderita yang berusia lanjut dengan penyakit ginjal kronik atau gangguan metabolic-endokrin dapat meninggal akibat penyakit yang dikenal sebagai tidak berbahaya ini. Salah satu komplikasi yang serius adalah pneumonia bacterial. Serangan penyakit ini tercatat paling tinggi pada musim dingin di Negara beriklim dingin dan pada musim hujan dinegara tropic.

  Pada saat ini sudah diketahui bahwa pada umumnya dunia dilanda pandemic oleh influenza 2 – 3 tahun sekali. Jumlah kematian pada pandemic ini dapat mencapai puluhan ribu orang dan jauh lebih tinggi daripada angka-angka pada keadaan non epidemic.

  Reservoir penyakit influenza adalah manusia sendiri. Diduga bahwa reservoir hewan

  seperti babi, kuda dan burung memegang peranan penting sebagai penyebab terjadinyua strain virus influenza yang baru, karena terjadinya rekombinasi gen dengan strain-strain virus lain yang berasal dari manusia. Penyebaran penyakit ini adalah melalui media tetesan air (droplet) pada waktu batuk atau melalui partikel yang berasal dari sekret hidung atau tenggorok yang melayang di udara (airborne) terutama di ruangan-ruangan yang trtutup dan penuh sesak manusia.

   Etiologi

  Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B, dan C. Ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang bersifat epidemic. Tipe B penyebabnya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dari pada tipe A. dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemic. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenesisnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkjan gangguan ringan saja. Virus penyebab influenza merupakan suatu orthomyxovirus golongan RNA dan berdsarkan namanya sudah jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo atau musin.

  Struktur antigenic virus influenza meliputi antara lain 3 bagian utama berupa: antigen S (atau soluble antigen ), hemaglutinin dan neuramidase. Antigen S yang merupakan suatu inti partikl virus yang terdiri ata ribonukleoprotein. Antigen ini spsifik untuk masing-masing tipe.

  Hemaglutinin terdapat di selubung virus dan memegang peranan pada imunitas terhadap virus. Neuramidase terdapat juga dalam selubung virus dan hanya memegng peranan yang minim pada imunitas.

   Patogenesis Transmisi virus influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya di traktus respiratorius.

  Penularan bergantung pada ukuran partikel (droplet) yang membawa virus tersebut masuk kedalam saluran napas. Pada dosis infeksius 10 virus/droplet, 50% orang-orang yang terserang dosis ini akan menderita influenza. Virus akan melekat pada epitel sel hidung dan bronkus.

  Setelah virus berhsil menerobos masuk kedalam sel, dalam beberapa jam sudah mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian akan menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah kesel lain.

  Virus influenza dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat efek pirogen dari lipopolisakarida kuman Gram negative.

   Gambaran Klinis

  Pada umumnya penderita mengeluh demam, sakit kepala, sakit otot, pilek dan kadang- kadang sakit pada waktu menelan dan suara serak. Gejala-gejala ini dapat didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin. Pada pemeriksaan fisik tidak dapat ditemukan tanda-tanda karakteristik kecuali hiperemi ringan sampai berat pada selaput lendir tenggorok.

  Gejala-gejala akut ini dapat berlangsung untuk beberapa hari dan hilang dengan spontan. Setalah episode sakit ini maka dapat dialami rasa cape dan cepat lelah untuk beberapa waktu. Badan dapat mengatai infeksi virus influenza melalui mekanisme produksi zat anti dan pelepasan interferon. Setelah sembuh akan terdapat resistensi terhadap infeksi oleh virus yang homolog.

  Pada penderita usia lanjut harus dipastikan apakah juga menyerang paru-paru, sehingga dapat ditemukan bunyi napas yang abnormal. Mortalitas yang tinggi dialami penderita usia lanjut karena pneumonia virus interstisial, yang mengakibatkan saturasi oksigen yang berkurang dengan akibat acidosis dan anoksia. Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita ini adalah infeksi sekunder, seperti pneumonia bacterial. Batuk-batuk kering berubah menjadi batuk yang produktif yang kadang-kadang dapat mengandung bercak-bercak warna coklat. Penyakit penderita umumnya akan membaik dengan sendirinya tapi kemudian acap kali mengeluh lagi mengenai demam dan sakit dada. Pemeriksaan sinar tembus dapat menunjukkan adanya infiltrate di paru-paru. Infeksi sekunder ini umumnya akibat Streptococcus pneumoniae atau Hemophilus influenzae.

  Infeksi sekunder berat sekali dan dikenal sebagai pneumonia stafilokok fulminans yang dapat terjadi beberapa hari setelah seorang diserang influenza dan kemudian terjadi sesak napas, diare, batuk dengan bercak merah, hipotensi dan gejala-gejala kegagalan sirkulasi. Dari darah, Staphylococcus aureus sering dapat dibiakkan. Komplikasi yang sangat jarang tetapi yang dapat juga dijumpai sesudah influenza dalah ensefalomielitis.

   Diagnosis Menetapkan diagnosis pada saat terjadi wabah tidak akan banyak mengalami kesulitan.

  Diluar kejadian wabah diagnosis influenza kadang-kadang terhambat oleh diagnosis penyakit lain. Diagnosis pasti penyakit influenza ini dapat diproleh melalui isolasi virus maupun melalui pemeriksaan serologic. Untuk mengisolasi virus diperlukan usap tanggorok atau usap hidung dan harus diperoleh sedini mungkin; biasanya pada hari-hari pertama sakit diagnosis serologic dapat diperoleh melalui uji fiksasi komplemen atau inhibisi hemaglutinasi dimana akan dapat ditunjukkan kenaikan titer sebanyak 4 kali antara serum pertama dengan serum konvalesen. Diagnosis cepat dapat diperoleh dengan cara pemeriksaan antibody fluoresen yang khusus tersedia untuk tipe virus influenza A.

   Penatalaksanaan

  Pendrita dapat diobati dengan antipiretika. Hanya untuk kasus dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin menderita bronchitis kronik, gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibitika. Penderita dengan bronkopneumonia sekunder memerlukan okigen. Pneumonia stafilokokus sekunder harus diberantas dengan antibiotika yang tahan bata- laktamase dan kortikosteroid dalam dosis tinggi.

   Pencegahan

  Infeksi virus influenza sebelumnya akan memberikan kekebalan terhadap reinfeksi dengan virus homolog. Karena sering terjadi perubahan akibat mutasi gen, maka antigen pada virus influenza akan brubah, sehingga seorang masih mungkin diserang berulang kali dengan strain- strain virus influenza yang telah mengalami perubahan ini. Kekebalan yang diperoleh melalui vaksinasi perlu diberikan 3 sampai 4 minggu sebelum terserang influenza. Karena terjadi perubahan-prubahan pada virus maka permulaan wabah influenza biasanya hanya tersedia vaksin dalam jumlah terbatas dan vakinasi dianjurkan hanya untuk beberapa golongan masyarakat tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi dengan kemungkinan kompliksi yang fatal.

  Golongan yang memerlukan vaksin antara lain penderita dengan penyakit kardiorespiratorik yang kronik penderita dengan gangguan metabolic endocrine dan pada penderita usia lanjut. Juga mereka yang meduduki fungsi pelayanan masyarakat yang vital memerlukan vaksinasi, seperti misalnya pegawai-pegawai yang bertugas di Unit Darurat medis di Rumah Sakit.

  Pencegahan dengan kemoprofilaksis untuk penderita yang tidak dapat diberikan vaksinasi karena menderita alergi terhadap protein dalam telur dapat diusahakan dengan pemberian amantadin HCl 100 mg dua kali sehari. Juga bila tidak tersedia vaksin, cara pencegahan ini dapat diterapkan.

  Penyebaran penyakit ini dapat dicegah dengan peningkatan tingkah laku higienik seseorang.

  

DENGUE / DHF / DEMAM BERDARAH

(HENDARWANTO)

   Pendahuluan

  Demam dengue (dengue fever/DF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, dengan tanpa ruam (rash) dan limfopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata, rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik perdarahan (petekia) spontan.

  Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever / DHF), ialah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji Tourniquet akan positif dengan tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekia spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epistaksis, hematemesis, melena, trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin memanjang, hematokrit meningkat dan gangguan maturasi megakariosit.

  Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS) ialah penyakit DHF yang disertai renjatan (shock).

   Etiologi

  Virus dengue tergolong arbivirus (menurut taksonomi yang baru, virus dengue termasuk famili togoviridiae) dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya Perang Dunia Ke-II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitive terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 c.

   Epidemiologi

  Epidemi dengue dilaporkan pertama kali di Batavia oleh David Bylon pada tahun 1779, sedangkan DHF mula-mula dikemukakan oleh Quintos dan kawan-kawan di Manila pada tahun 1954. Penyakit dengue merupakan penyakit endemis di Indonesia, tetapi dalam jarak 5 sampai 20 tahun dapat timbul letusan epidemic.

  Demam berdarah dengue (DHF) di Indonesia, pertama kali dicurigai berjangkit di Surabaya pada tahun 1968, tetapi kepastian virologik baru diperoleh pada tahun 1970. Penyakit ini selanjutnya menyebar ke berbagai daerah dan sampai dengan akhir tahun 1983 hanya provinsi Timor-Timur yang belum melaporkan adanya DHF.

  Data yang terkumpul dati tahun 1968-1983 menunjukkan DHF dilaporkan terbanyak terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 penderita dengan usia pada umumnya di bawah 15 tahun. Penelitian di pusat pendidikan Jakarta, Semarang dan Surabaya menunjukkan bahwa DHF dan DSS juga ditemukan pada usia dewasa, dan agaknya terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderitanya.

  Vektor utama dengue di Indoneisa adalah nyamuk Aedes aegypti, disamping ditemukan pula aedes albopictus. Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti bak wandi, drum penampung air, kaleng bekas dan lain-lainnya. Adanya vector tersebut berhubungan erat dengan beberapa factor, antara lain:

  1. Kebiasaan masyarakat menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari.

  2. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.

  3. Penyediaan air bersih yang langka. Daerah yang berjangkit DHF adalah wilayah yang ada penduduk, karena:

  1. Antar rumah jaraknya berdekatan, yang memungkinkan penularan karena jarak terbang A. aegypti 40-100 meter.

  2. A. aegypti betina mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat.

  Dengan makin lancarnya hubungan lalulintas, kota-kota kecil atau daerah semi urban dekat kota besar pun saat ini menjadi mudah terserang akibat penjalaran penyakit dari suatu sumber di kota besar.

  Kasus DHF cenderung meningkat pada musim hujan, kemungkinan disebabkan:

  1. Perubahan musim mempengaruhi frekuensi gigitan nyamuk, karena pengaruh musim hujan, puncak jumlah gigitan terjadi pada siang-sore hari.

  2. Perubahan musim mempengaruhi manusia sendiri dalam sikapnya terhadap gigitan nyamuk, misalnya dengan lebih banyak berdiam di rumah selama musim hujan.

   Patogenesis

  Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan nampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Berdasarkan hal ini timbullah yang disebut

  the secondary heterologous infection atau the sequential infection hypothesis yang dianut oleh sebagian besar sarjana saat ini.

  Hipotesis ini menyatakan bahwa DHF dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik dari antibody, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus antibody) yang tinggi.

  Terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut:

  1. Kompleks virus anti-bodi akan mengaktivasi system komplemen, yang berakibat dilepskanny anafilaktosin C dan C berturut-turut akibat aktivitas C dan C . Penglepasan

  3a 5a

  3

  5 C 3a dan C 5a menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan

  menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya renjatan. Telah terbukti bahwa pada DSS kadar C dan C menurun

  3

  5

  masing-masing sebanyak 33% dan 89%, sehingga nyatalah pada DHF terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya anafilaktosin dalam jumlah besar pada masa renjatan. Walaupun plasma mengandung anaktivator ampuh terhadap anafilaktosin C 3a dan C 5a agaknya peranan dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi tersebut. Bukti bahwa anafilaktosin ini sebenarnya secara cepat dapat diinaktivasi dan menghilang dari sirkulasi ialah adanya kasus penyembuhan dramatis seorang penderita renjatan bila ditanggulangi secara adekuat. Anafilaktosin C dan C tidak berdaya untuk

  3a 5a

  membebaskan histamine dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam air seni 24 jam pada penderita DHF.

  2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis.

  Trombosi yang mengalami kerusakan metamorfosis akan dimusnahkan oleh system retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amine vasoaktif (histamine dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit factor 3 yang merangsang koagulasi intravaskuler.

  3. Terjadinya aktivasi factor Hageman (factor XI) dengan akibat akhir terjadi pembekuan intravaskuler yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu, aktivasi akan merangsang system kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas inding pembuluh darah. Dengan diperolehnya bukti bahwa DSS dapat terjadi pada penderita yang mendapat infeksi dengue pertama kali pada usia lebih dari 1 tahun yang serologis dapat digolongkan dalam infeksi primer, timbullah hipotesis kedua disampin the secondary heterologous infection hypothesis yang telah disebukan diatas.

  Konsep hipotesis kedua ini adalah sebagai berikut: Keempat serotype virus/strain serotype virus dengue mempunyai potensi pathogen yangsama, dan sindrom renjatan yang dapat mnyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotype/strain virus paling virulen. Data epidemiDHF di Asia Tenggara menyokong hipotesis ini, dimana di Filipina ternyata virus dengue tipe 3 berperan sebagai penyebab wabah hebat tahun 1966-1967, sedangkan di Thailand sejak tahun 1960 virus dengue tipe 2 dianggap sebagai penyebab utama kasus berat yang berakhir dengan kematian.

  Data penelitian di beberapa tempat di Inonesia memberi petunjuk agaknya virus dengue tipe 3 di Indonesia tidak hanya merupakan tipe virus dengue utama, tetapi juga merupakan tipe yang paling virulen. DSS sendiri terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis), yang dasarnya sebagai berikut:

  1. Telah dibuktikan berdasarkan penelitian bahwa pada manusia sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, makrofag, histiosit dn sel kupffer merupakan tempat utama terjadinya virus dengue.

  2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas disirkulasi maupun yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononukleus.

  3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi.

  4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravascular

  coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-mediator oleh sel fagosit

  mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

   Patofisiologi

  Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, penderita akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hyperemia tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah kulit.

  Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena penglepasan zat anafilatoksin, histamine dan serotonin serta aktivitas system kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.

  Hal ini berakibat mengurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada saat renjatan. Pada penderita dengan renjatan hebat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.

  Adanya kebocoran plasma kedaerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yantu rongga peritoneum, pleura dan perikard yang pada autopsy ternyata melebihi jumlah cairan yang telah diberikan sebelumnya melalui infuse. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolic dan kematian.

  Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastic setelah pemberian plasma/expander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsy tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakologis yang bekerja singkat. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat, yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak teratasi. Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.

  Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam system retikuloendotelial.

  Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologi dengan terdapatnya kompleks immune dalam peredaran darah. Kelainan sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terbukti terganggu oleh aktivasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/DSS, terutama pada penderita dengan perdarahan hebat, sejak lama telah menjadi bahan perdebatan.

  Telah dibuktikan bahwa DIC secara potensial dapat terjadi juga pada penderita DHF tanpa renjatan. Dikatakan pada masa dini DHF, peranan DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka renjatan akan memperberat DIC sehingga peranannya akan menonjol.

   Patologi

  Belum banyak pengalaman yang diperoleh, terutama tentang proses patologis pada penderita dewasa, tetapi dari yang telah dikemukakan diperoleh gambaran yang tidak berbeda dengan gambaran pada anak. Pada autopsy penderita dengue yang fatal (kasus jarang), diperoleh tanda perdarahan yang eksudasi cairan dalam rongga tubuh, tanda-tanda kongesti pada organ-organ vital dan degeneratif tingkat sel.

  Pada autopsy penderita DHF ditemukan secara makro dan mikroskopik tanda-tanda perdarahan dihampir semua alat tubuh, misalnya dikulit, saluran cerna, paru, subenkardial pada septum interventrikuler, dan jaringan adrenal. Hati umumnya membesar dengan perlemakan yang berhubungan dengan nekrosis karena perdarahan. Terdapatnya koagulasi nekrosis di daerah sentral atau parasentral lobulus hati, pembesaran sel-sel kupffer, sel-sel asidofilik dengan vakuola sitoplasma yang menyerupai councilman bodies pada yellow fever. Kadang- kadang nampak pula sel neutrofil dan limfosit yang lebih besar dari biasanya dengan persentase lebih banyak daripada yang normal di daerah tepi. Limpa memperlihatkan hiperplasi pulpa merah dengan infiltrasi luas sel plasma, limfosit dan histiosit. Terlihat fagositosis limfosit sangat aktif. Pusat-pusat germinal dalam badan-badan malpighi juga sangat akti, beberapa di antaranya menunjukkan nekrosis sentral. Gambaran yang sama juga terlihat pada jaringan dan kelenjar getah bening lainnya. Kelenjar adrenal; mengalami pengurangan zat lemak, terutama di zone glomerulosa; sel menciut dan mengecil. Ginjal menunjukkan dilatasi ruang Bowman dan proliferasi ringan kapiler gelung-glomerulus dan kelainan degenerasi pada tubulus.

   Imunopatologi

  Biopsi ruam kulit memperlihatkan IgM, koplemen dan antigen dengue ditemukan pada dinding pembuluh darah. Antigen dengue terdapat dalam sel mononukleus sekitar dinding pembuluh darah.

  Pewarnaan suspensi limfosit dengan cara imunofluresen pada sebagian besar penderita dilaporkan positif terhadap antigen dengue dan komplemen globulin, yang keduanya melekat pada limfosit.

  Biopsi ginjal memberi hasil glomerulonefritis proliferatif ringan dengan penimbunan kompleks imun didaerah subendotel dan paramesangium. Pada autopsy, antigen dengue terdapat dalam leukosit mononukleus sekitar daerah Bilroth limpa. Antigen dan kompleks antigen-antibodi ditemukan pada permukaan limfosit B dan permukaan trombosit.

   Gambaran klinis

  Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang amat ringan (silent dengue infection) hingga yang sedang seperti DF, sampai DHF dengan manifestasi demam akut, perdarahan serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3 – 15 hari, rata-rata 5 – 8 hari. Pada DF, suhu meningkat tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang hebat pada otot dan tulang (breakbone fever), mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supraorbital dan retroorbital.

  Nyeri dibagian otot terutama dirasakan bila tendon dan otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimalis dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa sakit bila disentuh dan pergerakan bola mata terasa pegal.

  Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (initial rash) terlihat jelas pada muka dan dada, berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh penderita. Ruam berikutnya (terminal rash) mulai antara hari ke 3 – 6, mula- mula berbentuk makula-makula besar yang kemudian bersatu dan memucat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia pada dasarnya. Hal ini terlihat pada lengan kanan dan kiri, kemudian menjalar cepat ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun kembali ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal.

  Pada sebagian penderita ditemukan kurve suhu yang bifasik (saddle back fever). Pemeriksaan fisik penderita DF hampir tidak ditemukan kelainan. Nadi penderita mula-mula cepat dan dapat menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.

  Lidah sering kotor dan kadang-kadang penderita sukar buang air besar. Terkadang dapat diraba pembesaran kelenjar yang konsistensinya lunak dan tak nyeri. Pada penderita DHF, gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati umumnya membesar dan nyeri tekan, tetapi pembesaran hati tidak sesuai dengan beratnya penyakit. Tidak dijumpai ikterus.

  Dibeberapa Negara ASEAN dijumpai pula pembesaran limfa pada 5 – 40% penderita. Pada penderita DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki serta dijumpai pula penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke-3 dan hari ke-7 penyakit. Bila tatalaksana renjatan tidak sempurna, penderita dapat jatuh dalam irreversible shock.

   Pemeriksaan Laboratorium Darah

  

  Pada DF akan dijumpai leucopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3 dan titik terendah pada saaat peningkatan suhu kedua kalinya. Leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali. Pada saat suhu meningkat kedua kalinya sel limfosit relative sudah bertambah. Sel-sel osinofil sangat berkurang. Pada DHF umumnya dijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi. Uji tourniquet yang positif merupakan pemeriksaan yang penting. Masa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan biasanuya memanjang. Pada analisis kuantitatif ditemukan penurunan factor-faktor II, V, VII, IX dan X. Pada pemeriksaan kimia darah tampak hipoproteinemia, hiponatremia, serta hipokloremia. SGOT, SGPT, ureum dan pH darah mungkin meningkat, sedangkan reserve alkali merendah.

  Air seni  Mungkin ditemukan albuminuria ringan.

  Sumsum tulang

  Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke-5 dengan gangguan maturasi, sedangkan pada hari ke-10 biasanya sudah kembali normal untuk semua system.

  Serologi

  Pemeriksan yang dilakukan adalah mengukur titer antibody penderita dengan cara

  haemagglutination inhibition test (HI test) atau dengan uji pengikatan komplemen

  (complement fixation test = CFT). Untuk pemeriksaan serologi dibutuhkan 2 bahan pemeriksaan dari penderita yang sama, yaitu pada masa akut/masa demam dan masa penyembuhan (1 – 4 mingu setelah onset penyakit). Untuk praktisnya, biasanya bahan pemeriksaan I diambil saat penderita masuk rumah sakit, sedangkan bahan pemerikasaan II diambil saat gejala memburuk atau pada waktu penderita akan pulang. Bila mungkin diambil juga bahan pemeriksaaan III, yaitu 1 – 3 minggu setelah bahan pemeriksaan II. Pemeriksaan pada hanya satu bahan pemeriksaan, sering tidak ada gunanya karena menyulitkan penafsiran. Untuk keperluan uji serologi ini diambil darah vena 2- 5 ml atau memakai kertas saring (filter paper disc). Plasma/serum darah perlu disimpan dan di angkut dalam keadaan dingin dalam termos es, tetapi kertas saring dapat disimpan dalam suhu kamar sambil menunggu pengiriman ke laboratorium.

  Isolasi Virus

  Bahan pemeriksaan adalah darah penderita, jaringan-jaringan baik dari penderita hidup (melalui biopsy) atau dari penderita yang meninggal (melalui autopsy).

   Diagnosis

  Diagnosis klinis demam dengue (DF) memerluka beberapa criteria: 1. Suhu badan yang tiba-tiba meninggi.

  2. Demam yang berlangsung hanya beberapa hari.

  3. Kurve demam yang menyerupai pelana kuda.

  4. Nyeri terutama di otot-otot dan persendiaan.

  5. Adanya ruam-ruam kulit.

  6. Leukopenia Diagnosis klinis demam berdarah (DHF) mempunyai ktiteria:

  1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari, kemudian turun secara lisis,. Demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian dan kepala.

  2. Manifestasi perdarahan:  Uji tourniquet positif.

   Petekia, purpura, ekimosis.  Epistaksis, perdarahan gusi.  Hematemesis, melena.

  3. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.

  4. Dengan/tanpa renjatan Renjatan biasanya terjadi pada saat demam menurun (hari ke-3 dan ke-7 sakit). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

  5. Kenaikan nilai hematokrit/hemokonsentrasi.

  Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) merupakan indicator yang peka akan timbulnya renjatan. Kenaikan nilai Ht lebih dari 20% menunjang diagnosa klinis DHF. Bila fasilitas pemeriksaan Ht tidak ada, hemokonsentrasi dapat diukur dengan pemeriksaan hemoglobin (Hb) dengan metode Sahli secara berkala dan dilakukan oleh pemeriksa yang sama. Kenaikan kadar Hb lebih dari 20% menunjang diagnosis klinis DHF. Derajat beratnya DHF secara klinis dibagi sebagai brikut: ~ Derajat I (ringan)

  Demam mendadak 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain dengan manifestasi perdarahan teringan, yaitu uji Tourniquet positif. ~ Derajat II (sedang) Ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan lain. ~ Derajat III.

  Ditemukan tanda-tanda dini renjatan. ~ Derajat IV Ditemukan DSS dengan tensi dan nadi yang tak terukur.

  Diagnosis klinis perlu disokong pemeriksaan serologi. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan isolasi virus.

   Diagnosa Banding

  Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu diteliti infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, kolesistisis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan sebagainya. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DHF. Biasanya pada morbili, ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada selaput lendir mulut dan selalu ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis. Pada hari ke-3 – 4 demam dengan adanya manifestasi perdarahan, kemungkinan diagnosis DHF akan lebih besar.

  Perdarahan di kulit ditemukan pula pada meningitis meningokok dan keadaan sepsis. Pemeriksan saraf dan fungsi lumbal serta darah tepi dan biakan darah, dapat membedakan hal ini dengan DHF.

  Penyakit-penyakit darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), leukemia pada stadium lanjut dan anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala yang mirip DHF. Pemeriksaan sumsum tulang akan dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Renjatan endotoksik dan renjatan karena dengue sulit dibedakan. Umur, factor predisposisi dan perjalanan klinisnya dapat membantu membedakannya.

  Gejala penyakit yang disebabkan virus Chikungunya (juga suatu arbovirus) mirip sekali dengan dengue, terutama mengenai lama demam dan manifestsi perdarahan, tetapi tidak pernah menyebabkan renjatan dan gangguan kesadaran. Beberapa perbedaan utama yang terlihat pada anak adalah lebih banyak ditemukan keluhan artralgia, injeksi konjungtiva, dan adanya ruam makulopapular pada penyakit Chikungunya. Pada laboratorium lebih sering ditemukan leucopenia dan sedikit sekali dijumpai kasus dengan trombositopenia.

   Penatalaksanaan

  Setiap penderita tersangka DF dan DHF sebaiknya dirawat ditampat yang terpisah dengan penderita lain, seyogyanya pada kamar yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada DF atau DHF tanpa penyulit adalah: 1. Tirah baring.

  2. Makanan lunak Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5 – 2 liter dalam 24 jam (susu, air teh dengan gula atau sirup) atau air tawar ditambah dengan garam saja.

  3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis:

  Untuk hipereksia dapat diberikan kompres es di kepala, ketiak, dan inguinal. Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari asetosal karena bahaya perdarahan.

  4. Antibiotika dibrikan bila terdapat kkuatiran infeksi sekunder.

  Penderita DHF perlu observasi teliti terhadap penemuan dini tanda renjatan, yaitu: Keadaan umum memburuk.

   Hati makin besar.  Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.  Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala. 

  Dalam hal ditemukan hal-hal dini tersebut, infuse harus disiapkan dan dipasang pada penderita. Observasi meliputi pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernapasan; serta Hb dan Ht setiap 4–6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya tiap 24 jam.

  Terapi untuk DSS bertujuan utama untuk mengembalikan volume cairan intravascular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl faali, laktat Ringer atau bila terdapat renjatan yang berat dipakai plasma atau expander plasma. Jumlah cairan dan kecepatan pemberian cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis. Kecepatan permulaan tetesan ialah 20 ml/kg berat badan/jam, dan bila renjatan telah teratasi, kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/jam.

  Pada kasus dengan renjatan besar, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak nampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau preparat

  hemacel dengan jumlah 15 – 20 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan

  asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonas. Pada umumnya untuk menjaga keseimbangan volume intravaskuler, pemberian cairan intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi.

  Transfusi darah dilakukan pada: 1. Penderita dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan / melena).

  2. Penderita DSS yang pada pemeriksan berkala, menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht.

  Pemberian kortikosteroid masih menjadi bahan perdebatan, tapi pada umumnya di Indonesia hal ini tidak dilakukan karena telah terbukti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara terapi tanpa atau dengan kortikosteroid. Pada penderita dengan renjatan yang lama (prolonged shock); DIC diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostatis terbukti adanya DIC, heparin perlu diberikan.

   Prognosis

  Kematian oleh demam dengue hampir tak ada, sebaliknya pada DHF/DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, semarang, dan Jakarta mempelihatkan bahwea prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak.

   Pencegahan

  Untuk memutuskan rantai penularan, pembatasan vector dianggap cara yang paling memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A. aegypti sebenarnya mudah diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vector tersebar luas, untuk keberhasilan pemberantasan diperlukan total

  coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.

  Ada 2 cara pemberantasan: ~ Menggunakan insektisida

  Yang lazim dipakai dalam Program Pemberantasan demam berdarah dengue adalah

  malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida) dan temephos (abate) untuk

  membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan

  (thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat digunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan di dalam kamar/ruangan, misalnya golongan organofosfat, karbamat atau pyrethroid. Cara penanggulangan temephos (abate) ialah dengan menaburkan pasir abate (sand granules) kedalam sarang-sarang nyamuk Aedes, yaitu bejana tempat penampungan air bersih. Dosis yang digunakan ialah 1 ppm abate SG 1% per 10 liter air.

  ~ Tanpa insektisida Caranya adalah:

  Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1x seminggu - (perkembangan telur ke nyamuk lamanya 7 – 10 hari)> Menutup tempat penampungan air rapat-rapat. - Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan benda - lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.

  Isolasi penderita agar penderita tidak digigit vector untuk dutularkan kepada orang lain sulit dilaksanakan lebih awal dari perawatan di Rumah Sakit karena kesukaran diagnosis dini.

  Mencegah gigitan nyamuk dengan cara memakai obat gosok/repellant maupun pemakaian kelambu memang dapat mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini dianggap kurang praktis.

  Imunisasi maupun pemberian anti-virus dalam usaha memutuskan rantai penularan, saat ini baru dalam taraf penelitian.

  

(RACHMAT JUWONO)

Pendahuluan Tifoid dan paratifoid (selanjutnya disebut tifoid) adalah penyakit infeksi akut usus halus.

  Paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan gambaran klinis yang sama, atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid adalah typhoid and paratyphoid fever,

  enteric fever, typhus and paratyphus abdominalis. Etiologinya ialah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C.

   Epidemiologi

  Tifoid dan paratipoid merupakan endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun tifoid tercantum dalam Undang- Undang dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologiknya belum diketahui secara pasti. Di Indonesia tifoid jarang di jumpai secara epidemic, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.

   Distribusi Geografi

  

  Tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis, hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik.

  Musim

  Di Indonesia tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada persesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus tipoid. Ada peneliti yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang mendapatkan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan.

  Jenis kelamin  Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden tifoid pada pria dan wanita.

  Umur

  Didaerah endemic tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidens pada penderita yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70 – 80% penderita berumur antara 12 dan 30 tahun, 10 – 20% antara 30 – 40 tahun dan hanya 5 – 10% diatas 40 tahun.

   Patogenesis

  Penularan S. typhi terjadi melalui mulut oleh makanan yang tercemar. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk kedalam usus halus, mencapai jaringan limfoid lalu berkembang biak. Kuman kemudian masuk aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial hati, limpa dan organ-organ lainnya. Disangka proses ini terjadi pada masa tunas, yang berakhir saat sel-sel retikuloendotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dam menimbulkan bakteriemia untuk kedua kalinya. Kuman-kuman selanjutnya masuk kejaringan beberapa organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandung empedu.

  Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian eksprimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada tifoid. Endotoksin S.typhi berperan pada patogenesis tifoid. Karena membantu terjadinya proses inflamasi local pada jaringan tempat di mana S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pigmen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

   Patologi

  Kelainan patologik utama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal. Pada minggu pertama penyakit terjadi hyperplasia plaks peyer, disusul minggu kedua terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga ulserasi plaks peyer dan selanjutnya dalam minggu ke empat penyembuhan ulkus-ulkus dengan meninggalkan sikatris. Ulkus berbentuk bulat lonjong dengan sumbu memanjang sejajar dengan sumbu usus. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.

  Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuclear, serta nekrosis fokal. Sistem retikuloendotelial menunjukkan hyperplasia dan kelenjar-kelenjar mesenterial dan limpa membesar. Kelainan patologik juga dapat dijumpai pada ginjal, paru, jantung, selaput otak, otot dan tulang.

   Gambaran Klinis

  Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi, perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa ahli yang sudah sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk mmbut dignosa klinis tifoid.

  Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didaptkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relative, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splnomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesi.

   Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksan leukosit

  Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada tifoid terdapat leucopenia dan limfositosis relative, tetapi kenyatannya leukopienia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosis tifoid.

   Biakan darah

  Biakan darah positif memastikan tifoid, tetapi biakan darah negative tidak menyingkirkan tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada factor, antara lain: o Teknik pemeriksaan laboratorium