DOI: 10.24014jush.v26i1.4070 ANALISIS PEMIKIRAN SASTRA NAJM AL-DÎN AL-THÛFÎ DALAM AL-IKSÎR FÎ `ILMI AL-TAFSÎR Lalu Supriadi Bin Mujib
ANALISIS PEMIKIRAN SASTRA NAJM AL-DÎN AL-THÛFÎ DALAM AL-IKSÎR FÎ `ILMI AL-TAFSÎR
Lalu Supriadi Bin Mujib
Universitas Islam Negeri Mataram, Indonesia nasabila46@gmail.com
Abstract
The science of tafseer as an Islamic scientific discipline is growing and attracting the interest of examiners and observers of Qur’anic Studies from time to time, because the content of al-Qur’an
is like the sea which never dries its water and will not stop its miracle. Also it is supported by its existence as the holy book of Islamic people and its position in first rank in understanding the teachings of Islam. The advancement of religious science and science with various styles and variety gives space the emergence of various models of approach in interpreting al-Qur’an. The literary approach model is one of the most important proposals for al-Qur’an examiners to explore the beauty of language and to discover the aspects of I’jaz (the miracle) of al-Qur’an. I’jaz functions as a proof that affirms the position of al-Qur’an as the words of Allah to distinguish it from human words. Various varieties of uslûb (language style) can be found in al-Qur’an and those are used in accordance with the conditions and context of cultural and social reality that happened when the al-Qur’an sent down. It does not just appear but it certainly contains the value and literary
content to support its miracle. Keywords: Tafseer, Uslûb, Miracle, al-Qur’an
Abstrak
Ilmu tafsir sebagai disiplin keilmuan Islam semakin berkembang dan menarik untuk dikaji karena karakter isi dan kandungan al-Qur’an bagaikan lautan yang tak pernih kering airnya dan tak akan habis keajaibannya. Juga didukung oleh eksistensinya sebagai kitab suci umat Islam dan kedudukannya yang menempati urutan pertama dalam memahami ajaran Islam. Kemajuan ilmu agama dan sains dengan berbagai corak dan ragamnya memberi ruang munculnya berbagai model pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an. Model pendekatan sastra adalah salah satu tawaran penting bagi para pengkaji al-Qur’an untuk menyelami keindahan bahasa dan menemukan aspek i`jâz (ke-mu’jizatan) al-Qur’an. I’jâz berfungsi menjadi bukti yang mempertegas posisi al-Qur’an sebagai firman Allah (Kalam allah) untuk membedakannya dengan perkataan manusia. Beragam varian uslûb (gaya bahasa) bisa ditemukan dalam al-Qur’an dan itu dipergunakan sesuai dengan kondisi dan konteks realita sosial budaya yang berkembang saat turunnya al-Qur’an. Hal tersebut tidak muncul begitu saja namun dipastikan mengandung nilai dan muatan sastra untuk mendukung ke-mu’jizat-annya.
Kata Kunci: Tafsir, sastra, Mu’jizat, al-Qur’an 14 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr
Pendahuluan
dalam studi al-Qur’an menitikberatkan pada Ilmu tafsir berkaitan dengan upaya dan ikhtiar
konsep ilmu balâghah yang terdiri dari bayân, manusia untuk memahami dan menjelaskan badî` dan ma`ânî dengan bantuan perangkat pesan-pesan yang bersumber dari teks wahyu, linguistik-semantik, dan pendekatan ilmu bahasa
yaitu al-Qur’an. Oleh karena itu, tidak dinafikan arab seperti nah wu dan Sharf serta konteks dari munculnya perbedaan pendekatan dalam teks al-Qur’an itu sendiri. menafsirkan al-Qur’an disebabkan perbedaan
Pendekatan sastra di era kontemporer, pemahaman terhadap teks yang ditafsirkan, mendapatkan perhatian yang lebih dengan metode analisa yang dipergunakan, serta realitas
kemunculan karya-karya baru di bidang ini. kondisi budaya dan konsentrasi keilmuan Seperti Amîn al-Khûlî (1895-1966 M) yang mufassir.
mengembangkan pemikiran al-Manhaj al- Bentuk pemahaman yang beragam ini, pada
Adabî, lalu metode pemikirannya dikembangkan gilirannya menempatkan tafsir sebagai disiplin oleh Muhammad Ahmad Khalaf al-Lâh dalam al- keilmuan yang senantiasa hidup bersamaan Fann al-Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm, begitu dengan perkembangan teori pengetahuan. juga Aisyah Abd al-Rahmân binti al-Syâti’ (w. Sebagaimana ditegaskan ‘Abdullah Darraz,
1998 M), dalam Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân seperti yanmg dikutip oleh M. Quraish Shihab,
al-Karîm, Muhammad Syukry Ayyad (w. 2001 bahwa al-Qur’an bagaikan intan, yang setiap
M), dalam Yaum al-Dîn wa al-Hisâb fî al-Qur’ân. sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda Tak ketinggalan di Indonesia pun muncul studi dengan apa yang terpancar dari sudut lainnya. 1 al-Qur’an yang menggunakan pendekatan sastra Salah satu model penafsiran tersebut adalah
seperti dilakukan M. Nurkholis Setiawan dalam tafsir sastra di mana metode ini berusaha untuk
bukunya al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. melihat al-Qur’an sebagai kitab sastra. Pada
Tafsir klasik yang menggunakan model mulanya, model ini muncul dikarenakan gaya pendekatan sastra dengan menekankan aspek
bertutur al-Qur’an yang komunikatif, dan pada balâgah, bayân, ma’ânî, dan kebahasaan adalah saat yang sama sarat dengan simbol, mengundang
tafsir al-Kasyâf karya al-Zamakhasyari (497-538 pesona para pemerhati sastra Arab. Para pengkaji
H). Tafsir tersebut dinilai sebagai karya yang al-Qur’an menemukan aspek keindahan bahasa
penting karena berjasa besar dalam melahirkan serta ungkapan yang dipakai oleh al-Qur’an
tafsir sastra pada masa itu dan setelahnya. Tak yang lalu membuat mereka meyakini i`jâz (ke-
ketinggalan nama Fakhruddin al-Razi dalam mu’jizatan) al-Qur’an untuk membedakan antara
kitabnya Mafâtîh al-Ghaib.
firman Allah dan perkataan manusia. Selain al-Zamakhsyari, ulama klasik yang Menurut al-Khuli, dengan menetapkan al-
memiliki perhatian besar terhadap model Qur’an dalam bingkai teori komunikasi bukan
pendekatan sastra adalah Najm al-Dîn al-Thûfî berarti menempatkan al-Qur’an sebagai teks
(657-716 H) dalam karyanya al-Iksîr Fi `Ilmi biasa yang merupakan gubahan manusia, namun
al-Tafsîr. Selain dikenal sebagai tokoh dan hanyalah sebuah media untuk mendekatinya pemikir Ushul Fiqih dengan teori mashlahah
secara ilmiah dengan tidak mempedulikan mursalah-nya, 3 al-Thûfî juga berkontribusi dalam apakah yang mendekatinya tersebut seorang
yang religius atau tidak. 2 Pendekatan sastra 3 Menurut al-Thûfî sumber hukum paling kuat secara hierarki
adalah nash (teks al-Qur’an dan Hadits) dan Ijmâ`. Kalau keduanya (nash dan ijmâ`) menetapkan hukum yang sejalan
1 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan makna dan spiritnya dengan yang dirumuskan oleh mashlahah Keserasian al-Qur’an, jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), xv.
mursalah, maka tidak ada persoalan. Tetapi kalau terjadi 2 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Cet.
pertentangan (nash dan ijmâ` versus mashlahah mursalah), maka 1 (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), 2-3.
mashlahah mursalah harus didahulukan (diprioritaskan) dengan
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 15 J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 15
ilmu-ilmu tafsir khususnya fashâhah, balâgah, menekankan aspek estetika kebahasaan dengan
bayân, badi`, dan ma`ânî lalu diaplikasikan cita rasa sastra yang terbentuk pada dirinya.
dalam sejumlah ayat-ayat al-Qur’an. Dengan latar Jika kitab-kitab tafsir bercorak sastra yang belakang demikian, penelitian ini bertujuan untuk ditulis oleh para mufassir sebelum al-Thûfî lebih
memahami setting biografi al-Thûfî dan konsep dominan menggunakan metodologi deduktif, pemikirannya dalam tafsir sastra.
yaitu dimulai dari pemaparan ayat-ayat al-Qur’an kemudian dianalisa aspek sastra dan bahasanya,
Metode Penelitian
selanjutnya bermuara pada perumusan kaidah. Penelitian ini menggunakan pendekatan Berbeda dengan al-Thûfî yang menghadirkan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif- sesuatu yang baru, yaitu metodologi induktif
analitis, yaitu berusaha mendeskripsikan substansi dalam penulisan tafsir di mana ia memulai pemikiran al-Thûfî dalam tafsir. Metode yang karyanya dengan meletakkan kaidah-kaidah
digunakan dalam mengumpulkan data adalah sastra dan kebahasaan secara umum dan memadai
penelitian kepustakaan (library research), yaitu setelah itu baru diaplikasikannya dalam ayat-ayat
penelitian yang dilakukan dengan bertumpu al-Qur’an. 6 pada data-data kepustakaan tanpa ujian empirik .
Abdul Kadir Husein berkomentar bahwa Teks-teks yang dikaji adalah buku-buku karya karya al-Thûfî muncul berkat penelitian yang al-Thûfî sebagai sumber data primer, dan karya- mendalam terhadap sastra arab dan ilmu tafsir
karya penulis lain mengenai al-Thûfî sebagai dan tidak dipengaruhi secara langsung oleh
sumber data sekunder. Buku sekunder tersebut pemikiran-pemikiran para sastrawan apalagi digunakan sebagai bahan analisis terhadap ‘mengekor’ model pemikiran pendahulunya. 4 pemikiran al-Thûfî. Buku-buku al-Thûfî sebagai
Al-Thûfî mensinyalir bahwa karyanya ini sumber primer adalah seperti: al-Iksîr Fi `Ilmi dipersembahkan bagi orang-orang yang tidak al-Tafsîr, Sementara buku-buku dan artikel- berpikir jumûd (kaku), tidak mudah terperdaya
artikel lain dijadikan sebagai sumber sekunder oleh sesuatu yang mustahil, karena seseorang untuk mengenal dan menganalisa latar belakang akan dikenal oleh kebenaran yang dibawanya, pemikiran al-Thûfî , antara lain adalah al-Durar bukan sebaliknya kebenaran itu dikenal dengan
al-Kâminah karya Ibnu Hajar al-Asqalâni, seseorang. 5 Syazarât al-Zahab karya Ibnu al-`Ammâd al-
Sekalipun kitab al-Iksîr Fi `Ilmi al-Tafsîr bukan Hanbali, Bughyah al-Wu`âth karya al-Suyûthi, berbentuk kitab tafsir yang menafsirkan semua
Dzaîl Thabaqât al-Hanâbilah karya Ibnu Rajab, ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan, namun
al-Uns al-Jalâl, al-Durr al-Munaddlad dan al- Manhaj al-Ahmadi karya al-`Ulaimi.
cara takhshîs (mengkhususkan makna salah satunya) dan bayân
Data yang terkumpul dianalisis dengan
(menjelaskan makna salah satunya) bukan dengan cara menafikan atau tidak menggunakannya sama sekali. Sebagaimana terjadi
menggunakan metode analisis isi (content
pada sumber hukum as-Sunnah yang bisa didahulukan dari al-
analysis), 7 yaitu menganalisis makna yang
Qur’an dengan cara bayân. Hal itu terjadi karena mashlahah mursalah adalah tujuan akhir dari pemberlakuan hukum syara’
terkandung dalam keseluruhan pemikiran al-
terhadap mukallaf sedangkan sumber-sumber hukum Islam yang
Thûfî sehingga diperoleh suatu pemahaman yang
lain adalah sarana yang dipergunakan untuk memahami tujuan tersebut. Konklusinya tujuan harus didahulukan dari sarana
akurat, utuh dan mendalam tentang pemikirannya
(Lalu Supriadi, Studi Biografi dan Pemikiran Ushul Fikih Najm al-Dîn al-Thûfî, Cet. 1 [Yogyakarta: SUKA Press, 2013], 140).
4 Abdul Kadir Husain, Mukaddimah tahqiq al-Iksir Fi ‘Ilmi al- 6 Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Tafsir (Beirut: Dar al-Auza’i, 1409 H), 11.
Rake Sarasin, 2000), 158.
5 al-Thûfî, al-Iksir Fi ‘Ilmi al-Tafsir, Ed: Dr. Abdul Kadir Husain 7 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial- (Beirut: Dar al-Auza’i, 1409 H), 27.
Keagamaan (Bandung: Rosda, 2003), 71.
16 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr 16 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr
Bakar al-Qalânisî.
sosok al-Thûfî dan tema penelitian ini dan Berbagai disiplin ilmu berhasil dikuasainya, interpretasi untuk memahami konsep pemikiran
seperti Tafsir dan Ilmu Tafsir, Fiqih dan Ushul yang ditawarkan.
Fiqih, Hadits, Ushuluddin, Bahasa Arab, ilmu Jadal (debat), dan ilmu Mantiq (logika). Dua
Sketsa Biografis Najm al-Dîn al-Thûfî
disiplin ilmu yang terakhir ini berpengaruh besar Beliau adalah Sulaimân Bin `Abd al-Qawiy
dalam membentuk karakter kepribadiannya, Bin `Abd al-Karîm Bin Sa`îd. Dikenal juga seperti berani berbeda pendapat dan sangat dengan nama Abu al-Rabî` atau Ibnu Abi al-
bebas berpikir dan itu tampak jelas dalam karya- `Abbas. Alias Najm al-Dîn al-Thûfî. Lahir di karyanya. Di Bagdhad beliau mulai cenderung Thûfî, nama sebuah desa di daerah Sharshâr
menekuni mazhab Ahmad bin Hanbal karena Baghdad. Para sejarahwan muslim beragam
sejak kecil beliau memiliki hubungan emosional versi mengenai tahun kelahirannya. Setelah dan keilmuan yang sangat dekat dengan ulama- melalui penelusuran sejarah akhirnya peneliti ulama Hanbali.
menyimpulkan kelahirannya pada tahun 657 H. 8 Pada tahun 704 H, beliau melanjutkan Berbeda halnya dengan tahun kelahirannya,
perjalanan intelektualnya ke Syam (kini Suriah) para sejarahwan sepakat mengenai tahun dan berguru kepada sejumlah ulama. Di antaranya wafatnya, yaitu pada bulan Rajab tahun 716 belajar ilmu hadits dari Sulaimân Bin Hamzah,
H karena beliau memulai penulisan karyanya Bahasa Arab dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Ta`yîn Fî Syarh al-Arba`în al-Nawawiyah
Taimiyah pun pernah belajar ilmu nah wu dari pada hari Senin 13 Rabi’ul Akhir dan selesai al-Thûfî dan bertemu dengan ulama-ulama lain, pada hari Selasa 28 Rabi’ul Akhir tahun 713 H
seperti Abu al-H ajjâj al-Mizzi, Abu Muhammad di Kota Qûsh daerah Sha`îd Mesir. Data sejarah
al-Brâzali dan Abu al-Fath. Lalu pada tahun 705 lain bahwa al-Thûfî pergi haji tahun 714 H dan
H, beliau pindah ke Kairo dan berguru kepada menetap di Mekah tahun 715 H, terakhir adalah
`Abd al-Mu´min Bin Khalaf, Sa`d al-Dîn al- al- beliau menulis bukunya al-Isyârât al-Ilâhiyah Ilâ
H âritsiy dan belajar kitab nahwu-nya Sîbawaîh al-Mabâhits al-Ushûliyah selama bulan Rabi’ul
dari Abu Hayyan. Semua ini membuat al-Thûfî Awwal dan Rabi’ul Akhir tahun 716 H di Baitul
dihormati dan disegani para ulama. Salah seorang Maqdis Palestina. 9
gurunya bernama Sa`d al-Dîn al-H âritsiy ketika Perjalanan intelektualnya dimulai pada tahun
mengetahui kedatangan al-Thûfî ke Kairo, beliau 691 H, ketika beliau tiba di Baghdad, ibukota
menyambutnya dengan baik dan memberinya Daulah Abbasiah yang kala itu pusat peradaban
jadwal untuk mengajar di beberapa madrasah, dan ilmu pengetahuan. Di kota tersebut ia
antara lain madrasah al-Shâlihiyah, madrasah menuntut ilmu bersama pelajar-pelajar yang al-Manshûriyah, dan madrasah al-Nâshiriyah. datang dari berbagai penjuru. Tercatat sejumlah
Selang beberapa waktu tiba-tiba muncul nama ulama yang pernah mengajarnya secara konflik internal antara al-Thûfî dan sang guru langsung, di antaranya Taqiy al-Dîn al-Zarîrâti,
Sa`d al-Dîn al-Hâritsiy yang saat itu menjabat Abu Abd llâh al-Moushilî, `Ali Nâshîr al-Faruqî,
ketua qâdli yang berimplikasi retaknya hubungan antara sang guru dengan muridnya. Bermula dari sikap al-Thûfî yang tampaknya berseberangan
8Lalu Supriadi, Studi Biografi dan Pemikiran Ushul Fikih Najm ad-Din at-Thufi, 25.
pendapat dengan apa yang diputuskan al-H âritsiy
9 Musthafa Zaid, al-Mashlahah Fi at-Tasyri’ al-Islami Wa Najm
dalam salah satu kuliahnya. Al-Thûfî kala itu
al-Din al-Thûfî, cet. 2 (Beirut: Darul Fikr Al Arabi, 1384 H), 68-69
memegang teguh pendapatnya sehingga membuat
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 17 J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 17
al-Intishârât al-Islâmiyah Fî Kasyf al-Syubah Permasalahan menjadi meluas dan al-Nashrâniyah, al-Isyârât al-Ilâhiyah Ilâ al- berkembang, anak sang guru yang bernama Mabâh its al-Ushûliyah, al-Bulbul (Mukhtashar Syams al-Dîn `Abd al-Rah mân mengadukan
Raudlah al-Nâzhir Fî Junnah al-Manâzhir), permasalahan ini ke Badr al-Dîn Bin al-Habbal
Syarah Mukhtashar Raudlah al-Nâzhir Fî Junnah (petugas berwenang ketika itu), sehingga al-Manâzhir, al-Sha`iqah al-Gadlabiyah Fî al- dengan cepatnya al-Thûfî dituduh memiliki
Raddi `Alâ Munkir al-`Arabiyah. kecenderungan pemikiran Rafidlah (Syi’ah) dan
tiba-tiba muncul tulisan tangannya berisikan Tafsir dan Takwil dalam Studi al-Qur’an
pelecehan terhadap Abu Bakar dan Umar bin Tafsir dan takwil berperan penting dalam Khatthab. Akhirnya al-Thûfî dihukum ta’zir, studi al-Qur’an karena keduanya merupakan dipukul dan dicopot dari tugas mengajar dan instrumen untuk bisa memahami al-Qur’an dipenjara beberapa hari lalu dikeluarkan dari
secara benar sesuai dengan yang diinginkan penjara. Setelah itu beliau meninggalkan Kairo –
oleh Allah swt. Karena al-Qur’an diturunkan menurut penuturan Ibnu Rajab – beliau dibuang
dengan menggunakan Bahasa Arab, maka untuk ke Syam. Beliau hanya menetap beberapa saat
memahami isi dan kandungannya diperlukan di kota Syam setelah itu pergi ke Kota Qûsh di
wawasan dan pengetahuan yang luas tentang Sha`îd Mesir. 10 Bahasa Arab, kondisi sosial dan budaya
Di Qûsh beliau berhasil menyelesaikan masyarakat Arab ketika turunnya al-Qur’an serta penulisan bukunya al-Sha`iqah al-Gadlabiyah
dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Fî al-Raddi `Alâ Munkir al-`Arabiyah. Kemudian
Jika dikalkulasikan di dalam al-Qur’an, kata dari Qûsh beliau menuju Hijaz pada akhir tahun
takwil terungkap sebanyak tujuh belas kali, 714 H, lalu melaksanakan ibadah haji dan sedangkan kata tafsir tidak lebih dari satu kali, menetap berpindah-pindah antara Kota Makkah
sehingga popularitas takwil dalam Bahasa Arab dan Madinah tahun 715 H, dan terakhir ke sejak turunnya al-Qur’an sepuluh kali lipat lebih Palestina. Di Palestina beliau menulis bukunya al-
besar dari penggunaan tafsir. Dari sekian jumlah Isyârât al-Ilâhiyah Ilâ al-Mabâhits al-Ushûliyah
itu, kata takwil digunakan untuk bermacam- beberapa saat sebelum wafat.
macam. Ada yang terkait dengan pembacaan Al-Thûfî adalah tokoh ensiklopedi terkemuka
terhadap peristiwa mimpi, seperti yang dilakukan dan penulis produktif dalam berbagai disiplin Nabi Yusuf, pembicaraan terhadap peristiwa yang ilmu. Karya-karyanya memperkaya perpustakaan
akan terjadi seperti yang dilakukan oleh Hidir dan Islam dan menjadi referensi-referensi yang ada pula pembacaan terhadap bahasa (teks) yang tak ternilai harganya. Ibnu Rajab menghitung membuat makna samar (ambigu), terutama yang karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu
terkait dengan ayat-ayat mutasyâbihât dalam al- mencapai angka 53 buah, 11 sementara al-Ulaimi
Qur’an. Dari sekian bentuk penakwilan itu yang menghitungnya 34 buah. 12 Di antara buku-buku
populer di kalangan generasi Pasca Nabi adalah tersebut adalah: 13 al-Iksîr Fî Qawâ`id al- Tafsîr, bentuk takwil ketiga.
Menurut Muh ammad `Ali al-Shâbûnî, tafsir
adalah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an
10 Lalu Supriadi, Studi Biografi dan Pemikiran Ushul Fikih Najm
ad-Din at-Thufi, 28.
yang jelas maksud dan tujuannya sedangkan
`Abd al-Rahmân Ibnu Rajab, Dzail Thabaqah al-Hanâbilah, Jilid 2 (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t), 366. 12 `Abd al-Rahmân Bin Muhammad al-`Ulaimi, al-Manhaj al-
13 Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Ahmadî Fî Tarâjum Ashâb al-Imâm al-Ahmad, Jilid 5, Cet. 1
Majaz dalam al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, ter. Abdurrahman (Beirut: Dâr Shâdir, 1997), 5.
Kasdi dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), 267.
18 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr 18 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr
Karakteristik dan Metodologi Tafsir al-Thûfî
al-Qur’an yang samar yang membutuhkan Kemunculan kitab al-Iksîr Fi `Ilmi al-Tafsîr penggalian dan perumusan makna karena
bermula dari kegelisahan akademik yang dialami mengandung kemungkinan makna lain. 14 Menurut
al-Thûfî yang tidak menemukan pada masa al-Thûfî tafsir adalah menguraikan bagian-bagian
hidupnya suatu referensi komprehensif berkaitan dari makna teks sehingga bisa dipahami secara
dengan disiplin ilmu tafsir yang bercorak sastra baik dan bermanfaat, sedangkan takwil adalah
dan kebahasaan yang bisa langsung diaplikasikan menjelaskan tempat kembalinya suatu makna dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut asumsi
dari teks. 15 al-Thûfî, sebagaimana disebutkan dalam Menurut hemat penulis, definisi yang 21 Muqaddimah al-Iksîr Fi `Ilmi al-Tafsîr bahwa
dikemukakan al-Thûfî tidak secara jelas kitab-kitab tafsir bercorak sastra yang ditulis membedakan antara tafsir dan takwil. Hal ini
oleh para mufassir sebelumnya lebih dominan terlihat ketika al-Thûfî menggunakan kata tafsir
menggunakan metodologi deduktif, yaitu dimulai untuk mengungkapkan makna ayat-ayat al-
dari pemaparan ayat-ayat al-Qur’an setelah itu Qur’an yang masih bersifat samar. Bisa saja ini
baru dianalisa aspek sastra dan bahasanya. muncul karena beliau kala itu mengikuti trend
Al-Thûfî ingin menghadirkan metodologi ulama mutaqaddimîn yang menurut al-Shâbûnî
induktif dalam penulisan tafsir yang tentu berbeda. tidak membedakan antara pengertian tafsir dan
Ia memulai karyanya dengan meletakkan kaidah- takwil, berbeda dengan ulama muta’akhirîn. 16
kaidah sastra dan kebahasaan secara umum, lalu Menurut al-Thûfî, sekalipun secara umum diaplikasikannya dalam memahami ayat-ayat al- tafsir dan takwil memiliki makna yang sama,
Qur’an. Dengan ini maka kitab al-Iksîr Fi `Ilmi namun secara spesifik penggunaannya berbeda.
al-Tafsîr merupakan kontribusi akademik dalam Takwil dalam penggunaannya bersifat umum bidang tafsir dan sastra yang sangat penting yang
karena berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an 17 membuka cakrawala berpikir para mufassir klasik maupun yang bukan ayat-ayat al-Qur’an. 18 pada masa itu dan turut memperkaya khazanah
Sementara tafsir 19 khusus berkaitan dengan
keilmuan Islam.
ayat-ayat al-Qur’an dan kandungan maknanya. Berdasarkan pemetaan studi al-Qur’an yang Berdasarkan argumen ini para ahli tafsir dikenal luas di kalangan mufassir dan pengkaji al-
mendefinisikan tafsir sebagai upaya menjelaskan 22 Qur’an ditemukan bahwa kitab al-Iksîr Fi `Ilmi objek lafazh (teks), sedangkan takwil adalah al-Tafsîr secara umum menggunakan metode
upaya menjelaskan makna yang terkandung maudlu’i, yaitu metode tafsir yang menyandarkan dalam teks. 20
materi-materi tafsir fokus pada tema atau topik tertentu, yaitu masalah kemukjizatan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra dan
14 M. Ali al-Shabuni, al-Tibyan Fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut:
bahasa. Sedangkan pendekatan yang dipergunakan
Alam al-Kutub, 1405 H), 67. 15 al-Thûfî , 28-29.
adalah tafsir Bi al-Ra’yi adalah pendekatan tafsir
16 al-Shabuni, 66.
yang banyak menggunakan dalil-dalil aqliyah
“Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah” (QS. Ali Imran [3]: 7).
(rasio) untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
18 “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
Menurut al-Zarqani salah satu ciri dari mtode tafsir
akibatnya” (QS. al-Nisa’ [4]: 59; dan “tidakkah mereka hanya menanti-nanti bukti kebenaran (al-Qur’an) itu” (QS. al-A’raf
Bi al-Ra’yi adalah perhatiannya terhadap makna
[7]: 53). 19 “dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan
21 al-Thûfî , 27.
kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik” (QS. 22 Abd al-Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’i: al-Furqan [25]: 33).
Dirasah Manhajiyah Maudlu’iyah (Kairo: al-Thiba’ah al- 20 al-Thûfî , 28-29.
Hadlarah al-Arabiyah, 1970), 23.
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 19 J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 19
tafsir al-Thûfî menggunakan metode tafsir Adabi, diberikan kepada orang-orang yang beriman. yaitu corak tafsir yang menggunakan analisis
Menurut al-Razi, uslûb taqdim wa ta’khîr sastra dan kebahasaan untuk menafsirkan ayat-
pada ayat di atas bermaksud memberi kabar ayat al-Qur’an. Dengan demikian, maka dalam
gembira bahwa Allah pasti menolong orang- konteks ini layak menyejajarkan al-Thûfî dengan
orang mukmin sekaligus menegaskan kepastian para mufassir klasik yang hidup sebelumnya yang
pertolongan tersebut dengan menggunakan kata dikenal sebagai pelopor tafsir Bi al-Ra’yi yang
‘alâ yang bermakna luzûm (kemestian). Masih bercorak Adabi semisal al-Zamakhsyari dalam menurut al-Razi, kemenangan orang-orang kafir tafsirnya al-Kasyâf dan Fakhru al-Din al-Razi
terhadap orang-orang muslim dalam peperangan dalam tafsirnya 24 Mafâtîh al-Ghaib. bukanlah kemenangan yang sebenarnya, karena
Sebagai kitab tafsir yang lahir pada zaman kemenangan sebenarnya terwujud di akhir keemasan Islam, maka instrumen sastra seperti
pertarungan. Bukti logisnya adalah jika salah Bayân, Ma’âni, Fashâhah, Balâgah, serta kaidah-
satu dari dua pasukan kalah dalam berperang, kaidah kebahasaan seperti Nah wu, Sharf dan
kemudian pasukan yang kalah tersebut membalas Arudl akan banyak ditemukan dalam kitab al-
kekalahannya dan akhirnya memenangkan Iksîr Fi `Ilmi al-Tafsîr. Hal ini yang membuatnya
pertarungan tersebut, maka dialah pemenang memiliki keistimewaan yang membedakannya sebenarnya. Sebagaimana terjadi pada kisah Nabi dengan mufassir-mufassir lain. Al-Thûfî banyak
Musa yang mengalami kekalahan dari Fir’aun dan mengungkap teori-teori dan konsep-konsep bala tentaranya, namun pada akhirnya Fir’aun tentang tafsir dan sastra disertai aplikasinya dan pasukannya tenggelam di laut, maka pada dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sebagai contoh ketika
konteks ini sekalipun Nabi Musa kalah, namun menafsirkan QS. al-Rum: 47, yang berbunyi:
sebenarnya dialah pemenang sebenarnya dalam wa kâna haqqan ‘alainâ nashr al-mu’minîn 25 pertarungan tersebut.
(benar-benar Kami menolong orang-orang yang Paparan tentang rahasia-rahasia balaghah beriman). Al-Thûfî memaparkan tentang letak yang terkandung dalam al-Qur’an dipaparkan keserasian susunan kata dan kalimat dalam ayat
al-Thûfî secara logis, argumentatif, dan dialogis tersebut melalui uslûb taqdim wa ta’khîr (susun
dengan menggunakan bahasa yang ilmiah, balik). Pada ayat di atas asal susunan kalimatnya
lugas, tajam, dan setiap statemen teori didukung adalah wa kâna nashr al-mu’minîn haqqan
oleh fakta dan data ilmiah. Diskusi akademis ‘alainâ (pertolongan kepada orang-orang beriman
dalam tafsirnya dilakukan dengan menggunakan benar-benar Kami lakukan), di mana frasa nashr
premis-premis silogisme yang dikenal dalam al-mu’minîn berkedudukan sebagai isim kâna,
dunia filsafat khususnya Mantiq (logika). Konsep sementara haqqan menjadi khabar kâna. Dengan
dan teori yang diajukan didukung oleh alasan- susunan yang ada dalam ayat memberikan
alasan logis bahkan untuk memperjelas kerangka implikasi penekanan makna terhadap frasa berpikirnya yang masih umum al-Thûfî membuat haqqan ‘alainâ, sedangkan nasr al-mu’minîn
klasifikasi-klasifikasi untuk memperjelasnya. tidak mendapatkan prioritas atau penekanan Hampir semua wacana pemikiran yang menghiasi makna. Susunan kalimat seperti terdapat dalam
kitabnya didiskusikannya secara dialogis. Al-Thûfî pada beberapa tempat menggunakan
redaksi Fa in Qulta (jika engkau bertanya),
23 Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum
al-Qur’an (Kaio: Isa Babi al-Halabi, t.t), 528. 24 M. Hasbi as- Shiddiqie, Pengantar Ilmu al- Qur’an dan Tafsir
25 Fakhr al-Din Al-Razi, Mafâtîhul Gaib, Juz, 25 (Beirut: Darul (Jakarta, Bulan Bintang, 1989), 205.
Fikr, cet. 1, 1981), 133-134.
20 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr 20 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr
tidak membutuhkan penafsiran. Kedua, ayat-ayat pendapat yang tidak jelas sumbernya al-Thûfî
al-Qur’an yang tidak jelas susunan lafazh dan menggunakan kata Fa in Qîla (jika dikatakan).
maknanya karena adanya kemungkinan makna
29 Untuk menetapkan posisi statemen tentang 30 lain. Misalnya, kata “qurû” yang berarti suatu teori atau konsep, al-Thûfî menggunakan 31 suci dan haid, kata `As`asa yang berarti maju redaksi 32 Idza Tsabata Hâdza atau Idza Taqarrara dan mundur, kata lâ yamassuhu yang berarti Hâdza (jika ini sudah menjadi ketetapan). Semua 33 larangan untuk tidak menyentuh al-Qur’an dan konsep yang dibangun al-Thûfî berkaitan 34 berita untuk tidak menyentuh al-Qur’an. Juga
dengan penekanan unsur dan elemen sastra dan terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang kebahasaan dalam al-Qur’an bermuara pada satu 35 sifat-sifat Allah. Menurut al-Thûfî, jenis
tujuan, yaitu terpenuhinya unsur I’jaz al-Qur’ân kedua ini membutuhkan penafsiran untuk bisa (kemukjizatan al-Qur’an).
memahami isi dan kandungannya. Al-Thûfî tidak lupa menjelaskan pijakan
Menurut al-Thûfî, klasifikasi al-Qur’an yang wajib dipergunakan sebagai dasar untuk
seperti ini menjadi penting karena empat menafsirkan al-Qur’an, yaitu: (1) Dalil akal jika 36 alasan: Pertama, al-Qur’an diturunkan dengan
bersifat pasti kebenarannya, (2) Nash hadits yang menggunakan Bahasa Arab dan masing-masing memiliki level mutawatir, (3) Ijma’ Ulama, dan
dari dua klasifikasi tersebut mengandung unsur (4) Hadits ahad yang memiliki derajat hasan sastra yang jika tidak dipergunakan dalam al- atau shahih. Kaidah pertama dan kedua menjadi
Qur’an berdampak pada tidak terpenuhinya level penting karena bisa menghasilkan pengetahuan
keindahan berbahasa. Jika keindahan berbahasa yang pasti kebenarannya, sedangkan kaidah yang
tidak ditemukan dalam gaya bahasa al-Qur’an, ketiga dikarenakan Ijma’ dipastikan memiliki maka bisa menjadi faktor tidak terpenuhinya sandaran hukum, baik dari Nash atau yang lain.
unsur ke-mu’jizatan al-Qur’an. Sementara kaidah yang keempat hadits ahad
Kedua, Allah menurunkan ayat-ayat al- karena menghasilkan pengetahuan yang mengacu
Qur’an yang jelas susunan lafazh dan maknanya kepada dugaan kuat. 26 agar umat Islam bisa menerapkan isi dan
Menurut al-Thûfî adapun orang yang tidak menjadikan pijakan ini sebagai dasar dalam 29 Terdapat suatu kata dalam al-Qur’an yang menunjuk kepada
menafsirkan al-Qur’an bagaikan seseorang yang dua makna atau lebih. Jenis ini memberikan ruang bagi para
mufassir untuk berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat al-
memiliki pedang tajam, namun karena tangannya
Qur’an sesuai dengan perbedaan latar belakang keilmuan, 27 karakter pemahaman terhadap teks yang ditafsirkan, metode
yang sakit pedang itu tidak bisa diraihnya.
analisa dan kesimpulan.
30 “ Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka menunggu tiga kali quru’” (QS. al-Baqarah [2]: 228).
Klasifikasi Ayat-ayat al-Qur’an
31 “Demi malam apabila telah larut” (QS. al-Takwir [81]: 17).
Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Thûfî 32 “Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang
disucikan” (QS. al-Waqi’ah [56]: 79).
mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an menjadi
33 Larangan menyentuh al-Qur’an bagi orang yang tidak
dua, Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang jelas
berwudu’.
34 Berita yang tidak memiliki implikasi hukum. Oleh karenanya
susunan lafazh (kata) dan maknanya karena pendapat ini membolehkan seseorang yang tanpa berwudlu’ hanya menunjuk kepada satu makna 28 . Menurut
untuk menyentuh al-Qur’an.
35 “Padahal kedua tangan Allah terbuka” (QS. al-Maidah [5]: 64); “tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan
kemuliaan tetap kekal” (QS. ar-Rahman [55]: 27); “aku telah 26 al-Thûfî, 40.
melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku dan 27 Ibid., hal. 43
agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku” (QS. Thaha 28 “dan Kami turunkan hujan dari langit lalu Kami beri minum
[20]: 39); “aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu” (QS. kamu dengan (air) itu dan bukanlah kamu yang menyimpannya”
al-Maidah [5]: 116).
(QS. Al-Hijr [15]: 22).
36 al-Thûfî, 34-35.
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 21
kandungannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari tanpa berpikir keras, sementara ayat- ayat al-Qur’an jenis kedua dimaksudkan agar umat Islam ber-ijtihâd (berusaha dan berpikir keras) untuk menggali maknanya. Masing-masing dari kedua kelompok tersebut mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Swt sesuai dengan kapasitas penghambaannya kepada Allah, di mana kelompok pertama dituntut untuk menerapkan kandungannya berdasarkan pemahaman secara langsung, sementara kelompok kedua dituntut mengimani ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dipahami maknanya secara langsung, namun kedua-duanya merupakan bentuk ibadah yang dilakukan secara benar untuk membedakan orang yang taat, maksiat, kafir, dan beriman.
Ketiga, sebagai bentuk cobaan yang jika tidak disikapi dengan benar akan membuat penentangnya menjadi jatuh dalam kesesatan, padahal sebenarnya yang dituntut dari manusia adalah tunduk dan patuh kepada semua hal yang
difirmankan Allah dalam al-Qur’an. Keempat, adanya hikmah yang tidak ditampakkan Allah kepada manusia berdasarkan prinsip bahwa Allah tidak mengerjakan sesuatu secara sia-sia, namun mengandung hikmah (kebijaksanaan).
Urgensi al-Bayân
Menurut al-Thûfî, al-Bayân merupakan ilmu yang sangat penting dan berharga dalam mengkaji al-Qur’an karena seseorang tidak akan mampu menyelami aspek estetika (keindahan) bahasa al-Qur’an tanpa menggunakan pendekatan al-
Bayân. 37 Al-Bayân berkaitan dengan kejelasan lafazh dan makna suatu ungkapan dan itu bisa berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan kualitas susunan kalimat yang dipergunakan.
Semakin jelas penggunaan lafaz dan makna suatu kalimat, maka semakin mudah dipahami oleh orang yang diajak berbicara (audiens). Dengan ini objek dari ilmu al-Bayân adalah
37 cara mengungkapkan bahasa dengan redaksi kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih jelas
penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain.
makna. Tingkatan al-bayân yang paling tinggi adalah menunjukkan keinginan dan maksud dengan ungkapan yang sangat jelas.
Al-Thûfî menyatakan urgensi al-Bayân karena banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang
menegaskan hal tersebut. 38 Di antaranya adalah QS. al-Rahman: 1-5, Allah menyebut kata al-Bayân ketika memuji diri-Nya dan mengungkapkan tanda-tanda kebesaran-Nya mulai dari mengajarkan al-Qur’an, menciptakan
manusia, matahari dan bulan yang beredar pada garisnya dan bersujudnya bintang dan pohon dan lain sebagainya. Pada hadits Inna minal bayâni lasihrâ Rasulullah mendeskripsikan al-Bayân sebagai perkataan yang memiliki pengaruh kuat di hati, seperti sihir yang membuat orang menjadi terhipnotis dan tidak sadar.
Al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kaidah ilmu al-Bayân bahkan para pengkaji al-Bayân menyempurnakan disiplin keilmuan ini dari al-
Qur’an. Jika tidak demikian maka akan berdampak pada tidak terpenuhinya sifat kesempurnaan pada
al-Qur’an.
Keindahan Struktur Kata dan Makna
Keindahan kata dapat diperoleh jika ia ringan diucapkan dan merdu jika didengarkan. Lafazh (kata) dalam Bahasa Arab terkadang terdiri dari satu kosa kata (mufrad), dan terkadang tersusun dari dua kosa kata atau lebih (murakkab) sehingga berbentuk kalimat lengkap. Standar keindahan kosa kata jenis pertama diketahui dengan beberapa hal: (1) keluar dari makhraj (tempat/jalan keluarnya) huruf yang berjauhan letaknya. Pada umumnya huruf-huruf yang keluar dari makhraj yang berjauhan letaknya mengindikasikan keindahan kata karena ia mudah diucapkan, dan sebaliknya kosa kata yang huruf- hurufnya keluar dari makhraj yang berdekatan letaknya mengindikasikan kejelekan kata karena sulit diucapkan. (2) kosa kata yang dipergunakan sudah dikenal dan dipakai secara luas di kalangan
38 Al-Thûfî, 66-69.
Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr
mereka dalam penggunaan makna. Kedua, maka kosa katanya tidak akan bisa dipahami maksud dan tujuan dari ilmu al-Bayân adalah oleh orang yang diajak berbicara (audiens) ketika
mengasah keterampilan berpikir dan berimajinasi, diturunkan. (3) tidak memiliki makna yang
dan itu terealisasi berdasarkan pemahaman ambigu, dalam artian tidak dipergunakan dengan
mereka terhadap makna. Dengan ini, maka dua makna; makna yang baik dan makna yang
keindahan makna akan muncul jika seseorang jelek. (4) tersusun dari kosa kata yang paling menggunakan kata-kata yang mengandung makna sedikit susunan hurufnya, yaitu al-Tsulâtsi (tiga
tasybîh, majâz (metafora), kinâyah, dan lain huruf) sementara 39 al-Rubâ`i dan al-Khumâsi itu sebagainya dalam pembicaraannya.
agak berat diucapkan. Oleh karena itu, kosa kata yang dipergunakan dalam al-Qur’an kebanyakan
Elemen-elemen Formatif Sastra
berbentuk al-Tsulâtsi. Sedangkan yang al-Rubâ`i Beragam varian uslûb (gaya bahasa) bisa sangat sedikit jumlahnya lalu yang al-Khumâsi
ditemukan dalam al-Qur’an, seperti Tasybîh, dipergunakan untuk nama-nama yang berasal Majâz, Isti`ârah, Kinâyah, Ithnâb, Ijâz, Taqdîm, dari bahasa `ajam seperti Ibrâhim, dan Ismâ`il.
Ta’khîr, Takhshîsh, Ta`mîm, dan lain sebagainya. Keindahan kosa kata yang tersusun dari dua
Semua bentuk uslûb di atas dipergunakan sesuai atau lebih dalam kalimat lengkap adalah adanya
dengan kondisi dan konteks realita sosial budaya keterkaitan dan ketersambungan makna antara yang berkembang saat turunnya al-Qur’an. Secara kosa kata pembentuk kalimat tersebut. Karena
logika, jika uslûb-uslûb tadi dipergunakan tanpa semakin dekat kaitan makna antara satu kosa kata
alasan yang jelas dan tepat, maka berdampak dengan yang lainnya dalam suatu kalimat, maka
pada lemahnya uslûb dan redaksi kalimat yang semakin terpenuhi unsur fashâhah-nya. Tanpa ini
dipergunakan, dan untuk selanjutnya berakibat suatu kalimat bagaikan susunan tubuh yang terdiri
pada kesia-siaan uslûb bahasa yang dipergunakan dari dua bentuk, yaitu manusia berkepala kuda
al-Qur’an. Selanjutnya akan memunculkan dan kuda bertangan manusia, atau seperti tubuh
pandangan bahwa al-Qur’an tidak layak diberikan manusia yang tidak memiliki kaki dan tangan.
label kitab suci yang memiliki mu’jizat. Setiap kosa kata mesti diletakkan sesuai
Al-Thûfî mengeluarkan statemen bahwa dengan posisinya yang tepat. Jika tidak, maka semua bentuk uslûb (gaya bahasa) yang akan menjadi rancu dan bagaikan untaian kalung
dipergunakan al-Qur’an dipastikan mengandung emas yang setiap untaiannya diletakkan bukan
nilai dan muatan sastra untuk mendukung ke- pada tempatnya, maka itu akan membuat ia 40 mu’jizat-annya . Jika dilakukan komparasi antara
menjadi jelek dan buruk sekalipun berharga pada tafsir al-Thûfî dengan kitab-kitab tafsir yang dirinya.
dikarang sebelumnya, semisal Al-Kasyâf karya Menurut al-Thûfî, makna itu lebih mulia al-Zamakhsyari dan Mafâtihul al-Gaib karya dibandingkan lafazh karena tujuan seseorang Fakhr al-Din al-Razi, ditemukan antara kitab- mengungkapkan perkataannya adalah agar
kitab tafsir tersebut saling memasuki dalam arti maksud dan tujuannya bisa sampai secara jelas
masing-masing kitab tafsir saling melengkapi. kepada audiens. Alasan tersebut dibuktikan dengan
Jika ada penafsiran terhadap suatu ayat yang beberapa hal: Pertama, para pembicara memiliki
tidak ditemukan pada tafsir al-Razi, maka bisa kemampuan yang sama dalam mengenal lafazh-
saja akan ditemukan pada tafsir Zamakhsyari lafazh yang dipergunakan untuk berbicara, namun
atau al-Thûfî dan begitu sebaliknya. mereka memiliki cita rasa yang berbeda dalam
39 al-Thûfî, 132.
tingkat kejelasan makna yang bisa sampai kepada
40 Ibid., 71.
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 23
Takhshîsh
menakjubkan karena beberapa hal: Pertama, cara Sebagai contoh QS. Ali Imran [3]: 40) 41 Allah
berpikir logis yang mengatakan bahwa setiap anak menyampaikan berita gembira kepada Nabi 44 yang lahir tanpa ayah adalah keajaiban, tetapi
Zakariya dengan kelahiran Yahya as. lalu di tidak semua keajaiban bersumber dari anak yang akhir ayat tersebut Allah menyatakan kadzâlika
lahir tanpa ayah. Kedua, kelahiran anak tanpa Allah yaf’alu ma yasyâ’ (demikian Allah berbuat
ayah adalah mu’jizat, sementara kelahiran anak apa yang dikehendaki-Nya). Sementara pada dari ayah yang berumur tua dan pikun serta ibu
QS. Ali Imran [3]: 47, 42 Allah memberi kabar yang mandul bukanlah mu’jizat tetapi paling gembira kepada Maryam dengan kelahiran Isa tidak karâmah karena kondisi yang sama terjadi as. Lalu di akhir ayat tersebut Allah menyatakan
juga pada Ibrahim as. dan Sarah yang melahirkan kadzaliki Allah yakhluqu ma yasya’ (demikian
Ismail as. Ketiga, semua mu’jizat adalah peristiwa Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya).
menakjubkan dan luar dari kebiasaan, tetapi tidak Pada kedua ayat ini al-Thûfî memaparkan tentang
semua kejadian yang di luar dari kebiasaan bisa uslûb takhshish (pengkhususan) di mana kata disebut mu’jizat. Oleh karenanya, pemilihan kata yakhluqu (menciptakan) lebih khusus maknanya
yakhluqu (menciptakan) pada kisah Maryam dan dibandingkan kata yaf`alu (melakukan), karena
yaf`alu (berbuat/melakukan) pada kisah Zakariya tidak semua perlakuan/perbuatan bisa dinamakan
adalah tepat dan sesuai dengan konteksnya. menciptakan. 43 Dengan ini, maka penggunaan uslûb takhsîs pada
Pada ayat-ayat seperti ini jika tidak ada kondisi kondisi dan konteks yang menuntut untuk itu dan konteks yang jelas dan tepat yang menuntut
adalah tepat dan diperkuat oleh beberapa alasan: untuk menggunakan uslûb tadi, maka uslûb
(1) pada dasarnya semua hukum fiqih mengacu takhsîs pada kedua ayat di atas menjadi sia-sia dan
kepada illat (alasan/sebab), hukum itu akan itu mustahil terjadi pada firman Allah. Penjelasan
muncul ketika illat hukumnya ada. (2) penyebutan dari ayat-ayat di atas adalah sebagai berikut hukum setelah sifat yang sesuai adalah bagian dari bahwa kisah Maryam melahirkan Isa as. dan kisah
alasan. Misalnya pada ayat “al-dzâniyatu wa al- istri Zakariya melahirkan Yahya as. sama-sama
dzâni fajlidu kulla wahidin minhumâ” QS. al-Nur sebagai suatu keajaiban yang luar dari kebiasaan. 45 [24]: 2 ; “wa al-sâriqu wa al-sâriqatu faqta’u
Karena kelahiran Yahya as. terjadi ketika ayahnya 46 aidiyahumâ ” QS. al-Maidah [5]: 38, di mana sudah berumur tua dan pikun serta ibunya dalam
pada ayat yang disebutkan pertama mengenai kondisi yang tidak bisa melahirkan (mandul). hukuman cambuk bagi pelaku zina; pezina Sementara di sisi lain, kelahiran Isa as. terjadi
perempuan disebutkan lebih dahulu dari pezina dari sang ibu Maryam yang tidak pernah disentuh
laki-laki, sementara pada ayat yang disebutkan oleh laki-laki. Kisah Maryam lebih khusus dan
kedua mengenai hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian; pencuri laki-laki disebutkan
lebih dahulu dari pencuri perempuan karena
“Dia (Zakariya) berkata: Ya Tuhanku bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku sudah sangat tua dan istriku pun
pada kasus zina pada umumnya perempuanlah
mandul? Dia (Allah) berfirman: Demikianlah Allah berbuat apa
yang lebih dahulu meluap-luap nafsu syahwatnya
yang Dia kehendaki.” 42 “Dia (Maryam) berkata: Ya Tuhanku bagaimana mungkin
(nafsu biologisnya) sehingga menggoda laki-laki
aku akan mempunyai anak padahal tidak ada seorang laki-laki
untuk melakukan zina, sedangkan pada kasus
pun yang menyentuh-ku? Dia (Allah) berfirman: Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu Dia hanya berkata kepadanya “Jadilah”
44 Tanpa melalui hubungan suami istri. maka jadilah sesuatu itu.
45 “Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing- 43 Menciptakan adalah membuat dari yang tidak ada menjadi ada,
masing dari keduanya seratus kali.”
sedangkan mengerjakan/melakukan bisa dipergunakan untuk 46 “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri membuat dari yang tidak ada menjadi ada, atau membuat yang
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan sudah ada menjadi lebih baik dan lebih bagus.
yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.”
24 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr 24 Lalu Supriadi: Analisis Pemikiran Sastra Najm al-Dîn al-Thûfî dalam al-Iksîr Fî `Ilmi al-Tafsîr
pencurian. 51 kanu yashna’un ” (QS. al-Nahl: 112). Kata al-libâs (pakaian) adalah kata yang dipinjam
Isti`ârah
untuk dipergunakan pada kata al-Ju` (kelaparan) Secara jelas al-Thûfî melakukan pemisahan
dan al-Khauf (ketakutan). Untuk membuktikan dan pembedaan antara isti’ârah dan kinayah.
terjadinya peminjaman kata tersebut, maka Hal tersebut dilacak melalui definisi yang
dipergunakan salah satu dari kemestian al-Ju` dikemukakannya tentang isti’arah yaitu dan al-Khauf, yaitu kata dzauq (merasakan). Jadi penggunaan suatu kata bukan pada makna dasar
seakan-akan Allah menyerupakan rasa lapar dan (asli), namun pada makna baru dengan maksud
takut dengan makanan yang tidak enak rasanya mempertinggi derajat ungkapan sekaligus untuk
dan dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh memperkuat makna yang dimiliki ungkapan mereka. Atau makna ringkasnya adalah kelaparan tersebut. Dengan kata lain, isti’arah adalah bentuk
dan ketakutan meliputi mereka seperti halnya tasybih yang dibuang salah satu dari dua unsur
pakaian meliputi tubuh mereka. tasybihnya, yaitu musyabbah atau musyabbah
Pada ayat “wa isyta’ala al-ra’su syaiba”
47 bih. 52 Contohnya: ra’aitu bah ran fî al-sûq (saya (QS. Maryam [19]: 4), terdapat kesesuaian/ melihat orang pemurah itu di pasar). 48 Kata
kecocokan makna antara putihnya rambut kepala bahran yang makna aslinya adalah laut dipinjam
karena uban dengan api yang menyala-nyala pada untuk dipergunakan pada makna baru, yaitu orang
kayu bakar, karena sama-sama cepat melalap pemurah karena adanya relasi kesamaaan makna
dan menyebar sedikit demi sedikit sehingga antara keduanya.
tidak meninggalkan sisa sedikitpun. Pemilihan Berbeda dengan pendapat al-Syarif al-
kata isyta’ala (membakar) pada konteks ayat ini Radhi, 49 sebagaimana dikemukakan M. Nurkholis
mengacu secara maknawi kepada kata rambut Setiawan, yang tidak secara jelas membedakan
yang memutih (syaib), meskipun secara leksikal istilah isti’arah dan kinayah. Dengan kata lain,
mengacu kepada kata ra’s. Makna dasar dari al-Radhi mempergunakan kinayah sebagai ungkapan di atas adalah rambut memutih, penunjukan mekanisme isti’ârah atau elemen tetapi dengan struktur kalimat dalam ayat, pembangunnya. Relasi sekaligus perbedaan maknanya berkembang menjadi rambut kepala keduanya terlihat dalam uraian al-Jurjani yang
memutih dengan tidak meninggalkan sisa sehelai memasukkan kinayah sebagai cabang dari rambutpun. Pengertian ini, atau isyta’ala tidak dapat dicapai dengan ungkapan isyta’ala syaib
al-ra’si atau isyta’ala syaib fi al-ra’s. 53
Lalu Supriadi, 54 Pengantar Ilmu Balagah, cet. 2 (Jakarta: Tunas Begitu juga pada QS. Yasin [36]: 37,
Ilmu, 2012), 46.
berpisahnya malam dari siang sedikit demi sedikit
Kata bahran makna aslinya (hakikinya) adalah laut dan dalam redaksi/konteks kalimat ini tidak dimaknai seperti itu, namun dipinjam dan dipergunakan untuk makna baru (majazi), yaitu seorang pemurah. Peminjaman kata dilakukan karena adanya
50 M. Nurkholis Setiawan, 220.
‘alaqah musyābahah (unsur kesamaan) antara makna asli 51 “Karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana (hakiki) dan makna baru (majazi), yaitu seorang pemurah tidak
kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat.” akan khawatir kehabisan hartanya ketika memberi sebagaimana
Kelaparan dan ketakutan meliputi mereka seperti halnya pakaian laut yang tidak khawatir kehabisan airnya ketika mengalir.
meliputi tubuh mereka.
Syarat lain adalah adanya qarīnah (susunan/redaksi kalimat) 52 “dan kepalaku telah dipenuhi uban .” yang mencegah suatu kata dari makna asli tersebut secara logika.
53 Husein Aziz, "Kontekstualisasi Kemukjizatan Sastrawi Al- Artinya, secara logis tidak masuk seseorang melihat laut berjalan
Qur’an", Islamica: Jurnal Studi Keislaman 11, no. 2 (2017): 393. di pasar.
54 “ dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah 49 Seorang ulama yang banyak meneliti tentang majaz, wafat
malam; kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika pada tahun 404 H.
itu mereka (berada dalam) kegelapan.”
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 25 J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 25
ia melakukan hubungan badan/ bersenggama kata salkhu yang menunjukkan arti terpisahnya
dengan istrinya. Jika tidak melakukan hubungan daging yang menyatu menjadi dua sedikit demi
badan/ bersenggama, maka tidak membatalkan sedikit seperti terjadi pada binatang yang yang
wudhu’. Pada konteks ayat ini dipilih kata ditanggalkan/dilepas kulit dari dagingnya.
lamastum dan tidak dipergunakan kata jima’ karena faktor/unsur malu karena terlalu vulgar.
Kināyah
Berbeda dengan Ibnu Mas’ud dan al-Nakha’i Menurut al-Thûfî, pada ayat “wa la taj’al
yang menafsirkan ayat di atas dengan menggunakan yadaka maglulatan ila ‘unuqika wa la tabsutha
uslûb haqiqat (makna asli dari suatu kata sebelum kullal basthi” (QS. al-Isra’ [17]: 29), 55 orang
terjadinya perubahan dan perkembangan makna), bakhîl (kikir) dikinayahkan dengan orang yang
yaitu menyentuh. Implikasi hukum fikih yang membelenggu tangannya di leher, karena ia muncul dari penafsiran tersebut adalah batalnya tidak mau memberi atau berbagi rezeki yang wudu’ seseorang jika ia menyentuh badan/tubuh dikaruniakan Allah kepada mereka sebagaimana 57 perempuan lain yang bukan mahramnya.
orang yang terbelenggu tangannya tidak bisa/ Menurut al-Thûfî, kata “ashabul yamin ” mampu mengulurkan tangannya untuk memberi.
pada ayat “wa ashabul yamin ma ashabul yamin Kondisi orang yang terbelenggu tangannya adalah
fi sidrin makhdud” (QS. al-Waqi’ah: 28) adalah kondisi yang tidak pantas dan siapapun akan kinayah untuk penduduk sorga sedangkan membenci perbuatan itu. Lalu kondisi tersebut
ashabul al-syamal pada ayat wa ashabul syamal disertai perasaan sakit bagi orang yang terbelenggu.
ma ashabul syamal adalah kinayah bagi penduduk Pen-deskripsian seperti ini dimaksudkan agar neraka. Tangan kanan dipergunakan untuk setiap orang menjauhi perbuatan kikir dan sebagai
memuliakan, sementara tangan kiri dipergunakan peringatan bahwa perbuatan tersebut membawa
untuk menghina. Sementara itu ashabul yamin, mudlarat (kerusakan) dan menimbulkan rasa
menurut ar Razi terdapat tiga makna dari kata sakit.
tersebut; Pertama, orang yang mengambil kitab Al-Razi mengatakan bahwa ayat tersebut