BAB III - BAB III PERKEMBANGAN LIMFOSIT

  Kebanyakan sel limfosit menempati suatu organ yang disebut organ limfoid. Pada organ ini terjadi interaksi antara sel sel limfosit dengan sel sel non limfosit. Interaksi ini memiliki fungsi yang sangat penting baik bagi perkembangan limfosit itu sendiri maupun sebagai titik awal adaptasi. Organ limfoid secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama disebut sentral atau organ limfoid primer dan kedua disebut periferal atau organ limfoid sekunder. Sel sel limfosit dihasilkan oleh organ limfoid primer yang pada gilirannya akan menuju ke organ limfoid sekunder. Pada organ limfoid sekunder sel sel limfosit dijaga untuk tetap hidup dan pada organ limfoid sekunder pula sel sel limfosit mengalami adaptasi akibat adanya antigen yang masuk ke dalam tubuh. Yang termasuk organ limfoid primer adalah sumsum tulang dan timus, sedangkan yang termasuk organ limfoid sekunder di antaranya adalah spleen, lymph node, Peyer’s patch, appendix, adenoid, dan tonsil. Baik limfosit B maupun limfosit T berasal dari sumsum tulang, namun hanya limfosit B yang mengalami pemasakan pada sumsum tulang. Limfosit T melakukan migrasi dari sumsum tulang menuju organ timus sebelum masak dan mengalami pemasakan pada organ ini. Limfosit tersebut disebut limposit B dan T, karena berturut turut mengalami proses pemasakan pada bone marrow (sumsum tulang) dan thymus (timus). Limfosit yang telah mengalami pemasakan pada organ limfoid primer segera memasuki peredaran darah untuk menuju organ limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder merupakan organ limfoid periferal tempat terjadinya penangkapan antigen oleh sel sel imunokompeten. Pada organ limfoid periferal ini imunitas adaptif dimulai. Pada setiap saat tubuh kita selalu berhadapan dengan patogen yang masuk. Patogen memasuki tubuh kita dengan berbagai cara, misalnya dari makanan, minuman, udara, dan luka. Antigen dan limfosit akhirnya akan bertemu pada organ limfoid periferal yaitu pada lymph node, spleen, dan jaringan limfoid mukosa. Pada organ limfoid periferal inilah sebenarnya dimulainya imunitas adaptif. Pada organ limfoid periferal sel sel tertentu yang dikenal dengan nama (APC) seperti makrofag, sel dendritik, dan sel B akan mempresentasikan antigen dalam bentuk peptida. Peptida dipresentasikan pada permukaan APC dalam keadaan terikat oleh MHC. Limposit mengenali antigen yang terikat oleh MHC itu.

  

Gambar 12. Perkembangan Limfosit Pada Mencit Berumur 7 Minggu

Dianalisis Dengan Flow Cytometry. A) Analisis pada organ timus dengan

menggunakan memakai antibodi anti CD4 yang dilabel dengan

FITC, dan antibodi anti CD8 yang dilabel dengan PE. Pada analisis ini

diketahui bahwa pada tahap perkembangan di dalam timus limfosit

+ mengekspresikan protein CD4 + CD8 sehingga pada awal perkembangan ini

disebut sel T . B) Analisis pada organ limfa (spleen) dengan metode

yang sama dengan yang dilakukan pada timus. Pada tahap ini diketahui bahwa

+ +

sel T telah terdiferensiasi menjadi CD4 atau CD8 sehingga pada tahap ini

disebut sel T (mature). Pada gambar ini setiap titik pada panel

menunjukkan satu sel yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry. Analisis

dilakukan dengan menggunakan software CELLQUEST.

  Organ ini tersebar dalam tubuh sebagai titik simpul dari sistem pembuluh limfa. Lymph merupakan cairan ekstraselluler yang secara kontinyu diatur keberadaannya dalam tubuh. Lymph merupakan carian yang berasal dari filtrasi darah. Lymph yang menumpuk pada jaringan dan tidak segera memasuki pembuluh limfa, akan menimbulkan kebengkaan jaringan yang dikenal dengan istilah adema. Lymph akan dibawa masuk ke jaringan melalui sistem limfa. Lymph masuk ke organ lymph node melalui pembuluh limfa afferent. Cairan lymph tersebut membawa antigen dari jaringan yang terinfeksi dan juga APC yang telah membawa berbagai macam antigen. Lymph juga berperan membawa kembali limfosit ke luar dari lymph node ke dalam sirkulasi darah. Di dalam organ lymph node sel B menempati daerah folikel, sedangkan sel T menempati terutama daerah parakortikal. Folikel sel B meliputi daerah yang disebut . Pada inilah sel B mengalami proliferasi setelah menerima signal dari sel T.

folikel limfoid sekunder (sebagian besar sel B)

LYMPH NODE folikel limfoid primer

  (dengan germinal center) pembuluh limfa afferent dan sel plasma) besar makrofag medula cord (sebagian arteri medula sinus (sebagian besar sel T) daerah paracortical germinal center efferent pembuluh limfa vena germinal center sinus marginal senescent Gambar 13. Organisasi lymph node.

  Lymph node terdiri atas bagian kortek dan medula. Kortek terbagi dua bagian.

  Bagian pertama merupakan bagian luar yang banyak didiami oleh sel B yang menempati suatu folikel, dan kortek dalam ( ) banyak didiami oleh sel T dan sel dendritik. Ketika terjadi respon imun oleh adanya antigen, beberapa folikel

  

menunjukkan froliferasi sel B yang sangat cepat yang terjadi pada pusat

germinal (germinal center) yang disebut folikel limfoid sekunder. Reaksi ini

sangat menyolok namun akhirnya terhenti sebagai . Cairan

ekstraselluler mengiring antigen yang dibawa sel dendritik maupun makrofag

dari jaringan memasuki pembuluh limfa dan masuk menuju lymph node melalui

pembuluh limfatik afferent. Cairan lymph meninggalkan lymph node melalui

pembuluh limfatik efferent. Limfosit naive memasuki lymph node dari aliran

darah melalui venula yang khusus dan meninggalkannya melalui

pembuluh limfatik efferent (sumber: Janeway, 2001) adenoid vena subclavian kanan lymph node tonsil vena subclavian kiri timus jantung appendix ginjal Peyer’s patch pada usus kecil saluran thoracic usus besar spleen / limfa saluran limfa sumsum tulang

  

Gambar 14. Penyebaran jaringan limfoid pada tubuh manusia. Limfosit

berasal dari sel tunas dari sumsum tulang, dan berdiferensiasi pada organ

limfoid sentral. Organ limfoid sentral dapat berupa timus dan sumsum tulang.

  

Sel T berdiferensiasi pada timus dan sel B berdiferensiasi pada sumsum tulang.

Sel sel limfosit bermigrasi dari organ sentral menuju sirkulasi darah dan dibawa

menuju organ limfoid sekunder atau disebut organ limfoid periferal. Yang

termasuk organ limfoid sekunder itu adalah: lymph node, spleen, limfoid

mukosa, Payer’s patches, dan appendix. Organ limfoid periferal merupakan

  

tempat terjadinya aktivasi limfosit oleh antigen. Limfosit keluar masuk

pembuluh darah dan organ ini sampai menemukan antigen. Pembuluh limfa

menarik cairan ekstraselluler dari jaringan periferal melalui lymph node dan

masuk pada thoracic duct (duktus thoracic), dan mencurahkan cairan yang

dibawa itu masuk dalam vena subclavian kiri. Cairan yang berasal dari

ekstraselluler itu disebut lymph, yang membawa antigen menuju lymph node

dan membawa kembali limfosit dari lymph node menuju ke sirkulasi darah.

Jaringan limfoid juga berasosiasi dengan mukosa contohnya yang terletak

sepanjang saruran bronkus pada paru.

  Spleen terletak di belakang lambung. Organ ini bertugas mengumpulkan antigen dari darah dan juga mengumpulkan dan menghancurkan darah merah yang telah kehilangan fungsi. Sebagian besar organ spleen terdiri dari daerah yang disebut pulpa merah. Pada pulpa merah, darah merah yang telah tua dihancurkan. Pada spleen terdapat daerah yang disebut pulpa putih. Pulpa putih adalah tempat berkumpulnya sel B yang berasal dari arteri di sekitarnya. Pada pulpa putih terdapat daerah tertentu tempat berkumpulnya sel T yaitu daerah yang disebut periarteriolar lymphoid sheath (PALS). kapsula pulpa merah pulpa putih IRISAN TRANSVERSAL PULPA PUTIH trabekula vena trabekula arteri IRISAN LONGITUDINAL PULPA PUTIH sinus venosus (sebagian besar sel T) arteriola center germinal center corona sel B zona marginal PALS sinus marginal pulpa merah

  

Gambar 15. Organisasi jaringan limfoid, spleen. Spleen (limfa) terdiri dari

bagian yang disebut pulpa merah. Pada tempat ini terjadi penghancuran sel

darah merah yang sudah tua. Pulpa merah berselang seling dengan pulpa putih.

  

Limfosit dan sel dendritik yang membawa antigen datang bersama pada

periarteriolar sheath. Pada setiap pulpa putih, darah yang membawa limfosit

dan antigen mengalir dari arteri trabekula masuk ke arteri sentral. Sel dan

antigen kemudian masuk ke dalam sinus dan berlanjut menuju vena trabekula.

Sinus marginal dikelilingi oleh zona marginal limfosit. Di dalam sinus marginal

dan di sekeliling arteri sentral terdapat periarteriolar lymphoid sheath (PALS),

yang tersusun oleh sel T. Folikel didominasi oleh sel B, pada folikel sekunder

germinal senter dikelilingi oleh korona sel B. Meskipun susunan spleen dan

lymph node mempunyai persamaan, namun antigen yang masuk ke spleen

lebih banyak berasal dari darah daripada dari cairan ekstraselluler (lymph). keberhasilan sel T regulator seleksi aviditas seleksi positif seleksi negatif terabaikan

  

Gambar 16. Seleksi penghapusan sel T autoreaktif terjadi saat awal

perkembangan sel T pada organ timus melalui ikatan komplek self,

MHC:self,antigen. Sel T yang mengenali self antigen dengan aviditas sangat

kuat akan mengalami seleksi negatif, . Sel yang mempunyai sifat

demikian ini akan membahayakan tubuh jika lolos dari seleksi negatif karena

mempunyai daya serang terhadap komponen tubuh sendiri. Sel T yang sama

sekali tidak mengenali akan diabaikan dan tidak diperlukan dalam

tubuh. Sel tersebut akan mengalami seleksi negatif dengan istilah “neglect”. Sel

yang sama sekali tidak mengenali self antigen jika dibiarkan hidup tidak

mempunyai peran pada sistem imun karena sel tersebut tidak mampu

berproliferasi pada tahap stimulasi. Hanya sel T yang mempunyai aviditas

menengah yang dipertahankan tetap hidup dalam sistem imun. Sel inilah yang

menjadi komponen utama pada sistem imun normal. Sel T yang lolos seleksi ini

selanjutnya terdiferensiasi menjadi dua sub besar yaitu sel T CD4 dan sel T

CD8. Sel T CD4 sering dikenal dengan istilah sel T helper, sedangkan sel T

CD8 dikenal dengan istilah sel T killer (sitotoksik). Adapun sel T yang mengikat

self antigen dengan aviditas yang sangat kuat namun tidak sampai pada tahap

eliminasi (negative selection) akan menjadi sel T regulator (T ) yang sangat

reg

penting untuk menghambat terjadinya dari sel sel yang lolos dari

negative selection. T reg ini selanjutnya diketahui memiliki peran yang sangat

penting untuk menghambat terjadinya penyakit autoimun.

  GALT adalah organ limfoid mencakup adenoid, tonsils, appendix, dan Peyer’s patches pada usus halus. GALT ini mempunyai tugas mengumpulkan antigen yang berasal dari daerah pencernakan. Payer’s patches merupakan GALT yang paling besar peranannya. Pada Payer’s patches, antigen dikumpulkan oleh sel epitel khusus yang disebut atau sel M. Limfosit membentuk folikel tersusun atas sel B yang sangat rapat yang dikelilingi oleh sedikit sel T. Lymph node, spleen, dan limfoid mukosa merupakan organ yang berbeda namun semua organ ini memiliki tugas yang sama. Semua organ tersebut mempunyai tugas mengumpulkan antigen dari daerah infeksi yang selanjutnya akan dikenali oleh sel sel limfosit untuk dimulainya simtem imunitas adaptif. Organ limfoid periferal juga mempunyai peran memberikan signal transduksi kepada limfosit yang tidak menemukan antigen agar tetap hidup. Limfosit limfosit yang belum menemukan antigen itu akan mengadakan sirkulasi ke dalam peredaran darah sampai menemukan antigen yang spesifik. Pemberian signal transduksi terutama oleh sel sel stroma dalam organ limfoid ini sangat penting untuk mengatur jumlah sel T dan sel B yang bersirkulasi dalam darah. Untuk diketahui bahwa sel sel tetap hidup karena ada signal dari lingkungannya yang memintanya untuk hidup. Begitu sel tersebut tidak memperoleh signal untuk tetap hidup dari lingkungannya, sel sel tersebut akan segera mati dengan proses alamiah yang disebut apoptosis. Dengan demikian signal transduksi dari jaringan limfoid akan memberikan peluang untuk mempertahankan limfosit yang punya potensial merespon antigen asing. Limfosit bersirkulasi pada darah dan cairan lymph. Sel B dan sel T yang telah masak pada sumsum tulang dan timus disebut limfosit naive, sebelum sel sel tersebut terpapar antigen. Sel sel naive akan terus bersirkulasi dari darah ke jaringan limfoid periferal sampai menemukan antigen. Sel sel naive memasuki jaringan limfoid periferal dengan menyelinap dan menembus di antara sel sel yang menyusun pembuluh kapiler. Sel sel tersebut memasuki peredaran darah kembali melalui pembuluh limfa, kecuali pada spleen sel sel tersebut langsung memasuki darah kembali. Ketika limfosit menemukan agen penginfeksi pada jaringan limfoid maka sel sel tersebut akan tetap tinggal pada jaringan limfoid dan mengadakan proliferasi dan diferensiasi menjadi sel yang disebut sel efektor. Sel sel efektor mempunyai kemampuan untuk melawan antigen. Ketika terjadi infeksi di daerah periferal, maka sel dendritik segera menangkap antigen tersebut dan membawanya dari tempat infeksi ke melalui pembuluh limfatik afferent. Pada lymph node sel dendritik akan mempresentasikan antigen yang ditangkap dalam bentuk peptida ke sel T yang bersirkulasi di daerah tersebut. Sel dendritik juga memproduksi sitokin untuk membantu aktivasi sel T. Sel B yang berhasil menangkap antigen sebagaimana APC yang lain juga berhenti dan menjadi aktif dengan bantuan sel T. Sel sel limfosit yang telah mengalami aktivasi dan diferensiasi akibat adanya antigen, segera meninggalkan lymph node lewat pembuluh limfatik efferent dalam bentuk sel aktif yang disebut sel efektor. Jaringan limfoid periferal merupakan jaringan yang labil karena selalu terlibat dalam respon imunitas adaptif. Sebagai contoh, bentuk serta struktur lymph node selalu berubah sesuai dengan kepentingan. Pada saat ada infeksi akan terlihat bahwa folikel untuk produksi sel B semakin banyak, demikian juga bentuknya akan menjadi besar, mengalami pembengkakan karena terjadi proliferasi sel B yang berlebihan. Sebaliknya jika tidak ada infeksi maka lymph node akan kembali mengecil dalam bentuk normal. lumen usus epetelium (sel M) area sel T area sel T germinal center dome dinding usus (area sel B) folikel

Gambar 17. Struktur jaringan limfoid yang berasosiasi dengan usus.

  

Sebagian besar folikel diisi oleh sel B, dan sel T mengisi sebagian kecil sisi

folikel. Antigen masuk menembus epitelium yang tersusun dari sel M.

Meskipun jaringan ini kelihatan berbeda dari organ limfoid yang lain namun

susunan dasarnya sama. Sel M ditunjukkan dengan huruf ”M” dan secara

khusus dengan anak panah (sumber: Murphy, 2008).

   !

  Molekul β2 mikroglobulin merupakan komponen dari MHC kelas I. Molekul β2 mikroglobulin diekspresikan oleh semua sel yang memiliki nukleus. Molekul β2 mikroglobulin terletak secara lateral dengan rantai α3 MHC kelas I. Tidak seperti rantai α3 MHC kelas I, β2 mikroglobulin tidak mempunyai bagian transmembran pada permukaan sel. Tepat di atas β2 mikroglobulin tedapat rantai α1. Rantai α1 terletak secara lateral terhadap rantai α2. Molekul β2 mikroglobulin tidak saja berasosiasi dengan rantai α MHC kelas I, tetapi juga dengan molekul lain yang mirip MHC kelas I seperti CD1 dan Qa. Pada mencit yang mengalami defisiensi β2 mikroglobulin akan kehilangan ekspresi MHC kelas I. Sebagai konsekuwensi dari hilangnya ekspresi molekul MHC kelas I, sel T CD8 tidak dapat berkembang karena CD8 memerlukan molekul MHC kelas I (Gambar 14).

  α

  1 α

  2 α

  3 β 2 mikroglobulin membran sel

  

Gambar 18. Skema molekul MHC,kelas I. Molekul MHC kelas I berupa

heterodimer rantai α yang menembus membran sel dan molekul β2

mikroglobulin yang tidak menembus membran. Rantai α dan β2 mikroglobulin

berikatan secara non kovalen. Rantai α terdiri atas tiga bagian yaitu α1, α2, dan

α3. Rantai α3 dan β2 mikroglobulin menunjukkan adanya persamaan urutan

asam amino dengan imunoglobulin bagian konstan (C), sedangkan rantai α1

dan α2 membentuk struktur tunggal. Lipatan pada rantai α1 dan α2

membentuk cekungan yang panjang yang merupakan tempat antigen peptida

berikatan dengan molekul MHC.

  Suatu hal yang sangat menarik adalah adanya bukti bahwa perkembangan sel T CD8 sangat tergantung adanya molekul β2 mikroglobulin. CD8 sesungguhnya tidak mensyaratkan adanya gen yang menyandi β2 mikroglobulin pada sel yang sedang berkembang. Perkembangan sel T CD8 hanya mensyaratkan adanya molekul β2 mikroglobulin pada lingkungannya. Bukti ini sangat jelas / ketika Rifa’i et.all, melakukan transfer sumsum tulang mencit β2 pada mencit normal yang diradiasi pada dosis letal. Hasil transplantasi yang diamati setelah tiga bulan menunjukkan bahwa CD8 / berkembang dari mencit β2 sebagaimana mencit normal. Hal ini menunjukkan bahwa prekursor sel T yang mengarah pada pematangan dapat memperoleh self antigen yang dipreresentasikan oleh sel epitel timus pada resipien. Dari fakta ini jelaslah sekarang bahwa β2 mikroglobulin bukanlah faktor survival untuk sel T dan sekaligus membantah pendapat yang meyakini gen penyandi β2 mikroglobulin terkait langsung pada keberhasilan proliferasi maupun perkembangan sel T CD8.

  Pada pelaksanaan transplantasi sumsusm tulang pada mencit, radiasi dosis letal adalah sekitar 800 900 Rad. Radiasi dosis letal bertujuan untuk menghapus semua prekursor darah yang ada pada resipien. Prekursor darah yang berupa sel punca/stem cells mempunyai kepekaan yang relatif tinggi terhadap radiasi. Di samping itu radiasi dosis letal juga mendeplesi sel sel darah putih yang telah masak. Mencit yang telah menerima radiasi dosis letal dan tidak segera menerima transfusi sumsum tulang akan segera mati sekitar satu minggu setelah radiasi. Transplantasi sumsum tulang pada mencit congeneic tidak menyebabkan penolakan setelah adanya radiasi dosis letal. Keberhasilan donor dalam melakukan rekonstitusi dapat diperiksa setiap saat dengan mengambil darah periferal dan dianalisis dengan flow cytometry. Pelaksanaan cangkok sumsum tulang pada setting alogenik dikatakan berhasil apabila donor dapat merekonstitusi hematopoietik resipien hingga mencapai lebih dari ~95%. Sekitar ~5% sel hematopoietik resipien kebal terhadap radiasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan.

  Sisa sel resipien sebanyak ~5% merupakan pangkal terjadinya masalah pada kasus transplantasi sumsum tulang alogenik, karena sekitar ~5% sel resipien yang kebal terhadap radiasi kebanyakan berupa limfosit T. Limfosit B secara keseluruhan telah tergantikan dari perkembangan sel donor sehingga dapat dikatakan bahwa sentral masalah pada kasus transplantasi sumsum tulang alogenik terletak pada sel T. Sel resipien yang mengenali sel donor pada akhirnya mengalami aktivasi dan secara kontinyu melakukan proliferasi sehingga pada umumnya pada akhirnya sel resipien terus meningkat jumlahnya dan melakukan penolakan pada donor. Ketika di dalam tubuh suatu individu terjadi persaingan antara sel donor dan sel resipien, aktivasi terjadi pada keduanya sehingga sel sel tersebut akan memproduksi sitokin yang berlebihan. Sitokin yang tidak terkontrol pada akhirnya mengganggu homeostasis dan menyebabkan kegagalan organ. Gagal organ yang terjadi tidak semata mata hanya disebabkan ledakan sitokin tetapi juga oleh serangan langsung dan kontak antar sel yang bertujuan saling mengeliminasi karena satu sama lain merupakan antigen. Sel T CD8 mempunyai kemampuan killing pada target yang dikenali sebagai antigen, demikian juga sel natural killer, NK. Sel T dari populasi CD4 juga mempunyai sumbangan yang besar pada setiap reaksi imunitas yang melibatkan antigen asing. Sel T CD4 mempunyai potensi menghasilkan sitokin yang mampu memacu aktivasi sel sel yang lain.

  Paradigma terdahulu meyakini bahwa terjadinya kasus penolakan donor oleh resipien khususnya pada transplantasi sumsum tulang alogenik disebabkan karena adanya sel masak yang terdapat pada sumsum tulang donor. Dengan kata lain terjadinya penolakan karena adanya kontaminasi sel T yang telah masak pada donor yang ditransplantasikan. Sel masak itu hanya dikhususkan pada sel T, sehingga sel T saat ini menjadi pusat kajian pada pelaksanaan transplantasi. Menurut paradigma itu sel T yang telah masak dari donor tidak akan melewati seleksi pada timus resipien sehingga tidak terhadap sel sel resipien. Seluruh sel resipien yang mempunyai inti akan mempresentasikan self antigen pada MHC kelas I. Presentasi self antigen ini menjadi target serangan sel T CD8 dari donor yang tidak terdidik pada timus resipien . Dapat dibayangkan bahwa sel T yang teraktivasi akan mengalami proliferasi yang cepat dan sekaligus mensekresikan molekul molekul efektor sehingga pada akhirnya akan terjadi kerusakan tingkat jaringan dan diikuti tingkat organ. Pada saat sel T CD8 melakukan penghancuran pada sasaran sasaran yang dianggap asing akan menyebabkan inflamasi sistemik. Inflamasi sistemik ini menambah kerusakan semakin luas termasuk menimbulkan aktivasi sel B nonspesifik. Makrofag yang berkembang dari donor pada awalnya merupakan sel toleran yang bekerja pada kisaran homeostasis. Adanya kerusakan level sel dan jaringan yang makin besar juga menimbulkan aktivasi sel sel makrofag karena sel sel tersebut menelan sisa sisa kerusakan sel. Fagositosis oleh makrofag menyebabkan makrofag mempresentasikan antigen asing yang dikenali oleh sel T populasi CD4. Aktivasi sel T CD4 menimbulkan respon imun semakin besar. Sel T populasi CD4 mempunyai potensi yang sangat besar memproduksi IL 2. IL 2 merupakan interleukin yang sangat berpengaruh pada peningkatan proliferasi. IL 2 tidak saja dimanfaatkan oleh sel T CD4 namun juga sel T CD8 dan sel B. Sel T CD8 mempunyai afinitas yang sangat tinggi terhadap IL 2 dan bahkan lebih tinggi dibandingkan afinitas CD4 dalam pemanfaatan IL 2, sehingga CD8 berkembang dengan sangat cepat dan terus menerus memproduksi sitokin termasuk faktor proinflamasi seperti TNFα dan INFγ. Ketika semua sel hematopoietik mengalami aktivasi, kerusakan organ nampak makin jelas sebanding dengan waktu. Pada awal transplantasi alogenik umumnya resipien nampak sehat karena sistem dikendalikan oleh donor, namun ketika minor MHC pada resipien mulai dikenali sel T donor, aktivasi sel T donor akan terjadi.

  Pada manusia pelaksanaan transplantasi tidak lepas dengan penggunaan obat obat imunosupresor. Penggunaan imunosupresor dapat melindungi kejadian rijeksi dan (GVHD), namun juga dapat merugikan resipien, karena resipien kehilangan imunitas melawan infeksi maupun tumor. Seperti diketahui bahwa setiap saat sel tubuh kita mengalami mutasi level sel yang selalu dikontrol oleh limfosit T dari populasi CD8 maupun sel NK. Pada kejadian infeksi sel T CD4 dengan cepat merespon antigen yang telah dipresentasikan MHC kelas II. Respon sel T CD4 terhadap antigen bersifat spesifik, artinya hanya klon tertentu yang dapat merespon antigen itu. Respon sel T CD4 ini ditandai dengan adanya proliferasi dan pelepasan molekul molekul efektor.

  

Gambar 19. Sel T CD8 tidak berkembang pada individu yang

mengalami gen β2 mikroglobulin. Mencit berumur tujuh Minggu

knockout

diisolasi spleennya dan dilakukan staining dengan antibodi monoklonal anti

CD4 dan CD8. Antibodi anti CD4 berkonjugasi dengan FITC dan antibodi

anti CD8 berkonjugasi dengan PE. Analisis dilakukan dengan menggunakan

flow cytometry. Panel kiri adalah analisis sel T dari mencit normal sedang panel

/

kanan dari mencit β mikroglobulin . Pada gambar ini setiap titik pada panel

menunjukkan satu sel yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry. Analisis

dilakukan dengan menggunakan software CELLQUEST.

  Perkembangan sel T CD4 maupun CD8 di dalam timus sangat ditentukan oleh adanya ketersedian self antigen dan MHC yang diekspresikan oleh sel epitel dalam timus. Belum dapat dipastikan faktor mana yang lebih dominan untuk terbentuknya suatu klon. Banyak ilmuwan yang berpendapat bahwa self antigen sendirian tidak dapat menentukan terbentuknya suatu klon, dan menurut mereka interaksi MHC:self-antigen secara keseluruhan yang menentukan perkembangan klon, bukan semata-mata antigennya. Bahkan ada pendapat bahwa MHC sendiri dapat menjadi pemicu terbentuknya klon tanpa harus melibatkan antigen. Hal ini dapat dimengerti karena pada kenyataannta MHC merupakan protein yang disandi oleh banyak gen yang mengalami penyusunan ulang sehingga mempunyai keragaman yang sangat besar. Nampaknya sangat logis bahwa keberagaman MHC sendiri memungkinkan terjadi seleksi klon yang beragam pula. Absennya suatu antigen pada suatu individu menjadikan individu tersebut kehilangan klon tertentu. Sering dikaitkan bahwa kejadian autoimun disebabkan klon sel T regulator tidak lengkap. Dengan kata lain bahwa sel T regulator mempunyai klon yang besar diversitasnya, manakala salah satu klon absen dari individu, maka jika terjadi reaktivitas suatu sel imun tidak ada yang kompeten untuk melakukan supresi. Supresi in vivo sebenarnya tidak mengharuskan satu klon sel regulator mensupresi sel reaktif tertentu secara spesifik, karena ketika sel regulator telah aktif akan memproduksi molekul efektor yang efeknya tidak spesifik, artinya molekul efektor itu dapat melakukan supresi ke seluruh sel yang mengalami aktivasi. Apabila klon sel T regulator tertentu absen dari suatu individu, individu tersebut tidak mempunyai sistem yang dapat mengawali kejadian supresi sehingga sel reaktif terus teraktivasi walaupun jumlah sel regulator cukup memadai.

  

Gambar 20. Transplantasi sumsum tulang dari mencit β2 mikroglobulin

,/,

knockout (β2 ) pada mencit normal membantu perkembangan sel T

,/,

CD8 mencit β2 . Sel sumsum tulang dari mencit β2 mikroglobulin knockout

/ 5

(β2 ) sebanyak 5 x 10 ditransplantasi pada mencit normal yang diradiasi

/

dengan 850 Rad. Perkembangan sel donor (β2 ) dianalisis tiga bulan setelah

transplantasi dengan menggunakan flow cytometry. Panel paling atas

  

menunjukkan keberhasilan transplantasi, dimana sekitar ~90% sel

/

hematopoietik berasal dari donor β2 mikroglobulin knockout (β2 ). Donor

dan resipien dapat dibedakan dengan marker CD45.1. Pada eksperimen ini

donor tidak mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut CD45.1 ,

sedangkan resipien mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut

+

CD45.1 . Panel bawah sebelah kiri merupakan analisis sel T dari mencit β2

mikroglobulin knockout (CD45.1 ). Pada analisis sel T dari populasi CD4 dan

CD8 terlihat bahwa profile sel T tampak normal seperti profile mencit alami

tanpa manipulasi dan rekayasa. Pada panel bawah sebelah kanan merupakan

analisis sel T dari resipien. Resipien berupa mencit normal C57BL/6

+ (CD45.1 ). Pada gambar ini ditunjukkan bahwa resipien yang diradiasi masih

menyisakan sel sel hematopoietik yang kebanyakan berupa sel T, sedangkan sel

B menunjukkan minoritas dalam jumlah. Pada eksperimen ini dilakukan

pelabelan antibodi monoklonal dengan tiga macam warna yakni CD4 FITC,

CD8 PE, dan CD45.1 Biotin. Pada gambar ini setiap titik pada panel

menunjukkan satu sel yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry. Analisis

dilakukan dengan menggunakan software CELLQUEST. Gambar ini mewakili

lebih dari 10 kali eksperimen.

  " #

  Sel T yang teraktivasi akan kehilangan ekspresi CD62L. Sel T naive yaitu sel T yang belum pernah terpapar antigen mengekspresikan molekul CD62L, dan pada individu yang sehat umumnya lebih dari 80% sel T mengekspresikan molekul CD62L. CD62L merupakan molekul adhesi. Pada limfosit CD62L berfungsi untuk melakukan pelekatan dan rolling pada sel endotel sepanjang pembuluh darah. Pemeriksaan pada individu yang tua menunjukkan bukti adanya peningkatan ekspresi molekul CD44 dan penurunan molekul CD62L. Sel T yang kehilangan molekul CD62L dan + mengekspresikan molekul CD44 diduga merupakan sel memori yang teraktivasi (CD44 CS62L ).

  Pada individu yang sakit akan terjadi aktivasi berbagai sel termasuk sel T, sehingga sel T kehilangan molekul CD62L. Pada mencit yang mengalami mutasi gen IL 2β menunjukkan adanya peningkatan sel sel memori yang signifikan. Pada kondisi ini diduga sel T yang mengalami aktivasi terakumulasi sehingga pada pemeriksaan dengan flow cytometry sebagian besar sel hematopoietik menunjukkan sel sel yang teraktivasi dan berupa sel sel memori. Tanda tanda sel teraktivasi khususnya pada limfosit T juga dapat diamati dengan melihat ekspresi CD69. Molekul CD69 merupakan protein yang disintesis sekitar dua jam setelah terjadi aktivasi sehingga menculnya molekul ini pada permukaan sel dianggap gejala awal terjadinya aktivasi.

  

Gambar 21. Sel T yang teraktivasi kehilangan ekspresi molekul CD62L

dan sebaliknya mengekspresikan molekul CD44. Data pada panel kiri

diperoleh dari sel spleen mencit normal berumur enam minggu distaining

dengan tripel monoklonal antibodi yakni anti CD44 PE, anti CD62L FITC,

dan anti CD4 biotin. Analisis dilakukan dengan flow cytometri. Prosentasi sel

+ +

yang mengekpresikan CD44 diperlihatkan pada panel. Pada panel

CD62L

kanan sebagaimana yang dilakukan pada panel kiri namun diisolasi dari mencit

/

  

IL 2Rβ . Gambar yang ditampilkan merupakat gate dari limfosit T CD4. Pada

gambar ini setiap titik pada panel menunjukkan satu sel yang terdeteksi oleh

mesin Flow Cytometry. Analisis dilakukan dengan menggunakan software

CELLQUEST. Data ini mewakili lebih dari sepuluh kali eksperimen.

  Sel sel yang mengalami aktivasi dalam kontek biologi dapat dibedakan dari sel normal dengan melihat ciri cirinya. Ciri ciri itu adalah perubahan morfologi sel dan perubahan tingkah laku sel. Umumnya sel yang teraktivasi morfologinya berubah menjadi lebih besar daripada sel naive. Sel teraktivasi dapat mencapai ukuran 20 50 kali lebih besar daripada sel normal. Sel sel yang teraktivasi juga mempunyai perubahan tingkah laku yang dapat dibedakan dari sel normal terutama kemampuan memproduksi sitokin. Sel sel yang tidak mengalami aktivasi tidak dapat dideteksi keberadaan sitokinnya secara intraselluler, namun sel yang teraktivasi akan dengan mudah dideteksi kandungan sitokinnya secara intraselluler terutama jika aktivasinya disebabkan oleh stimuli yang kuat secara . Pada mencit IL 2Rβ

  /

  aktivasi disebabkan oleh antigen yang belum diketahui. Aktivasi sel / sel hematopoietik pada mencit IL 2Rβ diduga karena hilangnya sel

  • + + T regulator CD4 CD25 . IL 2Rβ adalah salah salah satu molekul sebagai komponen penyusun reseptor IL 2 dan lebih dikenal dengan nama lain CD122. Knockout gen pada IL 2Rβ sesungguhnya ditujukan pada molekul CD122, namun efeknya berimbas pada + + perkembangan sel T regulator CD4 CD25 . Knockout gen pada IL

  2Rβ menyebabkan mencit kehilangan sel T regulator. Secara teoritis CD25 seharusnya tidak hilang ketika dilakukan knockout gen CD122, namun kenyataannya hilangnya ekspresi CD122 karena rekayasa genetika menyebabkan CD25 hilang dari jaringan limfoid periferal. Satu hal yang bisa menerangkan hilangnya sel T regulator pada mencit / /

  IL 2Rβ adalah kenyataan bahwa mencit IL 2Rβ mempunyai kesehatan yang sangat buruk sehingga timus tidak berkembang. Gangguan pada perkembangan timus ini diduga menjadi penyebab utama hilangnya ekspresi CD25 sebagai marker sel T regulator. Banyak percobaan yang berhasil membuktikan bahwa timus + + merupakan tempat terbentuknya sel T regulator CD4 CD25 yang sering disebut atau /

  Gangguan perkembangan timus pada mencit IL 2Rβ diduga karena hilangnya homeostasis pada mencit tersebut. Gangguan homeostasis ini banyak disebabkan karena sel sel teraktivasi pada / mencit IL 2Rβ terus terakumulasi karena kebal terhadap mekanisme apoptosis. Pada umumnya sel sel efektor yang teraktivasi akan segera mengalami eliminasi dengan mekanisme apoptosis baik terjadi karena ikatan Fas:FasLigan maupun dengan bantuan sel T regulator dengan mekanisme starvasi yaitu membatasi ketersediaan triptofan pada lingkungan tempat homing sel efektor.

  Satu hal yang sangat menarik ternyata knockout gen CD122 ternyata benar benar mempengaruhi ekspresi CD25 baik ada maupun tidaknya organ timus. Bukti ini dapat dilihat pada penelitian Rifa’i / (tidak dipublikasikan) pada transplantasi singenik mencit IL 2Rβ terhadap mencit normal. Pada model transplantasi ini diharapkan sel T regulator dapat muncul dari prekursor yang berasal dari sumsum / tulang mencit IL 2Rβ dan stabil selama hidup resipien. Namun / ternyata sel T regulator yang berasal dari IL 2Rβ hanya bertahan sekitar 2 3 minggu setelah transfer dan selanjutnya sel T regulator diganti dari resipien. Pada eksperimen ini ada hal yang sangat penting / untuk dikaji mengapa sel T regulator yang muncul dari IL 2Rβ tidak stabil padahal rekonstitusi BMT menunjukkan keberhasilan dimana / lebih dari 95% sel hematopoietik berasal dari IL 2Rβ . Pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya adalah: ”Mengapa sel T regulator muncul dari resipien padahal resipien telah diradiasi dengan dosis letal?”. Pada eksperimen ini ada beberapa kemungkinan yang dapat dikemukakan. Pertama, bahwa knockout gen CD122 secara langsung akan berpengaruh pada keberadaan gen penyandi CD25. Hal ini dimungkinkan karena lokus kedua gen tersebut berdekatan sehingga ada kemungkinan terjadinya interferensi dan saling mempengaruhi. Kedua, sel T regualtor yang diamati pada mencit hasil transplantasi / dengan sumsum tulang mencit IL 2Rβ kemungkinan berasal dari sel resipien yang kebal terhadap radiasi, meskipun tidak menutup kemungkinan sel T regulator itu berasal dari sumsum tulang resipien yang berkembang menuju timus. Namun nampaknya kemungkinan adanya sel sel dari sumsum tulang resipien berkembang sangat kecil, karena pada faktanya sel sel sumsum tulang dan sel sel epitel khususnya pada usus sangat rentan terhadap radiasi.

  

Gambar 22. Transplantasi sumsum tulang dari IL,2Rβ knockout (IL,

,/,

  

2Rβ ) pada mencit normal menghasilkan fenotipe normal. Sel sumsum

/ 5

tulang dari mencit IL 2Rβ sebanyak 5 x 10 ditransplantasi pada mencit

/

normal yang diradiasi dengan 900 Rad. Perkembangan sel donor IL 2Rβ

  

dianalisis satu bulan setelah transplantasi dengan menggunakan flow cytometry.

Panel paling atas menunjukkan keberhasilan transplantasi, dimana sekitar ~95%

sel hematopoietik berasal dari donor IL 2Rβ knockout. Donor dan resipien

dapat dibedakan dengan marker CD45.1. Pada eksperimen ini donor tidak

mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut CD45.1 , sedangkan

  • + resipien mengekspresikan molekul CD45.1 sehingga disebut CD45.1

  . Panel

bawah sebelah kiri merupakan analisis sel T regulator dari mencit IL 2Rβ

/

knockout (CD45.1 ). Analisis sel T dari mencit IL 2Rβ menunjukkan

hilangnya ekspresi molekul CD25, meskipun hasil treansplantasi menunjukkan

fenotip normal. Pada panel bawah sebelah kanan merupakan analisis sel T

resipien yang memperlihatkan ekspresi molekul CD25 pada sel T CD4. Pada

gambar ini ditunjukkan bahwa resipien yang diradiasi dengan dosis letal masih

  • + menyisakan sel T regulator, CD4 CD25 +

  . Pada eksperimen ini dilakukan

staining menggunakan antibodi monoklonal dengan tiga macam warna yakni

CD4 PE, CD8 FITC, dan CD45.1 Biotin. Pada gambar ini setiap titik pada

panel menunjukkan satu sel yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry.

Analisis dilakukan dengan menggunakan software CELLQUEST. Gambar ini

mewakili lebih dari 10 kali eksperimen. donor 12% host donor host 22.3 % 0.0%

  5

  

Gambar 23. Transplantasi sumsum tulang dari IL,2Rβ knockout (IL,

,/,

  

2Rβ ) pada mencit normal menghasilkan fenotipe normal namun ada

kecendurengan peningkatan sel resipien dan penurunan jumlah sel

  / 5

donor. Sel sumsum tulang dari mencit IL 2Rβ sebanyak 5 x 10

ditransplantasi pada mencit normal yang diradiasi dengan 900 Rad.

/

Perkembangan sel donor IL 2Rβ dianalisis tiga bulan setelah transplantasi

dengan menggunakan flow cytometry. Panel paling atas menunjukkan

keberhasilan transplantasi, dimana sekitar ~90% sel hematopoietik berasal dari

donor IL 2Rβ knockout. Donor dan resipien dapat dibedakan dengan marker

CD45.1. Pada eksperimen ini donor tidak mengekspresikan molekul CD45.1

sehingga disebut CD45.1 , sedangkan resipien mengekspresikan molekul

  • + CD45.1 sehingga disebut CD45.1

  . Panel bawah sebelah kiri merupakan

analisis sel T dari mencit IL 2Rβ knockout (CD45.1 ). Pada analisis sel T dari

/

mencit IL 2Rβ menunjukkan hilangnya ekspresi molekul CD25, meskipun

hasil transplantasi menunjukkan fenotipe normal. Pada panel bawah sebelah

kanan merupakan analisis sel T resipien yang memperlihatkan ekspresi molekul

CD25 pada sel T CD4. Pada gambar ini ditunjukkan bahwa resipien yang

+ + diradiasi dengan dosis letal masih menyisakan sel T regulator, CD4 CD25 .

Jumlah sel regulator yang berasal dari resipien meningkat dari ~10% pada

pengamatan satu bulan setelah BMT menjadi ~20% pada pengamatan tiga

bulan setelah BMT. Pada eksperimen ini dilakukan staining dengan antibodi

monoklonal dengan tiga macam warna yakni CD4 PE, CD25 FITC, dan

CD45.1 Biotin. Pada gambar ini setiap titik pada panel menunjukkan satu sel

yang terdeteksi oleh mesin Flow Cytometry. Analisis dilakukan dengan

menggunakan software CELLQUEST. Gambar ini mewakili lebih dari 10 kali

eksperimen.

Dokumen yang terkait

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

PERANAN PUBLIC RELATIONS DALAM MENGINFORMASIKAN TELKOMFLEXI MELALUI NEWSLETTER PADA KARYAWAN DI PT TELKOM Tbk DIVRE III BANDUNG

2 38 1

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti Instar III

17 90 58

TUGAS OPERASI TEKNIK KIMIA III DIRECT IN

2 62 7

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23