Ikhlas dan Bahaya Riya

  Judul : Ikhlas dan Bahaya Riya Penulis : Abu Muhsin Firanda Andirja. Lc.

  Desain Sampul : MRM Graph Disebarlauaskan melalui:

  Website: http://www.raudhatulmuhibbin.org e-Mail: redaksi@raudhatulmuhibbin.org

  Januari, 2011

Catatan Maktabah

  Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalaw alawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ad , dan keluarganya, para sahabatnya, dan orang-oran rang yang mengikuti mereka hingga hari kiamat.

  Amma Ba’du, Di hadapan anda adalah eBook “IKHLAS DAN BAHAY HAYA RIYA” yang kami ambil dari tulisan al-Ustadz Abu Muhsin hsin Firanda Andirja hafidzahullahu melalui seri tulisan beliau liau dengan judul yang sama pada website http://www.firan firanda.com . Tulisan ini kami muat kembali dalam bentuk eBoo Book untuk menyebarluaskan manfaatnya, dan memudahkan ba n bagi anda untuk membacanya secara offline atau mencetakn taknya dan memberikan kepada kerabat anda.

  Semoga kita semua dapat memetik hikmah dan p n pelajaran dari tulisan al-Ustadz. Kami memohon kepada All Allah agar mengaungerahi kami dan anda semua keikhlasan asan dalam melakukan segala amal ibadah, agar diridhai di sisiNya siNya. Amin Penerbit on-line:

  Maktabah Raudhah al-Muhibbin http://www.raudhatulmuhibbin.org

mailto: redaksi@raudhatulmuhibbin.org

KHLAS DAN BAHAYA RIYA

  “Dari Amirul mu’minin Umar bin Al- -Khotthob rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Ra Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya nya amalan- amalan itu berdasarkan niatnya dan sesungguhn uhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsia gsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya hnya adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa yang h ng hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau wanita yang ang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. hi”. (HR. Al- Bukhari: 1).

  Berkata Abdurrahman bin Mahdi, “Kalau seandain dainya aku menulis sebuah kitab yang terdiri atas bab-bab m b maka aku akan menjadikan hadits Umar bin Al-Khattab yaitu h itu hadits Al A’maalu bin Niyyaat di setiap bab” (Jami’ul Ulum 1/8) 1/8).

  Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah sepertig ertiga ilmu” (Jami’ul ‘Ulum 1/9). Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam ada tiga tiga hadits, hadits Umar rodiallahu’anhu, ”Hanya saja amal- -amal itu berdasarkan niatnya”, hadits ‘Aisyah rodiallah allahu’anha, Barangsiapa yang berbuat perkara-perkara yang bar baru dalam agama ini yang bukan dari agama maka ia tertol rtolak” dan hadits Nu’man bin Basyir rodiallahu’anhu ”Yang ha g halal jelas dan yang haram jelas”. (Jami’ul ‘Ulum 1/9). Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas as adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan itan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan akan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah ah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan u untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zum Zumar : 3). Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agam agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Alla Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah d lah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) ma ) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak m menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman an amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan m an menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pe pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambi mbil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syar syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallah llahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:

  Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh tuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu atu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebu sebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan an ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 42 . 4202, dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana perkataa taan Syaikh Abdul Malik Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam am Muslim (4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan d dia dan ksyirikannya”).

  Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal ‘amalan alan’ disini adalah nakiroh dalam konteks kalimat syart maka m ka memberi faedah keumuman sehingga mencakup seluruh jenis enis amalan kebaikan baik amalan badan, amalan harta. Maupun pun amalan yang mengandung amalan badan dan amalan harta arta (seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).

  

Definisi ikhlas menurut etimologi (menurut pe t peletakan

bahasa)

  Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni ya i yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencam campurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sek sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikataka akan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tid tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam m m memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang tang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi , “Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya inya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengk ngkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS Al Al Ahzaab: 50).

  “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu bena benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu imu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berup erupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah dite ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66). “Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusa tusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisi erbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakka kkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengam ambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kam kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan me meninggal- kan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan ke n kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terh terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusu Yusuf: 80). Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling b g berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang m menyertai pembicaraan mereka.

  

Definisi Ikhlas Menurut Istilah Syar’i ’i (secara

terminologi).

  Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervaria ariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi inisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan ikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu mu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ad . Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membe mbersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau kau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau mem membersih- kan dirimu dari memperhatikan manusia untuk men mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbu erbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan ama amalan ke- bajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam am amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang dipe iperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak men menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia s sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, sia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada pada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoa dhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

  Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya nya amalan- amalan seorang hamba antara yang nampak deng engan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amala malan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada b da batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tin h tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik d aik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dih k dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebag bagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan an manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dih dihadapan Robbmu. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “me “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang ng kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya oran orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu mem memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat All t Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam lam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan kan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya tNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang ng berhias dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia k ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia ja ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pan i pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia ja ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari pan pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dim dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engk engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu send sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah be bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas as darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pa pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah mah beliau yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaima imana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam k kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).

  Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan hanya nya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga b ga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallah llahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untu untuk ikhlas dalam dakwahnya”.

  “Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan oran orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah llah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada te a termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).

  Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepad epada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan silan adalah dakwah yang dibangun karena untuk mencari waja ajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada dian iantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan akan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, sena senang jika masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masj sjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang p ng pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau atau masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyi fiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun te terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur da r dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah lah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan se seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang rang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keada adaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku lih lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jem jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan r an rusaknya batin mereka, dan sebab berlomba-lombanya merek ereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid adalah yang perta ertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati hati…” (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas).

  Syuhroh (Popularitas)

  Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. nya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak hart harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebag ebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupu aupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda a da agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang re g rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamk amkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebag sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang re g rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, ta i, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau seca secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas jangan dibayang yangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia m ia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. ar. Na’udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuang angan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu t tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. ma. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impi impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun m un muslim). Sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. Hampir pir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manu anusia se- sungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita li a lihat ada orang yang mengecet rambutnya bewarna warni, a i, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya ram rambutnya panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaima imana yang pernah dilihat oleh Syaikh Abdur Rozaq), ada yang ram rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun sisanya ya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari ta ri tanah air yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi lagi umroh), ada yang dipotong seperti warna macan tutul (botak otak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya gundul dan ka kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh ke kepalanya gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang jang sekali, dan model-model yang lainnya yang banyak sekali da li dan aneh- aneh. Ini, padahal baru masalah rambut, belum m masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang se g semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran. Demi Allah, sea seandainya salah mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada man manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya be a berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak ak k akan me- lakukan hal-hal aneh yang telah dia lakukan, karena t na tidak ada manusia yang memperhatikannya. Kalau dia tetap an p aneh juga maka dia akan terkenal diantara para hewan. Pop Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal ha harganya.

  Penyakit cinta ketenaran ternyata tidak hanya m a menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara ara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah d h dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang be bentuknya berbeda, namun hakekatnya sama adalah cinta pop popularitas. Ahli ibadah juga ingin kesungguhannya dalam be beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu p u pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang yang ang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi dihadapan m n manusia. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut p ut penyakit riya’ (pingin dilihat orang) dan sum’ah (pingin d in didengar orang). Manusia begitu bersemangat untuk menutupi ke i kejelekan- kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, k n, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketah tahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mend endapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terun rungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya nya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil ecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, s , siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru ru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang men mengetahui kebaikannya-, tentunya mereka akan mencapai m ai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusah saha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan- -kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena ena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah. Berk erkata Abu Hazim Salamah bin Dinar “Sembunyikanlah ke kebaikan- kebaikanmu sebagaimana engkau menyemb embunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul bdul Malik Romadhoni , “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu Nu’aim dalam A m Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasyq (22/ (22/68), dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45).

  Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al h Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana ana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan ja n janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesung sungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk oran orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia gia (masuk surga)”.

  Berkata Syaikh Abdul Malik, “Namun mengapa ki a kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, a??, hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke da dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki Allah” (Dari c ri ceramah beliau yang berjuduk ikhlas). Oleh karena itu banyak para imam salaf yang yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak dak disebut- sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak a k ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga k a keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka t ka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia. Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan b an bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku k u ke jalan- jalan cabang (selain jalan umum yang sering ng dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jal jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jal jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut ut manusia (mengenalnya dan) mengatakan, “Ini Ayyub” (Berkat rkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni: “Diriwayatkan oleh Ibn Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa A a At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror h r hal 46)). Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan jalan di sela- sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga ak a aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. (As-Siyar 1 yar 11/210). Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad bahw bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap rap semoga hal ini bukanlah istidroj”. (As-Siyar 11/211). Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu ahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Al a Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riy g riya”. (As- Siyar 11/211). Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari ”Bagaiman mana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat gat marah,

kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja s ja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih a ih aku sukai daripada aku sholat semalam penuh kemudian aku c ku ceritakan pada manusia” (Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam A am Ahmad).

  Tidak seorangpun diantara kita yang meraguka ukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah.

  h. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub jub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jau jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian bes besar, atau seluruhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah), Al , Allahu Al- Musta’an, sudah amalannya sedikit, namun dic diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang g sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata, ”Dakwah saya d ya disana…, disini…”, ada juga yang berkata,”Yang menghadiri diri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian…” (padahal kalau lau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau meman mang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Te . Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, ikit, namun tidak dia ceritakan, atau yang hadir banyak tapi pada ada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya di dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favo favorit), ada yang berkata, “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu. itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca d ca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sam sama sekali secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambark arkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar mere ereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar me membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena ke keinginan mendapat penghargaan dan penghormatan dari m ri manusia.

  Lihatlah Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu ya yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga d a dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang iba ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekaran arang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu un untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menan enanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahny ahnya, atau perkara yang lainnya. Ayyub As-Sikhtiyani sholat sepanjang malam, d , dan jika menjelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di g di tempat tidurnya. Dan jika telah terbit fajar maka diapun men mengangkat suaranya seakan-akan dia baru saja bangun pada s da saat itu. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/8). /8). Berkata Muhammad bin A’yun, ”Aku bersama Abdu bdullah bin Mubarok dalam peperangan di negeri Rum. Tatka atkala kami selesai sholat isya’ Ibnul Mubarok pun mere merebahkan kepalanya untuk menampakkan padaku bahwa dia dia sudah tertidur. Maka akupun –bersama tombakku ya yang ada ditanganku- menggenggam tombakku dan mel meletakkan kepalaku diatas tombak tersebut, seakan-akan a n aku juga sudah tertidur. Maka Ibnul Mubarok menyangka bah bahwa aku sudah tertidur, maka diapun bangun diam-diam ag agar tidak ada sorangpun dari pasukan yang mendengarnya lal a lalu sholat malam hingga terbit fajar. Dan tatkala telah terbit faj t fajar maka diapun datang untuk membagunkan aku kare karena dia menyangka aku tidur, seraya berkata “Ya Muh Muhammad bangunlah!”, Akupun berkata: ”Sesungguhnya ak aku tidak tidur”. Tatkala Ibnul Mubarok mendengar hal al ini dan mengetahui bahwa aku telah melihat sholat malamn mnya maka semenjak itu aku tidak pernah melihatnya lagi b gi berbicara denganku. Dan tidak pernah juga ramah padaku pad pada setiap peperangannya. Seakan-akan dia tidak suka ka tatkala mengetahui bahwa aku mengetahui sholat malam lamnya itu, dan hal itu selalu nampak di wajahnya hingga beliau eliau wafat. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih menymb ymbunyikan kebaikan-kebaikannya daripada Ibnul Mubarok” (Al (Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim 1/266). Wahai saudaraku, ketahuilah… sesungguhnya ikhlas hlas adalah sesuatu yang sangat berat, penuh perjuangan unt untuk bisa meraihnya. Pintu-pintu yang bisa dimasuki syaitan un n untuk bisa merusak keikhlasan kita terlalu banyak. Tatkala kita kita sedang beramal maka syaitanpun berusaha untuk bisa men menjadikan kita riya’, kalau tidak bisa menjadikan kita riya’ di pe i permulaan amal, maka dia akan berusaha agar kita riya’ di perte ertengahan amal. Kalau tidak mampu lagi maka di akhir amalan k an kita. Oleh karena itu kita dapati para salaf dahulu memngec ngecek niat mereka ditengah amalan mereka, apakah masih teta tetap ikhlas atau sudah berubah?. Diriwayatkan dari Sualaim laiman bin Dawud Al-Hasyimi: ”Terkadang saya menyampaikan ikan sebuah

hadits dan niat saya ikhlas, (namun) tatkala saya sam sampaikan sebagian hadits tersebut berubahlah niat saya, terny ernyata satu hadits saja membutuhkan banyak niat” Disebutkan kan oleh Al- Khotib Al-Bagdadi dalam Tarikh beliau (9/31), Al-Miz Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (11/412), dan Ad-Dazahabi dala dalam Siyar (10/625), lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal 83, ta , tahqiq Al- Arnauth).

  Lihatlah bagaimana hati-hatinya salaf dalam menja enjaga niat mereka, untuk bisa menyampaikan satu hadits sa s saja (yang mungkin hanya beberapa buah kata) dia mempe perhatikan niatnya berulang-ulang. Bagaimana dengan kita se a sekarang? Bukan cuma berpuluh-puluh kata yang kita lontarkan, kan, bahkan beribu-ribu kata (tatkala mengisi pengajian, atau m u memberi pendapat atau nasehat tatkala diminta, atau yang la g lainnya…) pernahkah kita mengecek niat kita disela-sela pemb embicaraan kita??. Terkadang seseorang di awal sedang ng mengisi pengajian, dia mendapati niatnya ikhlas. Namun ta n tatkala di tengah pengajian, disaat dia memandang bagaima imana para pendengarnya terkagum-kagum dengan kefasi efasihannya melontarkan dalil disaat itulah syaitan berperan akt aktif untuk merubah niatnya. Waspadalah wahai para saud saudaraku… sesungguhnya hanya sedikit yang selamat dari tip i tipu daya syaitan.

  Sungguh benarlah perkataan Sufyan Ats-Tsauri, ”Sa ”Saya tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat daripa ripada niat, karena niat itu berbolak-balik (berubah-ubah)” )” (Hilyatul

  Auliya (7/ hal 5 dan 62), lihat Jami’ul ‘Ulul wal Hikam ikam hal 70, tahqiq Al-Arnauth). Kalau seseorang telah selamat dari tipu daya syaitan aitan hingga selesai amalnya, ingatlah…syaitan tidak putus asa. D sa. Dia mulai menggelitik hati orang tersebut dan merayu orang t ng tersebut untuk menceritakan amalan solehnya pada manu anusia, dan syaitan menipunya dengan berkata, ”Ini bukanlah nlah riya…, supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya ter terjebaklah orang tersebut dan diapun mengungkapkan ke kebaikan- kebaikannya di hadapan orang, maka bisa jadi jadi diapun menceritakan kabaikan-kebaikannya pada manusia usia karena riya’, maka ini merupakan kecelakaan baginya, ata atau kalau tidak maka minimal pahalanya berkurang. Karena rena pahala amalan yang sirr (disembunyikan) lebih baik daripada ada amalan yang diketahui orang lain. Allah berfirman, yang artinya: “Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu a itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya da dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembun bunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapusk puskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Alla Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoro qoroh: 271). Berkata Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, ”Asalnya isror sror (amalan secara tersembunyi tanpa diketahui orang lain) adal adalah lebih afdol dengan dalil ayat ini dan hadits dalam sh shohihain (Bukhori dan Muslim) dari Abu Huroiroh, beliau au berkata: “Berkata Rasulullah : ”Tujuh golongan yang berada d da dibawah naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan gan kecuali naungan Allah, Imam yang adil, dan seorang yang ber bersedekah lalu dia menyembunyikannya hingga tangan kiriny irinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan ka kanannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1423) dan Muslim slim (2377). Berkata Imam Nawawi: ”Berkata para Ulama ba bahwanya penyebutan tangan kanan dan kiri menunjukan kesun esungguhan dan sangat disembunyikannya serta tidak dike diketuhinya sedekah. Perumpamaan dengan kedua tangan t n tersebut karena dekatnya tangan kanan dengan tangan k n kiri, dan tangan kanan selalu menyertai tangan kiri. Dan m maknanya adalah seandainya tangan kiri itu seorang laki-la laki yang terjaga maka dia tidak akan mengetahui apa yang ang diinfak oleh tangan kanan karena saking disembunyikanny annya.” (Al- Minhaj 7/122), hal ini juga sebagaimana penjelasan Ib san Ibnu Hajr (Al-Fath 2/191).

  Rosulullah bersabda: ”Tatkala Allah menciptaka takan bumi, bumi tersebut bergoyang-goyang, maka Allah Alla pun menciptakan gunung-gunung kalau Allah lemparkan an gunung- gunung tersebut di atas bumi maka tenanglah bum bumi. Maka para malaikatpun terkagum-kagum dengan pen penciptaan gunung, mereka berkata, ”Wahai Tuhan kami, apa apakah ada dari makhluk Mu yang lebih kuat dari gunung? ung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”. Lalu mereka bertany anya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhlukMu ya u yang lebih kuat dari besi?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu api.”, pi.”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada mak makhluk Mu yang lebih kuat dari pada api?”, Allah menjawab, ”A , ”Ada yaitu air”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apa apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah me menjawab, ”Ada yaitu angin” mereka bertanya (lagi), ”Waha ahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat da t dari pada angin?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu seorang ana anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya la a lalu dia sembunyikan agar tidak diketahui tangan n kirinya”. Diriwayatkan oleh Imam Ahamad dalam Musnadny dnya 3/124 dari hadits Anas bin Malik. Berkata Ibnu Hajar, ”Da ”Dari hadits Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath 2/191 /191). Sungguh benar orang yang berkata, “Jangan hera heran kalau engkau melihat seorang yang bisa jalan di atas air, s air, karena syaitan juga bisa berjalan di atas air. Janganlah hera heran kalau engkau melihat seorang yang berjalan terbang ng diudara, karena syaitan juga bisa terbang di udara. Tapi h pi heranlah engkau jika engkau melihat seorang yang bersedekah kah dengan tangan kanannya namun tangan kirinya tidak men engetahui-

nya, karena syaitan tidak bersedekah (apalagi denga ngan ikhlas) (Untaian kalimat ini, penulis tidak mengetahui sia siapa yang mengucapkannya. Namun penulis pernah mende ndengarnya dari seorang petugas penjaga mushola dikapal laut laut, tatkala menyampaikan nasehat pada awak penumpang ang kapal.

  Mungkin saja dialah yang mengucapkan perkat rkataan ini pertama kali. Namun bagaimanapun perkataan in n ini benar maknanya jika ditinjau dari kacamata syar’i, Wallahu lahu A’lam). Ingat perkataan Ibnul Qoyyim, “Tidaklah akan be berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk di k dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa y a yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya nya air dan api…” (Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Sy Syaikh Ali Hasan, hal 423). Wahai Dzat yang membolak-balikan kan hati-hati (manusia) tetapkanlah hatiku di atas agamaMu.

  Hukum Menyembunyikan Amal.

  Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan m menyem- bunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih men menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan m n mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu Ha Hajar: ”At- Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa wa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol d ol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustaha stahab maka sebaliknya.” (Al-Fath 3/365). Sebagian merek ereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan telad eladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi merek reka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan ngan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin gkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat. Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah lah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala ala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wa “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya ma maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/21 /211).

  Berkata Hammad, “Pernah Ayyub membawaku ke jal e jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya, “Jalan lan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab: ab: ”Saya menghindari majelis-majelis manusia (men enghindari pent keramaian manusia- )”. Dan Ayyub jika member beri salam kepada manusia, mereka menjawab salamnya leb lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka aka Ayyub berkata: ”Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahu tahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!, Ya Allah sesung sungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah mengingin inginkan hal ini!.” Berkata Syaikh Abdul Malik: ”Diriwayatkan ol n oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya ya shahih”. (Sittu Duror hal 47). Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr, “Ad-Dlohhak hak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (shola sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata: ” ta: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Ma Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia ia berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya anya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri” diri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad- -Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunka nkan hujan bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menu enundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan gkan lengan banjunya lalu berdoa: ”Ya Allah, sesungguhny hnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu aMu”. Lalu tidaklah dia berdoa tiga kali kecuali langsung turunla unlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka ten tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata: ”Ya Allah, sesung sungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, hor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak be k berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal ggal.” Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sitt Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal. 47.

  Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad swad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia m ia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhin rhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah lah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghin ghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu A hu Akbar.. ! inilah akhlak salaf (Berkata Guru kami Syaikh Abdul Q ul Qoyyum, “Adapun orang-orang yang memerintahkan para peng pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya nya lalu ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah lah dajjal”). Namun banyak orang yang terbalik, mereka eka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang ng sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya nya dengan berbagai macam cara.

  Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata: ”Ali bin li bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada mal malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata, ”Sesung sungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kem kemarahan Allah”. Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Na Nabi, yang diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah b h bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Ma’ud, ’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan A an Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani: ”Kesimpulannya h a hadits ini dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya nya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan te n termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’ uta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no. 1908). Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata, ”Tatkala Ali bin bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu alu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka b ka bertanya: ”Apa ini”, lalu dijawab: ”Beliau selalu memikul ber berkarung- karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepa kepada faqir miskin yang ada di Madinah”.

  Berkata Ibnu ‘Aisyah: ”Ayahku berkata kepadaku aku: ”Saya mendengar penduduk Madinah berkata: ”Kami tidak idak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga menin eninggalnya Ali bin Husain” Lihat ketiga atsar tersebut dalam lam Sifatus Sofwah (2/96), Aina Nahnu hal. 9.

  Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyemb embunyikan amalannya hingga penduduk Madinah tidak ada yan yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena na sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhe rhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak belia beliau. Imam Al-Iz bin Abdus Salam telah menjelaskan skan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci rinci sebagai berikut. Beliau berkata, “Keta’atan (pada Allah) a ) ada tiga:

  1. Yang pertama, adalah amalan yang disyariatkan tkan secara dengan dinampakan seperti adzan, iqomat, be , bertakbir, membaca Quran dalam sholat secara jahr, khutbah bah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan sholat jum jumat dan sholat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar tar jenazah, maka hal-hal seperti ini tidak mungkin disembunyik nyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut riya, maka hen hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh untuk menolaknya knya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa melaksanakannya nya dengan ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan mend endapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesunggu ngguhannya menolak riya, karena amalan-amalan ini maslahatn hatnya juga untuk orang lain.

  2. Yang kedua, amalan yang jika diamalkan kan secara tersembunyi lebih afdhol dari pada jika dinam nampakkan. Contohnya seperti membaca qiro’ah secara perlahan ahan tatkala sholat (yaitu sholat yang tidak disyari’atkan kan untuk menjahrkan qiro’ah), dan berdzikir dalam sholat olat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik darip aripada jika dijahrkan.

  3. Yang ketiga, amalan yang terkadang disembunyi unyikan dan terkadang dinampakkan seperti sedekah. Jika dia dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya k ya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (s n (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika din dinampak- kan.

  Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua k ua keadaan- nya:

  1. Yang pertama, dia bukanlah termasuk orang yang yang diikuti, maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, nya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menam nampakkan sedekahnya.

  2. Yang kedua, dia merupakan orang yang dicontoh ntohi, maka dia menampakan sedekahnya lebih baik karena na hal itu membantu fakir miskin dan dia akan diikuti. Maka d ka dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sed sedekahnya dan dia juga menyebabkan orang-orang kaya ber bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia ju ia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut sebut karena mengikuti dia beramal soleh.” Qowa’idul Ahkam kam 1/125 (Sebagaimana dinukil oleh Sulaiman Al-Asyqor dal k dal kitabnya Al-Ikhlash hal 128-129).

  Tentunya kita lebih mengetahui diri kita, kita termasu asuk orang yang aman dari riya atau tidak.

  Mengobati Penyakit Cinta Ketenaran

  Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian men mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang be berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan t an tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku d ku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/ 3/357 no. 5382). Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((“Untaian kal kalimat ini adalah madrasah (pelajaran), dan hal ini tidak diragu ragukan lagi karena tersohornya seseorang mungkin terjadi jik i jika orang tersebut memiliki kelebihan di antara manusia, bahk bahkan bisa jadi orang-orang mengagungkannya, bisa jadi oran orang-orang memujinya, bisa jadi mereka mengikutinya berj berjalan di belakangnya. Seseorang jika semakin bertambah ma ma’rifatnya kepada Allah maka ia akan sadar dan mengetahu ahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat bany anyak. Oleh karena tidaklah suatu hal yang mengherankan ji n jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Abu Bakar – padahal ia adalah orang yang terbaik dari umat ini d ini dari para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam – yang yang selalu membenarkan (apa yang dikabarkan oleh Nabi sh i shalallahu ‘alaihi wasallam-pen), yang Nabi shalallahu ‘alaihi w hi wasallam telah berkata tentangnya, “Jika ditimbang iman Ab Abu Bakar dibanding dengan iman umat maka akan lebih ber berat iman Abu Bakar”, namun Nabi shalallahu ‘alaihi w i wasallam mewasiatkannya untuk berdo’a di akhir sholatnya, ya, “Robku, sesungguhnya aku telah banyak mendzolimi diriku d u dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali engka gkau maka ampunilah aku dengan pengampunanMu”. u”. Yang mewasiatkan adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasall sallam dan yang diwasiatkan adalah Abu Bakar As-Shiddiq. S iq. Semakin bertambah ma’rifat seorang hamba kepada Robnya nya maka ia akan takut kepada Allah, takut kalau ada yang meng engikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan diantara m ra manusia, khawatir diangkat-angkat diantara manusia, ka karena ia mengetahui hak-hak Allah sehingga dia mengetahui b ui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak Allah, ia selalu selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan sa n salah satu bentuk dosa.

  Di antara manusia ada yang merupakan qori’ Al-Qur Qur’an dan tersohor karena keindahan suaranya, keindahan bac bacaannya, maka orang-orangpun berkumpul di sekitarnya. D . Di antara manusia ada yang alim, tersohor dengan ilmunya, ya, dengan fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya, kewaro waro’annya, maka orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya.

  Di antara mereka ada yang menjadi da’i yang ng terkenal dengan pengorbanannya dan perjuangannya ya dalam berdakwah maka orang-orang pun berkum kumpul di sekelilingnya karena Allah telah memberi petunjuk njuk kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga ad ada yang terkenal dengan sikapnya yang selalu menunaikan a an amanah, ada yang tersohor dengan sikapnya yang menegakk akkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan demikianlah… Posisi terk terkenalnya seseorang merupakan posisi yang sangat at mudah menggelincirkan seseorang, oleh karena itu Ibnu nu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan men menjelaskan keadaan dirinya (yang penuh dengan dosa), dan men menjelaskan apa yang wajib bagi setiap orang yang memiliki pe i pengikut… Hendaknya setiap orang yang tersohor (dengan k n kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang untuk ntuk selalu merendahkan dirinya diantara manusia dan menam nampakkan hal itu, bukan malah untuk semakin naik deraja rajatnya di hadapan manusia namun agar semakin terangkat de t derajatnya di hadapan Allah, dan ini semua kembali kepada kei keikhlasan, karena diantara manusia ada yang merendahkan d n dirinya di hadapan manusia namun agar tersohor dan ini ini adalah termasuk (tipuan) syaitan. Dan diantara manusia a sia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia dan dan Allah mengetahui hatinya bahwasanya ia benar dengan si an sikapnya itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari ari di mana dibalas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada, da, hari di mana nampak apa yang ada disimpan di hati-hati, ti ti, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah dan mereka ti a tidak bisa menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapa apan Allah. Ini adalah pelajaran yang berharga bagi setiap yang ng dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka henda endaknya ia tahu bahwa orang yang diikutinya itu tidak boleh diag diagungkan, namun hanyalah diambil faedah darinya berupa syari syari’at Allah atau faedah yang diambil oleh masyarakat, karen arena yang diagungkan hanyalah Allah kemudian Rasulullah sh h shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun manusia yang lain maka jika jika mereka baik maka bagi mereka rasa cinta pada diri ki kita. Dan hendaknya orang yang tersohor untuk selalu takut, kut, rendah, dan mengingat dosa-dosanya, mengingat bahwa wa ia akan berdiri di hadapan Allah, ingat bahwasanya ia bukanla anlah orang yang berhak diikuti oleh dua orang di belak elakangnya.