Majdah Muhyiddin Zain, Keunggulan Komparatif Beras Sulsel

Keunggulan Komparatif

BERAS SULSEL
Majdah Muhyiddin Zain

Keunggulan Komparatif

BERAS SUL-SEL

Undang-undang Rcpublik Indonesia Nomor 19 Tahun 3002 tenlang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemengan Hak Cipta untuk mengumumkan atau
mempcrbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomaus setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengumngi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan segaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayal
(1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) di pidana drngan pidana pemjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahum dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)

2. Barangsiapa dengan segaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran HakCipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah)

Majdah Muhyiddin Zain

Keunggulan Komparatif

BERAS SULSEL

Fahmis Pustaka
2015

Keunggulan Komparatif Beras SulSel
Penulis:
Majdah Muhyiddin Zain
Kata Pengantar:
Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, M.Si, MH
Editor:

Muhammad Yahya Musdalifah Mahmud
Desain Cover: Dian Qamajaya
Layout: Hilman Yusuf
Foto Sampul: Internet/Online
Penerbit:
FAHMIS PUSTAKA
(Lembaga Penerbitan, Pendidikan, Penelitian dan Distribusi Buku)
Jl.Tamangapa Raya 5/N0.32 Kassi Tarnangapa Makassar 90245
Hp. 08124218024
Hak Cipta Dilindungi Undang Undang
All Right Reserved
ISBN : 978-602-70099-5-0
Cetakan Pertama April 2015

PENGANTAR PENULIS

Sulawesi Selatan sejak dari dulu dikenal sebagai lumbung pangan terutama untuk
Kawasan Indonesia Timur. Masyarakat yang menjadikan beras sebagai makanan pokok
di kawasan tersebut, menempatkan Sulsel sebagai wilayah pemasok utama. Potensi
yang dimiliki Sulsel serta letak stategis selaku pintu gerbang ke KTI menjadikan wilayah

ini tumpuan harapan banyak orang guna memenuhi kebutuhan bahan pangan terutama
beras.
Surplus beras menjadikan Sulsel selaku pemasok di wilayah sekitarnya yang minus
produksi. Kondisi dan posisi demikian telah dijalani dalam kurun waktu yang teramat
panjang. Catatan sejarah juga menunjukkan migrasi orang-orang Bugis yang
merupakan mayoritas penduduk asli orang Sulsel, sering dilatari para pedagang beras
antar daerah dan antar pulau.
Para pedagang beras tersebut secara tradisional pula menjadi imigran yang
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Komoditas beras yang
diperdagangkan termasuk bahan kebutuhan pokok, sehingga kontinuitas pasokan hams
stabil setiap saat.
Beras menjadi produksi utama masyarakat di beberapa wilayah di Sulsel, kemudian
para pengusaha memperdagangkan antar daerah atau antar pulau. Komoditas ini
menjadi mata dagangan sepanjang masa dibutuhkan masyarakat. Permintaan pasar
akan komoditas itu setiap saat dibutuhkan, karena merupakan makanan pokok dan
utama bagi sebagian besar masyarakat.
Permintaan pasar yang terus meningkat menjadikan bisnis pedagang beras juga
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat. Pedagang beras asal
Sulsel pernah mengalami masa-masa kejayaan ketika pasar di KTI dikuasai.
Zaman berganti, perdagangan beras di Sulsel mengalami masa-masa pasang dan

surut. Beberapa variebel menjadi faktor surutnya pedagang beras di antaranya; campur
tangan pemerintah melakukan tata kelola komoditas beras lewat Bulog. Sisi lainnya
adalah kompetitor dari Jawa dan beras impor yang setiap saat masuk ke pasar di KTI.
Daya saing komoditas dari kompetitor tersebut, memiliki kualitas jauh lebih baik,
dengan harga yang relatif murah menjadikan pasar di KTI lebih dominan memilih beras
yang datang dari luar Sulsel. Kurun waktu demikian menjadikan perdagangan beras
Sulsel mengalami masa-masa yang surut.
Buku ini merupakan disertasi penulis guna menyelesaikan jenjang pendidikan strata
tiga studi sistem-sistem pertanian pada Program Pascasarjana Unhas dengan judul

'"Perspektif Perdagangan Beras Antarpulau (Analisis Daya Saing Beras Sulawesi
Selatan dalam Perdagangan Antarpulau)".
Hasil kajian disertasi berupaya mengungkap berbagai hal berkenaan dengan kajian
daya saing komoditas beras Sulawesi Selatan, yang secara khusus diarahkan untuk
menganalisis keunggulan komparatif komoditas beras Sulsel, kinerja perdagangan beras
antarpulau, efisiensi pemasaran, dan faktor pendorong serta penarik perdagangan
beras antarpulau.
Sejumlah faktor penting teridentifikasi dalam kajian ini seperti ketersediaan, surplus,
dan harga beras, serta pendapatan masyarakat di daerah tujuan merupakan daya tarik
yang signifikan dalam perdagangan beras antarpulau. Faktorfaktor ini pada daerah asal

tidak menjadi faktor yang signifikan. Selanjutnya, faktor biaya transpor juga berpengaruh
signifikan terhadap volume perdagangan beras antarpulau dari Sulawesi Selatan.
Peningkatan produksi beras di Sulawesi Selatan tetap penting, namun sistem
agribisnis padi/beras ini tampaknya perlu diarahkan untuk perbaikan kualitas dan sistem
pemasaran beras menuju pemasaran beras menjadi lebih efisien.
Pengembangan sistem pemasaran beras yang lebih bebas dari praktekpraktek pasar
monopolls dan ollgopolls yang ditunjang oleh pengembangan infrastruktur perdagangan
dan penghapusan berbagai pungutan yang membebai biaya perdagangan perlu
dipertimbangkan lebih seksama untuk mewujudkan sistem pemasaran beras,
khususnya perdagangan antar pulau yang lebih efisien.
Setelah melakukan beberapa penyesuaian maka disertasi penulis dapat hadir di
hadapan pembaca dalam bentuk buku. Lewat kesempatan ini kami ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak sehingga
disertasi ini dapat menjadi buku.
Disertasi ini dapat dirampungkan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku , berkat
kontribusi berbagai pihak. Karena itu dengan tulus penulis menghaturkan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Radi A.Gany, sebagai promotor dan Prof. Dr. Ir. Hj. Farida
Nurland, M.S, dan Dr. Ir. H. Rahim Darma M.Sc, sebagai copromotor yang telah
mencurahkan waktu dan pikirannya untuk memberi arahan dan bimbingannya

hingga penyelesaian disertasi ini
2. Bapak Dr. Ir. Masnama Tadjo, MS, Prof. Dr. Ir. H. Syawal, M.Sc, Prof. Dr. Ir. H.M.
Saleh S Ali, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc, Dr. Ir. Yunus Musa, M.Sc, dan Dr. Ir.
Aksan, MS. Sebagai penguji, terima kasih atas segala masukannya sehingga di
sertasi ini dapat lebih disempurnakan
3. Rektor Universitas Hasanuddin Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO, Direktur
Pascasarjana (PPsUNHAS) Prof. Dr. dr. Razak Thaha, M.Sc, dan mantan PPsUNHAS
Prof.Dr. Ir. Natsir Nessa, MS., sebagai pengelola program Pascasarjana UNHAS.
4. Gubemur Provinsi Sulawesi Selatan H.M. Amin Syam dan Ibu Ir. Hj. Apiati Amin

Syam, M.Si., yang telah memberi bantuan moril dan materil selama proses
penyelesaian studi
5. Koordinator Kopertis Wiayah IX Sulawesi Prof. Dr. Aminuddin Salleh, SH., MH., dan
mantan Koordinator Kopertis Wilayah IX, Dr. Ir. H. Abd Rauf Patong, yang telah
mengarahkan dan memberi izin studi kepada penulis pada Program Doktor
Pascasarjana (PPsUNHAS)
6. Ketua Yayasan Perguruan Tinggi AIGazali Makassar Drs. H. M. Jusuf Kalla yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Doktor PPS
UNHAS
7. Kuasa Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi AlGazali H. M. Aksa Mahmud dan

segenap jajaran pengurusnyayangtelah memberikan dukungan dan motivasi
kepada penulis untuk penyelesaian studi pada program Doktor PPSUNHAS.
8. Ibunda tercinta Hj. A. Uqdah atas dukungan dan doa restunya yang senantiasa
menyertai penulis
9. Suami tercinta Ir. H. Agus Ashari Arifin Nu'mang, M.S., dan anakanakku tersayang
A.Qanisah Amaliah, Ahmad Rizadi, Ahmad Fausan dan A. Amanda Amaliah,
A.Ahmad Syahrul atas motivasi dan pengertian disertai doa yang tulus ikhlas
sehingga penulis dapat melewati masamasa sulit dalam penyelesaian studi.
10. Saudara Dr. Ir. Adri Said, M.Sc, Ir. Mahyuddin, M.Si, Mustakim, SP, M.Si dan
Ir.Hj.Fatmawati Mahmud, M.P., serta rekanrekan di Fakultas Pertanian UNHAS dan di
Universitas Islam Makassar yang telah banyak membantu hingga penyelesaian
buku ini, serta rekan-rekan seorganisasi di IKA DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Tim
Penggerak PKK SulSel, DPP HWK SulSel, YABI SulSel, BKKKS SulSel, FKKMT SulSel dan
Yayasan Jantung SulSel, serta rekanrekan lainnya yang tidak dapat di sebut satu
persatu dengan tulus penulis menghaturkan terima kasih atas motivasi dan doanya
sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini sungguh masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat
mengharapkan keritikan dan saran konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan
tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan saat ini maupun di masa datang dan bermanfaat bagi pembangunan
daerah dan kemajuan ummat manusia pada umumnya. Amin
Makassar, April 2015

Majdah Muhyiddin Zain

Meningkatkan Daya Saing Petani

Kata Pengantar Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan
Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH

Basis ekonomi masyarakat Sulawesi Selatan secara alamiah tetap bertumpu pada
sektor pertanian. Secara turun temurun, mayoritas penduduk wilayah ini
menggantungkan hidupnya dari usaha di bidang pertanian.
Pekerjaan sebagai petani masih tetap dominan menjadi pilihan penduduk Sulsel,
terutama mereka yang menetap di wilayah pedesaan, yang selama ini dikenal sebagai
sentra pengembangan tanaman pangan, khususnya betas. Di Sulsel, produksi beras
cukup melimpah sehingga dikenal sebagai penghasil beras dan menjadi pemasok
utama beras untuk Kawasan Indonesia Timur. Hingga kini Sulsel menjadi salah satu
lumbung pangan nasional.

Posisi sebagai pemasok beras dan lumbung pangan nasional telah menempatkan
Sulsel sebagai daerah yang memiliki daya saing dan menjadi salah satu kekuatan
ekonomi negara. Hal itu menempatkan Sulsel menjadi daerah yang sangat
diperhitungkan sebagai daerah pengangga pangan nasional.
Dengan posisinya tersebut, Sulsel senantiasa bertekad mempertahankan statusnya
sebagai lumbung pangan nasional, dengan terns berupaya meningkatkan produksi
beras. Pada tahun 2013, produksi padi Sulsel telah mertcapai 5,2 juta ton, dan telah
meningkat mencapai 5,5 juta ton pada 2014. Pemerintah Sulsel menargetkan, pada
2018 mendatang, produksi padi dapat mencapai 6,7 juta ton. Kontribusi terbesar
produksi beras berasal dari daerah penghasil beras utama Sulsel yang mencakup

Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu, atau yang dikenal
dengan "Bosowasipilu".
Peningkatan produksi beras, di sisi lain, akan meningkatkan kualitas hidup petani
yang menjadi pekerjaan utama masyarakat Sulsel. Oleh karena itu, arah kebijakan
Pemerintah Sulsel tidak lepas dari upaya meningkatkan daya saing petani dengan
merealisasikan sejumlah program pertanian yang memihak kepada petani. Salah
satunya adalah membatasi peredaran beras impor di pasar beras Sulsel. Kebijakan
tersebut bertujuan untuk memproteksi beras lokal agar dapat bersaing dan menjadi
pilihan konsumsi bagi masyarakat Sulsel dan sekitarnya.

Untuk menahan laju beras impor, maka peningkatan produksi dan perbaikan
kualitas produksi menjadi fokus dalam proses pengembangan perberasan di Sulsel.
Salah satu strategi peningkatan produksi beras telah ditempuh Pemerintah Sulsel
dengan melaksanakan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SLPTT), dengan mengolah lahanseluas 295 ribu hektar dan bantuan benih padi, jagung
dan kedeiai. Program SLPTT diharapkan dapat mendorong percepatan produksi
pangan agar dapat menjaga stabilitas surplus produksi beras di Sulsel.
Program peningkatan produksi pangan yang telah ditempuh Pemerintah Sulsel
selama ini, dibarengi dengan kebijakan daya dukung lahan, mengingat luas lahan
pertanian yang semakin menyempit dari tahun ke tahun. Konversi lahan dari lahan
pertanian menjadi kawasan industri dan pemukiman mengalami peningkatan,
disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan perluasan wilayah perkotaan.
Mengantisipasi penyempitan lahan tersebut, Pemerintah Sulsel berupaya
melaksanakan program mekanlsasi lahan pertanian, untuk memberi kemudahan
kepada petani dalam mengolah lahan dan meningkatkan produksi setiap hektar
lahan.
Ada banyaktantangan dalam mempertahankan posisi Sulsel sebagai lumbung
pangan nasional, baik yang dihadapi oleh petani dan juga Pemerintah. Karena itu, buku
ini yang berjudul "Keunggulan Komparatif Beras Sulsel" dapat menjadi salah satu acuan
untuk meningkatkan daya saing beras Sulsel secara nasional. Buku yang ditulis oleh Dr. Ir.

Hj. Majdah Muhyiddin Zain, M.Si., ini memberikan gambaran yang akurat dan
mendalam tentang perdagangan beras Sulsel secara antarpulau. Data dan fakta yang
dipaparkan dalam buku ini memudahkan pemahaman tentang bagaimana alur
perdagangan beras asal Sulsel ke Kawasan Timur Indonesia, dan menunjukkan bahwa
daya saing beras Sulsel sungguh sangattinggi.
Buku ini dapat menjadi referensi dalam membuat kebijakan pads sektor perberasan
untuk meningkatkan kualitas dan daya saing beras Sulsel di Indonesia. Kalangan
cendekiawan kampus dan juga praktisi pertanian tanaman pangan dan perdagangan,
patut membaca buku buku ini.

Makassar, April 2015
Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan

Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH. M.Si. MH.

Catatan Penerbit

Beras termasuk komoditas strategis dan menentukan hajat hidup orang banyak.
Peran strategis yang diemban tersebut menjadikan hampir semua pihak memiliki
kepentingan pada komoditas itu. Pemerintah setiap saat memiliki kepentingan,
terutama dalam politik pangan menjamin stok dan distribusi yang stabil dan merata
sepanjang waktu.
Permintaan pasar akan beras setiap waktu karena merupakan kebutuhan utama.
Komoditas ini menjadi salah satu mata dagangan yang banyak dilirik oleh pengusaha.
Perdagangan beras secara lokal dan antarpulau semakin ramai dijalani oleh para
pedagang. Sulawesi Selatan dikenal selaku sentra produksi beras di KTI. Sentra
pengembangan tanaman pangan terutama padi menyebar pada beberapa kabupaten
dan kota di Sulsel. Produksi beras yang melimpah dan surplus setiap tahun sehingga
menjadi peluang bagi para pedagang untuk mensuplai ke wilayah di KTI yang
membutuhkan beras sebagai makanan pokok.
Perdagangan beras Sulsel dalam catatan sejarah juga mengalami masa jatuh
dan bangun. Pernah suatu waktu harga anjlok membuat para pedagang mengalami
kerugian. Pada tingkat petani juga sering mengalami kegagalan panen karena
serangan hama atau tanaman siap panen direndam banjir
Buku dengan judul, Keunggulan Komparatif Beras Sulsel ditulis oleh Rektor
Universitas Islam Makassar, Dr.lr. Hj. Majdah Muhyiddin Zain, M.Si menjelaskan faktor
penting teridentifikasi dalam kajian ini seperti ketersediaan, surplus daj harga beras,
serta pendapatan masyarakat di daerah tujuan merupakan daya tarik yang signifikan
dalam perdagangan beras antarpulau.
Faktor-faktor ini pada daerah asal tidak menjadi faktor yang signifikan. Selanjutnya,
faktor biaya transpor juga berpengaruh signifikan terhadap
volume perdagangan beras antarpulau dari Sulawesi selatan. Hasil kajian penulis dalam
disertasi yang ditulis sepanjang tahun 2006 masih tetap aktual dan facktual guna
mengamati dan mengikuti perkembangan perdagangan antar pulau terutama daya
saing beras Sulsel dan pasar domestik serta pasar antarpulau.
Buku ini cocok menjadi bahan referensi bagi pihak yang ingin melakukan studi
penelitian soal perdagangan beras serta beberapa kebijakan pemerintah pusat dan
daerah. Informasi yang diberikan cukup luas dengan data dari tahun ke tahun yang
cukup akurat.

Fahmis Pustaka

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS- v
KATA PENGANTAR GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN ~ ix
CATATAN PENERBIT ~ xii
DAFTAR TABEL ~ xvi
DAFTAR GAMBAR-xix
BAB1
Keunggulan Komparatif Beras Sulsel Sebuah Pengantar Awal
A. Perberasan daiam Perekonomian Nasional ~ 1
B. Perkembangan Perdagangan Beras Sulsel ~ 5
C. Mencari Jawab Keunggulan Komparatif Beras Sulsel ~ 7
BAB II
Tinjauan Teori Keunggulan Komparatif Beras Sulsel
A. Perdagagan Antardaerah dan Faktor Determinan ~ 16
B. Keunggulan Komparatif ~ 21
C. Kinerja Perdagangan Ukuran Daya Saing - 27
D.
E.
F.
G.
H.

Integrasi Pasar ~ 29
Efesiensi Pemasaran ~ 32
Studi Terdahulu ~ 34
Kerangka Konseptual ~ 43
Hipotesis ~ 45

BAB III
Perspektif Metode Keunggulan Komparatif Beras Sulsel
A. Waktu dan Lokasi ~ 47
B. Jenis dan Pengumpulan Data ~ 47
C. Metode Analisis ~ 48
1.
2.
3.
4.

Menganalisis Keunggulan Komparatif ~ 49
Kinerja Perdagangan Beras ~ 50
Efesiensi Perdagangan Beras ~ 52
Analisa Margin Lembaga Pemasaran Antar Pulau ~ 55

5. Faktor Pendorong dan Penarik Perdagangan Beras Antar Pulau ~ 55
6. Keterbatasan Studi ~ 55
BAB IV
Keunggulan Komparatif Beras Sulsel
A. Gambaran Umum Perberasan di Sulsel ~ 57
1.
2.
3.
4.

Pertanian dan Perekonomian Sulsel ~ 57
Potensi Produksi Beras ~ 62
Beras dalam Kehidupan Sosial Budaya ~ 65
Marketable Surplus Perdagangan Beras ~ 67

B. Analisa Perspektif Perdagangan Beras Antar Pulau ~ 71
1. Keunggulan Beras Sulsel ~ 73
2. Kinerja Perdagangan Beras * 82
C. Efesiensi Pemasaran ~ 95
1. Efesiensi Pemasaran Beras Sulsel ~ 99
2. Efesiensi Pemasaran Beras Antarpulau ~ 104
3. Faktor Pedorong dan Penarik Perdagangan Antarpulau ~ 123
BAB V
Simpulan dan Saran
A. Simpulan ~ 128
B. Rekomendasi ~ 130
Daftar Pustaka ~ 131
Tentang Penulis ~ 136

DAFTAR TABEL

Tabel 1.

Kontribusi Sektor Utama (Leading Sectors) pada Provinsi Sulawesi
Selatan, 1993-2002 - 6

Tabel 2.

Perkembangan Pengiriman Beras Antarpulau Provinsi Sulawesi Selatan
Perode 1990-2001 - 10

Tabel 3.

Hasil Integrasi Pasar Komuditas Beras dengan Pasar Acuan Pasar Induk
Cipinang Data Tahun 1999 ~ 39

Tabel 4.1.

Pertumbuhan Nilai Tambah Sektor dan Subsektor Pertanian Menurut
Periode Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan, Tahun 1976-2004 ~ 58

Tabel 4.2.

Luas Panen, Produksi dan Tingkat Produktivitas Padi Sulawesi Selatan
Tahun 2003 ~ 64

Tabel 4.3.

Surplus Minus Beras di Provinsi Sulawesi Selatan Oirinci Menurut
Kabupaten Tahun 2003 ~ 69
Hasil Analisis LQ (Location Quation) Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Terhadap Total Perekonomian Daerah Dirinci Menurut Provinsi di
Indonesia Tahun 1993-2003 ~
Hasil Analisis LQ (Location Quation) Komoditi Padi dan Palawija Sulawesi
Selatan terhadap Total Padi dan Palawija Indonesia Dirinci Menurut
Komoditi Tahun 1993-2003 ~ 77

Tabel 4.4.

Tabel 4.5.

Tabel 4.6.

Hasil Analisis LQ (Location Quation) Komoditi Padi dan Palawija Provinsiprovinsi di Indonesia terhadap Total Padi dan Palawija Indonesia Tahun
1993-2003 ~ 78
Tabel 4.7.
Jumlah Penduduk, Kebutuhan Komsumsi Beras dan Surplus Minus Beras
Provinsi-provinsi di Indonesia Tahun 2003 – 81
Tabel 4.8.
Volume Pengiriman Beras Antarpulau Menurut DaerahPelabuhan Tujuan,
Tahun 2003-2004 ~ 85
Tabel 4.9.
Pangsa Pasar Masing-masing Daerah Pengiriman pada Beberapa
Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia 2004 ~ 87
Tabel 4.10. Pola Distribusi Beras Dolog di Indonesia dan Beras Dolog Sulawesi
Selatan Berdasarkan daerah Tujuan di Indonesia Tahun 2000-2004 ~ 89
Tabel 4.11. Pengiriman Beras Antarpulau oleh Lembaga Swasta di Sulawesi Selatan,
Tahun 2005 ~ 91
Tabel 4.12. Indeks Konsentrasi Pasar (Antarpulau) Beras Sulawesi Selatan Tahun
2003-2004 - 94
Tabel 4.13. Elastisitas Transmisi Harga Beras Menurut Jenis Varietas Beras dalam
Pasar Beras Domestik di Sulawesi Selatan ~ 100

Tabel 4.14. Efisiensi Pemasaran Beras Berdasarkan Model Kawagoe dalam
Pemasaran Beras Domestik di Sulawesi Selatan ~ 103
Tabel 4.15. Integrasi Pasar Beras Sulawesi Selatan Menurut Harga Rata-Rata
Tertimbang dengan Berbagai Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras
Antarpulau di Indonesia ~ 105
Tabel 4.16.

Integrasi Beras Varietas IR. I Sulawesi Selatan dengan Berbagai Pasar
Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 107
Tabel 4.17. Integrasi Pasar Beras Kepala Spatial Sulawesi Selatan dengan
Berbagai Pasar daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di
Indonesia ~ 109
Tabel 4.18. Integrasi Pasar Beras Varietas Insinyur Sulawesi Selatan dengan Berbagai
Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 110
Tabel 4.19. Integrasi Pasar Beras Kepala Biasa Sulawesi Selatan dengan
Berbagai Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di
Indonesia ~ 111
Tabel 4.20. Integrasi Pasar Beras Varietas Mandi Sulawesi Selatan dengan Berbagai
Pasar daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 112
Tabel 4.21. Efisiensi
Pemasaran
Beras
Antarpulau
dengan Menggunakan
Model Kawagoe, Menurut Berbagai Daerah Tujuan Perdagangan Beras
Antarpulau di Indonesia ~ 114
Tabel 4.22. Pengaruh Intervensi Dolog Terhadap Ragam harga di Daerah Tujuan
Beras Antarpulau ~ 117
Tabel 4.23. Struktur Biaya Perdagangan Beras Antarpulau
Pedagang Beras Antarpulau, 2006 ~ 120

Menurut

Kategori

Tabel 4.24. Margin Pemasaran dan Keuntungan Lembaga Pedagang Beras
Antarpulau di Sulawesi Selatan Menurut Kategori Pedagang, 2006 ~122
Tabel 4.25. Faktor Pendorong dan Faktor Penarik Perdagangan Beras Antarpulau ~
126

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Saluran Distribusi Beras di Sulawesi Selatan 12

Gambar 2.

Fenomena Perdagangan Antar daerah Analisis Partial Equilibrium ~ 17

Gambar 3.

Gains Fron Trade (General Equilibrium) ~ 19 Gambar 4. Kerangka Pikir
Perpektif Perdagangan Beras Antarpulau ~ 45
Gambar 4.1. Rata-Rata Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Menurut
Kabupaten di Sulawesi Selatan Kurun Waktu 1993-2003 ~ 63
Gambar 4.2. Fluktuasi Produktivitas Padi di Kawasan BOSOWASIPILLI dan Daerah
Lainnya di Sulawesi Selatan Tahun 1994-2003 ~65
Gambar 4.3. Perkembangan Surplus Beras dan Pengiriman Beras Antarpulau Sulawesi
Selatan tahun 1995-2003 ~ 71
Gambar 4.4. Indeks LQ dan Tingkat Produksi dan Pertumbuhan Produksi Padi
MasingMasing Provinsi di Indonesia Tahun 2003 ~ 79
Gambar 4.5. Perkembangan Pengiriman Beras setiap Bulan di Sulawesi Selatan Tahun
1991-2004 ~ 83
Gambar 4.6. Volume Pengiriman Beras Dari Pelabuhan Parepare Dan Makassar
Menurut Daerah Tahun 2003-2004 ~ 86
Gambar 4.7. Perkembangan Rata-Rata Bulanan Harga Beras Konsumen di Berbagai
Daerah di Indonesia, Tahun 2003-2004 ~ 97
Gambar 4.8. Perkembangan Rata-Rata Bulanan Harga Beras Konsumen Menurut Jenis
Varietas Beras di Sulawesi Selatan 2002-2004 - 98
Gambar 4.9. Perkembangan Pengiriman Bulanan Beras Dolog Menurut Daerah Tujuan
Tahun 2002-2004 – 116
Gambar 4.10. Simulasi Dampak Peningkatan Volume Pengiriman Beras Dolog Ke Daerah
Tujuan 25% Terhadap Ragam Harga Di Daerah Tujuan -118

BABI
KENGGULAN KOMPARATIF BERAS
SULSEL SEBUAH PENGANTAR AWAL

A. Perberasan dalam Perekonomian Nasional
Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang strategis dalam kerangka
pembangunan nasional, karena memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) yakni sebesar 15,94 persen, dan sebagai penyerap
tenaga kerja terbesar dari total lapangan kerja nasional sebesar 44,34 persen (BPS
Indonesia, 2002). Bahkan banyak kalangan, sektor ini dinilai mencatat beberapa
keberhasilan di antaranya, turut memberikan kontribusi besar dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I yakni
sekitar ratarata 7,2 persen per tahun.
Dalam subsektor tanaman pangan kebijakan harga dan distribusi beras yang
terkendali juga dipandang turut memberikan kontribusi yang signifikan dalam menekan
laju inflasi, sementara dari aspek produksi, melaiui gerakan "revolusi hijau" dengan
paket intensifikasi subsektor tanaman pangan mampu menciptakan peningkatan
produksi dan produktivitas beras nasional.
Data menunjukkan laju pertumbuhan produksi beras nasional yang tinggi terutama
terjadi pada periode 19791983 yakni ratarata 7,73 persen dan laju pertumbuhan
produktivitas mencapai 6,61 persen per tahun (Simatupang,1999), sehingga pada
periode ini, sub sektor pertanian tanaman pangan diakui secara luas mencatat
keberhasilan gemilang dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, dan
keberhasilan ini mengantar Presiden Rl, Soeharto menerima penghargaan FAO pada
konferensi pangan tingkat tinggi di Roma, Italia. (Arifin, 2004:7).
Keberhasilan ini merupakan kebanggaan Indonesia di mata internasional. Karena
sektor pertanian menjadikan bangsa Indonesia mampu memenuhi sendiri kebutuhan
pangannya dan atau menjadi dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa
yang mampu mengekspor beras. Walaupun keberhasilan swasembada ini tampaknya
sulit dipertahankan dan hanya berlangsung hingga pertengahan tahun 1990an. Bahkan
menurut data FAO, sejak memasuki tahun 2000 Indonesia merupakan negara
pengimpor beras terbesar dunia (Krisnamurthi, 2003).

Belajar dari perjalanan panjang proses pembangunan nasional, tampaknya
keberhasilan sektor pertanian yang pernah dicapai, belum bermuara pada peningkatan
kesejahteraan, sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada
sektor ini. Hal ini terlihat dari rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian
yakni secara nasional hanya Rp. 1,69 juta per TK/thn, sedangkan produktivitas TK
sektor lainnya ratarata Rp. 4,66 juta per TK/thn (BPS, 2003). Bahkan berdasarkan data
Susenas tahun 1999, tercatat bahwa sektor pertanian menampung 55,26 persen dari
total poverty insidence di Indonesia, dan dari jumlah tersebut proporsi terbesar (75,29
persen) merupakan petani tanaman pangan.
Demikian pula pencapaian keberhasilan swasembada melalui gerakan revolusi
hijau dengan paket intensifikasi yang pada awalnya mampu menciptakan lompatan
peningkatan produksi dan produktivitas beras nasional, namun lebih dari sepuluh tahun
terkhir produksi beras nasional berada pada tahap kejenuhan (saturation growth).
Statistik menunjukkan selama periode 19941998 produksi dan produktivitas padi
memiliki laju pertumbuhan secara negatif yakni masingmasing minus 0,69 persen per
tahun dan minus 0,40 persen per tahun (Simatupang, 1999). Bahkan tidak sedikit
kalangan menilai bahwa pembangunan pertanian melalui gerakan "revolusi hijau" justru
menimbulkan kerusakan pada keseimbangan ekologi dan degradasi

kesuburan sumberdaya lahan pertanian
sumberdaya pertanian (Soepardi, 2000).

sehingga

mengancam sustainability

Dengan demikian pembangunan pertanian tanaman subsektor pangan, khususnya
tanaman padi menghadapi tantangan yang cukup besar. Tantangan tersebut bukan
saja bersumber dari sisi suplai, tetapi juga dari sisi permintaan, baik kecenderungan
domestik maupun kecenderungan global, Dari sisi demand tantangan ini sejalan
dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, sehingga memberikan
konsekuensi logis dibutuhkannya jumlah produksi yang lebih banyak dan kualitas
produksi yang lebih baik.
Tantangan lain dari sisi ini adatan ciri permintaan yang bersifat inelastis1 (sebagai
konsekuensi dari beras sebagai pangan pokok 90 persen penduduk) sehingga harga dapat
melambung tinggi pada masamasa sulit memperoleh beras. Namun peningkatan harga
konsumen seperti ini biasanya tidak diikuti oleh harga di tingkat produsen, dengan kata
lain, elastisitas transmisi harga dari konsumen ke produsen sangat kecil, (Arifin,2004:
94). Penyebabnya adalah tidak saja berkaitan ciri suplai respons yang lamban, tetapi
juga sistem pemasaran dengan mata rantai yang panjang serta struktur pasar yang
belum kompetitif.
Dari sisi lain suplai beras dalam negeri bersifat musiman, tidak merata sepanjang
tahun. Fluktuasi produksi ini akan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga yang
menyebabkan petani cenderung menerima harga yang tidak wajar. Walaupun
sesungguhnya pemerintah telah menerapkan kebijakan harga, yang bertujuan
melindungi petani, namun sejak pertengahan 80 an harga dasar gabah tidak dapat
dinikmati secara efektif oleh petani (Supriyati et.al., 1998).
Sementara di lain pihak harga berbagai faktor produksi yang terus meningkat
menyebabkan nilai tukar petani (term oftrade) yang semakin mengecil. Selain itu
terbatasnya infrastruktur, buruknya sistem distribusi, lemahnya kelembagaan petani,
serta absorpsi teknologi yang rendah menyebabkan nilai tambah serta efisiensi
produksi dan pemasaran

belum mampu diciptakan, sehingga petani tetap diposisikan sebagai pihak yang lemah
dalam tawar menawar.
Tantangan tersebut tentu akan semakin kompleks terutama setelah memasuki era
millenium ketiga yang ditandai oleh semakin terbukanya perdagangan antarnegara
sebagai salah satu ciri era hiperkompetitif. Terbukanya peluang barang impor masuk ke
pasar domestik menuntut daya saing produk dalam negeri, tantangan ini tentu dapat
berimplikasi jauh terhadap produksi dalam negeri, tidak hanya mengenai jumlah

produksi tetapi juga tentang kualitas produksi, yang mampu berkompetisi.
Dari uraian di atas tergambar bahwa pembangunan pertanian tanaman pangan
khususnya beras yang diharapkan bermuarah pada peningkatan kesejahteraan petani,
serta menjadi landasan perekonomian Regional dan Nasional yang kuat. Hal seperti itu
memerlukan kebijakan yang tepat tidak hanya dalam bidang produksi dan pemasaran,
tetapi juga tidak kalah pentingnya dalam upaya meningkatkan kualitas produksi dengan
biaya produksi yang rendah sehingga memiliki daya saing dalam rangka mengantisipasi
pasar global dan tuntutan pasar domestik.
Peningkatan daya saing produk beras memang tidak mudah, karena terkait semua
sektor (input, produksi, pengolahan, dan pemasaran) serta terkait kebijakan yang
mampu memberikan solusi yang saling menguntungkan bagi semua pelaku pasar.
Karena itu, peningkatan daya saing merupakan kata kunci yang strategis dalam rangka
membangun sektor pertanian di daerahdaerah sentra produksi. Sulawesi Selatan
sebagai salah satu daerah penghasil beras terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
tentu sangat memerlukan upaya peningkatan daya saing beras sebagai salah satu
komoditi utama. Peningkatan daya saing komoditi andalan Sulawesi Selatan ini,
diharapkan tidak hanya untuk memenuhi tuntutan permintaan akan kualitas beras,
tetapi juga agar lebih mampu berkompetisi pada pasar beras domestik, khususnya
berbagai pasar tradisionalnya di berbagai daerah di KTI (pasar antar pulau), serta untuk
mengantisipasi tantangan perdagangan global.

B. Perkembangan Perdagangan Beras Sulsel
Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional, dan secara
historis masyarakat Sulawesi Selatan sejak abad XVI sudah melakukan aktivitas
perdagangan antarpulau termasuk perdagangan beras, melalui pelabuhan Makassar
dan Parepare (Padindang, 1989). Dalam aktivitas perdagangan antar pulau, daerah ini
telah mensuplai kebutuhan beras ke berbagai wilayah, khususnya di KTI seperti
Kalimantan, NTT, NTB, Sultra, Ambon, Papua, dan lain-lain baik melalui mekanisme
distribusi Dolog (mekanisme Movenas), maupun melalui aktivitas perdagangan
antarpulau yang diperankan oleh swasta.
Bahkan saat ini dapat menembus pasar beras Pulau Jawa yang selama ini
menyandang predikat sebagai daerah yang memiliki produktivitas tertinggi penghasilan
beras. Tercatat pada tahun 2000 jumlah beras yang diperdagangkan antarpulau
mencapai 291.679 ton dan pada tahun 2003 berjumlah sekitar 350.000 ton, sedangkan
distribusi oleh Dolog melalui mekanisme Movenas sebanyak 100.000 ton pada tahun
2001.
Aktivitas perdagangan antarpulau beras dari Sulawesi Selatan yang sudah
berkembang sejak abad XVI, secara sepintas memang sangat memungkinkan, karena
daerah ini ditunjang oleh faktor endowment berupa tersedianya sumberdaya lañan
pertanian yang cukup besar dan subur sehingga mampu menghasilkan surpuls beras
sekitar 1,1 juta ton per tahun (BPS Sulsel, 2001). Juga ditunjang oleh posisinya yang
strategis sebagai pintu gerbang perdagangan di KTI yang dilengkapi infrastruktur
perdagangan yang cukup memadai.
Selain itu karakter masyarakatnya dikenal sejak lama memiliki jiwa saudagar,
bahkan sejarah mencatatnya bahwa aktivitasnya pernah mencapai hingga ke
Madagaskar. Dari semua faktor tersebut telah banyak memberikan kontribusi yang
berarti dalam mendorong intensitas perdagangan antarpulau.
Perdagangan beras antarpulau ini tentunya, turut memberikan kontribusi dalam
pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan, mengingat perekonomian daerah ini memang
masih bertumpu pada nilai tambah
sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Selatan
sebesar 38,15 persen, dan dari total sumbangan sektor pertanian tersebut sekitar 63,69
persen disumbangkan subsektor tanaman pangan.
Adapun sektor perdagangan merupakan sektor yang terbesar kedua kontribusinya
dalam PDRB setelah pertanian yaitu sebesar 16,19 persen. Selanjutnya, pada tahun
2002 terlihat kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 33,54 persen (demikian pula
subsektor tanaman pangan turun menjadi 54,10 (persen), sedangkan sektor
perdagangan menunjukkan trend peningkatan menjadi 18,19 persen.

Tabel 1 Kontribusi Sektor Utama (Leading Sectors) pada PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, 1993-2002
Sektor
(1993=100)
Pertanian
(T.B.Makanan)
Perd.Htl, Rest
Jasa-jasa lain
Ind. Peng.
Angk.& kom
Sulsel

1993
38,15
(63,69)
16,19
12,18
11,63
5,76
83,91

Tahun/% Proporsl
1996
1999
2000
38,58
36,51
34,84
(62,74) (57,91) (56,02)
14,76
16,8
16,81
11,48
11,46
12,63
11,43
12,61
12,94
6,00
7,75
7,94
82,25
85,13
85,16

2002
33,54
(54,10)
18,19
12,05
12,54
8,57
84,89

Sumber: BPS Sulawesi Selatan.

Perubahan yang terjadi dalam struktur perekonomian Sulawesi Selatan
menunjukkan semakin pentingnya peran sektor perdagangan. Peran sektor
perdagangan ini menjadi sangat penting tidak hanya dalam mendorong mobilitas
sumberdaya antardaerah tetapi juga menciptakan nilai tambah komoditas yang
diperdagangkan serta menciptakan lapangan kerja.
Data statistik menunjukkan bahwa selama tahun 1995-1999, sektor perdagangan
merupakan penyerap tenaga kerja terbesar kedua setelah sektor pertanian yakni
berkisar 14,0116,31 persen dari total tenaga kerja yang diserap pasar. Dengan
demikian tergambar jelas bahwa aktivitas produksi pertanian (terutama produksi padi)
serta aktivitas perdagangan termasuk, perdagangan berassecara domestik dan
antarpulau memberikan
C. Mencari Jawab Keunggulan Komparatif Beras Sulsel
Sektor pertanian dan sektor perdagangan, sesungguhnya memiliki potensi yang
besar untuk dikembangkan, namun kinerja kedua sektor tersebut memiliki pertumbuhan
yang lamban dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian Sulawesi
Selatan. Selama periode 1993-2002 sektor pertanian tumbuh ratarata 2,98 persen per
tahun, dan sektor perdagangan tumbuh ratarata 6,59 persen per tahun sedangkan
pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan tumbuh ratarata 4,77 persen per tahun.
Bahkan dalam periode 1997-2003 yang dikenal sebagai periode krisis ekonomi
yang diawali dari krisis moneter berupa anjloknya nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing (exchange rate). Periode ini sesungguhnya menguntungkan sektor pertanian dan
dapat menggairahkan kegiatan perdagangan ekspor, karena daya saing komoditas
pertanian secara relatif justru meningkat. Namun kenyataannya pertumbuhan kedua
sektor tersebut justru lebih kecil dari pada pertumbuhan periode sebelumnya.
Gambaran kinerja perekonomian tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian dan
sektor perdagangan sebagai penyumbang terbesar dalam struktur PDRB belum mampu
menjadi engine power bagi pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Demikian pula
belum mampu mengangkat pendapatan per kapita masyarakat, khususnya yang bekerja

di sektor ini serta mengentaskan penduduk miskin khususnya yang berada di subsektor
tanaman pangan.
Ketidakmampuan sektor pertanian menjadi motor penggerak perekonomian
Sulawesi Selatan, tentu salan satu penyebabnya adalah pola dan struktur
keterkaitannya yang lemán dan tidak berimbang baik keterkaitan sektoral, maupun
keterkaitan spatial/regional. Akibatnya sektor pertanian tidak mampu menciptakan
spread effect2 secara
sektoral maupun secara spatial, justru yang terjadi adalah terciptanya backwash effece
sehingga produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin kecil dan semakin
banyak penduduk miskin terutama di subsektor tanaman pangan serta semakin
terjadinya degradasi berbagai sumberdaya pertanian.
Menurut Arifin (2004: 2) bahwa indikasi fase buruk sektor pertanian sebenarnya
telah muncul sejak 1990an ketika kebijakan teknokrasi pembangunan ekonomi
mengarah pada strategi industrialisasi footloose3 secara besarbesaran. Berbagai
proteksi untuk sektor industri memang mendorong pertumbuhan pesat sektor ¡ni,
namun merapuhkan basis pertanian di tingkat paiing dasar (petani di pedesaan).
Menurutnya dampak paiing buruk proses industrialisasi adalah tidak meratanya
pembangunan antara pedesaan dan perkotaan, bahkan antara Jawa dan luar Jawa
secara umum. Gambaran ini menunjukkan bahwa, bagaimana kebijakan makro
ekonomi selama fase dekonstruksi pertanian, karena sektor pertanian mengalami fase
pengacuhan (ignorance) dalam periode 1986-1997 (Arifin,2004 p 8). Sektor pertanian
yang berbasis di pedesaan diacuhkan, bahkan mungkin "terkuras" demi mewujudkan
proses industrialisasi di perkotaan. Guna menghindari proses backwash effect yang
berlarutlarut, maka sektor pertanianpedesaan harus mampu memiliki keterkaitan yang
bersifat simetris (kuat dan berimbang) membentulk hubungan mutualisme yang saling
menguntungkan sehingga hargaharga (term of trade) antar komoditas dan antarwilayah
menjadi lebih berimbang.
Membangun sektor pertanian yang memiliki keterkaitan kuat dan berimbang secara
sektoral maupun secara regional bukanlah hal yang mudah, karena hal tersebut
berkaitan dengan kemampuan membangun daya saing tidak hanya dalam pasar
domestik, tetapi juga dalam pasar antarpulau dan pasar global. Membangun pertanian,
khususnya komoditas beras yang berdaya saing (murah, kualitas, dan aksesibilitas)
tentulah menghadapi banyak tantangan karena terkait banyak faktor dan
multidimensional.
Tantangan perberasan bukan hanya dari aspek produksi, tetapi juga terkait pasar
dan pemasarannya. Dari aspek produksi, komoditas ini rentan terhadap resiko alam
sehingga sering tidak hanya menurunkan produksi dan produktivitas, tetapi juga
menurunkan kualitas produksi, sehingga mempengaruhi daya saing. Selain itu harga
harga faktor produksi, yang terus meningkat serta terbatasnya infrastruktur dan
absorpsi teknologi yang rendah di tingkat petani menyebabkan efisiensi produksi belum

tercapai. Hal ini tentu akan berdampak pula terhadap rendahnya daya saing produksi
beras dari segi harga dan kualitas.
Efisiensi pemasaran juga tampaknya belum mampu diwujudkan oleh lembagalembaga pemasaran, baik karena terkait struktur pasar yang tidak kompetitif, juga
terkait dengan faktor lainnya seperti infrastruktur pemasaran yang belum memadai,
hambatan tarlf dan non tarif di berbagai daerah yang menyebabkan munculnya
biayabiaya transaksi yang tidak seharusnya sehingga mengarah terciptanya pemasaran
biaya tinggi [hight cost). Kondisi ini menyebabkan harga komoditas beras menjadi lebih
tinggi sehingga tidak kompetitif dalam perdagangan antarpulau.
Daya saing komoditas beras dalam perdagangan antarpulau juga terkait dengan
kondisi pasar global. Terbukanya peluang beras impor masuk dalam pasar domestik
menyebabkan beras impor yang murah membanjiri pasar domestik sehingga wilayah
pemasaran komoditas andalan Sulawesi Selatan ini menjadi menyempit. Akibat
penyempitan pasar tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap turunnya aktivitas
perdagangan beras antarpulau, tetapi juga berdampak pada iklim usaha perberasan
yang kurang sehat di Sulawesi Selatan baik di tingkat petani, pedagang pengumpul,
penggilingan maupun di pedagang besar, dan pedagang antarpulau.
Pada tahun 1995 perdagangan beras antarpulau, mendekati 1 juta ton (Fajar. 1
November 2003), akan tetapi sejak di bukanya kran impor pada tahun 1999
menyebabkan volume perdagangan beras antarpulau turun secara tajam. Pada tahun
2000 volume perdagangan beras antarpuiau hanya sebesar 291.679 ton dan pada
tahun 2003 sekitar 350.000 ton, baik melalui mekanisme Dolog (movenas) maupun
melalui sektor swasta. Statistik pengiriman beras antar pulau dari Provinsi Sulawesi
Selatan, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan pengiriman beras selama periode
1990-2001 mengalami pertumbuhan negatif sebesar (32,46 persen)
Tabel 2. Perkembangan Pengiriman Beras Antarpuiau Provinsi Sulawesi Selatan Periode 1990-2001
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Bulan
Janurari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Sulsel

1990
13.834
17.451
20.663
20.387
33.481
45.559
45.729
41.504
40.442
45.247
41.356
32.350
398.003

Tahun (Ton)
1995
2001
63.038
30.200
61.418
45.806
62.687
15.495
67.174
28.583
78.710
19.576
84.572
17.956
83.474
12.842
84.334
18.159
81.505
29.638
97.097
23.262
89.179
15.727
91.816
11.566
945.004
268.810

Sumber; Dinas Pertanian Proplnsi Sulawesi Selatan, 2002

Berdasarkan gambaran kinerja perdagangan beras antarpuiau Sulawesi Selatan,
menunjukkan bahwa dalam kondísi pasar beras antarpuiau yang terbuka (kompetitif),
maka pasar beras Sulawesi Selatan ke berbagai pasar tradisionalnya dengan tujuan
antar pulau menyempit. Penyempitan pasar ¡ni, mengindikasikan lemahnya daya saing
beras Sulawesi Selatan dalam kondísi pasar yang kompetitif. Dengan demikian, maka
benang merah permasalahan sektor perberasan di Sulawesi Selatan adalah rendahnya
daya saing komoditas beras (tidak kompetitif dari segí harga dan kualitas) dalam pasar
domestik maupun dalam pasar antarpuiau sehingga komoditas iní belum mampu
memberi nilai tambah (manfaat) yang signifikan terhadap perekonomian Sulawesi
Selatan.
Untuk mengatasi hal tersebut, tentu perlu pengkajian secara mendalam dan
komprehensif mengenai aspek daya saing komoditas beras dalam pasar antarpuiau.
Daya saing yang tinggi apabila memilikl kemampuan mendayagunakan keunggulan
komparatifnya serta menghasílkan produk yang sesuai dengan preferensi konsumen
(Saragih, 2001: 85), serta tidak adanya hambatanhambatan dalam pemasarannya
(Salvatore, 1997:27).
Keunggulan komparatif yang dimaksud adalah mampu mendayagunakan
potensinya untuk menjamin ketersediaan beras secara tepat jumlah dan tepat waktu.
Kesesuaian preferensi konsumen yang dimaksud adalah kemampuan menghasílkan
beras yang memiliki kualitas dan harga yang sesuai selera konsumen, tidak adanya
hambatan pemasaran dimaksudkan untuk menjamin lancarnya aktivitas perdagangan
ke berbagai daerah tujuan (aksesibilitas tinggi) serta mampu menjamin stabilitas harga.
Secara histroris perdagangan beras antarpuiau Sulawesi Selatan melalui dua jalur.
Jalur pertama adalah jalur swasta. Jalur ini memiliki rantai tataniaga yang cukup
panjang dari titik produsen hingga ke titik konsumen di pasar antarpuiau. Jalur kedua
adalah melalui mekanisme pengiriman Dolog. Jalur ini meskipun manajemennya bersifat
sentralistilk, namun banyak mengaku memiliki tingkat kerapían dalam delivery system
yang diterapkan. Berikut ini díuraikan perbedaan rantai tataniaga beras di Indonesia
berdasarkan jalur swasta dan jalur Dolog (Arifin,2004:65).

The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. I f the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.

Gambar 1. Saluran Distribusi Beras di Sulawesi Selatan dan Indonesia

Setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam mata rantai perdagangan beras di
Sulawesi Selatan ini, termasuk petani, tentulah turut berkontribusi untuk menentukan
daya saing beras Sulawesi Selatan dalam pasar beras antarpulau. Dukungan
agroekologi serta kemajuan teknologi di tingkat petani mendorong peningkatan efisiensi
produksinya sehingga beras dapat diproduksi dengan "harga pokok" yang rendah
(keunggulan komparatif), infrastruktur pengolahan beras juga merupakan oosisi kunci
dalam menghasilkan "kualitas beras" yang sesuai dengan preferensi konsumen.
Demikian pula pedagang perantara lainnya dengan manajemen pemasaran yang
baik serta dengan jaringan bisnis dan informasi yang luas sangat mendukung daya
saing beras Sulawesi Selatan dalam pasar beras antarpulau. Demikian rendahnya
pungutan-pungutan yang tidak perlu (transaction cost) sehingga "efisiensi pemasaran"
dapat diwujudkan untuk meningkatkan daya saing beras dalam perdagangan beras
antarpulau.
Kajian daya saing beras Sulawesi Selatan dalam pasar antarpulau

kemampuan komoditas. Hal ini untuk memenuhi preferensi konsumen yang tercermin
dari kemampuan memperluas pasarnya, serta kajian secara seksama berbagai hal yang
dapat menghambat dan menyebabkanterjadinya marketfailure sehingga proses
pemasarannya menjadi tidak efisien.
Aspek pemasaran ini tidak hanya berkaitan struktur pasar, tetapi juga berkaitan
dengan pe rila ku pedagang yang terlibat dalam mata rantai
pemasaran, serta aspekaspek lainya yang dapat meningkatkan biaya-biaya
transaksi (transaction cost) sehingga pemasaran menjadi tidak efisien dan dapat
menurunkan daya saing komoditi beras dalam perdagangan antarpulau. Berdasarkan
uraian panjang tersebut, maka permasalahan penelitian yang dirumuskan sebagai
berikut.
Sulawesi Selatan sebagai penghasil surplus beras yang besar di KTI, berpotensi
untuk memberi kontribusi besar dalam perekonomian daerah, melalui aktivitas
perdagangan beras antar pulau. Akan tetapi volume perdagangan beras antarpulau
mengalami kemerosotan. kemerosotan ini terutama terjadi karena adanya penyempitan
pasar beras Sulawesi Selatan di berbagai pasar antar pulau sejak terbukanya kran
Impor beras di tahun 1988.
Penyempitan pasar tersebut sekaligus menunjukkan rendahnya daya saing beras
Sulawesi Selatan di berbagai pasar beras antarpulau dalam kondisi pasar yang
kompetitif. Ketidak mampuan beras Sulawesi Selatan untuk berkompetisi ini,
disebabkan beberapa faktor yakni (1) Keunggulan komparatif Sulawesi Selatan dalam
menghasilkan beras tidak dapat dimanfatkan secara optimal sehingga efisiensi produksi
belum mampu diwujudkan, yang kemudian berdampak pada harga pokok beras yang
kurang kompetitif. (2) Kualitas beras Sulawesi Selatan belum mampu memenuhi
tuntutan konsumen dan (3) efisiensi pemasaran belum mampu diwujudkan.
Ketidak efisienan pemasaran ini, tidak hanya berkaitan besamya margin
pemasaran, sehingga harga beras Sulawesi Selatan kurang kompetitif, tetapi juga
berkaitan struktur pasar yang oligopolis sehingga petani pun diposisikan sebagai pihak
yang lemah dalam mata rantai pada pendapatan petani yang tetap rendah, tetapi juga
berdampak pada kurang bergairahnya ekonomi pedesaan sehingga mempengaruhi
perekonomian Sulawesi Selatan secara keseluruhan.
Dengan menganalisis secara tajam pada aspekaspek tersebut diharapkan dapat
menjawab tingkat daya saing komoditas beras dalam perdagangan antarpulau
sekaligus memberi indikator arahan (strategi pengembangan daya saing) agar usaha
perberasan di Sulawesi Selatan sebagai salah satu komoditas andalan dapat
memberikan kontribusi yang bermakna bagi perekonomian Sulawesi Selatan.
Mengetahui permasalahan di atas perlu dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
Pertanyaan umum 1: Apakah komoditas beras Sulawesi Selatan memiliki

keunggulan komparatif dalam perdagangan beras antarpulau?
- Pertanyaan khusus (a) Apakah beras memiliki keunggulan komparatif untuk
dikembangkan di Sulawesi Selatan dibandingkan komoditas tanaman pangan
lainnya?
- Pertanyaan khusus (b) Apakah Sulawesi Selatan memiliki keunggulan
komparatif menghasilkan komoditas beras dibandingkan provinsiprovinsi lainnya
di Indonesia?
Pertanyaan umum 2: Bagaimana kinerja perdagangan komoditi beras Sulawesi
Selatan di pasar daerah tujuan antarpulau?.
- Pertanyaan khusus (a) Bagaimana pangsa beras Sulawesi Selatan pada setiap
pasar daerah tujuan antarpulau dibandingkan pangsa beras yang di
perdagangkan provlnsiprovpinsi lainnya
- Pertanyaan khusus (b) Apakah komoditas beras Sulawesi Selatan memiliki
penyebaran pasar antarpulau atau hanya terkonsentrasi pada satu atau
beberapa pasar saja?
Pertanyaan umum 3: Apakah tataniaga beras Sulawesi Selatan secara domestik
dan antarpulau sudah efisien?
- Pertanyaan khusus (a) Seberapa besar perubahan haiga di tingkat konsumen
dapat ditransmisikan ke harga tingkat produsen?
- Pertanyaan khusus (b) Apakah harga konsumen beras pada masingmasing
daerah tujuan perdagangan beras antar pulau dapat ditransmisikan secara
sempurna ke pasar beras Sulawesi Selatan?
- Pertanyaan khusus (c) Apakah struktur pasar dalam perdagangan beras
mengindikasikan adanya kekuatan oligopsonis sehingga pemasaran beras tidak
efisien?
Pertanyaan umum 4: Faktor-faktor apa yang menjadi faktor pendorong dan
faktor penarik perdagangan beras antarpulau.

BAB II
TINJAUAN TEORI PERDAGANGAN
BERAS ANTARULAU DAN
KEUNGGULAN KOMPARATIF
A. Perdagangan Antardaerah dan Faktor Determinannya
Teori ekonomi klasik menjelaskan bahwa pendorong terjadinya pergerakan barang
dari suatu daerah ke daerah lain adalah adanya perbedaan harga yang merupakan
mekanisme dinamis pasar dalam mencapai terjadinya keseimbangan. Bekerjanya
mekanisme pasar didorong oleh adanya perbedaan permintaan dan penawaran pada
setiap wilayah (Sobri, 2001:23). Perbedaan kuantitas permintaan (berdasarkan tingkat
kualitas tertentu suatu barang) disebabkan oleh sejumlah faktor determinan seperti
jumlah penduduk, pendapatan, kesukaan dan sebagainya. Perbedaan penawaran
disebabkan oleh ketidaksamaan faktorfaktor produksi, kondisi geografis, dan budaya
masyarakat.
Perbedaan tingkat permintaan dan penawaran suatu komoditasyang menyebabkan
terjadinya perdagangan antardaerah berkisar pada tiga faktor utama yaitu: (1)
perbedaan tingkat kelangkaan barang (scarcity), (2) perbedaan faktor produksi
perbedaan faktorfaktor produksi yang menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas di
tiap daerah dan. (3) perbedaan harga komparatif barang (Sobri, 2001: 6).
Perbedaan ketiga faktor tersebut pada setiap- wilayah, sekaligus mencerminkan
adanya perbedaan keunggulan komparatif (comparative adventages) pada
masingmasing wilayah dalam menghasilkan barang t