BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Initial Public Offering - Pengaruh Variabel Keuangan dan Non Keuangan terhadap Underpricing pada Saham Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (Periode Januari 2007 sampai dengan Juni 201

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Initial Public Offering

  Menurut

  Black’s Law Dictionary dalam buku “Go Public dan Go Private di Indonesia” (Widjaja & Risnamanitis, 2009), definisi IPO adalah: “A company’s first public sale of stock; the first offering of an issuer’s equity securities to the public through a registration statement.”

  Sedangkan definisi go public adalah:

  “The process of a company’s selling stock to the investing public for the first time (after filling a registration statement under applicable securities law) there by becoming a public corporation.”

  Menurut Widjaja & Risnamanitis (2009), istilah go public (penawaran umum) adalah istilah hukum yang ditujukan bagi kegiatan suatu emiten untuk memasarkan dan menawarkan, pada akhirnya menjual efek-efek yang diterbitkannya, baik dalam bentuk saham, obligasi ataupun efek lainnya kepada masyarakat luas. Dengan demikian, penawaran umum tidak lain adalah kegiatan emiten untuk menjual efek yang dikeluarkan kepada masyarakat, yang diharapkan akan membeli dan dengan demikian memberikan pemasukan dana kepada emiten, baik untuk mengembangkan usahanya, membayar utang ataupun kegiatan lainnya. Penawaran Umum Perdana (IPO) merupakan suatu persyaratan yang harus dilakukan bagi emiten yang baru pertama kali menjual sahamnya di bursa efek.

  Menurut Widoatmodjo (2009), proses penawaran umum saham dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu:

1. Tahap persiapan

  Tahapan ini merupakan tahapan awal dalam rangka mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penawaran umum. Pada tahap yang paling awal ini perusahaan yang akan menerbitkan saham, terlebih dahulu melakukan pemegang saham dalam rangka penawaran umum saham. Setelah mendapat persetujuan, selanjutnya emiten melakukan penunjukan penjamin emisi serta lembaga dan profesi penunjang pasar, yaitu: a.

  Penjamin Emisi (underwriter) merupakan pihak yang paling banyak keterlibatannya dalam membantu emiten dalam rangka penerbitan saham.

  Kegiatan yang dilakukan penjamin emisi antara lain menyiapkan berbagai dokumen, membantu menyiapkan prospektus, dan memberikan penjaminan atas penerbitan.

  b.

  Akuntan Publik (Auditor Independen) bertugas melakukan audit atau pemeriksaan atas laporan keuangan calon emiten.

  c.

  Perusahaan penilai melakukan penilaian terhadap aktiva tetap perusahaan dan menentukan nilai wajar dari aktiva tetap tersebut. Tujuan penilaian adalah untuk mengetahui nilai wajar suatu aktiva perusahaan pada saat tertentu, baik berwujud maupun tidak berwujud, untuk dipergunakan sebagai dasar dalam penawaran efek melalui pasar modal. Nilai wajar maksudnya adalah nilai yang lazim dipergunakan oleh perusahaan penilai.

  d.

  Konsultan Hukum untuk memberikan pendapat dari segi hukum (legal opinion ) mengenai dokumen perusahaan.

  e.

  Notaris untuk mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perusahaan.

  Pada tahap ini, calon emiten mengajukan pernyataan pendaftaran dengan melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan kepada Bapepam-LK. Seluruh dokumen dievaluasi dan dilakukan inventarisasi atas kelengkapan dokumen, kejelasan informasi, keterbukaan, aspek hukum, akuntansi, keuangan dan manajemen dengan ketentuan yang harus dipenuhi sebagai berikut: a.

  Bentuk dan isi pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum; b. Surat pengantar untuk pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum; c.

  Ketentuan umum pengajuan pernyataan pendaftaran.

  Dalam tiga puluh hari kerja, Bapepam-LK akan memberikan tanggapan atas pernyataan pendaftaran yang diajukan oleh calon meiten. Jika semua dokumen dinilai lengkap dan mengandung kebenaran serta kejelasan, maka pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif. Selanjutnya perusahaan sudah bisa mulai membuat prospektus.

  Prospektus adalah setiap pernyataan atau informasi yang digunakan untuk penawaran efek dengan maksud memengaruhi pihak lain untuk membeli atau memperdagangkan efek. Penyusunan prospektus berpedoman pada keterbukaan sesuai dengan ketentuan Bapepam-LK. Meskipun prospektus dibuat dengan sangat menarik, tidak ada yang menjamin kebenaran isi prospektus tersebut. Oleh karena itu, Bapepam-LK perlu menyatakan dalam setiap prospektus yang dikeluarkan emiten bahwa lembaga tersebut tidak menjamin kebenaran isi prospektus. a.

  Jadwal proses go public b. Sejarah singkat perusahaan c. Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga (AD / ART) d. Para pengelola (komisaris dan direksi) e. Struktur organisasi f. Pendapat dari konsultan hukum g.

  Pendapat dari penilai h. Laporan keuangan yang sudah diaudit akuntan publik 1.

  Neraca 2. Laporan Laba / Rugi 3. Laporan Perubahan Modal i. Proyeksi yang dirinci per tahun j. Kebijaksanaan dividen yang akan diambil emiten k.

  Risiko yaitu kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan perusahaan tidak berhasil mencapai proyeksi sehingga menyebabkan investor merugi.

3. Tahap penawaran saham

  Tahapan ini merupakan tahapan utama, karena pada waktu inilah emiten menawarkan saham kepada masyarakat investor. Investor dapat membeli saham tersebut melalui agen-agen penjual yang telah ditunjuk. Masa penawaran sekurang-kurangnya tiga hari kerja.

  Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan penawaran saham, yaitu: a.

  Mempublikasikan prospektus Investor dapat mengetahui kondisi perusahaan sehingga dapat memutuskan apakah membeli surat berharga yang ditawarkan atau tidak. Untuk mempublikasikan prospektus dapat dilakukan dengan cara, antara lain mengiklankan secara lengkap di surat kabar nasional dan melakukan public

  expose.

  b.

  Melakukan penawaran perdana Investor mulai bisa membeli saham, inilah yang dimaksud membeli di pasar perdana. Membeli saham di pasar perdana tetap harus melalui perusahaan pialang.

  c.

  Penjatahan efek Hal ini diperlukan jika permintaan melebihi persediaan yang ada. Selain itu juga untuk menghindari efek jatuh kepada sedikit investor, sebab semakin sedikit investor yang memegang efek, maka akan semakin tidak likuid efek tersebut di pasar sekunder.

  d.

  Refund Yaitu pengembalian uang investor. Ini terjadi jika dalam penjatahan efek, investor tersebut tidak mendapatkan jatah. Misalnya, harga saham Rp. 1.000, investor A menyetor Rp. 1 juta untuk mendapatkan 1000 lembar saham. Ternyata investor A hanya kebagian 500 lembar, maka sisa uang Rp. 500.000 dikembalikan pada periode ini.

  Setelah selesai penjualan saham di pasar perdana, selanjutnya saham tersebut dicatatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Adapun langkah-langkah yang harus dilalui dalam masa pencatatan saham di BEI, yaitu: 1.

  Emiten mengajukan permohonan pencatatan ke bursa sesuai dengan ketentuan pencatatan efek di BEI.

  2. Bursa melakukan evaluasi berdasarkan persyaratan pencatatan.

  3. Jika memenuhi persyaratan pencatatan, bursa memberikan surat persetujuan pencatatan.

  4. Emiten membayar biaya pencatatan (listing fee).

  5. Bursa mengumumkan pencatatan efek di papan perdagangan elektronik bursa.

  6. Efek mulai tercatat dan dapat diperdagangkan di BEI. Pada masa ini, dimulailah perdagangan di pasar sekunder.

  Meskipun sudah dicatat di BEI, proses go public belum selesai. Tahap selanjutnya adalah melaksanakan kewajiban yang harus dipenuhi setelah pencatatan, yaitu: a.

  Menerbitkan laporan tahunan Investor bisa mengetahui prestasi perusahaan dan menilai apakah emiten mampu memenuhi janjinya yang dulu dituangkan dalam prospektus.

  b.

  Membayar biaya go public Selain listing fee, perusahaan yang sudah go public juga harus memenuhi kewajiban biaya yang lainnya, seperti biaya tahunan (annual fee).

  Mengadakan RUPS Dalam forum ini, perusahaan publik memutuskan berapa laba yang dibagi sebagai dividen dan berapa yang digunakan sebagai laba ditahan. Investor dapat mengajukan usulan.

  d.

  Keterbukaan Emiten harus bersifat terbuka, misalnya dengan membentuk sekretariat perusahaan (corporate secretary).

  Apabila perusahaan yang ingin go public melaksanakan langkah-langkah yang telah ditetapkan tersebut, hal itu akan mempermudah dan mempercepat cita- cita perusahaan untuk menjadi perusahaan publik. Hal ini berarti bahwa perusahaan tersebut sudah merupakan milik masyarakat pemegang saham dari perusahaan yang bersangkutan. Besarnya kepemilikan tergantung dari besarnya persentase saham yang dimiliki oleh investor.

  Sebagaimana yang diwajibkan oleh keputusan menteri keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 (Hapsari, 2012) perusahaan publik harus memenuhi beberapa kesanggupan, yaitu:

1. Keharusan untuk keterbukaan (full disclosure).

  Indikator pasar modal yang sehat adalah transparansi atau keterbukaan. Sebagai perusahaan publik yang sahamnya telah dimiliki oleh masyarakat, harus menyadari keterbukaan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, emiten harus memenuhi persyaratan disclosure dalam berbagai aspek sesuai dengan kebutuhan pemegang saham dan masyarakat serta perturan yang berlaku. Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal mengenai kewajiban pelaporan.

  Setelah perusahaan go public dan mencatatkan efeknya di bursa, maka emiten sebagai perusahaan publik, wajib menyampaikan laporan secara rutin maupun laporan lain jika ada kejadian kepada BAPEPAM dan BEI. Seluruh laporan yang disampaikan oleh emiten kepada bursa secepatnya akan dipublikasikan oleh bursa kepada masyarakat pemodal melalui pengumuman di lantai bursa maupun melalui papan informasi. Hal ini penting, karena sebagian investor tidak memilii akses informasi langsung kepada emiten. Untuk mengetahui kinerja perusahaan, investor sangat tergantung pada informasi tersebut dan kewajiban pelaporan dapat membantu penyediaan informasi sehingga informasi dapat sampai secara tepat waktu dan tepat guna kepada investor.

  3. Gaya manajemen yang berubah dari informal ke formal.

  Sebelum go public manajemen tidak mempunyai kewajiban untuk menghasilkan laporan apapun. Tetapi sesudah go public mempunyai komunikasi dengan pihak luar, misalnya BAPEPAM, akuntan publik, dan stakeholder. Hubungan-hubungan tersebut merupakan hubungan formal yang dilakukan kepada pihak luar, dan aturan-aturan yang berlaku merupakan aturan yang dapat digunakan oleh semua pihak yang membutuhkan.

  4. Kewajiban membayar deviden.

  Investor membeli saham karena mengharapkan ada keuntungan atau deviden yang dibagi tiap periode dan perusahaan harus memenuhi kewajiban ini perusahaan.

5. Senantiasa berusaha untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan perusahaan.

  Perusahaan harus menunjukkan kemampuannya untuk bertahan dalam dunia persaingan sehingga harus bekerja keras untuk memperoleh itu. Hal ini merupakan salah satu kewajiban perusahaan kepada investor yang telah menanamkan modalnya.

2.2 Underpricing

  Underpricing adalah suatu keadaan dimana efek yang dijual di bawah nilai

  likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya diterima oleh pemegang saham (Ang, 1997 dalam Hapsari, 2012). Underpricing dapat diartikan juga sebagai kondisi dimana harga penawaran pada saat IPO dinilai lebih rendah secara signifikan dibandingkan harga saham pada saat penutupan hari pertama di pasar sekunder (Beatty, 1989 dalam Hapsari, 2012). Selisih harga inilah yang dikenal sebagai Initial Return (IR) atau positif return bagi investor yaitu nilai positif

  return yang diperoleh dari penawaran perdana mulai dari saat dibeli di pasar primer sampai pertama kali didaftarkan di pasar sekunder (Fitriani, 2012).

  Sumber: Hapsari (2012)

Gambar 2.1 Pengujian Underpricing pada Saat IPO

  Harga penawaran saham di pasar perdana adalah hasil kesepakatan antara emiten dengan underwriter. Setelah melakukan penawaran perdana, saham diperjualbelikan di pasar sekunder dimana harga saham ditentukan oleh kuatnya penawaran dan permintaan akan saham. Persentase selisih harga saham di pasar sekunder dibandingkan dengan harga saham pada penawaran perdana menjadi ukuran besarnya initial return. Apabila harga saham pada pasar perdana (IPO) lebih rendah dibandingkan dengan harga saham pada pasar sekunder pada hari pertama, maka akan terjadi underpricing. Sebaliknya, apabila harga saat IPO lebih tinggi dibandingkan dengan harga saham pada pasar sekunder pada hari pertama, maka fenomena ini disebut overpricing (Darmadji, 2001).

  Menurut Kunz dan Aggarwal (1994) dalam Handayani (2008), rumus

  underpricing adalah sebagai berikut: Underpricing = dapat meminimalkan underpricing: 1.

  Bila saham dijual dalam kondisi underpricing, berarti perusahaan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan dana secara maksimal.

  2. Terjadinya underpricing ini akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada investor. Khususnya yang membeli saham di pasar perdana akan memperoleh capital gain.

  Investor berharap agar underpricing yang terjadi semakin besar karena semakin besar underpricing, maka semakin besar capital gain yang diterima pada saat saham dijual di pasar sekunder. Teori-teori yang menjelaskan tentang

  underpricing biasanya akan bermuara pada asimetri informasi baik antara pemilik

  perusahaan dan calon investor, antar calon investor dan antara issuer dan penjamin emisi.

2.2.1 Teori Underpricing

  Underpricing bisa disebabkan oleh beberapa hal dan ada pula teori

  • – teori yang mendasari mengapa hal tersebut dapat terjadi. Berikut adalah tiga teori yang menjelaskan mengenai terjadinya underpricing (menurut Ritter, 1999 dalam Hapsari, 2012), yaitu: 1.

  Theory Investment Banker Monopsony Power Hypotesis Teori ini berpendapat bahwa underwriter sebagai pihak yang lebih mengetahui kondisi pasar modal cenderung menetapkan harga yang lebih rendah untuk menghindari risiko yang ditanggungnya. Ketika perusahaan sekuritas tersebut go public, mereka cenderung membuat harga sahamnya sendiri meyakinkan klien (calon emiten) dan badan pengatur pasar modal bahwa underpricing adalah hal yang normal terjadi pada IPO.

  2. The Lawsuit Avoidance Hypotesis Teori ini berpendapat bahwa fenomena underpricing tersebut merupakan cerminan dari upaya underwriter dan issuer untuk menjaga dan menghindarkan akibat hukum di masa yang akan datang dan risiko penurunan reputasinya karena tidak menyajikan nilai perusahaan yang sesungguhnya.

  3. The Ownership Dispersion Hypotesis Teori ini menyatakan emiten memiliki tujuan ketika merendahkan harga saham perdananya yaitu untuk memperluas permintaan pasar sehingga dapat memperoleh para pemegang saham minoritas dalam jumlah besar (tidak ada pemegang saham mayoritas). Investor yang terbagi dalam pemegang saham minoritas akan meningkatkan likuiditas saham dan membuat pihak luar sulit untuk menguasai atau menentang kebijakan manajemen.

2.2.2 Teori Asimetri Informasi dan Signaling

  Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab terjadinya fenomena underpricing pada saham IPO adalah teori asimetri informasi dan

  signaling. Baron (1982) menawarkan hipotesis asimetri informasi yang

  menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak

  • – pihak yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu emiten, penjamin emisi, dan masyarakat pemodal. Penjamin emisi (underwriter) memiliki informasi tentang pasar yang lebih
memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten.

  Oleh karena itu, underwriter memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk membuat kesepakatan harga IPO yang maksimal, yaitu harga yang memperkecil resikonya apabila saham tidak terjual semua. Karena emiten kurang memiliki informasi, maka emiten menerima harga yang murah bagi penawaran sahamnya.

  Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga sahamnya, maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam menetapkan harga.

  Sehingga underwriter menawarkan harga perdana sahamnya di bawah harga ekuilibrium. Maka akan menyebabkan underpricing semakin tinggi.

  Pada Model Baron (1982), penjamin emisi memiliki informasi yang lebih baik mengenai permintaan terhadap saham-saham emiten dibandingkan dengan emiten itu sendiri. Semakin besar asimetri informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial return yang diharapkan dari harga saham.

  Model Rock (1986) menyatakan bahwa asimetri informasi terjadi pada kelompok informed investor dengan uninformed investor. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan emiten akan membeli saham-saham IPO jika harga pasar yang diharapkan melebihi harga perdana.

  Sementara kelompok uninformed karena kurang memiliki informasi mengenai perusahaan emiten, cenderung melakukan penawaran secara sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced maupun overpriced. Akibatnya kelompok uninformed memperoleh proporsi yang lebih besar dalam saham IPO tidak proporsional, maka kelompok uninformed akan meninggalkan pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi dalam pasar perdana dan memungkinkan mereka memperoleh return saham yang wajar serta dapat menutup kerugian dari pembelian saham yang overpriced, maka saham-saham

  IPO harus cukup underpriced.

  Kim (1999) dalam Yoga (2010), menyatakan bahwa dalam kondisi asimetri informasi sangat sulit bagi investor untuk membedakan antara perusahaan berkualitas dan yang tidak sehingga investor akan memberikan penilaian yang rendah bagi saham kedua perusahaan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Signal yang baik menurut Kim (1999) dalam Yoga (2010) harus dapat memenuhi dua syarat, yakni: 1) signal tersebut harus dapat ditangkap oleh investor sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sia

  • – sia, 2) signal tersebut sulit atau terlalu mahal untuk dapat ditiru oleh perusahaan yang berkualitas rendah. Penggunaan signal positif secara efektif oleh emiten dan underwriter dapat mengurangi tingkat ketidakpastian yang dihadapi oleh investor, sehingga investor dapat membedakan kualitas dari perusahaan yang baik dan buruk.

  Perusahaan dengan tingkat ekspektasi keuntungan yang baik akan berusaha menunjukkan kualitas perusahaannya yang lebih baik dengan melakukan

  underpricing dan memberikan informasi mengenai besarnya jumlah saham yang

  ditahan oleh perusahaan. Harga penawaran underpriced dianggap oleh eksternal dikarenakan tidak semua perusahaan sanggup untuk menanggung biaya

  underpricing . Perusahaan yang melakukan underpricing sebagai signal untuk

  menunjukkan kualitas perusahaan hanya akan menjual sebagian kecil sahamnya pada saat IPO. Hal ini dilakukan untuk menghindari biaya underpricing yang terlalu tinggi.

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing

  Underpricing merupakan fenomena yang menarik karena telah diteliti oleh

  banyak peneliti di dunia dan sebagian besar peneliti mengatakan bahwa sering terjadi underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO. Fenomena terjadinya

  underpricing dijumpai hampir pada semua pasar modal yang ada di dunia. Salah

  satunya menurut Husnan (1996) dalam Yoga (2010), dalam penelitiannya, disimpulkan bahwa IPO pada perusahaan-perusahaan privat maupun perusahaan milik negara (BUMN) biasanya mengalami underpriced. Dari penelitian terdahulu, setidaknya ada beberapa faktor-faktor keuangan dan non keuangan yang mempengaruhi terjadinya underpricing saham dan digunakan dalam penelitian ini.

2.3.1 Faktor-faktor Keuangan

  Underwriter dan perusahaan yang berperan aktif dalam penentuan harga

  jual saham di pasar perdana saat IPO, menggunakan informasi keuangan sebagai informasi yang akan diberikan kepada investor tentang perusahaan. Informasi tersebut dapat berupa laporan keuangan yang menggambarkan tentang informasi kas, dan penjelasan laporan keuangan. Informasi keuangan tersebut meliputi:

  1. Return on Assets (ROA)

  ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva yang dimilikinya.

  Menurut penelitian terdahulu, antara lain Yasa (2008) dan Yoga (2009) mengatakan bahwa ROA berpengaruh negatif terhadap underpricing. ROA berpengaruh negatif terhadap underpricing karena ROA (Return on Assets) merupakan salah satu ukuran profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi ROA perusahaan akan semakin rendah underpricing karena investor akan menilai kinerja perusahaan lebih baik dan bersedia membeli saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi. Calon investor akan mempertimbangkan prosentase profitabilitas perusahaan sebelum menentukan keputusan investasinya sehingga nilai ketidakpastiannya semakin rendah yang juga akan menurunkan nilai underpricing perusahaan tersebut (Yasa, 2008).

  2. Debt to Equity Ratio (DER)

  DER merupakan salah satu dari rasio leverage yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan modal yang dimilikinya. Pada hasil penelitian Suyatmin dan Sujadi (2006) menunjukkan bahwa DER berpengaruh positif terhadap underpricing. DER berpengaruh positif terhadap underpricing karena secara teoritis DER menunjukkan risiko suatu perusahaan sehingga berdampak pada ketidakpastian (Suyatmin dan Sujadi, 2006). Hal ini dapat mengurangi minat investor untuk membeli saham tersebut. perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Para investor dalam melakukan keputusan investasi akan mempertimbangkan nilai DER perusahaan. Apabila DER tinggi, maka risiko perusahaan akan tinggi pula, sehingga investor dalam melakukan keputusan investasi cenderung menghindari DER yang tinggi karena semakin tinggi DER semakin tinggi pula underpricing- nya (Daljono, 2000 dalam Suyatmin dan Sujadi, 2006).

3. Besaran Perusahaan (Size)

  Suatu perusahaan yang memiliki skala ekonomi yang tinggi diharapkan akan mampu bertahan dalam waktu yang lama. Kebanyakan investor lebih memilih untuk menginvestasikan modalnya di perusahaan yang memiliki skala ekonomi yang lebih tinggi. Ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi ketidakpastian. Perusahaan yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat daripada perusahaan dengan skala kecil sehingga informasi yang investor dapatkan pada perusahaan yang berskala besar semakin tinggi pula dan tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang semakin rendah (Suyatmin dan Sujadi, 2006). Dengan demikian, perusahaan yang berskala besar mempunyai

  underpriced yang lebih rendah daripada perusahaan yang berskala kecil. Ukuran perusahaan dapat diukur menggunakan total assets perusahaan tersebut.

  Menurut Suyatmin dan Sujadi (2006) dan Yasa (2008) menyatakan bahwa

  size berpengaruh negatif terhadap underpricing. Karena tingkat ketidakpastian

  yang rendah maka berpengaruh terhadap tingkat risiko perusahaan berskala besar dalam jangka panjang akan kecil juga. Oleh karena itu investor dapat mengambil

  underpricing menjadi kecil.

  4. Earning per Share (EPS)

  Laba per saham (earning per share) merupakan rasio yang menunjukkan bagian laba untuk setiap lembar saham. Semakin tinggi nilai EPS tentu saja menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang saham. Laba per saham (earning per share) merupakan rasio yang mengukur seberapa besar dividen per lembar saham yang akan dibagikan kepada investor setelah dikurangi dengan dividen bagi para pemilik perusahaan. Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008) membuktikan bahwa EPS berpengaruh negatif terhadap besarnya underpricing pada perusahaan keuangan yang melakukan initial public offering.

  5. Ukuran Penawaran Saham (Proceeds)

  Ukuran penawaran (proceeds) menunjukkan besarnya ukuran penawaran saat IPO. Melalui IPO diharapkan akan menyebabkan membaiknya prospek perusahaan yang terjadi karena ekspansi atau investasi yang akan dilakukan atas hasil IPO. Oleh karena itu, diduga bahwa proceeds berhubungan positif dengan harga pasar saham karena semakin tinggi proceeds, semakin rendah ketidakpastian yang berarti semakin tinggi harga saham. Dengan demikian, semakin tinggi proceeds, maka initial returns semakin kecil (Ardiansyah, 2004).

  Dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi, investor juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor non keuangan yang berasal dari informasi non- keuangan yang dimiliki perusahaan misalnya gambaran perusahaan, reputasi underwriter, reputasi auditor, kondisi ekonomi, umur perusahaan dan sebagainya.

  Sehingga nantinya dapat diambil suatu keputusan investasi yang rasional. Adapun faktor-faktor non keuangan meliputi:

1. Umur Perusahaan (Age)

  Umur perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dapat bertahan hidup dan banyaknya informasi yang bisa diserap oleh publik. Dalam kondisi normal, perusahaan yang telah lama berdiri akan mempunyai publikasi perusahaan lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang masih baru.

  Calon investor tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk memperoleh informasi dari perusahaan yang melakukan IPO tersebut. Jadi perusahaan yang telah lama berdiri mempunyai underpriced yang lebih rendah daripada perusahaan yang masih baru. Hal ini menambah kepercayaan investor terhadap perusahaan karena umur perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan investor dalam menanamkan modalnya.

  Menurut Suyatmin dan Sujadi (2006), Yasa (2008), dan Handayani (2008) menyatakan bahwa variabel umur perusahaan (age) berpengaruh negatif terhadap

  underpricing . Semakin lama umur perusahaan, maka informasi mengenai

  perusahaan tersebut semakin besar dan memperkecil ketidakpastian pasar yang pada akhirnya akan menurunkan underpricing saham.

  Underwriter merupakan perusahaan swasta atau BUMN (pihak luar) yang

  menjembatani kepentingan emiten dan investor yakni menjadi penanggung jawab atas terjualnya efek emiten kepada investor. Underwriter membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa efek yang tidak terjual. Peranan

  

underwriter diduga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya underpricing karena

  tinggi rendahnya harga perdana saham yang akan dibeli investor tergantung kesepakatan antara penjamin emisi dengan emiten. Emiten yang menggunakan penjamin emisi yang berkualitas atau bereputasi baik akan mengurangi tingkat ketidakpastian yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi yang terdapat dalam prospektus dan menandai bahwa informasi privat dari emiten mengenai prospek perusahaan di masa mendatang tidak menyesatkan.

  Menurut Anwar (2005) dalam Hapsari 2012, berikut ini adalah empat jenis penjaminan sekuritas yang dilakukan oleh penjamin emisi efek:

  1. Full Commitment (kesanggupan penuh) Penjamin emisi efek bertanggung jawab mengambil alih risiko penawaran efek dengan cara memberikan jaminan kepada emiten bahwa setiap bagian surat berharga yang tidak terjual akan dibeli oleh penjamin emisi dengan harga perdana yang ditawarkan kepada publik.

  2. Best Effort (kesanggupan terbaik) Penjamin efek hanya bertanggung jawab untuk melakukan usaha

  • – usaha terbaiknya agar surat berharga dapat terjual dengan harga perdana yang
dikembalikan kepada emiten.

  3. Standby Commitment Penjamin emisi efek akan membeli bagian efek yang tidak terjual sampai jangka waktu bersama. Namun, pembelian yang dilakukan oleh penjamin emisi ini adalah pada tingkatan harga yang telah diperjanjikan sebelumnya, yang biasanya berada di bawah harga perdana yang ditawarkan kepada publik.

  4. All or None Commitment Dalam hal ini, seluruh efek yang ditawarkan harus terjual semuanya.

  Apabila tidak, bagian yang sudah terjual akan dikembalikan bersama - sama dengan yang belum terjual kepada perusahaan / emiten. Jadi, pada prinsipnya adalah terjual seluruhnya atau tidak sama sekali. Apabila minat masyarakat terhadap saham yang di IPO

  • – kan tidak memenuhi target yang telah ditetapkan, maka underwriter tidak melanjutkan proses emisi.

  Pelaksanaan penjamin emisi efek, umumnya dilakukan dalam suatu sindikasi yang terdiri atas kalangan penjamin emisi. Dilihat dari masing

  • – masing fungsi dan tanggung jawab dalam sindikasi penjamin emisi maka underwriter dapat digolongkan sebagai berikut (Anwar, 2005 dalam Hapsari 2012): 1.

  Penjamin Emisi (Lead Underwriter) Penjamin utama emisi dengan emiten membuat suatu perikatan dalam suatu perjanjian penjaminan emisi efek. Dalam perjanjian tersebut penjamin emisi menjamin menjual efek dan pembayaran seluruh nilai efek.

  Penjamin Pelaksana Emisi (Managing Underwriter) Mengelola penyelenggaraan emisi efek serta mengkoordinasikan seluruh penjamin emisi dalam pelaksanaan penjaminan efek, serta kegiatan lain yang sesuai dengan kewajiban para penjamin emisi efek.

  3. Penjamin Peserta Emisi (Co – Underwriter) Ikut serta menjamin penjualan dan pembayaran nilai efek pada penjaminan utama emisi sesuai bagian yang diambilnya. Penjaminan emisi efek selalu dihadapkan pada kemungkinan risiko. Risiko maksimum yang akan dihadapi oleh

  underwriter adalah kemungkinan tidak lakunya efek sehingga menyebabkan underwriter merugi karena menanggung penuh atas tidak lakunya efek yang

  disebabkan karena penggunaan penjaminan full commitment di Indonesia.

  3. Reputasi Auditor

  Auditor sebagai salah satu profesi penunjang pasar modal berfungsi melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan perusahaan yang akan melakukan go public. Hasil pengujian auditor ini sangat dibutuhkan oleh pihak- pihak yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan. Auditor yang mempunyai banyak klien berarti auditor tersebut mendapat kepercayaan yang lebih dari klien untuk membawa nilai perusahaan klien ke pasar modal (Kartini dan Payamta, 2002).

  Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang digunakan oleh investor atau calon investor dan underwriter untuk menilai perusahaan yang akan go public. Salah satu persyaratan dalam proses go public adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik yang telah diaudit akan memberikan tingkat kepercayaan yang lebih besar kepada pemakainya. Auditor memegang peranan yang penting dalam proses go public, yaitu sebagai pihak yang ditunjuk oleh perusahaan, yang melakukan pemeriksaan laporan keuangan perusahaan sebagai calon emiten. Penggunaan auditor yang profesional dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap kualitas emiten (Daljono, 2000).

  Auditor yang berkualitas akan dihargai di pasaran dalam bentuk peningkatan permintaan jasa audit dan auditor yang memiliki reputasi yang tinggi maka akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi pula. Atas kualitas pengauditannya yang tinggi, auditor akan dihargai dalam bentuk premium harga oleh klien. Dengan memakai auditor yang profesional akan mengurangi kesempatan emiten untuk berlaku curang dalam menyajikan informasi yang tidak akurat ke pasar. Semakin banyak kemampuan auditor untuk melakukan pengauditan terhadap klien, maka underpricing semakin rendah (Suyatmin dan Sujadi, 2006).

4. Inflasi

  Menurut Rose dan Marquis (2009), inflasi adalah:

  “A rise in the average level of all prices of goods and services traded in the economy over any given period of time.”

  Inflasi adalah kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan. Inflasi merupakan salah satu indikasi tentang adanya ketidakstabilan perekonomian di Indonesia. Ketidakstabilan perekonomian sangat mempengaruhi investor dalam melakukan investasi yang menyebabkan perbedaan penafsiran prospek perusahaan dan harga saham. Dalam hal ini ketidakstabilan perekonomian akan menentukan tingkat penilaian masyarakat terhadap kinerja suatu perusahaan. Apakah perusahaan tersebut dapat bertahan dengan adanya ketidakstabilan perekonomian. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah tingkat inflasi dapat berpengaruh terhadap terjadinya underpricing (Aprilianti, 2008).

  Menurut Tandelilin (2001), tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan penurunan daya beli (purchasing power of

  money ). Di samping itu, inflasi yang tinggi juga bisa mengurangi tingkat

  pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya. Sebaliknya jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan, maka hal ini akan merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya risiko daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil

  Inflasi dapat berpengaruh positif maupun negatif tergantung pada derajat inflasi itu sendiri. Inflasi yang berlebihan akan merugikan negara secara keseluruhan, yaitu dapat membuat banyak perusahaan akan mengalami kebangkrutan. Jadi dapat disimpulkan bahwa inflasi yang tinggi akan menjatuhkan harga saham di pasar, inflasi yang tinggi akan berakibat pertumbuhan ekonomi akan menjadi sangat lamban, dan pada akhirnya harga saham juga akan bergerak lamban. Kenaikan laju inflasi yang tidak terantisipasi tersebut akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga konsumsi akan menurun. Selain itu kenaikan harga faktor produksi juga akan meningkatkan biaya modal perusahaan, sehingga laju inflasi yang tidak terkendali akan menurunkan nilai dari perusahaan termasuk laba perusahaan. Turunnya laba perusahaan akan kenaikan inflasi akan menurunkan harga saham sehingga berpengaruh negatif terhadap initial return.

5. Tingkat Suku Bunga

  Tingkat suku bunga adalah prosentase suku bunga yang ditetapkan Bank Indonesia. Tingkat suku bunga ini dapat mempengaruhi pemilik perusahaan dalam melakukan pemenuhan kebutuhan pendanaan. Suku bunga bank sebagai salah satu variabel yang dapat mempengaruhi pemilik perusahaan dalam melakukan penerbitan saham dan juga mempengaruhi investor dalam menetapkan keputusan dalam melakukan investasi. Kenaikan suku bunga bank dapat menyebabkan penurunan harga karena turunnya permintaan terhadap saham akibat naiknya suku bunga deposito. Masyarakat akan lebih suka untuk deposito karena masyarakat cenderung memilih investasi bebas resiko yang mempunyai keuntungan lebih tinggi dan pasti. Hal tersebut dapat mempengaruhi harga saham perusahaan yang melakukan IPO dan dapat menyebabkan

  underpricing .

  Menurut Tandelilin (2001), tingkat suku bunga yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan, sehingga kesempatan-kesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi. Tingkat suku bunga yang tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan. Di samping itu, tingkat bunga yang tinggi juga akan menyebabkan return yang disyaratkan investor dari suatu investasi akan meningkat.

  Tingkat bunga SBI akan berpengaruh negatif dan positif, penurunan tingkat bunga pinjaman atau tingkat bunga deposito akan menaikkan harga saham di pasar dan laba bersih per saham, sehingga mendorong harga saham meningkat. Penurunan bunga deposito akan mendorong investor mengalihkan investasinya saham terdorong naik akibat meningkatkan permintaan saham. Kenaikan tingkat bunga pinjaman memiliki dampak negatif terhadap setiap emiten, karena akan meningkatkan beban bunga kredit dan menurunkan laba bersih. Penurunan laba bersih akan mengakibatkan laba per saham juga menurun dan akhirnya akan berakibat turunnya harga saham di pasar. Di sisi lain, naiknya suku bunga deposito akan mendorong investor untuk menjual saham dan kemudian menabung hasil penjulan itu dalam deposito. Penjualan saham secara besar-besaran akan menjatuhkan harga saham di pasar. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga pinjaman atau suku bunga deposito akan mengakibatkan turunnya harga saham sehingga suku bunga berpengaruh negatif terhadap initial return.

2.4 Penelitian Terdahulu

  Penelitian-penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

  underpricing telah banyak dilakukan diantaranya adalah penelitian yang

  dilakukan oleh Trisnaningsih (2005) dengan menggunakan variabel reputasi

  

underwriter, ROA, dan financial leverage. Penelitian ini menggunakan teknik

  analisis regresi berganda dan menyimpulkan bahwa reputasi underwriter dan

  financial leverage berpengaruh terhadap underpricing pada tingkat signifikasi 5%, sedangkan variabel ROA tidak berpengaruh terhadap underpricing.

  Suyatmin dan Sujadi (2006) berdasarkan data perusahaan yang IPO di BEI pada tahun 1999 sampai dengan 2003 menguji pengaruh variabel umur perusahaan, besaran perusahaan, reputasi auditor, reputasi underwriter, jenis

  

underwriter , laba per saham (EPS), ukuran penawaran (proceed), current ratio

  underpricing . Mereka berhasil membuktikan bahwa variabel current ratio

  berpengaruh terhadap underpricing. Semakin tinggi current ratio suatu perusahaan, berarti semakin kecil risiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya sehingga resiko yang akan ditanggung oleh investor pun semakin kecil. Variabel auditor berpengaruh negatif terhadap underpricing.

  Semakin baik reputasi auditor, underpricing semakin rendah. Sedangkan variabel umur perusahaan, reputasi underwriter, jenis industri dan ROI berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap underpricing. Sedangkan variabel besaran perusahaa, EPS, ukuran penawaran dan financial leverage berpengaruh tidak signifikan terhadap underpricing.

  Penelitian yang dilakukan Handayani (2008) dengan menggunakan variabel debt to equity rasio, return on assets, earning per share, umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan prosentase penawaran saham. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda dan dapat disimpulkan bahwa EPS berpengaruh negatif terhadap underpricing, sedangkan DER (debt to equity ratio), ROA (return on asset), umur perusahaan, ukuran Perusahaan, dan prosentase penawaran saham tidak berpengaruh terhadap underpricing.

  Penelitian yang dilakukan Yoga (2009) dengan menggunakan variabel ROA (return on asset), leverage, ukuran perusahaan, harga saham perdana, reputasi underwriter, persentase saham yang ditawarkan kepada publik, waktu

  IPO, umur perusahaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ROA, harga saham, reputasi underwriter berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing. terhadap underpricing. Sedangkan umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap underpricing.

  Trisnaningsih (2005) menguji faktor-faktor yang mempengaruhi

  underpricing . Variabel yang diteliti adalah reputasi underwriter, financial leverage dan return on asest (ROA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

  reputasi underwriter dan financial leverage secara parsial berpengaruh terhadap

  underpricing . Sedangkan return on asest (ROA) tidak berpengaruh terhadap underpricing . Diantara faktor-faktor tersebut, variabel reputasi underwriter

  merupakan faktor yang berpengaruh paling dominan terhadap underpricing.

  Azzahra (2010) menguji faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing pada penawaran saham perdana perusahaaan go public. Variabel yang diteliti adalah jumlah saham yang ditawarkan perusahaan, besaran perusahaan, debt to

  equity ratio (DER), ROE, dan solvabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

  dari lima variabel penelitian yang diduga mempengaruhi underpricing, ternyata hanya dua variabel yang memiliki pengaruh terhadap underpricing yaitu debt to

  equity ratio (DER) dan solvabilitas. Diantara kedua variabel yang mempengaruhi underpricing tersebut, variabel solvabilitas adalah faktor yang berpengaruh paling

  dominan terhadap underpricing.

  Aprilianti (2008) menguji pengaruh current ratio, tingkat suku bunga dan inflasi terhadap underpricing pada penawaran saham perdana. Penelitian ini mengambil sampel perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2002-2006 yang masuk dalam kriteria. Hasil penelitian ini adalah variabel-variabel bebas tersebut melihat pengaruh variabel bebas tersebut terhadap underpricing secara individu, hanya 2 variabel yang terbukti mempengaruhi underpricing secara individu, yaitu: variabel rata-rata kurs dan suku bunga bank.

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti dan Judul Penelitian Variabel Penelitian Teknik Hasil Penelitian Tahun

  Analisis Penelitian Sri Analisis Faktor- Dependen: Analisis Reputasi underwriter dan Trisnaningsih faktor yang Regresi financial leverage secara

  Underpricing (2005) Mempengaruhi Linier parsial berpengaruh Tingkat Independen: berganda terhadap tingkat

  Underpricing Reputasi underpricing . Sedangkan pada Perusahaan underwriter , return on asest (ROA) yang Go Public di Financial leverage , tidak berpengaruh Bursa Efek Return on Asset terhadap tingkat Jakarta (ROA) underpricing .

  Suyatmin dan Faktor-faktor Dependen: Analisis Reputasi underwriter dan Sujadi (2006) yang underpricing Regresi auditor berpengaruh mempengaruhi Linier signifikan positif underpricing pada Independen: Berganda terhadap underpricing penawaran umu Current ratio , umur sedangkan current ratio perdana di Bursa perusahaan, besaran berpengaruh signifikan Efek Jakarta perusahaan, EPS, negatif terhadap proceeds , ROI, underpricing. Sedangkan financial leverage , untuk variabel umur jenis industri, perusahaan, reputasi reputasi auditor dan penjamin emisi, jenis underwriter . industri,dan return on investment (ROI) berpengaruh positif signifikan terhadap underpricing dan variabel laba per saham (EPS), ukuran penawaran, dan financial leverage tidak berpengaruh terhadap underpricing.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Variabel Keuangan dan Non Keuangan terhadap Underpricing pada Saham Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (Periode Januari 2007 sampai dengan Juni 2012)

4 40 139

Analisis Pengaruh Return on Asset (ROA), Earning per Share (EPS), Financial Leverage, dan Proceed Terhadap Initial Return Pada Perusahaan Non Keuangan Yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 57 118

Pengaruh Economic Value Added (EVA) terhadap Market Value Added (MVA) pada perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia

0 34 88

Analisis Informasi Akuntansi dan Non Akuntansi terhadap Harga Saham Initial Public Offering Indonesia

0 16 7

Pengaruh Return on Asset, Reputasi Auditor, dan Ukuran Perusahaan terhadap Initial Return (Studi Empiris pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering di BEI tahun 2005-2012)

0 7 142

Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering di Bursa Efek Indonesia

0 25 53

Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering di Bursa Efek Indonesia

1 33 59

Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Saham dan Asimetri Informasi terhadap Underpricing Saham pada Saat Initial public Offering (IPO) Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013

7 68 59

Process of Privatization: International Initial Public Offering (IPO) of an Indonesian State-Owned Enterprise (SOE)

0 0 9

Pengaruh Faktor Keuangan dan Non Keuangan Terhadap Nilai Underpricing pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (Studi Pada Perusahaan yang Listing di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2012).

0 0 13