BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Perbankan 2.1.1.1 Pengertian Bank - Analisis Komparatif Risiko Keuangan Bank Mandiri Konvensional dan Bank Syariah Mandiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis

2.1.1 Perbankan

2.1.1.1 Pengertian Bank

  Bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam berbagai alternatif investasi. Sehubungan dengan fungsi penghimpun dana ini, bank sering juga disebut dengan lembaga kepercayaan. Berbeda halnya dengan perusahaan lain, transaksi usaha bank senantiasa berkaitan dengan uang, karena memang usaha komoditi bank adalah uang. Sejalan dengan karakteristik usahanya tersebut, maka bank merupakan suatu segmen usaha yang kegiatannya banyak diatur oleh pemerintah.

  Pengertian Bank menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang kemudian dikembangkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah:

  1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

  2. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2.1.1.2 Fungsi Bank

  Secara umum, fungsi utama bank (dalam Triandaru, et al. 2006 : 9) adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of services.

  1. Agent of trust

  Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal menghimpun dana maupun menyalurkan dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsure kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalah gunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapay ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitor atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsure kepercayaan, debitor akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debitor akan mempunyai kemampuan untuk membayar pinjaman pada saat jatuh tempo, dan debitor mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.

  2. Agent of development

  Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank yang berupa penghimpun dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor rill. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.

3. Agent of services

  Disamping melakukan kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan. Ketiga fungsi bank ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan lengkap mengenai fungsi bank dalam perekonomian, sehingga bank tidah hanya dapat diartikan sebagai lembaga perantara keuangan.

2.1.1.3 Jenis Bank

  Dalam praktik perbankan di Indonesia saat ini terdapat beberapa jenis perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Perbedaan jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsi bank serta kepemilikan bank. Dari segi fungsi bank perbedaan yang terjadi terletak pada luasnya kegiatan atau jumlah produk yang ditawarkan maupun jangkauan wilayah operasinya. Sedangkan kepemilikan perusahaan dilihat dari segi pemilikan saham yang ada serta akte pendiriannya.

  Perbedaan lainnya adalah dilihat dari segi siapa nasabah yang mereka layani apakah masyarakat luas atau masyarakat dalam lokasi tertentu. Jenis perbankan dibagi ke dalam caranya menentukan harga jual dan harga beli.

  Dilihat dari segi fungsinya bank dibedakan atas (1) Bank Sentral (2) Bank Umum (3) Bank Perkreditan Rakyat. Jenis bank berdasarkan kepemilikannya dibedakan atas (1) Bank milik pemerintah (2) Bank milik swasta nasional (3) bank milik asing. Apabila dilihat dari segi cara menentukan harga bank dibedakan atas (1) Bank Konvensional (2) Bank Syariah.

2.1.2 Bank Konvensional

2.1.2.1 Pengertian Bank Konvensional

  Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia dimana asal mula bank Indonesia dibawa oleh koloni belanda.

  Menurut pedoman Bank Indonesia (Sastradipoera, 2004: 138), sebuah bank disebut bank konvensional apabila didalam aktivitasnya baik dalam usaha memobilisasi maupun dalam investasi dananya, memberikan dan mengenakan bunga (yaitu, pengganti kerugian yang disebabkan oleh hilangnya likuiditas, atau balas jasa yang diterima atas uang yang dipinjamkan, biasanya dinyatakan dalam persentase).

  Bank konvensional yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik menghimpun dana ataupun dalam meyalurkan dananya memberikan dan mengenakan imbalan dalam persentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Keuntungan utama dari bisnis perbankan yang berdasarkan prinsip konvensional diperoleh dari selisih bunga simpanan yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga pinjaman atau kredit yang disalurkan. Keuntungan dari selisih bunga di bank dikenal dengan istilah

  

spread based . Apabila suatu bank mengalami kerugian dari selisih bunga, dimana

  suku bunga simpanan lebih besar daripada suku bunga kredit, maka istilah ini dikenal dengan negative spread.

2.1.2.2 Sumber Dana Bank

  Sumber dana bank (Kasmir, 2004:19) adalah usaha bank dalam memperoleh dana untuk membiayai kegiatan operasinya. Untuk menopang kegiatan bank sebagai penjual uang (pemberi pinjaman) bank terlebih dahulu harus membeli uang (menghimpun dana) sehingga dengan selisih bunga tersebut bank mendapat keuntungan. Jenis-jenis sumber dana bank antara lain sebagai berikut:

  1. Dana bersumber dari bank itu sendiri (modal sendiri) yaitu setoran modal dari para pemilik atau bank menjual saham baru kepada pemilik baru atau cadangan laba yang belum digunakan.

  2. Dana berasal dari masyarakat luas seperti simpanan tabungan, rekening giro dan deposito.

  3. Dana berasal dari lembaga lain yaitu likuiditas dari Bank Indonesia, pinjaman antar bank, pinjaman dari bank luar negri, dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).

2.1.2.3 Kegiatan Usaha Perbankan

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagai lembaga keuangan, kegiatan bank sehari-hari tidak akan lepas dari bidang keuangan. Adapun kegiatan- kegiatan perbankan yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut: 1.

  Mengimpun dana dari masyarakat (funding) dalam bentuk: a.

  Simpanan Giro (Demand Deposit) b. Simpanan Tabungan (Saving Deposit) c. Simpanan Deposito (Time Deposit) 2. Menyalurkan dana ke masyarakat (Lending) dalam bentuk: a.

  Kredit investasi b. Kredit modal kerja c. Kredit perdagangan 3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya (services) seperti: a.

  Transfer (Kiriman Uang) b. Inkaso (Collection) c. Kliring (Clearing) d.

   Safe deposito box e. Bank Card f.

  Bank Notes (Valas) g.

  Bank Garansi h. Referensi Bank i.

   Bank Draft j.

  Letter of Credit (L/C) k.

  Cek Wisata (Travelers Cheque) l. Jual beli surat-surat berharga m.

  Menerima setoran-setoran seperti pembayaran pajak, telepon, air, dan uang kuliah n.

  Melayani pembayaran-pembayaran seperti: gaji/pensiun/honorarium, dividen, kupon dan bonus/hadiah. o.

  Dan jasa-jasa lainnya.

2.1.3 Bank Syariah

2.1.3.1 Pengertian Bank Syariah

  Menururt Siamat (2005:407), Perbankan syariah pada dasarnya adalah sistem perbankan yang dalam usahanya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum syariah Islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Maksud dari sistem yang sesuai dengan syariah islam adalah beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan syariah islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat misalnya dengan menjauhi praktik-praktik yang mengandung unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil pembiayaan sedangkan kegiatan usaha dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Al-Hadist yang dimaksudkan beroperasi mengikuti larangan dan perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul Muhammad SAW.

  Bank Syariah adalah bank umum sebagaimana dalam UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

  Sedangkan yang dimaksud dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau penyimpanan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah, antara lain: a.

  Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah); b.

  (musyarakah); Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal c.

  Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah); d.

  Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilhan (ijarah); atau e.

  Dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)

2.1.3.2 Kegiatan Usaha Bank Syariah

  Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 62/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, kegiatan usaha bank syariah dapat dibedakan sebagai berikut:

  1. Penghimpun dana (funding)

  2. Penyalur dana dan pembiayaan (financing)

  3. Penyediaan jasa-jasa pelayanan perbankan (bank service)

1. Penghimpun Dana

  Penghimpun dana atau disebut juga funding adalah kegiatan penarikan dana atau penghimpunan dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi berdasarkan prinsip syariah. Berkaitan dengan penghimpun dana, dalam prinsip syariah dibedakan antara simpanan yang tidak memberikan imbalan dan simpanan yang memberikan imbalan.

  Bentuk-bentuk simpanan berdasarkan prinsip syariah dapat disebutkan sebagai berikut: (Simorangkir, 2000: 42) a.

  Giro berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah; b.

  Tabungan berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah dan atau Al Mudharabah; atau c.

  Deposito Berjangka berdasarkan prinsip Al-Mudharabah;

  a. Prinsip Al-Wadi’ah Produk pendanaan pada Bank Syariah pada prinsipnya tidak berbeda dengan produk pendanaan bank konvensional. Namun yang membedakan adalah penggunaan prinsip syariah yang menyertai masing-masing produk pendanaan, misalnya bahwa giro dan tabungan pada dasarnya dilakukan dengan prinsip Al-Wadi’ah. Giro Al-

  Wadi’ah adalah simpanan atau titipan yang kedua-duanya dapat ditarik sewaktu-

  waktu. Prinsip titipan atau simpanan dalam fiqhi dikenal dengan prinsip Al-Wadi’ah berarti titipan murni dari nasabah kepada pihak bank atau pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kepada penitip (penabung) kapan saja dia inginkan.

  b. Prinsip Al-Mudharabah

  Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana

  untuk melakukan kegiatan usaha tertantu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak dengan nisbah yang disepakati sebelumnya. Sementara Antonio (2001) dalam Triandaru (2006) mendefinisikan Al-Mudharabah adalah Tabungan dan

  

Deposito Berjangka. Selanjutnya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak

  pemilik dana (penabung), prinsip Al-Mudharabah dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis berikut:

  1) Mudharabah Muthlaqah; dan

  2) Mudharabah Muqayyadah.

  1) Mudharabah Muthlaqah Mudharabah Muthlaqah adalah kerjasama antara pemilik dana (shahibul

maa ) dan mudharib (bank) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh

  spesifikasi jenis usaha, waktu dan wilayah bisnis. Artinya, pemilik dana memberikan kepada pihak bank kekuasaan yang sangat besar dalam penggunanaan dana simpanannya kepada mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip

  

Mudharabah Muthlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening Tabungan dan

  Deposito Berjangka. Ini menyebabkan kemungkinan 2 (dua) jenis penghimpunan dana berdasarkan prinsip syariah yaitu: Tabungan Al-Mudharabah dan Deposito

  

Berjangka Al-Mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi pihak

bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.

  2) Mudharabah Muqayyadah Mudharabah Muqayyadah merupakan simpanan dana khusus (restricted

investment ) dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti

  oleh bank. Mudharabah Muqayyadah merupakan kebalikan dari Mudharabah Muthlaqah dimana mudharib (bank) dibatasi jenis usaha, waktu dan tempat usaha.

2. Penyaluran Dana

  Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan Bank Syariah tetap berpedoman kepada prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Bentuk penyaluran dana atau pembiayaan yang dilakukan Bank Syariah dalam melaksanakan operasinya secara garis besar dapat dibedakan kedalam 4 (empat) kelompok sebagai berikut: a. Prinsip jual beli (Bai’)

  b. Prinsip bagi hasil

  c. Prinsip sewa menyewa

  d. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh

a. Prinsip jual beli ( Bai’)

  Dalam penerapan prinsip syariah terdapat 3 (tiga) jenis prinsip jual beli (bai’) yang banyak dikembangkan oleh perbankan syariah dalam kegiatan pembiayaan modal kerja dan produksi, yaitu sebagai berikut: (Karim, 2004: 97)

  1) Bai’ al murabahah 2) Bai’ as-salam 3) Bai’ al-Istis

1) Bai’ al murabahah

  Bai’ al murabahah pada dasarnya adalah transaksi jual beli barang dengan

  tambahan keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi kebutuhan barang oleh nasabahnya, bank membeli barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dipesan atau dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang telah disepakati.

  Nasabah dalam hal ini dapat membeli jenis transaksi tunai, cicilan atau tangguhan. Umumnya nasabah memilih metode pembayaran secara cicilan.

2. Bai’ as-salam

  Bai’ as-salam adalah pembelian suatu barang yang penyerahannya (delivery) dilakukan kemudian hari sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka secara tunai.

  

Bai’ as-salam dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka

pendek untuk produksi agribisnis atau hasil pertanian atau hasil industri lainnya.

  Barang yang dibeli harus diketahui secara jelas jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Harga jual yang disepakati harus dicantumkan dalam akad dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Apabila barang atau hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka penjual dan produsen harus bertanggung jawab dengan cara mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti dengan barang yang sesuai dengan pesanan.

c. Bai’ Al-Istishna’

  Bai’ Al-Istishna’ pada dasarnya merupakan kontrak penjualan antara pembeli

  dan pembuat barang dengan pembayaran dimuka, baik secara tunai, cicilan, atau ditangguhkan. Untuk melakukan Bai’ Al-Istishna’ kontrak dilakukan ditempat pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang dapat saja membuat barang yang dipesan atau dibeli sesuai dengan spesifikasi pesanan yang dilakukan dalam kontrak kemudian menjualnya kepada pembeli. Prinsip bai’ Al-

  

Istishna’ ini merupakan bai’ as-salam namun dalam istishna’ pembayaran dapat

  dilakukan dimuka, dicicil atau ditangguhkan. Sementara dalam bai’ as-salam dilakukan secara tunai.

b. Prinsip Bagi Hasil

  Prinsip kedua dalam penyaluran dana adalah prinsip bagi hasil. Bagi hasil atau

  

profit sharing dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah terdiri dari empat jenis

  akad, yaitu: al-Mudarabah, al-Musyarakah, al-Muzara’ah, dan al-Musaqah. Namun yang paling banyak diimplementasikan dalam perbankan syariah adalah dua prinsip bagi hasil pertama, yaitu al-Mudarabah dan al-Musyarakah sementara yang dua terakhir umumnya digunakan dalam rangka plantation financing.

1. Al-Musyarakah

  Bank Indonesia mendefenisikan Al-Musyarakah sebagai suatu perjanjian diantara para pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan diantara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

  Musyarakah dalam perbankan biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Modal yang disetor bisa berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property, equipment, atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwill), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Semua modal digabung untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.

  2. Al-Mudharabah Al-Mudharabah pada dasarnya adalah perjanjian kerja sama antara dua

  pihak atau lebih dimana salah satu pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian. Beberapa ahli fiqih berpendapat bahwa Al-Mudharabah tidak dikelompokkan kedalam prinsip Al-Musyarakah.

c. Prinsip Sewa Menyewa Prinsip ketiga dalam penyaluran dana Bank Syariah adalah sewa menyewa.

  Sewa menyewa pada dasarnya merupakan transaksi sewa guna usaha atau leasing. Oleh karena itu, sebagaimana dalam praktek, sewa guna usaha bisa dalam bentuk sewa guna usaha dengan hak opsi atau financial lease dan sewa guna usaha tanpa hak opsi atau operating lease. Dalam syariah Islam prinsip sewa menyewa ini dibedakan berdasarkan akad, yaitu: al-ijarah, al-muntahiya bit tamlik.

1. Al-Ijarah

  Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu

  barang atau jasa dengan membayar sewa untuk jangka waktu tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut. Bank Indonesia mendefinisikan ijarah sebagai perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.

2. Al-Ijarah Al-Muntahiya Bit-Tamlik

  Al-Ijarah Al-Muntahiya Bit-Tamlik adalah akad atau perjanjian yang

  merupakan kombinasi antara jual beli dan sewa menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah dimana nasabah (penyewa) diberi hak untuk memiliki atau membeli objek sewa pada akhir akad. Dalam transaksi sewa guna usaha (leasing), perjanjian ini disebut sale and leaseback. Harga sewa dan harga beli ditetpkan bersama diawal perjanjian. Objek sewa harus bermanfaat, dibenarkan oleh syariah dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau diukur. Pada umumnya bank-bank syariah lebih memilih perjanjian sewa-beli seperti ini (Al-Ijarah Al-Muntahiya Bit-Tamlik) karena lebih mudah pembukuannya dan tidak memerlukan perawatan terhadap aset yang sewa- beli.

  d.

   Prinsip Pinjam Meminjam Berdasarkan Akad Al-Qardh

  Prinsip keempat dalam penyaluran dana Bank Syariah yaitu prinsip pinjam meminjam berdasarkan qardh. Bank Indonesia mendefinisikan Al-Qardh sebagai penyedia dana atau tagihan antar Bank Syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran sekaligus atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan Antonio memberikan pengertian Al-Qardh sebagai pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dengan kata lain Qardh meminjam tanpa mengharapkan imbalan.

2.1.4 Perbedaan Bank Konvensional Dengan Bank Syariah

  Menurut Triandaru, et.al (2006:156), perbedaan yang mendasar antara bank konvensional dan bank syariah, antara lain:

  1. Perbedaan Falsafah Perbedaan pokok pada bank konvensional dan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank Syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam keseluruhan aktivitasnya. Sedangkan bank konvensional justru kebalikan dari bank syariah. Pada dasarnya semua transaksi perniagaan melalui bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound

  interest yang dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak.

  2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Konsep dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkan bank syariah harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan kedalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah.

  3. Kewajiban Mengelola Zakat Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun mengadministrasikannya, dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infaq dan sedekah).

  4. Struktur Organisasi Didalam strukutur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya

  Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Pengawas Syariah Nasional (DPSN). Secara singkat perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Perbedaan Bank Syariah Dengan Bank Konvensional Bank Syariah Bank Konvensional No

  Berinvestasi pada usaha yang

  1 Bebas nilai halal Atas dasar bagi hasil, margin

  2 Sistem bunga keuntungan dan fee Besaran bagi hasil berubah-ubah

  3 Besaraanya tetap tergantung kinerja usaha

  4 Profit falah oriented Profit oriented

  5 Pola hubungan kemitraan Hubungan debitur kreditur

  6 Ada dewan pengawas syariah Tidak ada lembaga sejenis Sumber: Triandaru, et.al (2006:157) Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah sering kali menjadi bahan pertanyaan dan selalu dibandingkan dengan sistem bunga dalam perbankan konvensional. Untuk menjelaskan keduanya, pada Tabel 2.2 berikut ini membandingkan sistem bagi hasil dan sistem bunga.

Tabel 2.2 Perbandingan Sistem Bagi Hasil dan Sistem Bunga No Sistem bunga Sistem bagi hasil

  1 Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank

  Penentuan besarnya risiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi

  2 Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan

  Besarnya risiko (nisbah) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

  3 Tidak tergantung pada kinerja usaha jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik Tergantung pada kinerja usaha.

  Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai peningkatan bagi hasil.

  4 Eksistensi bunga diragukan kehalalanya oleh semua agama termasuk agama islam

  Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil

  5 Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

  Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

  Sumber: Triandaru, et.al (2006:157)

2.1.5 Risiko finansial

  Risiko adalah peluang (kemungkinan) terjadinya bencana. Oleh karena itu, risiko dari sudut pandang bank didefinisikan sebagai peluang dari kemungkinan terjadinya situasi yang memburuk (Masyhud, 2006:3)

  Menurut Idroes (2008:4), “Risiko merupakan bahaya: risiko adalah ancaman atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai.” “Risiko juga merupakan peluang: risiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan.” Banyak teori yang tersedia untuk mendefinisikan jenis-jenis risiko dalam menjalankan bisnis perbankan. Pada dasarnya jenis-jenis yang dihadapi dapat dibagi dua kelompok besar yaitu risiko finansial dan risiko nonfinansial. Risiko finansial terkait dengan kerugian langsung berupa hilangnya sejumlah uang akibat risiko yang terjadi. Pada sisi lain dampak risiko nonfinansial tidak langsung dapat dirasakan. Kasus seperti ketika kehilangan nasabah dan kehilangan bisnis akibat risiko yang terjadi tidak langsung membuat bank menjadi rugi. Namun pada gilirannya, risiko nonfinansial berpotensi untuk menimbulkan kerugian finansial. (Idroes, 2008: 22)

  Jenis-jenis risiko yang dihadapi oleh perbankan adalah risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko konsentrasi kredit, risiko suku bunga, risiko bisnis, risiko strategik, serta risiko reputasional. Sedangkan yang termasuk dalam risiko finansial adalah: risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, konsentrasi kredit serta risiko suku bunga. (Idroes, 2008: 22)

  Dengan penjelsana risiko keuangan bank, maka untuk mengukur tinggi rendahnya risiko suatu bank tersebut, maka diperlukan metode analisis. Adapun metode analisis yang digunakan untuk mengukur risiko keuangan bank tersebut adalah analisis rasio dan mengukur tingkat kebangkrutan bank tersebut digunakan analisis Z-score.

2.1.6 Pengukuran Rasio Keuangan Perbankan

  Untuk melihat kondisi keuangan suatu bank maka dapat dilihat dari laporan keuangan yang disajikan oleh suatu bank secara periodik. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP Tanggal 14 Desember 2011 tentang Pedoman Perhitungan Rasio Keuangan Perbankan, suatu bank dapat dinilai dari rasio-rasio CAMEL yaitu Capital, Asset, Management, Earning, dan Liquidity. Rasio tersebut terdiri dari:

1. Permodalan (capital)

  Modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi bank dalam rangka mengembangkan usaha dan menopang risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aktiva-aktiva produktif yang mengandung risiko serta untuk membiayai penanaman dalam aktiva lainnya. Rasio-rasio dari aspek permodalan yaitu: a.

  Capital Adequacy Ratio (CAR), merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko. CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank.

  Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut : CAR = b. Rasio Aktiva Tetap terhadap Modal (ATTM). Rasio ini mengukur kemampuan manajemen bank dalam menentukan besarnya aktiva tetap dan inventaris yang dimiliki bank yang bersangkutan terhadap modal. Semakin tinggi rasio ini artinya modal yang dimiliki bank kurang mencukupi dalam menunjang aktiva tetap dan inventaris sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar.

  ATTM = 2. Kualitas Aktiva Produktif (Asset)

  Kualitas aktiva produktif adalah semua aktiva dalam rupiah atau valas yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya, yaitu: pemberian kredit, kepemilikan surat-surat berharga, dan penempatan dana kepada bank lain baik dari dalam maupun luar negeri terkecuali penanaman dana dalam bentuk giro atau penyertaan.

  Keadaan kualitas aktiva produktif akan terus dipantau oleh pihak bank karena kualitas aktiva produktif dalam neraca bank akan mempengaruhi keadaan serta perkembangan dari bank itu sendiri. Penanaman modal yang dilakukan dalam aktiva produktif akan dinilai kualitasnya dengan menentukan kolektibilitas dari aktiva yang bersangkutan.

  3. Kualitas Manajemen (Management) Penilaian faktor manajemen dalam penilaian tigkat kesehatan bank dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terhadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan status kuesioner yang dikelompokan dalam dua kelompok besar, yaitu kuesioner kelompok manajemen umum dan kuesioner manajemen risiko. Kuesioner kelompok manajemen umum selanjutnya dibagi dalam subkelompok pertanyaan yang berkaitan dengan (1) strategi, (2) struktur, (3) sistem, (4) sumber daya manusia, (5) kepemimpianan, (6) budaya kerja, sementara itu, untuk kuesioner manajemen resiko dibagi dalam subkelompok yang berkaitan dengan (1) risiko likuiditas, (2) risiko pasar, (3) risiko kredit, (4) risiko operasional, (5) risiko hokum, dan (6) risiko pemilik dan pengurus.

  4. Rentabilitas (Earning) Penilaian rentabilitas penting karena menyangkut kemampuan bank dalam memperoleh laba. Dengan laba yang kuat bank akan dapat berkembang dengan baik. Rentabilitas digunakan untuk menilai keberhasilan bank dalam menghasilkan laba sebelum pajak melalui penanaman yang dilakukan untuk seluruh aktiva yang dimiliki atau berdasarkan kemampuan bank manghasilkan laba setelah pajak berdasarkan modal yang dimiliki. Selain itu, rentabilitas juga dapat dilihat dari pendapatan bunga bersih yang mampu dihasilkan pihak bank bila dibandingkan dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh pihak bank.

  Rentabilitas juga dinilai berdasarkan total beban operasional yang ditanggung oleh pihak bank dibandingkan dengan kemampuan bank dalam menghasilkan pendapatan operasional.

  a.

  Return on Asset (ROA) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba sebelum pajak) yang dihasilkan dari rata-rata total aset bank yang bersangkutan. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Laba sebelum pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional sebelum pajak. Sedangkan rata-rata total aset adalah rata-rata volume usaha atau aktiva.

  ROA = b. Return on Equity (ROE) Rasio ini digunakan untuk mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelolah modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Laba setelah pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional setelah dikurangi pajak sedangkan rata-rata total ekuitas adalah rata-rata modal inti yang dimiliki bank, perhitungan modal inti dilakukan berdasarkan ketentuan kewajiban modal minimum yang berlaku.

  ROE = c. Net Interest Margin (NIM), Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih. Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga.

  Semakin besar rasio ini maka meningkatnya pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.

  NIM = d. Beban Operasi Terhadap Pendapatan Operasi (BOPO), Rasio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Biaya operasional dihitung berdasarkan penjumlahan dari total beban bunga dan total beban operasional lainnya. Pendapatan operasional adalah penjumlahan dari total pendapatan bunga dan total pendapatan operasional lainnya.

  BOPO = 5. Likuiditas

  Likuiditas diukur dengan kemampuan perusahaan memenuhi kebutuhannya, misalnya untuk rasio lancar (quick ratio) digunakan untuk mengukur kemampuan aktiva lancar dalam menjamin hutang lancar perusahaan.

  LDR (Loan to Deposit Ratio), Rasio ini digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain, sedangkan untuk dana pihak ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat deposit Kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR)

  LDR =

2.1.7 Analisis Diskriminan Z-Score

  Rasio-rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari suatu perusahaan. Keterbatasan analisis rasio timbul dari kenyataan bahwa metodologinya pada dasarnya bersifat univariate, yang artinya setiap rasio diuji secara terpisah. Pengaruh kombinasi dari beberapa rasio hanya didasarkan pada pertimbangan para analis keuangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan analisis rasio digunakan analisis diskiminan. Analisis diskriminan menghasilkan suatu indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari beberapa pengelompokan yang bersifat a priori (Sawir, 2005:22)

  Analisis Z-Score dikembangkan oleh Prof. Edward Altman dengan tujuan untuk mendeteksi apakah suatu perusahaan diambang kebangkrutan (financial

  

distress). Metode ini disebut juga dengan Multiple Discriminant Analysis (MDA).

  Oleh karena itu analisis ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuangan suatu perusahaan. (Hamdan, et.al 2006:6)

  Bentuk dari fungsi analisis ini adalah sebagai berikut: Z = 1,2X

  1 + 1,4X 2 + 3,3X 3 + 0,6X 4 + 1,0X

  5 Dimana:

  X

  1 = Modal kerja /total aktiva

  X = Laba ditahan/ total aktiva

  2 X 3 = Laba sebelum bunga dan pajak/ total aktiva

  X

  4 = Nilai pasar ekuitas/ nilai buku dari total kewajiban

  X

  5 = Penjualan/ total aktiva

  Z = Indeks secara keseluruhan Untuk menganalisis hasil perhitungan model Z-Score, digunakan angka interpretasi yang dikembangkan oleh Prof. Edward Altman, yang akan mendiskriminasi posisi suatu perusahaan apakah akan bangkrut atau tidak yang dapat dilihat sebagai berikut

Tabel 2.3 Kriteria Analisis Z-Score Score Prediction

  Z > 2.99 Dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak mengalami kesulitan keuangan

  1.81 Z 2.99 Berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan, namun mungkin terselamatkan dan kemungkinan juga bangkrut sama besarnya, tergantung dari kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan

  Z < 1.81 Dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan yang sangat besar dan beresiko tinggi sehingga kemungkinan bangkrut akan besar

  Sumber: Sawir (2005:24) Nilai Z yang semakin besar, maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan tidak mengalami kegagalan usaha. Hasil penelitian ini, hanya signifikan untuk prediksi selama dua tahun ke depan. Formula Altman Z-Score merupakan kombinasi dari beberapa rasio keuangan yang dianggap dapat memprediksi kesehatan dan terjadinya kebangkrutan pada sebuah perusahaan.

  1. Modal Keja/Total Aktiva (X

  1 )

  Merupakan rasio yang mendekteksi likuiditas dari total aktiva dan posisi modal kerja (netto), dimana modal kerja diperoleh dari selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Jika diakitkan dengan indikator–indikator internal seperti ketidakcukupan kas, hutang dagang membengkak, utilitas modal (harta kekayaan) menurun, penambahan hutang yang tak terkendali dan beberapa indikator lainnya Perusahaan mengalami kesulitan keuangan pada umumnya modal kerjanya akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun (Sawir, 2005:25). Selisih antara sumber dana dan penggunaan dana akan menunjukkan modal kerja perusahaan itu bertambah atau berkurang. Jika terjadi sumber dana lebih besar daripada penggunaan dana, maka akan terjadi surplus yang berarti modal kerja bertambah, demikian pula sebaliknya akan terjadi defisit (modal kerja berkurang) apabila sumber dana lebih kecil daripada penggunaan dana. Modal kerja bertambah karena penjualan aktiva tetap, bertambahnya hutang jangka panjang, dan modal sendiri. Modal kerja berkurang karena pembilang aktiva tetap, hutang jangka panjang, dan modal sendiri.

  2. Laba Ditahan/Total Aktiva (X

  2 )

  Merupakan rasio – rasio profitabilitas yang mendeteksi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Rasio Laba Ditahan/Total Aktiva akan mengukur besarnya kemampuan suatu perusahaan dalam memperoleh keuntungan, ditinjau dari kemampuan perusahaan yang bersangkutan dalam memperoleh laba dibandingkan dengan kecepatan perputaran operating aset sebagai ukuran efisiensi usaha. Bila perusahaan mulai merugi, tentu saja nilai awal laba ditahan mulai turun. Bagi banyak perusahan, nilai dari rasio Laba Ditahan/Total Aktiva akan menjadi negatif (Sawir,2005:25).

  3. Laba Sebelum Bunga dan Pajak/ Total Aktiva (X

  3 )

  Merupakan rasio yang mengukur kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bagi semua investor termasuk pemegang saham dan obligasi. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan diantaranya adalah : piutang dagang meningkat, rugi terus menerus dalam beberapa semester, pendapatan menurun, terlambatnya hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang, serta kesediaan memberi kredit pada konsumen yang tak dapat membayar pada waktu yang ditetapkan

  Rasio ini dapat digunakan sebagai ukuran seberapa produktifitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar daripada rata – rata tingkat bunga yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang lebih banyak daripada bunga pinjaman (Sawir, 2005:25)

  4. Nilai Pasar Modal Sendiri (Modal Sendiri)/Total Hutang (X )

  4 Merupakan rasio yang mengukur aktivitas perusahaan. Rasio ini juga

  digunakan dalam bentuk persamaan net worth/total debt. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap hutangnya melalui modalnya sendiri. Umumnya perusahaan yang gagal adalah perusahaan yang mengkonsumsi lebih banyak hutang dibandingkan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini menunjukan perusahaan semakin dipercaya, artinya nilai perusahaan menjadi lebih tinggi. Rasio ini kebalikan dari debt

  equity ratio yang dikenal di dalam rasio keuangan (Sawir, 2005:25)

  5. Penjualan / Total Aktiva (X

  5 )

  Rasio Penjualan/Total aktiva merupakan rasio yang mendeteksi kemampuan perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam satu periode tertentu. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan oleh perusahaan untuk menghasilkan pendapatan (revenue). Semakin besar perputaran total aktiva semakin efektif perusahaan mengelola aktivanya Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah pada aktivitas perusahaan yang kemudian akan berpengaruh pada rasio-rasio tersebut di atas: pangsa pasar menurun, berpindahnya penguasaan pasar pada pesaing, modal kerja menurun, kepercayaan konsumen berkurang dan beberapa indikator lainnya.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat terlihat rasio-rasio yang digunakan dalam metode Altman Z–Score tidak hanya terfokus pada bagian-bagian keuangan perusahaan saja tetapi juga dapat dikorelasikan dengan beberapa indikator yang mungkin dapat mempengaruh rasio-rasio tersebut. Hal ini berarti bahwa implementasinya motede Altman Z-Score pada perusahaan di samping akan mendekteksi terjadinya kemungkinan kebangkrutan, juga akan mengarahkan perusahaan yang sedang mengalami masalah dengan memperhatikan indikator yang berkaitan dengan likuiditas, profitabilitas dan aktivitas perusahaan. Metode Altman Z-Score pertama kali dikembangkan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Pada dasarnya tujuan perhitungan nilai Z adalah untuk mengingatkan akan masalah keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius dan menyediakan petunjuk untuk bertindak. Bila nilai Z perusahaan lebih rendah daripada yang dikehendaki manajemen. Maka harus diamati laporan keuangan untuk mencari penyebab mengapa terjadi begitu. Hal yang menarik mengenai Altman Z-Score adalah keandalannya sebagai alat analisis tanpa memperhatikan bagaimana ukuran perusahaan. Meskipun perusahaan sangat makmur, tapi bila nilai Z mulai turun dengan tajam, perusahaan harus segera waspada dan mengambil langkah tepat untuk memperbaiki kinerjanya

  Pengamatan dimulai dengan menghitung nilai Z dari periode ke periode sebelumnya dan dibandingkan dengan nilai Z sekarang. Bila kecenderungan menurun, cobalah pahami apa yang telah berubah sehingga menghasilkan rasio-rasio yang menyebabkan skor jatuh. Memantau kecenderungan nilai Z akan membantu mengevaluasi perubahan keuangan perusahaan.

2.2 Penelitian Terdahulu

  1. Umar Hamdan dan Adi Wijaya (2006)

   Hamdan dan Wijaya (2006) melakukan penelitian dengan judul “Analisis

  Komparatif Risiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional dan BPR Syariah”, Penelitian ini dilakukan pada BPR di Sumatera Selatan. Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dan menganalisis tingkat risiko BPR Konvensional dan BPR Syariah. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis diskriminan dan analisis rasio keuangan yang terdiri dari: a.

  Rasio likuiditas dengan indikator: Asset to Loan Ratio, Cash Ratio, dan Loan to Deposit Ratio.

  b. Rasio solvabilitas dengan indikator: Capital Ratio, Capital Risk dan Capital Adequacy Ratio.

  c. Rasio rentabilitas dengan indikator: Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Return on Equity dan Return on Asset.

  Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: 1.

  Secara umum rasio-rasio likuiditas BPR syariah “F” relatif lebih baik dibanding BPR konvesional “S”

  2. Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukan kondisi sehat. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) kedua BPR diatas ketentuan minimum BI (8%). CAR pada BPR konvensional “S” tahun 2003 sebesar 23,95% dan BPR Syariah “F” sebesar 37,92% dari angka tersebut ternyata rasio solvabilitas BPR syariah “F” relatif lebih baik dibandingkan dengan rasio solvabilitas BPR konvensional “S”.

  3. Semua rasio rentabilitas kedua BPR adalah positif. Laba bersih terhadap pendapatan operasi (NPM) yang cukup baik, dimana pada BPR konvensional “S” sebesar 39,73% dan pada BPR syariah “F” sebesar 35,37% pada tahun 2003. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR syariah “F” relatif lebih rendah dibanding dengan BPR konvensional “S”.

4. Perbandingan tingkat risiko keuangan berdasarkan hasil analisis diskriminan

  (Z-Score) menunjukkan kedua BPR pada posisi “gray”. Namun nilai Z BPR syariah “F” relatif lebih tinggi dibanding BPR konvensional “S”, yang berarti risiko BPR Syariah “F” relatif lebih rendah dibandingkan BPR konvensional “S”.

  2 Sudartanto (2012) Sudartanto melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Komparatif Risiko

  Keuangan Pada Bank konvensional dan Bank Syariah (Studi Kasus pada Bank Rakyat Indonesia dan Bank Muamalat Indonesia)”. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan risiko keuangan bank konvensional dengan bank syariah. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis data laporan keuangan masing-masing bank pada tahun 2008-2010 menggunakan metode uji diskriminan Z-Score (Altman).

Dokumen yang terkait

Analisis Komparatif Risiko Keuangan Bank Mandiri Konvensional dan Bank Syariah Mandiri

3 70 116

Analisis Komparatif Risiko Keuangan Bank Konvensional dan Bank Syariah di Indonesia Pada Tahun 2012

1 17 55

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank - Analisis Kinerja Keuangan Berdasarkan Car, Roa, Roe Dan Eva Pada Bank Pembangunan Daerah Di Indonesia

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank - Analisis Komparatif Kinerja Keuangan Bank Pemerintah dan Bank Asing di Indonesia

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1. Bank Syariah 1. Pengertian Bank Syariah - Analisis Kesehatan Keuangan Dan Kinerja Sosial Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia

0 0 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian, Fungsi, Jenis – Jenis, dan Kinerja Keuangan Bank 2.1.1.1 Pengertian Bank - Analisis Kinerja Keuangan Bank Pemerintah Sebelum dan Sesudah Implementasi Kebijakan GCG

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bank 2.1.1 Pengertian Bank - Analisis Perbandingan Sistem Pemberian Kredit Pada Bank Konvensional Dan Pembiayaan Pada Bank Syariah

0 1 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Risiko dan Toleransi Risiko Keuangan 2.1.1.1 Pengertian Risiko - Analisis Toleransi Risiko Keuangan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Perkembangan Perbankan - Analisis Perbandingan Bank Konvensional Dan Bank Syariah Dengan Menggunakan Rasio Keuangan

0 0 28

1. CAR Tahun Modal Aktiva tertimbang menurut resiko CAR - Analisis Komparatif Risiko Keuangan Bank Mandiri Konvensional dan Bank Syariah Mandiri

0 0 25