TANTANGAN SEKTOR PERTANIAN INDONESIA DAL

TANTANGAN SEKTOR PERTANIAN INDONESIA
DALAM MENGHADAPI AEC
Masyarakat ekonomi negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN Economic
Community (AEC) 2015 merupakan kesepakatan yang berhubungan dengan
integrasi ekonomi dimana akan membawa liberalisasi ekonomi semakin luas di
ASEAN.
Tidak hanya sekadar liberalisasi perdagangan, AEC 2015 juga membuka liberalisasi
di bidang jasa, modal, tenaga kerja, investasi, dan masih banyak lainnya. Indonesia
yang termasuk didalamnya hanya tinggal mempunyai waktu persiapan yang singkat
untuk menuju AEC 2015 ini, tetapi kenyataannya seperti banyak yang telah
diberitakan dan dibicarakan oleh para ahli bahwa peran pemerintah dinilai masih
nihil karena program dan kebijakan yang pemerintah buat belum mampu berfungsi
secara maksimal bagi masyarakat Indonesia di banyak sektor kehidupan, khususnya
sektor pertanian.
Petani Indonesia layak khawatir.
Kekhawatiran terhadap “kekalahan” dalam persaingan pemasaran produk pangan
petani Indonesia dipasar itu saat ini memang dapat dipahami. Dilapangan, yang
dapat dilihat dipasar-pasar induk hingga pasar ritel modern dan pasar tradisional,
produk pangan petani Indonesia terus dihadapkan dengan produk import dalam
persaingan merebut peluang pasar. Saat ini, hampir semua pasar bahan pangan
pokok yang dibutuhkan konsumen Indonesia telah diwarnai adanya poduk import.

Penetrasi pasar produk pangan import yang dilakukan oleh pelaku pasar dari
Negara-negara lingkungan ASEAN maupun anggota APEC sudah mulai dilakukan
beberapa tahun lalu. Masuknya produk pangan import itu sebagian merupakan
upaya pemerintah untuk menutup kekurangan produk dalam negri dalam
memenuhi kebutuhan nasional. Produk pangan pokok yang “terpaksa” diimport itu
diantaranya beras, jagung, kedelai, terigu, kacang tanah, daging sapi, garam,
bawang putih. Tetapi tidak sedikit masuknya produk import itu merupakan upaya
aktif penetrasi pasar dari Negara-negara yang sangat aktif membantu petaninya
dalam menjual produknya keluar negri. Kelompok produk yang terakhir itu
diantaranya adalah berbagai jenis buah-buahan dan sayuran tertentu seperti
paprika, blomkol, hingga bawang Bombay.

Namun akhir-akhir ini, produk Bawang merah dan Cabe yang biasanya aman-aman
saja dipasar dengan produk domestic, mengalami kekurangan dibulan-bulan
tertentu. Dampaknya, harga Bawang merah & Cabe yang sebetulnya produk
nasional kita surplus itu, melonjak harganya hingga melampaui harga psikologis
yang layak bagi konsumen. Untuk mengatasi tingginya harga Bawang Merah &
Cabe yang memberatkan konsumen itu, pemerintah meloloskan ijin import. Sebuah
tindakan darurat yang bijaksana bagi konsumen, namun bisa berakibat buruk pada
para petani kalau proses produksi Bawang merah & Cabe ditingkat petani kita tidak

diperbaiki. Berdasarkan hasil study banding para petani Cabe dari Indonesia yang
difasilitasi oleh FAO pada bulan Juli lalu, Setyo Adhie selaku pimpinan
menginformasikan bahwa, harga pokok produksi atau break event point (BEP) di

Thailand sana hanya sekitar Rp 1.800,-/kg.!!. Sementara itu BEP produk Cabe yang
sama dari beberapa sentra produksi Cabe mulai dari Banyuwangi, Jember, Kediri,
Blitar, Magelang, Brebes, Majalengka hingga Garut berkisar antara Rp4.000,- hingga
Rp5.600,-/kg. Kabar lainnya datang dari Myanmar dan India, yang
menginformasikan bahwa BEP Bawang merah hanya sekiitar Rp1.250,-/kg.!!.
Sementara besarnya BEP produk Bawang merah dari sentra produksinya di
Probolinggo, Nganjuk dan Brebes yang merupakan suplayer terbesar pasar Bawang
merah di Indonesia rata-rata sebesar Rp3.846,-/kg. Bahkan dibeberapa daerah BEP
itu besarnya lebih dari Rp4.500,-/kg. Dari dua komoditi bumbu yang akhir-akhir ini
sempat meresahkan konsumen Indonesia itu agaknya memiliki masa depan yang
“suram” juga ditingkat petani. Kalau tidak segera diambil langkah-langkah cerdas
mengantisipasinya, nasibnya dapat seperti Bawang putih yang saat ini sudah lebih
dari 92% kebutuhan nasional kita dipenuhi dari produk import. Padahal ada sekitar
57.000 ha lahan di Indonesia ini yang potensial sebagai sentra produksi Bawang
putih. Tetapi upaya untuk melakukan “perlawanan” atau persaingan pasar komoditi
Bawang putih itu sangat lemah dilakukan oleh Indonesia. Bahkan pejabat

pemerintah yang membidangi ekonomi beberapa bulan lalu membuat pernyataan
bahwa, karena Indonesia tidak cocok untuk mengembangkan tanaman Bawang
putih, maka kita harus import. !!!. Sebuah pernyataan yang keliru.

Agaknya rendahnya BEP komoditi Cabe dan Bawang Merah dinegara-negara ASEAN
atau kelompok APEC yang begitu rendah atau efisien itu juga terjadi pada komoditi
Bawang putih. Di China, BEP Bawang putih import yang dipasar induk Osowilangun
– Surabaya harga terendahnya Rp4.800,-/kg didua bulan terakhir, kabarnya kurang
dari Rp3.000,-/kg. Sementara Bawang putih local dari lereng G. Sumbing –
Magelang atau dari dataran tinggi Kabupaten Bima – NTB, yang umbinya lebih kecil
dari Bawang import itu, besarnya BEP masih lebih dari Rp5.000,-/kg. Untuk itulah
maka berdasarkan keterangan Amin seorang petani Bawang putih dari Kabupaten
Bima, petani harus menjual Bawang putihnya dengan harga sekitar Rp9.000,-/kg.
Bukan hanya Bawang Merah, Cabe atau Bawang putih, komoditi pangan lainnya
seperti beras, jagung, kedelai hingga buah-buahan seperti Jeruk atau Melon,
agaknya BEP-nya masih jauh lebih tinggi dibanding dengan produk import. Itu
berarti, dalam strategi pasar, dalam persaingan bebas nanti, produk-produk dengan
BEP rendah itu akan menang bersaing. Itu artinya sebuah ancaman bagi produk
petani Indonesia dalam percaturan pasar yang akan menglobal mulai
diberlakukannya AEC-2015 nanti.

Bagaimanakah peran pemerintah?
Walaupun belum berfungsi secara maksimal, tetapi keterlibatan pemerintah dalam
membantu para petani untuk menghadapi AEC 2015 dapat membuat mereka
sedikit bernafas lega. Ada beberapa kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah
seperti memberikan bimbingan dan penyuluhan dimulai dari tingkat desa mengenai
cara bertani yang baik dan bagaimana memajukan sektor pertanian agar produk
yang dihasilkan dapat diterima di pasaran serta dapat bersaing dengan lainnya.
Kemudian, Kementerian Pertanian sendiri juga mengadakan workshop nasional
persiapan sektor pertanian menghadapi AEC 2015 yang dilaksanakan di Bandung
pada Kamis, 18 April 2013. Selanjutnya, pemerintah juga tengah melakukan uji
coba program penargetan satu juta hektar tanaman milik petani di Indonesia akan

diasuransikan melalui program Asuransi Milik Negara yang bertujuan untuk
melindungi petani-petani kecil.
Walaupun ada keterlibatan pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut,
tetapi jika dilihat dari sudut pandang petani maka para petani tetap merasa sangat
rugi karena masyarakat sendiri lebih memilih produk pertanian luar negeri
dibandingkan dalam negeri apalagi semua kebutuhan sekarang menjadi mahal
sehingga apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka petani-petani tersebut
tidak ingin lagi berproduksi, akibatnya semua barang harus diimpor dan tidak ada

lagi barang yang akan diekspor keluar. Jika hal tersebut terjadi maka tidak ada
pendapatan yang masuk sebagai cadangan devisa dan defisit neraca perdagangan
akan terus bertambah. Apalagi, dari dulu negara kita dikenal sebagai negara agraris
yang mempunyai tanah yang subur dan pernah mendapatkan penghargaan
“swamsembada pangan” yang diberikan oleh FAO berkat kemajuan sektor pertanian
yang sangat pesat.
Untuk menghadapi semua permasalahan tersebut, maka ada banyak pekerjaan
rumah yang harus dilakukan. Beberapa solusi yang mungkin dapat digunakan
adalah pertama, memanfaatkan secara penuh dan maksimal program dan kebijakan
pemerintah yang telah dibuat sampai menyentuh ke lapisan petani kecil yang ada
di desa-desa terpencil seperti adanya penyuluh pertanian minimal satu orang di
setiap desa yang dapat membimbing para petani kapan saja. Kedua, pelaksanaan
program 3P yaitu Penyadaran (membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri para
petani), Peningkatan kapasitas (meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku petani sehingga dapat mendorong proses peningkatan pertanian), dan
Pemberdayaan (proses perubahan sosial yang terencana dan melibatkan secara
aktif para petani sehingga terwujud masyarakat petani yang sejahtera dan mandiri).
Ketiga, diberlakukannya standarisasi produk-produk pertanian dan pemberian
ekolabel oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) ke semua produk pertanian maupun
non pertanian agar barang-barang yang diekspor ke luar negeri dapat mudah

diterima akan produk yang dihasilkan oleh Indonesia dan bebas masuk di pasar luar
negeri tersebut. Keempat, memanfaatkan lahan yang ada dengan sebaik-baiknya
dan mengembalikan cara tanam petani dengan cara organik tanpa pestisida dan
obat-obat kimia serta menggunakan teknologi yang tepat guna dan alat-alat
canggih yang selama ini telah banyak ditemukan oleh para peneliti dan generasi
muda tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal hanya sebagai wacana saja
sehingga momentum ini dapat menguntungkan bagi semuanya, apalagi menjadikan
petani lebih produktif lagi jika kebutuhan pangan di Indonesia hampir seluruhnya
bisa berasal dari produksi sektor pertanian dalam negeri sendiri tetapi juga tetap
dapat mengekspor produk-produknya ke luar negeri.

Mengingat bahwa luas daratan yang dimiliki Indonesia lebih besar dan tingkat
konsumsi yang tinggi terhadap hasil pertanian. Oleh sebab itu, pertanian harus
menjadi perhatian khusus Pemerintah Indonesia dalam menghadapi AEC ini.

Tindakan pemerintah untuk menopang komitmen Indonesia dalam mewujudkan AEC
2015 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar

Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal, dipandang hanya akan memberikan keuntungan bagi pihakpihak tertentu, bukan petani Indonesia. Perpres tersebut mengatur mengenai:

Investasi asing diperbolehkan hingga 49% untuk usaha budidaya tanaman pangan
seluas lebih dari 25 hektar.
Investasi asing diperbolehkan hingga 95% untuk usaha perkebunan dalam hal
perbenihan bagi usaha seluas lebih dari 25 hektar.
Investasi asing diperbolehkan hingga 30% untuk usaha perbenihan dan budidaya
hortikultura

Melihat bahwa sektor pertanian masih tertinggal dan dibebani volume impor
komoditas pangan dan hortikultura; kegagalan panen akibat kemarau dan
gangguan hama; serta petani Indonesia rata-rata berusia 55-60 tahun dan tidak
memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai akan menyulitkan memasuki
pasar bebas ASEAN.

Indonesia dengan populasi luas kawasan dan ekonomi terbesar di ASEAN dapat
menggerakan pemerintah untuk lebih tanggap terhadap kepentingan nasional
khususnya pertanian. Untuk itu, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian
perlu mengambil langkah-langkah:
Menghitung kesiapan dan daya dukung nasional dalam menghadapi pasar bebas
ASEAN. Untuk itu Perpres No.39/2014 perlu dievaluasi mengingat sangat merugikan
petani Indonesia.

Mendongkrak kapasitas produksi, kualitas pengetahuan dan permodalan agar
Indonesia tidak bergantung pada impor.
Menyiapkan perlindungan bagi petani dengan penetapan tarif maksimal untuk
produk impor.
Menyediakan subsidi dan pengadaan kredit lunak bagi petani guna meningkatkan
kemampuan mereka memasok kebutuhan pertanain seperti benih dan pupuk.

Nah, sekarang dengan lebih mengetahui apa saja yang menjadi tantangan para
pelaku usaha pertanian, kita bisa lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi AEC.
Kedepan, penguatan pertanian dalam negeri akan memberikan keunggulan
kompetitif dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Sumber

: www.paskomnas.com
www.Pancanaka.org

www.distan.banggaikab.go.id