Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkemba
Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkembangannya dalam Kajian
Islam
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Multidisiplin
Ayis Mukholik
Muhammad Refani
Fardana Khirzul Haq
Muhammad Fajaruddin Muttaqin Dalimunthe
Ahmad Faiz Yunus
Eka Yulianti
Nur Atika Dwi Adjeng
Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam
Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia
2016
1
Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkembangannya dalam Kajian Islam
A. Pendahuluan
The Structure of Scientific Revolutions merupakan buku yang ditulis oleh
Thomas Kuhn untuk melawan arus ilmuwan empiris dengan Positivisme. Kuhn
sendiri menegaskan bahwa proses perubahan dan perkembangan paradigma ilmu
pengetahuan berjalan lambat dan bertahap.
Seperti apakah teori paradigma yang ditawarkan oleh Kuhn? Bisakah teori ini
diterapkan dalam kajian Islam?
B. Latar Belakang Pemikiran Thomas Kuhn
Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel Kuhn lahir di Cicinnati, Ohio pada
tanggal 18 juli 1922. Ayahnya adalah Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri
dan ibunya bernama Minette Stroock Kuhn. Pada tahun 1946 Kuhn belajar
sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan gelar Ph.D
dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahun berada di Harvard Junior Fellow sangat
mempengaruhi perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah (dan
filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada
pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James
Conant.1
Sesaat setelah meninggalkan Harvard, Kuhn belajar di Universtitas Berkeley
di California sekaligus sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia
menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menulis bukunya
yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun
1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 19641979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991.
Kuhn memperoleh banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya
dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow
dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain. Pada tahun 1994,
Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia wafat pada tahun
1996.2
1
2
Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham, Acumen: 2000) Hal. 1
http://tech.mit.edu/V116/N28/kuhn.28n.html
2
C. Paradigma
Paradigma merupakan konsep utama yang dikemukakan oleh Kuhn. Meski
pada kenyataannya Kuhn sendiri tidak banyak menguraikan tentang paradigma
secara jelas. Margaret Masterman menatakan bahwa Kuhn menggunakan konsep
paradigma paling tidak dalam dua puluh satu cara yang berbeda-beda. 3 Kuhn
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak berlangsung sebagai akumulasi
pengetahuan menurut suatu garis lurus, melainkan menurut suatu revolusi yang
berkala, inilah yang disebut dengan perubahan paradigma (Paradigm shift). 4
Istilah paradigma sendiri diambil dari Bahasa Latin yang memiliki arti “Pola,
contoh atau model”. Dalam Bahasa Yunani disebut Paradeigma.5 Dalam
pengertian lain, paradigma adalah kerangka kerja, hasil, dan prosedur di mana
pekerjaan berikutnya menjadi terstruktur. Dari beberapa pengertian di atas, bisa
disimpulkan bahwa, paling tidak paradigma memiliki pengertian sebagai berikut:
1. Cara memandang sesuatu.
2. Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola dan contoh yang mana dari
model-model inilah fenomena yang ada dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan suatu
studi ilmiah yang nyata dan konkret.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem.6
Pada dasarnya, Kuhn menyatakan bahwa paradigma merupakan kerangka
referensi atau pandangan dunia (worldview) yang dijadikan dasar keakinan dan
pijakan suatu teori.7
Paradigma ada dasarnya mengajak kita melihat sesuatu lebih dalam dan
membuat kita terhindar dari hal-hal lain. Inilah bagaimana kita melihat dunia.
Karena kita sendiri yang melihat dunia, kita tidak bisa menanggalkan subjektifitas
kita dalam memandangnya. Kita melihat dunia bukan karena dunia begitulah
adanya, tapi kita melihatnya sebagaimana siapa kita sebenarnya.
3
George Ritzer, Sociological Theory (New York, McGraw Hill: 2011) Hal. Appendix 2.
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta, Kompas:
2015) Hal. 98.
5
http://www.etymonline.com/index.php?term=paradigm
6
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta, Rajawali Press: 2016) Hal. 155.
7
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam (Bandung, Pustaka Setia:
2011) Hal. 398.
4
3
Secara tidak langsung Kuhn menentang pendapat yang menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan mengumpulkan pengetahuan dengan cara objektif, yaitu
mengumpulkan data dan menafikan penilaian. Menurut Kuhn, apa yang telah
dihasilkan oleh ilmiah, selalu dipengaruhi oleh kondisi dan keadaan, gaya dan tren
juga politik dan kekuasaan.8
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner,
yaitu ketika ada peralihan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma
ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni (Paradigm shift)9. Fase-fase yang
terjadi adalah sebagai berikut:
1. Pre-Paradigmatic Stage yaitu fase dimana ilmu pengetahuan belum
memiliki landasan metode, teori dan konsep, dengan kata lain, belum
memiliki paradigma. Para ilmuwan belum mempunyai kesepakatan
konseptual sebagai pijakan teori terhadap objek tertentu yang samasama mereka teliti.
2. Normal Science, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran
pemikiran (teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya.
Inilah hasil dari suatu paradigma yang sudah disepakati oleh komunitas
ilmiah.10
3. Anomaly, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis
ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan
dalam memecahkan masalah yang baru. Dalam sosiologi disebut
anomi, yaitu tidak berlakunya norma yang lama, sementara belum ada
norma baru yang muncul. Dalam ilmu pengetahuan, disebut dengan
krisis, yaitu anomali yang muncul pada ilmu pengetahuan dan belum
ada ilmu pengetahuan baru yang menggantikannya. Dalam teori sosial
kritis istilah ini disebut kontradiksi, yaitu anomali yang muncul di
masyarakat.
PreParadigmatic
Stage
8
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 157.
Rifqi
Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner
Paradigmatic
(Yogyakarta:
War LKiS, 2015). Hal. 22.
Normal Science
10
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 160.
9
4
Paradigmatic
Anomaly
Crisis
New
Paradigmatic
War
Paradigma-Shift/
Scientific
Revolution
Normal Science
4. Puzzle solving11, fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan
sudah mampu memecahkan masalah krisis yang dihadapi pada fase
sebelumnya.
Merujuk pada skema di atas, selama suatu paradigma yang dipakai
memberikan hasil, kegagalan dalam menerapkan paradigma tersebut dalam ilmu
pengetahuan
dipandang
sebagai
kesalahan
penerapan
ilmuwan,
yang
membutuhkan evaluasi dan perbaikan. Hal ini sangat berbeda dari pendapat
Popper mengenai bagaimana mempersoalkan kriteria falibilitas. Jika anomali yang
terjadi semakin sering dan tak terbendung, hal ini akan menimbulkan krisis yang
mengarahkan pada sebuah paradigma baru. Inilah yang disebut dengan proses
revolusi ilmu pengetahuan.12
Contoh dalam Pre-Paradigmatic Stage adalah ketika era klasik sampai pada
akhir abad ke-17, dimana tidak ada kesepakatan umum tentang sifat cahaya,
bahkan banyak aliran bersaing dalam argumennya masing-masing. Sebagian
mengatakan cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda berwujud;
bagi yang lain berpendapat bahwa cahaya adalah modifikasi dari medium yang
menghalang di antara benda tersebut dengan mata; ada juga pendapat yang
mengatakan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh
mata. Setiap aliran menekankan pendapat masing-masing. Barulah pada abad ke18 dengan menimba inspirasi dari semua kajian sebelumnya, Newton
11
Meminjam istilah dari T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran dari bukunya yang
berjudul Filsafat Ilmu Pengetahuan.
12
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hal. 98-99.
5
merumuskan sebuah paradigma bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus,
sejak saat itulah paradigma ini hampir diterima serempak dalam bidang optik
fisika.13
Dalam contoh lain, bahwa suatu ketika dikatakan air dan alkohol itu satu,
setelah bertahan cukup lama pendapat tersebut, ada pernyataan bahwa air dan
alkohol terpisah, keduanya dapat dipisahkan melalui pemanasan dan disatukan
dalam proporsi tertentu. Dalam hal ini, tidak bisa diartikan bahwa pemahaman
tenang air dan alkohol yang satu tidak berlaku lagi, tapi pengetahuan tersebut
mengalami perubahan yang mendasar, atau perubahan paradigma.14
Paradigma lama setelah tidak mampu bertahan, akan digantikan dengan
paradigma baru yang sangat berbeda dari paradigma yang lama. Inilah yang
disebut dengan incommensurable, yaitu tidak mungkin mengetahui paradigm baru
melalui paradigma yang lama. Dari sinilah Kuhn menyimpulkan bahwa sains
merupakan social process, relatif dan tergantung pada faktor sosial yang berupa
masyarakat ilmuwan.15
D. Paradigma dalam Kajian Islam
Untuk mengetahui Paradigma dalam kajian Islam, maka diperlukan sebuah
paradigma pembanding, yaitu dengan erangkat dari sebuah pemahaman bahwa
paradigma dalam kajian Islam dan paradigma kajian ilmu pengetahuan di barat
(positivistik) sangat berbeda. Kajian positivistik memiliki paradigma hegemonik
dan empiris, sedangkan kajian Islam sendiri memiliki paradigma teologis.
Paradigma berpikir yang dikembangkan Barat saat ini, menurut Muhammad
Arkoun (1994), telah gagal membimbing cita-cita humanisme umat manusia.
Modernisasi di Barat cenderung mengarah kepada terbentuknya masyarakat
sekuler. Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa modernisme dan
modernisasi hanya akan menciptakan secular city; ia adalah lonceng kematian
bagi agama. Menurut teori ini, semakin modern suatu masyarakat, semakin jauh
pula mereka dari agama; agama diprediksikan tidak akan pernah bangkit lagi
dalam arus modernisasi dan sekularisasi yang tidak terbendung. Dengan kata lain,
modernisme di samping sangat mengagulkan kemajuan materiil dan intelektual,
13
14
15
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 158.
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hal. 100.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 164.
6
juga punya kecenderungan kuat untuk menghilangkan atau mematikan
spiritualitas.16
Berkenaan dengan perbedaan paradigma ini, menurut Kuhn, tidak bisa diambil
kesimpulan bahwa salah satu dari keduanya terdapat kebenaran, sedang yang
satunya sebagai pihak yang salah. Namun keduanya memiliki kaidah atau pola
pikir
sendiri
yang
telah
disepakati
oleh
masing-masing
komunitas
pendukungnya.17
Dilihat dari konteks sains, paradigma bisa juga disebut dengan worldview.
Sehingga istilah worldview islam lebih sering didengar daripada paradigma islam.
Penekanan yang perlu dilakukan adalah bahwa Islam bukanlah paradigma, namun
pemahaman tentang islam itulah yang disebut paradigma. Dalam melihat perbedaan
paradigma antara islam dan barat, maka bisa disimpulkan sebagai berikut:
1
2
Paradigma Islam
Paradigma barat
Prinsip
Prinsip
Tauhidy
dikotomi
Asas
Asas
Wahyu, hadits, akal, pengalaman
Rasio, spekulatif, filosofis
dan intuisi
3
Sifat
Sifat
Otentitas dan finalitas
Rasionalitas, terbuka dan selalu
berubah
4
5
Makna Realitas
Makna Realitas
Kajian metafisis
Sosial kultual empiris
Objek Kajian
Objek Kajian
Visible and invisible
Tata nilai masyarakat
Perbedaan mendasar antara paradigma islam dan Barat di atas akan lebih
mudah dipahami dengan sebuah contoh. Beberapa orientalis modern dan
kontemporer mencoba menerapkan pendekatan ilmiah dalam studi mereka
terhadap islam. Hal ini dianggap ilmiah dibandingkan pendekatan teologis,
16
http://hasby.lecture.ub.ac.id/archives/60
Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner, Hal.
24.
17
7
sehingga banyak yang menerapkannya terhadap al-Qur’an, hadits dan syari’ah. 18
Meskipun hal ini menurut mereka objektif, tapi, seperti apa yang dikatakan oleh
Kuhn, bahwa apa yang telah dihasilkan oleh ilmiah, selalu dipengaruhi oleh
kondisi dan keadaan, gaya dan tren juga politik dan kekuasaan, 19 hal ini tidak bisa
diterima sepenuhnya, mengingat beberapa orientalis memiliki asas dalam
paradigma mereka berupa rasio, spekulatif dan filosofis, sedangkan dalam
paradigma islam berasaskan wahyu, hadits, akal dan intuisi. Hal ini seperti yang
dikatakan oleh Kuhn bahwa tidak adanya kesepakatan ilmiah dan perbedaan
paradigma membuat hal ini tidak bisa dianggap objektif.
Selain hal diatas, dalam tradisi keilmuan Islam, ulama masa lampau sudah
melakukan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki otentisitas hadits. Artinya bahwa
seorang periwayat hadits yang terpercaya tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang
mencukupi, tapi dari perilaku dan karakter yang baik. Perlaku baik tidak hanya
pada tataran aksiologi ilmu, namun juga pada ontologi dan epistemologi. Inilah
mmetodologi yang digunakan dalam menyelidiki hadits. Hal ini bisa terlaksana
jika paradigma para penyelidik sama, dalam hal ini semua memiliki kesepakatan
ilmiah dalam penelitiannya.20
Dalam masalah Paradigma-Shift atau pergeseran paradigma, Pergeseran
paradigma pemahaman keagamaan dalam bidang fiqh sempat terjadi. Hal ini bisa
diambil contoh dari Syafi’i dengan konsep qaul qadim dan qaul jadid. Perbedaan
paradigma dan kondisi sosial pada akhirnya membuat Syafi’i mengeluarkan dua
fatwa tersebut. Qaul qadim adalah pendapat As Syafi’i yang pertama kali di
fatwakan ketika beliau tinggal di Baghdad (Th. 195 H.) Qaul jadid adalah
pendapat Imam Syafi’i di Mesir baik berupa tulisan maunpun fatwa.21
Fungsi Islam adalah sebagai pedoman mutlak umat Islam dalam membangun
paradigma. Sedangkan paradigma bermanfaat memandu umat Islam dalam
memahami
teks,
mengamalkan,
dan
mengembangkan
peradaban
serta
kehidupannya. Gagasan Kuhn dalam paradigma memang bisa bermanfaat bagi
khazanah keilmuwan islam, namun tidak semuanya mutlak bisa digunakan dalam
18
Adnin Armas, “Metodologi Ilmiah dalam Islam” dalam Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam
et. Adian Husaini (Jakarta, Gema Insani: 2013) Hal. 166-167.
19
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 157.
20
Adnin Armas, “Metodologi Ilmiah dalam Islam” dalam Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam
et. Adian Husaini (Jakarta, Gema Insani: 2013) Hal. 178-184.
21
https://rumaysho.com/11539-mengenal-qaul-jadid-dan-qaul-qadim-dari-imam-syafii.html
8
pengembangan kajian Islam. Bagaimanapun, nilai-nilai pokok Islam seperti
akidah (ketauhidan), tidak bisa direvolusi, Karena ini bersifat mutlak.22
Paradigma islam ini memerlukan kerangka konsep keilmuan yang mana bisa
didapatkan dengan kegiatan keilmuan. Jika Paradigma masyarakat telah memiliki
konsep-konsep ilmu dan disiplinnya maka hal itu akan berkembang melalui caracara ilmiah.
Hal ini bisa kita lihat dari beberapa periode keilmuan yang dialami umat
islam:
1. Periode turunnya wahyu
Pada tahap ini paradigma islam bermuara pada Nabi Muhammad sebagai
pembawa wahyu dan juga orang yang menjelaskan wahyu tersebut.
2. Periode Madinah
Pada periode ini wahyu yang diturunkan mengandung tema-tema tentang
penyempurnaan ibadah. Pada periode kedua ini timbul kesadaran bahwa
wahyu mengandung struktur fundamental paradigma ilmiah. Munculnya
istilah Iman, Halal, Haram dll. Telah menjadi kerangka untuk memicu
timbulnya gerakan keilmuan.
3. Periode lahirnya tradisi keilmuan dalam dunia islam
Di periode inilah telah terjadi beberapa tradisi keilmuan seperti kajian hadits
dll. Yang dimulai di Kuffah. Kelahiran Tradisi intelektual Islam bukti adanya
masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam.
Penentuan disiplin suatu ilmu biasanya dilakukan oleh masyarakat yang
memiliki tradisi ilmiah. Dalam hal ini Prof. Alparslan membagi 3 tahap
terbentuknya suatu disiplin ilmu:
1. Tahap problematik, (problematic stage) yaitu tahap dimana berbagai
problem kajian dijaji secara acak dan ber tanpa pembatasan pada bidangbidang kajian tertentu. Ini berlaku untuk beberapa lama.
2. Tahap disipliner, (disciplinary stage) yaitu tahap dimana masyarakat yang
telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan
metode pembahasan ditentukan sesuai dengan bidang masing-masing.
3. Tahap penamaan, (naming pada tahap ini bidang yang telah memiliki
materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.23
22
Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner, Hal.
27.
23
Alparslan Acikgence,Islamic Science, Towards Definition (Kuala Lumpur, ISTAC: 1996)
hal:68
9
E. Kesimpulan
Ide-ide Kuhn memang di satu sisi oleh kalangan positivistik tidak bisa dikatan
ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang cermelangnya tersebut, Khunian bisa
menyentuh konteks masyarakat yang tidak bisa dijangkau oleh kaum positivistik.
Misalnya, apakah kaum positivistik bisa menyentuh aspek sosiologis, psikologis,
dan kepercayaan yang menancap kuat (benar-benar ada) pada suatu fenomena
secara tepat dan mendalam.
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan bahwa gagasan
paradigma dan revolusi ilmu pengetahuannya telah membuka jalan lebar bagi
segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri.
Kajian Islam memliki tradisi keilmuan tersendiri yang berdasarkan aturanaturan tertentu. Hal ini sebenarnya sudah cukup ilmiah, namun di satu sisi, kajian
islam yang mana sebagai suatu senjata agama Islam untuk mengembangkan
ajarannya perlu diinovasi dan diperbarui. Yakni, salah satunya dengan cara
reinterpasi atau penafsiran ulang terhadap sebagian paradigma lama yang
dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah kekinian, namun tetap
pada koridor yang sudah ditetapkan.
F. Daftar Pustaka
Bird, Alexander. Thomas Kuhn Chesham, Acumen: 2000
Ritzer, George. Sociological Theory New York, McGraw Hill: 2011
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu
Pengetahuan Jakarta, Kompas: 2015
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer Jakarta, Rajawali
Press: 2016
10
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam,
Bandung, Pustaka Setia: 2011
Amin, Riqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi
Berbasis Interdisipliner Yogyakarta: LKiS, 2015
Husaini, Adian. Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam, Jakarta, Gema
Insani: 2013.
Acikgence, Alparslan. Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur,
ISTAC: 1996
11
Islam
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Filsafat Ilmu dan Pendekatan Multidisiplin
Ayis Mukholik
Muhammad Refani
Fardana Khirzul Haq
Muhammad Fajaruddin Muttaqin Dalimunthe
Ahmad Faiz Yunus
Eka Yulianti
Nur Atika Dwi Adjeng
Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam
Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia
2016
1
Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Perkembangannya dalam Kajian Islam
A. Pendahuluan
The Structure of Scientific Revolutions merupakan buku yang ditulis oleh
Thomas Kuhn untuk melawan arus ilmuwan empiris dengan Positivisme. Kuhn
sendiri menegaskan bahwa proses perubahan dan perkembangan paradigma ilmu
pengetahuan berjalan lambat dan bertahap.
Seperti apakah teori paradigma yang ditawarkan oleh Kuhn? Bisakah teori ini
diterapkan dalam kajian Islam?
B. Latar Belakang Pemikiran Thomas Kuhn
Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel Kuhn lahir di Cicinnati, Ohio pada
tanggal 18 juli 1922. Ayahnya adalah Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri
dan ibunya bernama Minette Stroock Kuhn. Pada tahun 1946 Kuhn belajar
sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan gelar Ph.D
dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahun berada di Harvard Junior Fellow sangat
mempengaruhi perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah (dan
filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada
pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James
Conant.1
Sesaat setelah meninggalkan Harvard, Kuhn belajar di Universtitas Berkeley
di California sekaligus sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia
menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menulis bukunya
yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun
1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 19641979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991.
Kuhn memperoleh banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya
dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow
dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain. Pada tahun 1994,
Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia wafat pada tahun
1996.2
1
2
Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham, Acumen: 2000) Hal. 1
http://tech.mit.edu/V116/N28/kuhn.28n.html
2
C. Paradigma
Paradigma merupakan konsep utama yang dikemukakan oleh Kuhn. Meski
pada kenyataannya Kuhn sendiri tidak banyak menguraikan tentang paradigma
secara jelas. Margaret Masterman menatakan bahwa Kuhn menggunakan konsep
paradigma paling tidak dalam dua puluh satu cara yang berbeda-beda. 3 Kuhn
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak berlangsung sebagai akumulasi
pengetahuan menurut suatu garis lurus, melainkan menurut suatu revolusi yang
berkala, inilah yang disebut dengan perubahan paradigma (Paradigm shift). 4
Istilah paradigma sendiri diambil dari Bahasa Latin yang memiliki arti “Pola,
contoh atau model”. Dalam Bahasa Yunani disebut Paradeigma.5 Dalam
pengertian lain, paradigma adalah kerangka kerja, hasil, dan prosedur di mana
pekerjaan berikutnya menjadi terstruktur. Dari beberapa pengertian di atas, bisa
disimpulkan bahwa, paling tidak paradigma memiliki pengertian sebagai berikut:
1. Cara memandang sesuatu.
2. Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola dan contoh yang mana dari
model-model inilah fenomena yang ada dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan suatu
studi ilmiah yang nyata dan konkret.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem.6
Pada dasarnya, Kuhn menyatakan bahwa paradigma merupakan kerangka
referensi atau pandangan dunia (worldview) yang dijadikan dasar keakinan dan
pijakan suatu teori.7
Paradigma ada dasarnya mengajak kita melihat sesuatu lebih dalam dan
membuat kita terhindar dari hal-hal lain. Inilah bagaimana kita melihat dunia.
Karena kita sendiri yang melihat dunia, kita tidak bisa menanggalkan subjektifitas
kita dalam memandangnya. Kita melihat dunia bukan karena dunia begitulah
adanya, tapi kita melihatnya sebagaimana siapa kita sebenarnya.
3
George Ritzer, Sociological Theory (New York, McGraw Hill: 2011) Hal. Appendix 2.
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta, Kompas:
2015) Hal. 98.
5
http://www.etymonline.com/index.php?term=paradigm
6
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta, Rajawali Press: 2016) Hal. 155.
7
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam (Bandung, Pustaka Setia:
2011) Hal. 398.
4
3
Secara tidak langsung Kuhn menentang pendapat yang menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan mengumpulkan pengetahuan dengan cara objektif, yaitu
mengumpulkan data dan menafikan penilaian. Menurut Kuhn, apa yang telah
dihasilkan oleh ilmiah, selalu dipengaruhi oleh kondisi dan keadaan, gaya dan tren
juga politik dan kekuasaan.8
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner,
yaitu ketika ada peralihan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma
ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni (Paradigm shift)9. Fase-fase yang
terjadi adalah sebagai berikut:
1. Pre-Paradigmatic Stage yaitu fase dimana ilmu pengetahuan belum
memiliki landasan metode, teori dan konsep, dengan kata lain, belum
memiliki paradigma. Para ilmuwan belum mempunyai kesepakatan
konseptual sebagai pijakan teori terhadap objek tertentu yang samasama mereka teliti.
2. Normal Science, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran
pemikiran (teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya.
Inilah hasil dari suatu paradigma yang sudah disepakati oleh komunitas
ilmiah.10
3. Anomaly, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis
ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan
dalam memecahkan masalah yang baru. Dalam sosiologi disebut
anomi, yaitu tidak berlakunya norma yang lama, sementara belum ada
norma baru yang muncul. Dalam ilmu pengetahuan, disebut dengan
krisis, yaitu anomali yang muncul pada ilmu pengetahuan dan belum
ada ilmu pengetahuan baru yang menggantikannya. Dalam teori sosial
kritis istilah ini disebut kontradiksi, yaitu anomali yang muncul di
masyarakat.
PreParadigmatic
Stage
8
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 157.
Rifqi
Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner
Paradigmatic
(Yogyakarta:
War LKiS, 2015). Hal. 22.
Normal Science
10
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 160.
9
4
Paradigmatic
Anomaly
Crisis
New
Paradigmatic
War
Paradigma-Shift/
Scientific
Revolution
Normal Science
4. Puzzle solving11, fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan
sudah mampu memecahkan masalah krisis yang dihadapi pada fase
sebelumnya.
Merujuk pada skema di atas, selama suatu paradigma yang dipakai
memberikan hasil, kegagalan dalam menerapkan paradigma tersebut dalam ilmu
pengetahuan
dipandang
sebagai
kesalahan
penerapan
ilmuwan,
yang
membutuhkan evaluasi dan perbaikan. Hal ini sangat berbeda dari pendapat
Popper mengenai bagaimana mempersoalkan kriteria falibilitas. Jika anomali yang
terjadi semakin sering dan tak terbendung, hal ini akan menimbulkan krisis yang
mengarahkan pada sebuah paradigma baru. Inilah yang disebut dengan proses
revolusi ilmu pengetahuan.12
Contoh dalam Pre-Paradigmatic Stage adalah ketika era klasik sampai pada
akhir abad ke-17, dimana tidak ada kesepakatan umum tentang sifat cahaya,
bahkan banyak aliran bersaing dalam argumennya masing-masing. Sebagian
mengatakan cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda berwujud;
bagi yang lain berpendapat bahwa cahaya adalah modifikasi dari medium yang
menghalang di antara benda tersebut dengan mata; ada juga pendapat yang
mengatakan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh
mata. Setiap aliran menekankan pendapat masing-masing. Barulah pada abad ke18 dengan menimba inspirasi dari semua kajian sebelumnya, Newton
11
Meminjam istilah dari T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran dari bukunya yang
berjudul Filsafat Ilmu Pengetahuan.
12
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hal. 98-99.
5
merumuskan sebuah paradigma bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus,
sejak saat itulah paradigma ini hampir diterima serempak dalam bidang optik
fisika.13
Dalam contoh lain, bahwa suatu ketika dikatakan air dan alkohol itu satu,
setelah bertahan cukup lama pendapat tersebut, ada pernyataan bahwa air dan
alkohol terpisah, keduanya dapat dipisahkan melalui pemanasan dan disatukan
dalam proporsi tertentu. Dalam hal ini, tidak bisa diartikan bahwa pemahaman
tenang air dan alkohol yang satu tidak berlaku lagi, tapi pengetahuan tersebut
mengalami perubahan yang mendasar, atau perubahan paradigma.14
Paradigma lama setelah tidak mampu bertahan, akan digantikan dengan
paradigma baru yang sangat berbeda dari paradigma yang lama. Inilah yang
disebut dengan incommensurable, yaitu tidak mungkin mengetahui paradigm baru
melalui paradigma yang lama. Dari sinilah Kuhn menyimpulkan bahwa sains
merupakan social process, relatif dan tergantung pada faktor sosial yang berupa
masyarakat ilmuwan.15
D. Paradigma dalam Kajian Islam
Untuk mengetahui Paradigma dalam kajian Islam, maka diperlukan sebuah
paradigma pembanding, yaitu dengan erangkat dari sebuah pemahaman bahwa
paradigma dalam kajian Islam dan paradigma kajian ilmu pengetahuan di barat
(positivistik) sangat berbeda. Kajian positivistik memiliki paradigma hegemonik
dan empiris, sedangkan kajian Islam sendiri memiliki paradigma teologis.
Paradigma berpikir yang dikembangkan Barat saat ini, menurut Muhammad
Arkoun (1994), telah gagal membimbing cita-cita humanisme umat manusia.
Modernisasi di Barat cenderung mengarah kepada terbentuknya masyarakat
sekuler. Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa modernisme dan
modernisasi hanya akan menciptakan secular city; ia adalah lonceng kematian
bagi agama. Menurut teori ini, semakin modern suatu masyarakat, semakin jauh
pula mereka dari agama; agama diprediksikan tidak akan pernah bangkit lagi
dalam arus modernisasi dan sekularisasi yang tidak terbendung. Dengan kata lain,
modernisme di samping sangat mengagulkan kemajuan materiil dan intelektual,
13
14
15
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 158.
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hal. 100.
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 164.
6
juga punya kecenderungan kuat untuk menghilangkan atau mematikan
spiritualitas.16
Berkenaan dengan perbedaan paradigma ini, menurut Kuhn, tidak bisa diambil
kesimpulan bahwa salah satu dari keduanya terdapat kebenaran, sedang yang
satunya sebagai pihak yang salah. Namun keduanya memiliki kaidah atau pola
pikir
sendiri
yang
telah
disepakati
oleh
masing-masing
komunitas
pendukungnya.17
Dilihat dari konteks sains, paradigma bisa juga disebut dengan worldview.
Sehingga istilah worldview islam lebih sering didengar daripada paradigma islam.
Penekanan yang perlu dilakukan adalah bahwa Islam bukanlah paradigma, namun
pemahaman tentang islam itulah yang disebut paradigma. Dalam melihat perbedaan
paradigma antara islam dan barat, maka bisa disimpulkan sebagai berikut:
1
2
Paradigma Islam
Paradigma barat
Prinsip
Prinsip
Tauhidy
dikotomi
Asas
Asas
Wahyu, hadits, akal, pengalaman
Rasio, spekulatif, filosofis
dan intuisi
3
Sifat
Sifat
Otentitas dan finalitas
Rasionalitas, terbuka dan selalu
berubah
4
5
Makna Realitas
Makna Realitas
Kajian metafisis
Sosial kultual empiris
Objek Kajian
Objek Kajian
Visible and invisible
Tata nilai masyarakat
Perbedaan mendasar antara paradigma islam dan Barat di atas akan lebih
mudah dipahami dengan sebuah contoh. Beberapa orientalis modern dan
kontemporer mencoba menerapkan pendekatan ilmiah dalam studi mereka
terhadap islam. Hal ini dianggap ilmiah dibandingkan pendekatan teologis,
16
http://hasby.lecture.ub.ac.id/archives/60
Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner, Hal.
24.
17
7
sehingga banyak yang menerapkannya terhadap al-Qur’an, hadits dan syari’ah. 18
Meskipun hal ini menurut mereka objektif, tapi, seperti apa yang dikatakan oleh
Kuhn, bahwa apa yang telah dihasilkan oleh ilmiah, selalu dipengaruhi oleh
kondisi dan keadaan, gaya dan tren juga politik dan kekuasaan, 19 hal ini tidak bisa
diterima sepenuhnya, mengingat beberapa orientalis memiliki asas dalam
paradigma mereka berupa rasio, spekulatif dan filosofis, sedangkan dalam
paradigma islam berasaskan wahyu, hadits, akal dan intuisi. Hal ini seperti yang
dikatakan oleh Kuhn bahwa tidak adanya kesepakatan ilmiah dan perbedaan
paradigma membuat hal ini tidak bisa dianggap objektif.
Selain hal diatas, dalam tradisi keilmuan Islam, ulama masa lampau sudah
melakukan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki otentisitas hadits. Artinya bahwa
seorang periwayat hadits yang terpercaya tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang
mencukupi, tapi dari perilaku dan karakter yang baik. Perlaku baik tidak hanya
pada tataran aksiologi ilmu, namun juga pada ontologi dan epistemologi. Inilah
mmetodologi yang digunakan dalam menyelidiki hadits. Hal ini bisa terlaksana
jika paradigma para penyelidik sama, dalam hal ini semua memiliki kesepakatan
ilmiah dalam penelitiannya.20
Dalam masalah Paradigma-Shift atau pergeseran paradigma, Pergeseran
paradigma pemahaman keagamaan dalam bidang fiqh sempat terjadi. Hal ini bisa
diambil contoh dari Syafi’i dengan konsep qaul qadim dan qaul jadid. Perbedaan
paradigma dan kondisi sosial pada akhirnya membuat Syafi’i mengeluarkan dua
fatwa tersebut. Qaul qadim adalah pendapat As Syafi’i yang pertama kali di
fatwakan ketika beliau tinggal di Baghdad (Th. 195 H.) Qaul jadid adalah
pendapat Imam Syafi’i di Mesir baik berupa tulisan maunpun fatwa.21
Fungsi Islam adalah sebagai pedoman mutlak umat Islam dalam membangun
paradigma. Sedangkan paradigma bermanfaat memandu umat Islam dalam
memahami
teks,
mengamalkan,
dan
mengembangkan
peradaban
serta
kehidupannya. Gagasan Kuhn dalam paradigma memang bisa bermanfaat bagi
khazanah keilmuwan islam, namun tidak semuanya mutlak bisa digunakan dalam
18
Adnin Armas, “Metodologi Ilmiah dalam Islam” dalam Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam
et. Adian Husaini (Jakarta, Gema Insani: 2013) Hal. 166-167.
19
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer, Hal. 157.
20
Adnin Armas, “Metodologi Ilmiah dalam Islam” dalam Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam
et. Adian Husaini (Jakarta, Gema Insani: 2013) Hal. 178-184.
21
https://rumaysho.com/11539-mengenal-qaul-jadid-dan-qaul-qadim-dari-imam-syafii.html
8
pengembangan kajian Islam. Bagaimanapun, nilai-nilai pokok Islam seperti
akidah (ketauhidan), tidak bisa direvolusi, Karena ini bersifat mutlak.22
Paradigma islam ini memerlukan kerangka konsep keilmuan yang mana bisa
didapatkan dengan kegiatan keilmuan. Jika Paradigma masyarakat telah memiliki
konsep-konsep ilmu dan disiplinnya maka hal itu akan berkembang melalui caracara ilmiah.
Hal ini bisa kita lihat dari beberapa periode keilmuan yang dialami umat
islam:
1. Periode turunnya wahyu
Pada tahap ini paradigma islam bermuara pada Nabi Muhammad sebagai
pembawa wahyu dan juga orang yang menjelaskan wahyu tersebut.
2. Periode Madinah
Pada periode ini wahyu yang diturunkan mengandung tema-tema tentang
penyempurnaan ibadah. Pada periode kedua ini timbul kesadaran bahwa
wahyu mengandung struktur fundamental paradigma ilmiah. Munculnya
istilah Iman, Halal, Haram dll. Telah menjadi kerangka untuk memicu
timbulnya gerakan keilmuan.
3. Periode lahirnya tradisi keilmuan dalam dunia islam
Di periode inilah telah terjadi beberapa tradisi keilmuan seperti kajian hadits
dll. Yang dimulai di Kuffah. Kelahiran Tradisi intelektual Islam bukti adanya
masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam.
Penentuan disiplin suatu ilmu biasanya dilakukan oleh masyarakat yang
memiliki tradisi ilmiah. Dalam hal ini Prof. Alparslan membagi 3 tahap
terbentuknya suatu disiplin ilmu:
1. Tahap problematik, (problematic stage) yaitu tahap dimana berbagai
problem kajian dijaji secara acak dan ber tanpa pembatasan pada bidangbidang kajian tertentu. Ini berlaku untuk beberapa lama.
2. Tahap disipliner, (disciplinary stage) yaitu tahap dimana masyarakat yang
telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan
metode pembahasan ditentukan sesuai dengan bidang masing-masing.
3. Tahap penamaan, (naming pada tahap ini bidang yang telah memiliki
materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.23
22
Rifqi Amin, Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner, Hal.
27.
23
Alparslan Acikgence,Islamic Science, Towards Definition (Kuala Lumpur, ISTAC: 1996)
hal:68
9
E. Kesimpulan
Ide-ide Kuhn memang di satu sisi oleh kalangan positivistik tidak bisa dikatan
ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang cermelangnya tersebut, Khunian bisa
menyentuh konteks masyarakat yang tidak bisa dijangkau oleh kaum positivistik.
Misalnya, apakah kaum positivistik bisa menyentuh aspek sosiologis, psikologis,
dan kepercayaan yang menancap kuat (benar-benar ada) pada suatu fenomena
secara tepat dan mendalam.
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan bahwa gagasan
paradigma dan revolusi ilmu pengetahuannya telah membuka jalan lebar bagi
segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri.
Kajian Islam memliki tradisi keilmuan tersendiri yang berdasarkan aturanaturan tertentu. Hal ini sebenarnya sudah cukup ilmiah, namun di satu sisi, kajian
islam yang mana sebagai suatu senjata agama Islam untuk mengembangkan
ajarannya perlu diinovasi dan diperbarui. Yakni, salah satunya dengan cara
reinterpasi atau penafsiran ulang terhadap sebagian paradigma lama yang
dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah kekinian, namun tetap
pada koridor yang sudah ditetapkan.
F. Daftar Pustaka
Bird, Alexander. Thomas Kuhn Chesham, Acumen: 2000
Ritzer, George. Sociological Theory New York, McGraw Hill: 2011
T.M . Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu
Pengetahuan Jakarta, Kompas: 2015
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer Jakarta, Rajawali
Press: 2016
10
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam,
Bandung, Pustaka Setia: 2011
Amin, Riqi. Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi
Berbasis Interdisipliner Yogyakarta: LKiS, 2015
Husaini, Adian. Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam, Jakarta, Gema
Insani: 2013.
Acikgence, Alparslan. Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur,
ISTAC: 1996
11