Profesionalisme dan Sistem Media. pdf

Profesionalisme Jurnalisme:
Integrasi Serikat Jurnalis pada Sistem Media Pers
Oleh Gilang Desti Parahita1

Abstract
Functionalism sees press organizations as system that hold several functions expected and integrated to
social system. Press media system works by those functions. Professionalism of journalism is a
crystalization of the positive functioning of journalism. In Indonesia context, professionalism of
journalism has been ruined or e er ee
ell de eloped a d ai tai ed by the internal and external
system of press media. Instead of blaming the actors and seeing the problem case by case, this paper
applied system perspective (structural functionalism) to examine the problem and concluded that the
negletion of journalists trade has triggered the disfunctioning of Indonesian press media system.
Kata kunci: profesionalisme jurnalisme, sistem media, fungsionalisme, disfungsional
SEPANJANG 2012 beberapa peristiwa terkait dengan praktik jurnalisme mengundang perhatian
publik di Indonesia. Dari segi cara peliputan di antaranya adalah teguran Hakim kepada kru jurnalis
Metro TV pada sidang kasus korupsi yang melibatkan politikus sekaligus selebritas Angelina Sondakh
pada November 20122. Hakim menganggap suara reporter Metro TV yang sedang melaporkan secara
langsung mengganggu konsentrasi persidangan sehingga persidangan sempat terhenti selama 90
detik.Tindakan wartawan Metro TV tersebut jelas telah menyebabkan pihak lain, yaitu subjek realitas
yang tengah ia liput terintervensi oleh tindakan tim liputan Metro TV. Tata tertib persidangan di

Indonesia menyebut di antaranya bahwa pengunjung wajib menaati tata tertib persidangan, dilarang
membuat kegaduhan, baik di dalam maupun di luar ruang sidang, duduk rapi dan sopan selama
persidangan, dan dilarang berbicara dengan pengunjung lain selama persidangan berlangsung.

3

Tim

liputan Metro TV jelas melanggar tata tertib itu. Dari segi etika profesi,tim liputan Metro TV juga telah
melanggar ayat kedua Kode Etik Wartawan yang dikeluarkan oleh gabungan sejumlah organisasi
arta a I do esia pada
etis u tuk

e peroleh da

a g

e e ut ah a

arta a I do esia


e e puh tata ara a g

e iarka i for asi... .

1

Penulis adalah Asisten Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM.
http://news.detik.com/read/2012/11/22/142439/2098352/10/hakim-terganggu-siaran-live-tv-sidang-angiesempat-dihentikan
3
Tata Tertib Persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diakses di Situs MA RI PN Jakarta Selatan, di
http://www.pn-jakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=263&Itemid=378
2

Profesionalisme Jurnalisme 1|Page

Pelanggaran kode etik wartawan oleh jurnalis Metro TV itu hanyalah puncak gunung es dari
fenomena pelanggaran kode etik wartawan di Indonesia. Aduan yang diterima Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), badan yang mengawasi sistem penyiaran Indonesia, pada tahun 2011 mencapai hampir
4.000 aduan dan banyak lembaga siaran yang diberi peringatan dan sangsi oleh KPI4. Pada 2010,

Margiono anggota Dewan Pers pernah menyatakan 90 persen aduan yang masuk ke Dewan Pers
mempermasalahkan kesalahan wartawan dalam proses peliputan dan perilaku wartawan, misalnya
memeras. 5
Banyaknya pelanggaran etika profesi dan jurnalistik itu mengkonfirmasi temuan survei yang
diadakan Dewan Pers. Tahun 2011, Dewan Pers melakukan survei tentang pengetahuan jurnalis
Indonesia atas Kode Etik Jurnalistik (KEJ)6. Hasil survei menunjukkan adanya peningkatan signifikan
persentase jurnalis yang membaca seluruh isi KEJ dari 22 persen untuk kesebelas isi pasal KEJ pada 2007
menjadi 42 persen pada 2011. Sebaliknya, 18 persen jurnalis belum pernah membaca KEJ pada 2007,
dan menurun hingga 10 persen pada 20117. Menurut AJI, terdapat tiga kesalahan mendasar yang
dilakukan wartawan terkait dengan etika jurnalistik, yaitu tidak berimbang, mencampurkan fakta
dengan opini yang menghakimi, serta pemberitaan yang tidak akurat8.
Bersamaan dengan belum kuatnya penanaman etika jurnalistik dan profesi pada sistem media,
jurnalis juga banyak dihadapkan oleh pelanggaran profesi jurnalistik yang dilakukan oleh pihak-pihak di
lingkungan sumber berita dan umum. Pada Oktober 2012, enam orang wartawan dari berbagai media
yang sedang meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Riau dipukul
oleh sejumlah oknum TNI AU RI dan peralatan serta perlengkapan jurnalistik mereka pun dirampas9.
Penganiayaan tidak berhenti di situ, beberapa minggu berikutnya salah seorang wartawan Riau TV yang

4


“epa ja g
KPI Teri a .
Adua , Manteb Dotcom, 29 Juni 2012,
http://manteb.com/berita/4602/Sepanjang.2011.KPI.Terima.3.856.Aduan. Dari jumlahpengaduan yang diterima
KPI Pusat, pihaknyatelahmenjatuhkansanksisebanyak 55 kali, 10 kali imbauandanperingatan 31 kali. Sanksi yang
diberikanmulaidaripengurangan jam tayanghinggapenghentiansiaran.
5
Adua ke De a Pers Terkait Kesalaha Warta a , Situs PWI,8 Desember 2010,
http://pwi.or.id/index.php/berita-pwi/534-aduan-ke-dewan-pers-terkait-kesalahan-wartawan
6
U i Lu is, “e a ak Perse Jur alis Me a a Kode Etik , Maret
, di Unilubis Dotcom,
http://unilubis.com/2012/03/sebanyak-42-persen-jurnalis-membaca-kode-etik/, blog anggota Dewan Pers.
7
Survei itu menjaring 1.200 jurnalis yang masih aktif dan tersebar di 33 wilayah melalui kuesioner tertulis dan
jawaban tertutup dengan sistem probability sampling dan simple random. Jurnalis setidaknya berusia 20 tahun dan
minimal sudah bekerja selama enam bulan dengan lima karya jurnalistik (Uni Lubis, ibid).
8
Pe u uha Jur alis Bura , Mei
, Waspada Dotco

Id,http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=244817:8-kasus-pembunuhanjurnalis-buram&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91,
9
http://regional.kompas.com/read/2012/10/18/09074947/Kekerasan.pada.Wartawan.Tak.Selesai.dengan.Maaf

Profesionalisme Jurnalisme 2|Page

menjadi korban itu kembali dianiaya oleh empat orang oknum TNI AU10.Tak hanya oleh oknum TNI AU di
Riau, tetapi juga aparat militer secara umum, aparat kepolisian, politisi, organisasi masyarakat, dan
anggota masyarakat yang lain di berbagai daerah masih tidak menghormati profesi jurnalis. Fenomena
kekerasan terhadap jurnalis selama 2012 itu meneruskan fenomena yang sama pada tahun sebelumnya.
Pada 2011, Eko Maryadi, Ketua Umum AJI Indonesia menyebutkan kekerasan fisik jurnalis pada 2011
mengalami peningkatan dari tahun 2010.11Politisi mengancam membunuh wartawan12atau organisasi
masyarakat yang mengintimidasi wartawan 13bukanlah hal yang aneh, bahkan pembunuhan terhadap
wartawan tanpa kejelasan peradilan pun cukup jamak terjadi di Indonesiabaik pada Orde Baru maupun
era Reformasi14.
Bertolak dari fakta-fakta empiris tersebut, salah satu pertanyaan yang selalu muncul adalah hal
apakah yang menjadi penyebab semua kebobrokan praktek jurnalisme itu. Namun sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, satu pertanyaan yang mendahuluinya adalah praktek jurnalisme apakah yang
dianggap profesional? Makalah ini akan membahas asumsi profesionalisme jurnalisme terlebih dahulu
agar praktek jur alis e a g dia ggap


o rok lebih tajam dianalisis. Bangunan asumsi tersebut

bermula dari pemahaman penulis atas sistem media dengan menerapkan pandangan fungsionalisme
struktural (structural functionalism). Penulis juga akan menunjukkan hubungan serikat jurnalis dengan
organisasi media atau sistem media. Subbab berikutnya akan menjelaskan tentang pentingnya integrasi
nilai-nilai okupasional serikat jurnalis pada sistem media.
Fungsionalisme dan Media Massa
Fungsionalisme telah sangat berpengaruh pada studi media massa. Banyak teori fungsi-fungsi
media lahir dalam tradisi tersebut. Fungsi Integrasi dalam AGIL-nya Talcott Parsons, misalnya, tercermin
dalam pemikiran Laswell yang memandang masyarakat sebagai organisme yang berupaya untuk tetap
berada dalam keseimbangan di mana keseimbangan itu dipelihara melalui fungsi-fungsi komunikasi
seperti mengawasi lingkungan, menghubungkan bagian-bagian dalam masyarakat, dan mentransmisikan
warisan budaya dan sosial dari generasi ke genersi (Allen, 1980). Para fungsionalis media lainnya antara
10

http://www.tempo.co/read/news/2012/11/15/063441945/Jurnalis-Korban-Tentara-di-Riau-Dipukuli-Lagi
Tahu
: Ju lah Kekerasa Fisik Terhadap Jur alis di I do esia Me i gkat , VOA Indonesia, 27 Desember
2011, di http://www.voaindonesia.com/content/tahun-2011-jumlah-kekerasan-fisik-terhadap-jurnalis-diindonesia-meningkat-136354703/102706.html

12
Wakil Ketua DP‘D Le ata A a Bu uh Warta a , Dese er
, Tempo Dotcom, di
http://www.tempo.co/read/news/2012/12/03/058445483/Wakil-Ketua-DPRD-Lembata-Ancam-Bunuh-Wartawan
13
AJI: Kekerasa Terhadap Warta a Me i gkat , BBC Indonesia, 30 Mei 2012,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/05/120530_violencejournalist.shtml
14
Pe u uha Jur alis Bura , Mei
, Waspada Dotco
Id,http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=244817:8-kasus-pembunuhanjurnalis-buram&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91,
11

Profesionalisme Jurnalisme 3|Page

lain Robert K. Merton yang menulis esai tentang fungsi laten dan manifes media, Charles R. Wright yang
menunjukkan fungsi dan disfungsi media pada level individu dan masyarakat (Allen, 1980).Pada dunia
pers secara khusus, Teori Tanggung Jawab Sosial Siebert et.al.(1949) menggambarkan kuatnya tradisi
fungsionalisme pada studi pers. Institusi pers bersama sistem kepercayaan dipandang dalam AGIL
Parsons tersebut sebagai institusi yang berfungsi integrasi, yaitu upaya-upaya koordinasi internal dan

mengatasi perbedaan dalam sistem.
Profesionalisme jurnalisme terkait erat dengan fungsionalisme. Jurnalisme mengembang
fungsi informasi pada media massa (McQuail, 2009). Untuk melakukan fungsi dengan baik, seorang
jurnalis harus bertindak profesional. Ada nilai-nilai profesional dalam praktek jurnalisme yang dilakukan
oleh seorang jurnalis. Akan tetapi, profesionalisme jurnalisme tidaklah hadir begitu saja. Pada bab
berikutnya, penulis menjabarkan perkembangan wacana profesionalisme jurnalisme secara umum dan
pada tradisi Anglo Saxon pada khususnya.
Perkembangan Profesionalisme Jurnalisme Anglo Saxon
Istilah jurnalisme profesional tidak bisa diterima begitu saja tanpa kritisisme. Pertama,
jurnalisme profesional baik sebagai praktek maupun skolastik lahir di negara-negara Anglo Saxon
terutama Amerika Serikat pada 1940-an. Oleh karena itu, nilai-nila profesional jurnalisme tersebut
berakar pada perkembangan ekonomi, politik, dan budaya masyarakat Anglo Saxon. Kedua, pada
perkembangannya, istilah tersebut tidak selalu merujuk pada satu gagasan nilai yang sama sebab
standar profesional akan berbeda do tiap-tiap negara. Ketiga, istilah jurnalisme profesional tidak hanya
digunakan oleh jurnalis, kelompok kolegial jurnalis dan pusat-pusat pendidikan jurnalisme melainkan
juga oleh organisasi media yang saat ini menggunakan istilah tersebut untuk konotasi yang berbeda
sehingga menunjukkan pergeseran konstruksi makna atas istilah tersebut15. Keempat, apakah jurnalisme
profesio al ha a

e akup jur alis e-jur alis e serius seperti jur alis e politik, eko o i da


hukum serta genre jurnalistik tertentu; ataukah termasuk jurnalisme populer (infotainment) dan genrege re jur alistik e ge g ? Keli a, istilah terse ut

e ga du g paradoks,

isal a ketika seora g

jurnalis ingin berlaku profesional dengan bekerja secara objektif dan independen, apakah ia sebaiknya
bekerja di organisasi media, atau sebagai pekerja lepas? Kondisi apakah yang lebih menguntungkan

15

Arismunandar menunjukkan perusahaan-perusahaan media memaknai profesionalisme jurnalisme
adalah yang diadasarkan pada ap yang digariskan perusahaan media. Paparan itu dapat diakses pada
“erikat Pekerja, Kekerasa “i olik, da Prospek Masa Depa , Remotivi Dotco Id, 17 Desember,
http://remotivi.or.id/pendapat/serikat-pekerja-media-kekerasan-simbolik-dan-prospek-masa-depan.
Profesionalisme Jurnalisme 4|Page

dirinya agar dapat menjadi jurnalis yang profesional? Paradoks rupanya telah menjadi bagian inheren
dari jurnalisme profesional semenjak awal perkembangannya.

Jurnalisme di Amerika Serikat (AS) lahir sebagai jurnalisme perjuangan, berbentuk media cetak,
pers mewakili suara publik AS yang menentang cengkeraman Inggris di AS. Namun, pers AS terutama
suratkabar untuk mencapai format, konten, dan nilai seperti yang dikenal hari ini membutuhkan waktu
yang panjang dan hadirnya teknologi-teknologi baru yang baru muncul pada era-era berikutnya. Secara
umum, nilai-nilai jurnalisme profesional seperti objektivitas belum muncul hingga pada abad ke-19
(Hoyer & Lauk, 2003; Nolan, 2008) yang ditengarai oleh dua penyebab. Pertama, adanya kompetisi di
antara pensuplai informasi yang bermotivasi politik ataupun ekonomi untuk memberi pengaruh
terhadap proses jurnalistiks direspon para jurnalis dengan membentuk etika profesional jurnalis seperti
imparsialitas dan independensi atau yang disebut dengan objektivitas jurnalistik (ala Anglo Saxon)
(Nolan, 2008; Deuze, 2005; McChesney, 2003) maupun dengan mendorong keberpihakan jurnalisme
terhadap kepentingan publik (Kovach dan Rosenstiel, 2001; Tebbel, 1966). Profesionalisasi jurnalisme
oleh para fungsionalis-positivis disebut sebagai proses yang alamiah sebab proses tersebut merupakan
respon jurnalisme terhadap kondisi lingkungan media yang berubah.
Kedua, diskursus akademik jurnalisme sebaga profesionalisme muncul seiring dengan
perkembangan sosiologi profesi terutama pada 1970-an dan 1980-an (Blau, 1979).Fungsionalisme
struktural menjadi pendekatan pertama dalam sosiologi profesi. Sosiologi profesi melihat profesi-profesi
sebagai pekerjaan yang memiliki peran-peran unik di masyarakat, yaitu bahwa sebuah pekerjaan untuk
menjadi sebuah profesi haruslah memiliki inti keunikan dibanding dengan pekerjaan yang lain yang
mana keunikan itu didapat secara struktural (Mayiga, 2008).Profesi-profesi adalah fungsional sebab ia
mengemban peran-peran yang diamanatkan masyarakat.Durkheim (1957, dalam Nolan, 2008)

menyatakan bahwa profesi merujuk pada sekelompok komunitas moral yang memiliki komitmen
bersama dan ritual yang memperkuat norma-norma yang telah disepakati sebagai dasar bagi anggota
kelompok untuk mendefinisi identitasnya dan mengawasi praktek-praktek setiap anggota. Selain itu,
Talcott Parsons (1951, dalam Nolan, 2008), memandang sistem masyarakat direproduksi melalui fungsifungsi profesi-profesi dan standar-standar normatif yang dibutuhkan untuk mengintegrasikan profesi
tersebut dalam sistem.
Fungsionalisme struktural memandang profesionalisasi sebagai proses yang dinamis di mana
suatu pekerjaan melewati sejumlah tahapan untuk mendapatkan ciri-ciri unik yang penting yang
membuat mereka menjadi suatu profesi yang sesungguhnya (Elliot, 1972 dalam Mayiga, 2008). Tahap
akhir dari profesionalisasi adalah profesionalisme atau status profesional (ibid). Pada tahap awal,
Profesionalisme Jurnalisme 5|Page

profesionalisasi mencakup pelatihan dan prosedur seleksi atas pelaku profesi (profesional) dan
pembentukan asosiasi profesi (ibid). Profesi itu lalu menuntut rekognisi publik dan dukungan legal untuk
mengawasi masuknya individu-individu dalam bidang pekerjaan dan metode-metode praktek pekerjaan
tersebut (ibid). Tahap akhir dari profesionalisasi adalah pengembangan kode etik formal (ibid).
Secara umum, fungsionalisme berdampak pada munculnya profesionalisme jurnalisme. Nolan
(2008) menunjukkan dua kelompok dalam aliran fungsionalis, yaitu pro dan kontra. Kalangan projurnalisme profesional memandang pekerjaan jurnalistik layak dimasukkan ke dalam salah satu jenis
profesi karena ia memiliki nilai nilai kepublikan yang penting, yang dikenal, yang mana kesuksesan
performanya bergantung pada otonomi dan independensi, dan yang membutuhkan keterampilan
tertentu, pengetahuan, pelatihan, teknik-teknik produksi, dan komitmen-komitmen etik spesifik. Hoyer
dan Lauk (2003)mengutip Millerson (1964) untuk meyakinkan bahwa jurnalisme merupakan praktek
profesional: pemberian layanan yang didasarkan pada keterampilan yang spesifik pada basis teoritis
atau pengetahuan ilmiah, dilakukan oleh individual profesional dan diawasi oleh organisasi profesional.
Sementara, kalangan kontra profesionalisme jurnalisme berargumen bahwa jurnalisme
bukanlah profesi (Nolan, 2008). Untuk menjadi seorang jurnalis seseorang tidak perlu melewati skema
akreditasi seperti pelamar profesi lain, dan organisasi media tidak membutuhkan individu-individu yang
memiliki portofolio kualifikasi semacam itu untuk menjadikan mereka jurnalis. Jurnalis juga tidak
memiliki basis yang efektif untuk memertahankan independensi dari pemberi kerja, dan secara historis
sangsi-sangsi atas pelanggaran etik jarang diterapkan, dan hak untuk melindungi kerahasiaan klien
(narasumber) tidak setiap saat berlaku, berbeda dari profesi yang lain. Kaum ini juga menyangsikan
profesi jurnalis memiliki harga diri tinggi di mata publik (Nolan, 2008). Baru-baru ini sebuah survei
kepercayaan publik mendudukkan jurnalis pada kelompok kepercayaan yang sama dengan penjual
mobil bekas dan agen perumahan (Barnett, 2008, dalam Nolan,2008).
Sementara itu, alih-alih memandang profesionalisasi jurnalisme sebagai proses yang wajar dan
alamiah, aliran kritis mencurigai penghargaan diri secara moral itu merupakan konstruksi kapitalis.
Profesio alisasi

erupaka

istilah

a g di erika

oleh pa da ga

kritis terhadap fe o e a

penyeragaman watak jurnalistik termasuk dengan menyuntikkan nilai-nilai objektivitas tersebut oleh
para pemillik da li gku ga
, para jur alis a g

edia. De ga

profesio alisasi terse ut, Nola

e gide tifikasi diri se agai pekerja kerah putih

e gutip Marjori a ks
e iliki sikap tidak kritis

terhadap transformasi lingkungan kerja termasuk berkurangnya serikat-serikat pekerja (deunionisation).Nolan (2008) juga menunjukkan studi-studi historis tentang bagaimana para pemilik media
mempengaruhi pendidikan profesional untuk para calon jurnalis yang menyebabkan aspek-aspek kritis
Profesionalisme Jurnalisme 6|Page

jurnalisme mengalami penurunan (Reese 1999, Reese dan Cohen, 2000). Objektivitas juga bagian dari
upaya membangun mekanisme kontrol yang disepakati bersama antara para pemilik media dan
pengelola redaksi untuk mendisiplinkan dan menciptakan standardisasi kerja (Soloski, 1997 dan
Schudson, 2001 dalam Nolan, 2008).
Selain bermaksud mendisiplinkan

jurnalis –namun malah mengurangi kritisisme jurnalis

seperti yang dipaparkan Nolan (2008), McChesney (2003) menunjukkan bahwa otonomi redaksi pernah
menjadi salah satu strategi pemilik media pada masa lalu bukan untuk mengimbangi pengaruh pemilik
media, melainkan menghadapi pengaruh pengiklan yang aktif. Ketika itu, strategi memberikan otonomi
redaksi seluas-luasnya menjadi pilihan yang masuk akal bagi pemilik media sebab dengan begitu mereka
bisa memberi kredibilitas kepada produknya dan membuka pasar yang lebih luas untuk pemasangan
iklan. Akan tetapi, kesepakatan-kesepakatan jurnalis dan pemilik media untuk menciptakan jurnalisme
profesional itu tidak pernah dilakukan di atas kontrak tertulis da la

at lau

kesepakata

itu se aki

tidak masuk akal bagi pemilik media (McChesney, 2008). Sejak 1980-an, regulasi media semakin lemah,
pasar semakin ketat, dan media melakukan konglomerasi untuk bertahan, sehingga jurnalisme
profesional semakin tidak mendapatkan tempat (McChesney, 2008).
Pendapat lain mengenai profesionalisme jurnalisme lahir dari cara berpikir konstruktivis. Hoyer
dan Lauk (2003) berpendapat bahwa profesionalisasi jurnalisme merupakan upaya yang dilakukan oleh
organisasi media untuk melepaskan diri dari keberpihakan terhadap politik dan untuk merengkuh pasar
(publik) yang lebih luas (Hoyer dan Lauk, 2003). Profesionalisasi yang semula bertujuan untuk
melepaskan diri dari partisanships, malah menjadi bumerang ketika jurnalis dan organisasi media
menyerah kepada logika-logika ekonomi media. Akan tetapi, alih-alih menolak profesionalime
jurnalisme, Hoyer dan Lauk (2003) menyetujui bahwa pada derajat tertentu, profesionalisme jurnalisme
akan berkembang pada masing-masing konteks ekonomi dan politik praktek jurnalisme sehingga
profesionalisme jurnalime tidaklah seragam antar negara. Mereka mengkritik teori-teori profesionalisasi
klasik yang mengagungkan:
linearitas dan ahistoris, yaitu profesionalisasi akan melewati tahapan yang sama atau serupa
antar konteks tanpa melihat perjalanan sejarah masing-masing negara;
universalitas, bahwa profesionaisasi akan mencapai nilai-nilai yang juga sama dengan yang
dicapai di negara lain;
netralitas, bahwa nilai-nilai profesional bertolak dari netralitas sikap individual terhadap suatu
masalah;

Profesionalisme Jurnalisme 7|Page

individualitas, bahwa penjunjung utama profesionalisme adalah praktek-praktek individual dan
organisasi profesi akan mengakreditasi dan mengawasi praktek-praktek individual tersebut.
Hoyer dan Lauk (2003) tidak menyepakati nilai-nilai yang dijunjung teori profesionalisasi klasik
tersebut. Menurutnya, jurnalisme profesional adalah konstruksi organisasional, bukan individual.
Mereka berargumen bahwa pamor seorang jurnalis dibangun dari performa produk organisasi
medianya, namun semakin media berkembang besar, kerja jurnalistik akan lebih terutinisasi,
terfragmentasi, dan bahkan ter-deskillisasi, didasarkan lebih banyak pada prosedur-prosedur
organisasional, alih-alih perorangan. Perilaku jurnalis menunjukkan hal ini: mereka lebih berpihak
kepada organisasi yang memayungi mereka daripada ideologi bersama yang abstrak. Bahwa jurnalisme
profesional organisasional adalah konstruksi juga diamini oleh Deuze (2005). Deuze (2005) melakukan
penelitian terhadap jurnalisme infotainment di Belanda dan ia menemukan bahwa ideologi
profesionalisme para jurnalis tersebut tak jauh berbeda dari jurnalisme arus utama. Sedikit perbedaan
jurnalisme profesional infotainment terletak pada: publik dianggap sebagai umum atau massa yang
dilihat dari tingkat keterbacaan.
Profesionalisme Jurnalisme, Serikat Jurnalis dan Sistem Media Pers
Bertolak dari pentingnya aspek organisasional, pada subbab berikut penulis akan membahas
mengenai faktor sistem media pers dan serikat jurnalis dalam membentuk profesionalisme jurnalisme
dan bagaimana menempatkan serikat jurnalis dalam keseluruhan proses jurnalisme profesional.
Fungsionalis memandang serikat jurnalis berperan untuk menjaga fungsi-fungsi profesional
jurnalistik dalam sistem media. Oleh karena itu, profesionalisme jurnalisme terbentuk melalui proses
tertentu da

e ghasilka

ujud terte tu prese tasi

a g diakui se agai jur alis e profesio al .

Unsur-unsur terlibat antara lain :
Norma atau aturan-aturan yang menjadi standar praktek dan perilaku jurnalis yang mencakup
metode jurnalistik, proses kerja tim, dan presentasi yang dianggap sebagai profesional;
Dukungan organisasi media (manajemen media dan serikat jurnalis) terhadap praktek
jurnalistik sesuai dengan norma sebab profesionalisme jurnalisme merupakan perilaku kelompok, bukan
individual.
Dalam perspektif fungsionalis, elemen organisasi media merupakan elemen yang turut
e

e tuk profesio alis e jur alis e . M Ches e

e egaska

ah a profesio alis e

jurnalisme pernah menjadi jargon pemasaran oleh pemilik media dan norma perilaku redaksional. Akan
tetapi, perubahan sistem media dan tekanan dari luar sistem mengarah ke lunturnya profesionalisme
jurnalisme. Hal itu juga disepakati oleh Aukse Balcytiene (2008) yang melakukan studi komparasi melalui
Profesionalisme Jurnalisme 8|Page

survei dan observasi terhadap tiga negara Baltik untuk melihat pembentukan identitas profesionalisme
dan perkembangan jurnalisme pada masing-masing konteks negara. Balcytiene (2008) melihat regulasi
media belum cukup mengarah kepada terciptanya independensi media dikarenakan lemahnya sangsi
legal dan kesepakatan di antara pelaku media. Selain itu, profesionalisme jurnalisme terhalang oleh
berbagai kondisi tertentu dan menghasilkan kecenderungan sebagai berikut:
Faktor Kapital
Hanya media-media besar yang mampu mengakses lebih banyak berita dari agensi berita,
mempekerjakan lebih banyak reporter, dan berinvestasi pada pelatihan profesional para jurnalis, serta
menyelenggarakan proyek-proyek jurnalisme investigatif. Sistem pengupahan liberal dipertahankan
sebagai cara pemilik untuk membatasi kemandirian jurnalis dalam memilih dan otonomi jurnalis. Jurnalis
mengikuti instruksi-instruksi dari para redaktur pelaksana, termasuk enggan mengkrtitik pemilik media
karena takut kehilangan pekerjaan.
Faktor organisasional
Pemimpin redaksi seringkali juga pemimpin umum media, meski belum banyak penelitian
ilmiah yang melihat fenomena tersebut namun jabatan ganda tersebut kerap menimbulkan pertanyaan
kemandirian editorial. Tidak ada prosedur formal dalam melibatkan jurnalis pada pembuatan keputusan
tentang personel liputan atau redaktur pelaksana.
Pentingnya organisasi media dalam membangun profesionalisme jurnalisme disadari oleh
Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Organization for Security and Co-operation in
Europe/ OSCE). Berbeda dari sejarah jurnalisme Anglo-Saxon yang berkembang dari upaya untuk
melepaskan diri dari tekanan politik maupun industrial, jurnalisme Eropa berkembang dari keberpihakan
politik organisasi media. Media-media di Eropa saat ini tengah mengalami fenomena konglomerasi
vertikal dan horizonal (lintas media maupun lintas batas). Donahnyi (2003) meyakini bahwa format
bisnis media seperti konsentrasi kepemilikan akan berpengaruh pada independensi media. Penelitian
yang dilakukan Donahnyi bersama OSCE pada 2003 itu lantas menghasilkan beberapa rekomendasi
untuk menjamin independensi redaksional, sebagai berikut:
Transparansi struktur kepemilikan media pers kepada publik;
Kesepakatan perilaku yang dicapai antara para staf dan manajemen berdasarkan prinsipprinsip dasar jurnalistik, yang meliputi perlindungan HAM, perlindungan hak-hak demokratis, melawan
kecenderungan aktivitas politik yang totalitarian, dan melawan diskriminasi ras atau bangsa manapun;
Pernyataan yang jelas di hadapan publik mengenai afiliasi politik media pers;

Profesionalisme Jurnalisme 9|Page

Komitmen perusahaan-perusahaan media, yang memiliki lebih dari satu outlet media, untuk
menjamin independensi dan pluralitas sebagai kontribusi perusahaan terhadap demokratisasi dan
kebebasan media.
Organisasi media di sini tak lagi bisa dimaknai secara tunggal. Organisasi media atau organisasi
pers tidak serta-merta langsung merujuk kepada divisi redaksional atau editorial. Organisasi media
terdiri dari tiga kelompok elemen (McQuail, 2009), yaitu manajemen, teknis, dan profesional media
dalam ranah tegangan-tegangan sosial. McQuail (2009) menggambarkannya sebagai berikut:

Gambar 1. Organisasi media dalam ruang tegangan sosial.
Peristiwa-peristiwa dan suplai informasi
dan budaya yang konstan (sources)

Dorongan
Ekonomi

Kompetitor

Pengawasan
legal/politik

Agensi
berita/
informasi

Kelompok
penekan

Pengiklan
Pemilik

Institusi
sosial yang
lain

Dorongan
sosial dan
politik

Serikat

Saluran-saluran distribusi
Kepentingan/permintaan audiens

Organisasi media digambarkan berada di tegangan antara dorongan atau tekanan ekonomi dan
dorongan atau tekanan politik dan hukum. Akan tetapi dorongan (forces) dan permintaan (demand)
tersebut tidak selalu dimaknai sebagai sesuatu yang menghambat, seringkali malah membebaskan dan
membantu organisasi media dari rintangan-rintangan. Sumber daya organisasi media adalah suplai
budaya, informasi, dan peristiwa-peristiwa yang konstan, serta saluran-saluran distribusi dan
permintaan audiens pada kutub yang lain. Dari Gambaran tersebut, serikat pekerja seperti halnya
pemilik media dipandang McQuail (2009) sebagai bagian dari dorongan ekonomi bagi organisasi media

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 10 | P a g e

dan terletak di luar organisasi media atau tidak secara langsung berpengaruh pada proses yang terjadi di
dalam organisasi media sehari-hari. Akan tetapi, kehadirannya dirasakan sebagai faktor yang cukup
menentukan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan organisasi media.
Lalu, berdasarkan gambar organisasi media tersebut, bagaimanakah hubungan serikat pekerja
dan profesionalisme jurnalisme? Profesionalisme jurnalisme adalah nilai-nilai profesional yang
diterapkan pada praktek jurnalisme yang mana nilai-nilai tersebut disepakati dan diakui secara kolektif.
Individu dan kolektif jurnalis merupakan pelaku dari profesionalisme jurnalisme.
Gambar 2. Hubungan yang overlapping antara pemilik media, serikat pekerja, dan publik.

JURNALIS

Menurut Christopher Warren, Direktur Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), pada kunjungannya
di Indonesia lebih dari sepuluh tahun lalu (The Jakarta Post Dotcom, 2011), profesionalisme jurnalisme
tercipta manakala masing-masing elemen seperti jurnalis itu sendiri, pemilik media, dan publik
menghormati kerja-kerja jurnalisme. Jurnalis tidak dapat bekerja dalam kondisi takut dan lapar. Serikat
jurnalis dibutuhkan untuk memperkuat posisi jurnalis dan profesionalisme jurnalisme. Jurnalis yang
menjadi anggota serikat akan mampu berbicara atas diri mereka sendiri (bukan pemilik media, atau
publik termasuk publik politik maupun komersial) dan memperjuangkan prinsip-prinsip kebebasan pers
dan berbicara.
Serikat pekerja bukanlah penyeragaman suara jurnalis namun variasinya tidak merusak prinsipprinsip kerja jurnalisme yang profesional. Mengapa profesional? Warren (2001) mengungkapkan
beberapa alasan, yaitu:
P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 11 | P a g e

Proses produksi dalam media tidak melalui pengawasan yang kaku seperti pabrik, melainkan
berdasarkan pendapat-pendapat profesional jurnalis;
Semua perusahaan media ditekan oleh publik untuk menerapkan prinsip-prinsip kebebasan
pers;
Kreasi konten media didasarkan pada keterampilan yang tinggi dan tidak dapat diawasi secara
rigid melainkan melalui kepercayaan dan regulasi diri;
Pekerjaan di media terutama jurnalisme cenderung menarik orang untuk bekerja di lapangan
pekerjaan tersebut karena mereka meyakini prinsip-prinsip yang membingkai pekerjaan tersebut.
Alih-alih merugikan, kehadiran serikat pekerja dalam jangka panjang akan menguntungkan
pemilik media. Serikat pekerja akan memperkuat posisi jurnalis yang memegang prinsip-prinsip
profesionalisme jurnalisme dan akan menyumbang kredibilitas produk di mata publik serta pada
akhirnya pemilik media akan mendapatkan keuntungan.
Gambar 3. Proses pembentukan dan pemeliharaan profesionalisme jurnalisme. Adaptasi dari McQuail (2009).

SERIKAT PEKERJA

PEMILIK/PENGELOLA MEDIA

JURNALIS
PRAKTEK JURNALISTIK
PROSES EDITORIAL

Gambar di atas mendeskripsikan bahwa profesional atau tidaknya praktek-praktek jurnalistik
yang dilakukan oleh jurnalis tidak sekadar bergantung pada integritas jurnalis, melainkan juga faktor
pemilik/pengelola media dan serikat pekerja. Serikat pekerja maupun pemilik atau pengelola media
tidak secara langsung berhubungan dengan praktek jurnalistik sehari-hari, keduanya, mengacu kepada
McQuail (2009) merupakan lingkungan ekonomi organisasi media. Jurnalis merupakan bagian dari
profesional media.

Meski tidak langsung berhubungan, hubungan antara serikat pekerja dan

pemilik/pengelola media, dan hubungan antara masing-masing tersebut terhadap jurnalis, akan
mempengaruhi apakah profesionalisme

jurnalisme tercipta atau tidak. Untuk mendukung

profesionalisme jurnalisme, pemilik/pengelola media bekerjasama dengan serikat pekerja untuk
P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 12 | P a g e

merumuskan hal-hal yang dapat membantu terciptanya profesionalisme tersebut. Jurnalis sebagai
anggota dari serikat pekerja akan merasakan manfaat tersebut dan manfaat tersebut akan berimplikasi
pada praktek jurnalistik.
Warren (2006) mencatat bahwa 85 % jurnalis di Indonesia menerima amplop yang berisi uang
tunai dari sumber berita yang merasa senang dengan pemberitaan atau liputan jurnalis. Perilaku korup
semacam itu juga dijumpai di banyak negara yang lain di mana kemiskinan masih menjadi endemis.
Perilaku semacam itu hanya bisa diatasi dengan meningkatkan standar kerja jurnalistik dan
meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Kedua tujuan itu hanya bisa tercapai jika para jurnalis memiliki
posisi tawar yang kuat terhadap pemilik atau pengelola media. Menurut Warren berjuang melalui
serikat jurnalis merupakan upaya yang bisa ditempuh untuk meningkatkan posisi tawar.
Sebagaimana yang telah diungkap oleh Warren (2006), peran serikat jurnalis dalam
profesionalisme jurnalisme tidak selalu berhubungan langsung dengan penciptaan profesionalisme
jurnalisme, misalnya dalam hal memediasi kepentingan ekonomi jurnalis dan pemilik media.
Berhu u ga tidak la gsu g di si i erarti serikat perlu

elakuka persuasi terhadap pe ilik

untuk memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial jur alis. “e e tara itu,

edia

erhu u ga la gsu g de ga

profesionalisme jurnalisme berarti serikat menjadi kekuatan kolektif jurnalis untuk membentuk,
mengawasi, dan mengevaluasi praktek-praktek jurnalisme profesional. Rincinya sebagai berikut:
Membentuk basis hubungan ekonomi pemilik media dengan jurnalis
Jurnalis memiliki hubungan ekonomi dengan pemilik media (McQuail, 2009) sehingga peran serikat
ditujukan untuk memediasi kepentingan jurnalis dan pemilik media dalam hubungan tersebut, misalnya
advokasi terhadap pemenuhan hak ekonomi jurnalis, dan

jaminan kepastian kerja (job security).

Melakukan persuasi terhadap manajemen untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia juga
termasuk manifestasi hubungan pemilik media dan jurnalis yang berimplikasi pada peningkatan mutu
praktek jurnalisme;
Membentuk,

mendukung,

mengawasi,

dan

mengevaluasi

praktek-praktek

jurnalisme

profesional.
Realisasi peran-peran normatif serikat jurnalis terletak pada kemampuannya untuk menjaga
kualitas praktek jurnalisme profesional. Untuk mencapai fungsi tersebut, serikat jurnalis menyepakati
norma dan regulasi profesionalisme jurnalisme, dan mengawasi serta mengevaluasi penerapan praktekpraktek jurnalisme yang dilakukan anggota-anggotanya apakah sesuai dengan norma profesional atau
tidak.

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 13 | P a g e

Pada dasarnya, peran utama serikat jurnalis adalah mendukung terciptanya praktek-praktek
jurnalisme yang menjalankan fungsi-fungsi tanggung jawab sosial media di masyarakat. Siebert et.al.
(1956, dalam Adaja, 2012) memaparkan fungsi tanggung jawab sosial media sebagai berikut:
Melayani sistem politik dengan membuat informasi, diskusi, dan pertimbangan-pertimbangan
kepentingan publik agar bisa diakses siapa saja;
Untuk menginformasikan kepada publik untuk mengambil tindakan pribadi;
Untuk menjamin hak individu dengan menjadi anjing penjaga pemerintah;
Untuk melayani sistem ekonomi, misalnya dengan menghubungkan pembeli dan penjual melalui
iklan;
U tuk

e ediaka hi ura

a g aik, apa pu arti aik di setiap uda a pada suatu era;

Untuk menjaga otonomi finansial dalam rangka menghindari kepentingan dan pengaruh
tertentu.
Dalam studi-studi organisasi, unionisasi merupakan upaya untuk meningkatkan posisi tawar
pekerja sebab unionisasi menghimpun suara individual pekerja menjadi suara kolektif pekerja.
Perubahan skala suara pekerja itu meningkatkan posisi tawar yaitu dari posisi tawar skala individu
menjadi skala kolektif. Untuk meneliti bagaimana posisi tawar antara pekerja dan pemberi kerja,
Rabban (1991) meneliti perjanjian kerja antara serikat dengan pemberi kerja. Dalam penelitian itu
menunjukkan aspek-aspek perjanjian secara umum yang mencerminkan posisi tawar masing-masing
pihak, yaitu:
Mengembangkan standar profesional;
Menyediakan partisipasi profesional dalam pembuatan kebijakan organisasional;
Mengatur kerja profesional;
Menyediakan pelatihan dan pengembangan profesional;
Mengarahkan sumber daya organisasional untuk berkomitmen pada tujuan-tujuan profesional;
Dan mengelaborasi kriteria untuk keputusan terkait personal dan peran para profesional dalam
membuat keputusan tersebut.
Aspek-aspek perjanjian yang mencerminkan suara kolektif pekerja melalui buruh itu juga
menginspirasi peran serikat jurnalis. Pada intinya, serikat jurnalis laiknya serikat pekerja lainnya
bermaksud untuk mengakomodasi kepentingan para jurnalis dan memediasinya dengan kepentingan
pemilik media. Federasi Jurnalis Internasional (International Federation of Journalists/IFJ) telah lama
mengingatkan pentingnya serikat pekerja pada profesionalisme jurnalisme. Christopther Warren (2006)
mengingatkan peran serikat pekerja:
P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 14 | P a g e

Suara kolektif: serikat-serikat jurnalis yang independen penting untuk kebebasan pers sebab
melalui serikat jurnalis, jurnalis dapat menghimpun suara dan dapat berbicara atas kepentingan
bersama, independen dari pemerintah dan pemilik media;
Mendukung profesionalisme, keamanan, dan etika: serikat jurnalis dibutuhkan untuk
mendukung etika dan regulasi diri jurnalisme, keamanan, kerahasiaan sumber, anti kriminalisasi laporan
jurnalitik, kebebasan informasi, penyiaran publik dan nilai-nilai layanan publik, profesionalisme dan
menjamin hak-hak ekonomi dan sosial jurnalis dihormati;
Melawan korupsi dan menuntun upah yang adil: hanya melalui upah yang adil dan kondisi kerja
–dicapai melalui upaya kolektif- jurnalis dapat mempraktekkan jurnalisme etis dan menolak korupsi;
Menjangkau jurnalis: serikat jurnalis yang independen merupakan alat yang efektif, adil, dan
demokratis untuk menjangkau jurnalis di lapangan;
Isu-isu ketenagakerjaan merupakan isu kebebasan pers: serikat pekerja yang independen
dibutuhkan sebab isu-isu ketenagakerjaan merupakan isu kebebasan pers.
Kesemua fungsi tersebut bisa dijalani oleh suatu serikat jurnalis, meski tidak semua serikat pekerja
melakukan semua fungsi itu.
Singkat kata, hubungan antara serikat pekerja dan pemilik atau pengelola media tidak jauh
berbeda dengan hubungan antara pemilik dengan karyawan di bidang ekonomi yang lain, yaitu
hubungan transaksional, artinya masing-masing pihak berupaya untuk memenangkan kepentingannya
sendiri. Akan tetapi, berbeda dari hubungan bisnis yang lain, hubungan serikat pekerja dengan pemilik
media idealnya menempatkan kepentingan publik sebagai kepentingan yang utama (Kovach dan
Rosenstiel, 2001) sehingga penentuan keputusan berikutnya bertolak atas dasar tersebut.

Integrasi Profesionalisme Okupasional pada Sistem Media Pers Indonesia
Evetts (2005) menunjukkan dua tipe diskursus profesionalisme, yaitu profesionalisme
organisasional dan profesionalisme okupasional. Profesionalisme organisasional dikonstruksi oleh hirarki
media sebagai kontrol sosial dari pihak manajemen, sedangkan profesionalisme okupasional merupakan
bentuk ideal dari jurnalisme yang dikonstruksi secara kolegial. Riilnya dalam konteks Indonesia,
profesionalisme organisasional adalah nilai-nilai profesional yang dikonstruksi oleh sistem media di
Indonesia. Nilai-nilai tersebut bisa jadi berbeda dari nilai-nilai profesionalisme jurnalisme yang
dikembangkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Menurut Evetts (2005), baik akademisi maupun praktisi jurnalisme mungkin akan merujuk pada
diskursus yang berbeda ketika mereka membahas hal yang sama.

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 15 | P a g e

Profesionalisme jurnalisme baik organisasional maupun okupasional sebagaimana yang
berkembang dan diidealka oleh jur alis e A glo “a o
ala iah di I do esia. Dala

isa ditegaska tidak per ah lahir se ara

hal profesio alis e okupasio al , ha a

elalui diskursus skolastik

profesionalisme jurnalisme muncul (Sumadiria, 2006) yaitu melalui institusi-institusi pendidikan atau
lembaga-lembaga pelatihan yang mendifusikan nilai-nilai jurnalisme Anglo Saxon ke Indonesia. Pers
Indonesia selalu bersifat partisan sejak munculnya nasionalisme Indonesia hingga zaman Orde Baru (Sen
dan Hill, 2000). Bahkan sejak era reformasi hingga saat ini di mana kepemilikan media semakin
oligopolistis (Nugroho, 2011) dan regulasi media semakin dilemahkan (PR2Media, 2011), kebebasan
pers a g

e ja jika

profesio alisasi jur alis e telah dikooptasi oleh kepe ti ga

odal sejak a al

reformasi (Hidayat, 2000) dan justru dibelokkan untuk menutup keberagaman pemilik maupun
perspektif media, terutama dengan adanya pemilik-pemilIik media yang berafiliasi dengan partai-partai
politik pada situasi kontemporer (Armando, 2011).
Secara umum, profesionalisme jurnalisme Indonesia masih terus dikonstruksi oleh para
pemangku kepentingan dengan dua cara yang berbeda. Melalui isu penolakan terhadap pembentukan
serikat jurnalis, Satrio Arismunandar (2012) mengamati bahwa media-media berapologi bahwa
pembentukan serikat jurnalis akan mendegradasi kemuliaan peran profesional jurnalis dan tugas-tugas
profesional jurnalistik. Ironisnya, media-media arus utama yang menolak kehadiran serikat jurnalis
dimiliki oleh taipan-taipan yang berafiliasi politik tertentu dan tak mengakui secara terbuka di hadapan
publik. Pada kutub yang berbeda, pemangku kepentingan yang lain seperti Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meyakinkan banyak pihak bahwa serikat jurnalis
akan menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kuasa pemilik media melalui berbagai upaya yang
dilakukan sehingga profesionalisme jurnalisme bisa dijaga (Arismunandar, 2012).
Terlepas dari ada tidaknya motif penggiringan jurnalis ke pemahaman yang keliru terhadap
serikat jurnalis oleh para pemilik media , pembacaan Arismunandar (2012) tersebut mencerminkan
kontestasi diskursus profesionalisme antara dua kecenderungan yang berbeda seperti yang diungkapkan
oleh Evetts (2005). Berdasarkan fakta-fakta yang ada, secara hipotetis profesionalisme yang diusung
media-media di Indonesia umumnya merupakan mekanisme kontrol sosial dari pengelola media.
Kekerasan simbolik yang dilakukan perusahaan media terhadap para jurnalis yang akan mendirikan
serikat jurnalis (Arismunandar, 2012) merupakan bentuk kontestasi dua diskursus tersebut. Pada level
jurnalis, alih-alih melihat keduanya sebagai antagonisme, Ornebring (2009) memahami kedua tipe
diskursus tersebut sebagai proses negosasi jurnalis. Dalam situasi lingkungan media yang berubah, baik
kepemilikan, konvergensi, dan konteks sosial dan politik, seperti yang terjadi di sistem media di
P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 16 | P a g e

Indonesia, negosiasi antar tuntutan-tuntutan profesionalisme tersebut terjadi di dalam diri jurnalis.
Hanya sedikit serikat jurnalis yang menggawangi profesionalisme jurnalisme di Indonesia dari jumlah
total serikat jurnalis yang terbatas. Jumlah serikat profesi jurnalis yang tak banyak itu mencakup mediamedia yang mapan di Pulau Jawa dan sudah termasuk serikat jurnalis lintas media, sementara itu
puluhan ribu jurnalis lainnya tidak tergabung dalam serikat16 sehingga secara hipotetis mereka lebih
didominasi oleh wacana profesionalisme organisasional.
Kesimpulan
Dalam cara berpikir fungsionalisme, pers selalu dituntut untuk berfungsi ideal untuk membantu
memelihara keharmonisan dalam sistem masyarakat. Profesionalisme jurnalisme lahir dan berkembang
di kebudayaan Anglo Saxon setelah tradisi fungsionalisme dan sosiologi profesi menguat pada konteks
kebudayaan tersebut. Nilai-nilai tersebut lantas tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia
baik melalui jalur skolastik maupun kolegial terutama melalui asosiasi-asosiasi jurnalis. Asosiasi atau
serikat jurnalis merupakan salah satu elemen dalam sistem media yang diakui secara teoritik dapat
mempertahankan profesionalisme jurnalisme yang okupasional. Akan tetapi, sebagaimana yang juga
tengah dialami oleh Amerika Serikat dan negara-negara lainnya, pelaku pers Indonesia dianggap tak
berlaku profesional (okupasional) seiring dengan meningkatnya konglomerasi media. Profesionalisme
yang berlaku adalah profesionalisme organisasional. Khususnya di Indonesia, profesionalisme jurnalisme
tidak pernah sungguh-sungguh lahir dan kuat di Indonesia. Serikat-serikat jurnalis lokal seperti PWI dan
AJI masih belum memiliki daya tawar terhadap para pemilik media. Para jurnalis yang berniat membuat
serikat jurnalis pun banyak yang dipecat oleh media tempatnya bekerja. Makalah ini menyarankan agar
mutu pers Indonesia tetap terjaga, organisasi media pers justru harus melibatkan serikat-serikat jurnalis
dalam membuat keputusan-keputusan manajerial maupun redaksional.

16

Hingga 2012, menurut data Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) dan AJI, pada September 2012
tercatat 34 serikat pekerja pers. Komposisinya: 23 di media cetak, lima di media televisi, dua di radio, dua di media
online, dan dua di kantor berita (LKBN Antara dan KBR 68H), atau sejak 2006 hanya rata-rata satu serikat yang
muncul. Dengan kepadatan industri media berpusat di Pulau Jawa, Hanya 11 serikat dari 34 serikat pekerja media
itu berbasis di luar Jawa, atau 68 persen berbasis di Jawa. Alih-alih berada di media-media yang tidak mapan,
serikat pekerja media justru dimiliki oleh media-media yang relatif sudah lebih baik kesejahteraannya, seperti
Harian Kompas, Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Tabloid Kontan, Majajalah Tempo, Media Online detik.com, ANTV,
dan SCTV.

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 17 | P a g e

Referensi:
Adaja, T.A.
, Nigeria Jour alis a d Professio alis : Issues a d Challe ges , News Media and
Mass Communication, Vol. 5.
Allen, F.J. (1980), Functionalism and Use and Gratifications: A Comparison, A Thesis Submitted to
University of Delaware, diakses
dihttp://www.udel.edu/communication/web/thesisfiles/allenthesis.pdf.
Aris u a dar, “.
, “erikat Pekerja, Kekerasa “i olik, da Prospek Masa Depa , Remotivi
Dotco Id, 17 Desember, http://remotivi.or.id/pendapat/serikat-pekerja-media-kekerasansimbolik-dan-prospek-masa-depan
Bal tie e, A.
, Challe ges for professio al jour alis : o tripartite ide tit of the Balti edia
a d its i pa t o
edia perfor a e , Informacijos Mokslai.
Blau, PM, et.al. (1979 , Disse ti g professio al s hools , Sociology of Education, Vol. 52 (1), 7-19.
Deuze, M.
, U dersta di g jour alism as newswork: how it changes, and how it remains the
sa e , Westminster Papers in Communication and Culture, Vol. 5(2), 4-23.
Deuze, M
, Popular jour alis a d professio al ideolog : ta loid reporters a d editors speak
out , dala Media Culture Society, Vol. 27, No.6, hal. 861-882.
E etts, J.
, The a age e t of professio alis : a o te porar parado , akalah dala
seminar Changing Teacher Roles, Identity and Professionalism, Kings College, London pada 15
Oktober.
von Dohnanyi, J. Dan Moller, C. (2008), The Impact of Media Concentration on Professional Journalism.
Vienna: OSCE.
Ho er, “. da Lauk, E.
, The Parado es of Jour alisti Professio : A Histori al Perspe ti e ,
Nordicom Review, 24 (2), 3-18.
Kolari, E.
, Jour alisti profesio alis as o te tual e terprise , Working Paper dipresentasikan
pada 18th Nordic Conference for Media and Communication Research, Helsinski, 16 Agustus.
Kovach, B. dan Rosenstiel, T. (2001), Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui
Wartawan dan Diharapkan Publik. Pantau: Jakarta.
M Ches e , ‘.
, The pro le of jour alis : a politi al e o o i o tri utio to an explanation
of the risis i o te porar U“ jour alis , Journalism Studies, Vol. 4(3), 299-329.
McQuail, D. (2009), M Quail s Mass Co
u i atio Theory. California: Sage Publications.
Nola , D
, Professio alis
ithout professio s? Jour alism and the Paradox of
Professio alisatio , School of Culture and Communication University of Melbourne.
O Keeffe, “.ed., (2010), Journalism, Unions in Touch with the Future, A Report of the International
Federation of Journalists, Brussels: IFJ.
Papatha assopoulos, “.
, Media o
er ializatio a d jour alis i Gree e , European Journal
of Communication, Vol. 16 (4), 505-521.
‘a a , D.M.
, Is u io izatio o pati le ith professio alis ? , Industrial and Labor Relations
Review, Vol. 45 (1), 97-112.
‘i goot, ‘. Da ‘uella , D.
, Jour alis as per a e t a d olle ti e i e tio ,...
“ hultz, I.,
, The jour alisti gut feeli g, jour alis pra ti e”, Jour alis Pra ti e,Vol.1 (2), 190207.
Sen, K. dan Hill, DT. (2000), Media, Culture, and Politics in Indonesia, Jakarta: Equinox Publishing.
Sumadiria, ASH.(2006), Jurnalistik Indonesia: Menulis Beriita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis
Profesional, Bandung: Simbiosis Rekatama Media.
Te el, J.
, Pu li e light e t or pri ate i terest? , Annals of the American Academy of Political
and Social Science, Vol.363, 79-86.
Ugille, W.
, User ge erated o te t i the e sroo : professio al a d orga isatio al o strai ts
i parti ipator jour alis , Westminster Papers in Communication and Culture, Vol. 5(2):24-41.
P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 18 | P a g e

Warre , C.
, Shaping Journalism: How journalists work together , prosidi g pada Co fere e i
Media Developmet di Myanmar, 12 Maret.
Warre , C.
, The e us et ee i depe de t jour alists u io s, press freedom and poverty
eradi atio , akalah pada A Strategic Policy Discussion Between Donors and UNESCO, 4 Mei.
Wiik, J. (2010), Journalism in transition: the Professional Identity of Swedish Journalists, naskah tesis
doktral untuk University of Gothenberg.
Wile sk , H.L.
The professio alizatio of e er o e? , American Journal of Sociology, Vol. 70 (2),
137-158.
Wits hge, T. da N gre , G.
, Jour alis : professio u der professure? Journal of Media
Business Studies, Vol. 6 (1), 37-59.

Internet:
http://www2.thejakartapost.com/news/2001/03/01/press-union039s-role-media-professionalism.html
http://www.tempo.co/read/news/2011/09/17/173356775/Dari-3000-an-Media-Massa-Baru-30-Mediayang-Punya-Serikat-Pekerja

P r o f e s i o n a l i s m e J u r n a l i s m e 19 | P a g e