Aristoteles Kota dan Rumah bagi Orang Mi

Kompasiana, 4 September 2013

Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University

Cite:
Rohman, Arif. (2013). Aristoteles, Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin. Kompasiana, 4
September 2013.

Ladang dan pepohonan tidak menarik bagiku, tetapi tidak demikian halnya dengan
manusia yang ada di kota (Aristoteles).

Kata-kata filusuf Aristoteles di masa lampau menunjukkan bahwa isu-isu perkotaan
selalu menarik untuk dibahas, apalagi berkaitan dengan manusia-manusia yang tinggal
di dalamnya. Salah satu masalah yang dianggap penting dalam kajian perkotaan adalah
rumah bagi orang miskin. Tulisan ini khusus menyoroti fungsi dan makna rumah bagi
orang miskin dan bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami orang miskin dalam
mengakses rumah yang layak di perkotaan.
Kota-kota di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, telah mengalami berbagai
permasalahan berkenaan dengan pertumbuhannya. Salah satu masalah yang timbul

adalah adalah masalah pemukiman. Masalah tersebut tidak terlepas dari berbagai
masalah lain yang ada di perkotaan, seperti masalah wilayah komersial, industri, tempattempat umum, monumen-monumen, jalan dan lalu lintas, rekreasi dan olah raga,
sanitasi, kesehatan umum, pekuburan, dan lain sebagainya. Disamping itu, masalah jalur
kereta api dan pola pertumbuhan pemukiman pita (ribbon building), yaitu pola
pembangunan bangunan hunian, toko-toko dan tempat-tempat berjualan, bangunanbangunan pemerintah, yang dilakukan di sepanjang tepi-tepi jalan dan jalur-jalur kereta
api di perkotaan. Di daerah perkotaan, pola pemukiman pita ini menyebabkan
keruwetan dan ketidakteraturan yang sudah ada menjadi lebih kompleks lagi. Wertheim
(1958), mengatakan bahwa untuk mengatasinya bahwa untuk mengatasinya, maka cara
pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuat kebijakan perencanaan atau tata
ruang kota yang terintegrasi dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
1

Kompasiana, 4 September 2013

Menurutnya, tata ruang kota tersebut harus mencakup juga model tata ruang kota yang
terbukti cukup canggih dalam mengatasi berbagai permasalahan perkotaan.
Pertumbuhan kota yang tidak terencana, tidak terkoordinasi dan terpencar disejumlah
kawasan mengakibatkan beberapa bagian kota menjadi tertinggal. Pemerintah kota
akhirnya tidak mampu menyediakan prasarana dan fasilitas publik sesuai dengan
harapan masyarakat. Akibatnya adalah semakin meningkatnya jumlah keluarga miskin,

dengan akses yang serba minim, termasuk ruang hunian atau tempat tinggal yang tidak
layak, tidak memenuhi derajat kesehatan, dan terkesan apa adanya (Evers & Korff, 2002).
Sulitnya masyarakat miskin untuk mendapatkan rumah yang layak huni tentu
merupakan persoalan yang mendesak untuk diatasi. Kesepakatan masyarakat global
yang tertuang dalam Agenda Habitat, mengamanatkan pentingnya penyediaan hunian
yang layak untuk semua lapisan masyarakat, dengan mengedepankan strategi
pemberdayaan (enabling strategy ). Plan of implementation dari World Summit on
Sustainable Developement di Johanesburg 2002, menargetkan bahwa pada tahun 2015,
sekitar 50% penduduk miskin di dunia harus sudah terentaskan dari kemiskinannya.
Kondisi ini antara lain harus ditandai oleh terpenuhinya kebutuhan mereka akan
perumahan yang layak.
Secara hipotesis, permasalahan perkotaan yang dihadapi Indonesia dewasa ini
disebabkan oleh kompleksitas masalah, yaitu pertambahan penduduk kota yang kurang
terkendali, pertumbuhan kota yang serba cepat dan kompleks dalam hal
pengembangan fungsi-fungsinya sebagai pusat-pusat kegiatan industri, komersial, jasajasa pelayanan ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan berbagai fungsi sosial, ekonomi
dan budaya. Kesemuanya ini belum dapat tertampung secara semestinya di dalam
ruang-ruang yang diperuntukkan kegiatan-kegiatan tersebut sesuai rencana tata ruang
kota yang dibuat, dan juga disebabkan oleh pengembangan kegiatan-kegiatan
ekonomi, komersial dan industri, serta hunian di perkotaan yang serba modern dan
kompleks yang telah tidak memungkinkan dimantapkannya pelaksanaan penataan

kegiatan-kegiatan kehidupan perkotaan secara ketat sesuai tata ruang yang berlaku.
Akibat yang paling nampak dari faktor-faktor tersebut adalah pada kondisi pemukiman
perkotaan yang menghasilkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota
yang bersangkutan.
Secara ringkas, kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal manusia yang
dihuni secara permanen, dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah
kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokannya dari pada kelompok klan atau
keluarga. Kota juga merupakan sebuah tempat dimana terdapat adanya kesempatankesempatan dan permintaan-permintaan yang mewujudkan terciptanya sistem
pembagian kerja, kelas-kelas atau lapisan sosial yang mengakui adanya perbedaan2

Kompasiana, 4 September 2013

perbedaan dalam hal fungsi, hak, keistimewaan-keistimewaan, dan tanggung jawab
diantara golongan-golongan sosial yang ada; dan adanya berbagai bentuk serta corak
spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat perkembangan dan macamnya kota,
yang sesuai dengan peranan khusus dari kota dalam kedudukan fungsionalnya dengan
daerah-daerah pedesaan atau pedalaman yang terletak di sekelilingnya dan berada
dalam kekuasaannya (Mumford, 1961). Selanjutnya, kota itu ada dan hidup karena bisa
memberikan pelayanan yang penting artinya bagi mereka yang ada di dalam kota,
maupun yang tinggal di wilayah sekeliling kota, atau juga mereka yang mengadakan

perjalanan dan harus singgah atau berdiam sementara di kota tersebut. Pelayanan ini
dapat berupa pelayanan-pelayanan keagamaan, administrasi, komersial, politik,
pertahanan dan keamanan, atau dapat pula berupa pelayanan yang berkenaan dengan
pengaturan suplai makanan dan air. Pelayanan tersebut harus betul-betul diperlukan
oleh para warga yang bersangkutan atau para musafir yang melewati kota tersebut,
sehingga pengendalian kota atas wilayah-wilayah di sekelilingnya dapat dimantapkan.
Kompleksitas kehidupan ekonomi di perkotaan jauh lebih tinggi dari pada di pedesaan.
Hal ini terlihat dari sistem ekonomi kota yang terbebas dari kegiatan mengolah tanah
atau mengeluarkan energi tubuh, guna memperoleh bahan mentah, telah menyebabkan
tumbuh dan berkembangnya sistem produksi dan industri yang tidak terbatas,
tergantung pada macam dan tingkat kebutuhan konsumen. Sedangkan macam dan
tingkat kebutuhan konsumen terhadap barang hasil produksi atau industri dapat
diciptakan dari hasil interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terwujud melalui
teknologi komunikasi pasar (Suparlan, 1996). Kompleksitas dalam struktur kehidupan
ekonomi perkotaan ini mempengaruhi terwujudnya kompleksitas dalam struktur
perkotaan. Berbagai bentuk dan macam spesialisasi ekonomi dan kerja berkembang
sesuai dengan kebutuhan dan permintaan; dari yang terspesialisasi hingga yang sangat
umum, dari yang sangat tergantung pada keahlian dan keterampilan pemikiran serta
teknologi, sampai dengan yang menggunakan tenaga otak manusia, dan dari yang
digolongkan sebagai terhormat dengan penghasilan besar, sampai dengan yang tidak

terhormat dengan penghasilan yang terbatas. Sistem pelapisan sosial terbentuk
berdasarkan atas macam pekerjaan dan pendapatan, yang coraknya sangat kompleks,
dikarenakan beraaneka ragamnya macam dan bentuk kerja yang ada di perkotaan.
Tingkat kompleksitas sistem pelapisan sosial tersebut, tergantung dari tingkat
perkembangan kota dan kedudukannya dalam sistem administrasi negara.
Rumah adalah sebuah satuan tata ruang yang paling baku dan selalu ada dalam
kehidupan manusia di masyarakat manapun. Rumah berfungsi bebagai tempat untuk
kegiatan-kegiatan melangsungkan kehidupan manusia, yang mencakup kegiatan
reproduksi, ekonomi, pengsuhan dan pendidikan anak, perawatan terhadap orang tua
atau jompo, kehidupan sosial, emosi, dan lain sebagainya (Suparlan, 1996). Karena
3

Kompasiana, 4 September 2013

majemuknya fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan dalam rumah, maka rumah juga
sebagai sebuah satuan tata ruang, juga dibagi-bagi dalam satuan-satuan tata ruang
yang lebih kecil yang saling berkaitan antara satu sama lainnya, sebagai satu
keseluruhan tata ruang rumah. Rumah merupakan medium atau perantara bagi manusia
dengan lingkungan alam atau fisik, merupakan perluasan dari organ tubuh manusia, dan
merupakan sebuah lingkungan budaya dimana manusia penghuninya merupakan

sebuah unsurnya.
Dengan demikian, menurut Sukamto (2001) penghuni akan memperlakukan ruang
huniannya sesuai dengan kriteria sebagai berikut : (1) Rumah sebagai wadah kehidupan
manusia secara universal. Rumah sebagai tempat hidup manusia maka rumah juga
menjadi wadah kehidupan manusia dalam melakukan kegiatan untuk pemenuhan
kebutuhan. Satuan ruang rumah dengan demikian menampung berbagai fungsi
kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup manusia secara universal, yang meliputi : (a)
Kebutuhan primer, sebagai kebutuhan yang bersumber pada aspek biologis manusia
yang dalam pemenuhannya memerlukan wadah tindakan-tindakan di dalam satu ruang.
Dengan asumsi klarifikasi satu ruang untuk satu tindakan pemenuhan kebutuhan, maka
ruang yang diperlukan adalah ruang-ruang sebagai wadah untuk kegiatan makan dan
minum, buang air besar/kecil, istirahat dan tidur, pelepasan dorongan seksual,
perlindungan iklim/suhu udara, dan kebutuhan kesehatan yang baik; (b) Kebutuhan
sekunder, sebagai hasil usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer yang memerlukan
ruang untuk berkomunikasi dengan sesama anggota keluarga, melakukan kegiatan
bersama dengan keluarga, menaruh untuk benda-benda material dan kekayaan dan
tempat untuk mendidik anak; dan (c) Kebutuhan integratif, berfungsi mengintegrasikan
berbagai unsur kebudayaan menjadi satu sistem yang masuk akal baginya, mencakup
cara-cara mengatur dan menggunakan ruang, tempat mengatur dan menjalankan
fungsi keluarga, sebagai tempat melakukan kegiatan rekreasi dan hiburan, dan religius;

(2) Rumah untuk menampung fungsi keluarga. Keluarga sebagai satuan sosial terkecil,
fungsinya antara lain untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak dan
menolong serta melindungi yang lemah, maka rumah juga disebut sebagai : (a) Satuan
ruang sosial; (b) Ruang hunian sebagai satuan kehidupan untuk reproduksi dan
pengembangbiakan; dan (c) Ruang hunian sebagai ruang sosialisasi dan pendidikan
anak; (3) Rumah sebagai wujud pernyataan diri. Rumah sebagai sebuah bangunan fisik
tidak hanya dilihat dan diperlakukan sebagai satuan material fisik, tetapi juga sebagai
satuan simbol yang mencerminkan identitas diri penghuninya. Setiap penghuni rumah
memberi isi berupa benda-benda pada ruangan dengan makna-makna yang terwujud
sebagai simbol pencerminan kemampuan diri dalam memanfaatkan peluang dan
sumber daya lingkungan.

4

Kompasiana, 4 September 2013

Kemiskinan tidak lahir dengan sendirinya (given), ia tidak muncul bukan tanpa sebab.
Argumen para penganut teori konservatif dan liberal telah lama dipatahkan. Orangorang miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Mereka miskin bukan pula
karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin. Mereka menjadi orang
miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka miskin

karena memang sengaja dilestarikan untuk menjadi miskin. Mereka menjadi kaum
tertindas karena memang disengaja, direkayasa dan diposisikan sedemikian rupa untuk
ditindas. Mereka miskin karena dieksploitasi, diperas, dijarah dan dirampok hak-haknya.
Mereka miskin karena dipaksa oleh sistem ekonomi dan politik yang tidak adil.
Kemiskinan penting untuk dipelihara dan dilestarikan karena besar manfaatnya, yakni
menunjang kepentingan kelompok dominan, elite penguasa (the ruling elites) atau
kaum kapitalis.
Hal tersebut di ataslah yang membuat kemiskinan sulit diatasi karena kaum miskin tidak
memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak berpihak kepada mereka.
Kaum miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata. Pendapatan mereka hanya
sekadar mencukupi kebutuhan hidup saja. Inilah yang selama ini membuat kaum miskin
tak berdaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan, dan membuat
yang kaya semakin berada di puncak. Kebijakan politik yang ada selama ini sering (dan
sebagian besar) hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat produksi dan modal.
Kaum miskin diperas tenaganya hanya sekadar menjadi buruh kasar dengan dalih
keterampilan mereka terbatas. Tetapi pemerintah, di sisi lain, tidak mampu berbuat
bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka agar bisa berkompetisi lebih
adil dengan lainnya (Suparlan, 1993).
Kaum miskin selalu dilihat sebelah mata dalam berbagai proses pembuatan kebijakan.
Kebijakan yang dilahirkan penguasa tidak terlalu banyak memerhatikan poros warga

negara. Warga negara yang miskin dianggap tidak memiliki kedaulatan tertinggi di
dalam sebuah negara. Pelanggaran konstitusi ini terus terjadi tanpa adanya kemauan
untuk memperbaikinya dengan melahirkan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh
mengapresiasi dan melibatkan kaum miskin untuk berperan sebagai warga negara
normal. Struktur kemiskinan masyarakat kita tidak terlepas dari persoalan utama, yakni
adanya dosa struktur. Dosa struktur yang dimaksud adalah menyangkut bagaimana
distribusi yang adil dan menjangkau semua pihak. Dengan demikian, keadilan yang
sedang kita bicarakan di sini adalah menyangkut keadilan untuk semua.
Perumahan bagi keluarga miskin seringkali tidak memberikan kepastian hukum bagi
penghuninya, atas tanah dan bangunan yang mereka tempati. Bagi perempuan,
kurangnya kepastian hukum ini bahkan terjadi pada barang dan aset formal lainnya.
Kampung-kampung tempat kelompok masyarakat miskin tinggal dapat dengan mudah
5

Kompasiana, 4 September 2013

beralih fungsi menjadi kawasan bisnis atau kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan
perkotaan sangat sulit menyediakan lahannya untuk keperluan perumahan masyarakat
miskin. Hal ini menyebabkan masyarakat miskin di mana banyak terdapat perempuan di
dalamnya semakin tergusur ke kawasan pinggiran yang jauh dari kota.

Kegiatan relokasi terhadap warga korban penggusuran, atau pembangunan perumahan
untuk kelompok miskin, biasanya dilakukan di daerah pinggiran. Hal ini menimbulkan
kesulitan bagi keluarga miskin yang bekerja, dalam bentuk peningkatan biaya
transportasi, dan berkurangnya waktu untuk mengasuh anak. Kegiatan penggusuran
terhadap kelompok masyarakat miskin, biasanya tidak disertai dengan pemberian
tenggang waktu untuk membuat masyarakat siap untuk menempati lokasi dan rumah
baru.
Pendapatan masyarakat miskin sangat rendah. Setelah dipakai untuk membayar
makanan, pakaian, dan keperluan sehari-hari lainnya, mereka hanya memiliki sangat
sedikit sisa penghasilan untuk mengurus keperluan rumah mereka. Akibatnya, keluargakeluarga miskin, tidak mampu lagi untuk menyediakan rumah bagi diri mereka sendiri.
Aspek dominan yang mempengaruhi perumahan masa kini adalah keberlanjutannya
(sustainability). Aspek ini nampak sederhana namun adalah sebuah konsep yang rumit.
Rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dinikmati oleh
penghuni saat ini serta yang akan datang, yaitu: (1) Mendukung peningkatan mutu
produktivitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi dan politik. Artinya setiap
anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugasnya lebih baik; (2) Tidak
menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak pembangunan,
pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dipakai terhadap
gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah efektivitas konsumsi energi; (3)
Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara fisik dan spiritual.

Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan non-fisik; (4)
Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas sosialekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah lebih tinggi dari keadaan
non—fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan di rumah tersebut; dan (5)
Membuka peran penghuni/pemilik yang besar dalam pengambilan keputusan terhadap
proses pengembangan rumah (lihat diagram proses perkembangan rumah pada
lampiran) dan Rukun Warga tempat ia berinteraksi dengan tetangga.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah rumah disebut layak bila ada
keterpaduan yang serasi antara: (1) Perkembangan rumah dan penghuninya, artinya
rumah bukan hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang; (2) Rumah dengan
lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan sekitarnya
6

Kompasiana, 4 September 2013

terjaga selalu baik; (3) Perkembangan rumah dan perkembangan kota, artinya kota yang
dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi kemajuan warga
kota di rumah masing-masing; dan (4) Perkembangan antar kelompok warga dengan
standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok, artinya tiap
kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan tuntutan
yang ditetapkan sendiri.
Kondisi kemiskinan membuat keluarga-keluarga miskin seringkali hanya mampu
mengakses lingkungan kumuh atau permukiman liar di kota. Lingkungan kumuh yang
dicirikan oleh minimnya sarana infrastruktur permukiman, menghadapkan kaum miskin
pada buruknya kualitas kehidupan yang harus mereka tanggung di lingkungan
permukiman. Dengan demikian, keterbatasan masyarakat miskin dalam mengkases
perumahan diperburuk dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana
dan sarana dasar lingkungan. Rendahnya kualitas kehidupan di lingkungan permukiman
kumuh ini pada gilirannya juga menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan
para penghuninya. Pada umumnya mereka kemudian hanya mampu mengakses
perekonomian informal kota, yang utamanya dicirikan oleh status hukum yang lemah
dan tingkat penghasilannya yang rendah.
Pemukiman kumuh didefinisikan oleh Suparlan (1996), sebagai suatu pemukiman yang
kondisi fisik hunian dan tata ruangnya mengngkapkan kondisi kurang mampu atau
miskin dari para penghuninya. Penataan ruang hunian yang semrawut yang disebabkan
oleh penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume maupun frekuensinya,
dan serba kotor atau tidak terwat dengan baik. Di samping itu, pemukiman kumuh juga
kurang memadai fasilitas-fasilitas umum, seperti air bersih, pembuangan air limbah dan
sampah, jalan dan berbagai fasilitas untuk kegiatan sosial orang dewasa dan tempat
bermain bagi anak-anak. Warga pemukiman kumuh terdiri atas penduduk tetap dan
penduduk yang tinggal sementara di pemukiman tersebut. Mereka yang hidup menetap
antara lain yang menyewakan kamar atau rumah kepada para pendatang yang tinggal
sementara. Seringkali juga berikut dengan pelayanan makan dan cuci pakaian.
Kebanyakan dari pendatang ini adalah bujangan yang bekerja untuk proyek-proyek
pembangunan gedung-gedung atau jalan-jalan di kota, atau juga yang datang untuk
mencari kerja atau yang telah bekerja di sektor-sektor informal. Secara sosial dan
ekonomi, sebuah komuniti pemukiman kumuh tidak homogen. Warganya mempunyai
mata pencaharian yang beraneka ragam, asal usul yang berbeda, mengenal adanya
pelapisan sosial dan kemampuan ekonomi yang berbeda-beda (Rohman, 2004).
Ciri-ciri keluarga miskin yang tinggal di permukiman kumuh ini kembali menampilkan
keterbatasan kualitas hidup mereka, dan sekaligus juga menunjukkan betapa fenomena
lingkungan kumuh juga menjadi sesuatu yang sulit untuk diatasi. Tidak heran jika
7

Kompasiana, 4 September 2013

keberadaan permukiman kumuh sendiri sesungguhnya merupakan ancaman serius bagi
kesehatan dan kesejahteraan kota. Serius bukan hanya dalam pengertian dampak
lingkungan kumuh terhadap tingkat produktivitas dan kualitas hidup warga kota. Tetapi
juga serius dalam pengertian bahwa keberadaan pemukiman kumuh ini mencerminkan
kegagalan pemerintah dalam membangun perumahan. Karena, idealnya disamping
untuk memenuhi kebutuhan sosial, pembangunan perumahan harus dapat berperan
menjadi instrumen pembangunan yang dinamis. Artinya, pembangunan perumahan
dapat juga berperan untuk menggairahkan semangat membangun, mendorong
kegiatan swadaya masyarakat, menghidupkan industri rakyat, dan menciptakan
lapangan kerja baru. Keberadaan warga miskin kota di perkampungan-perkampungan
kumuh yang hampir hanya menawarkan akses ke sektor ekonomi berupah rendah, jelas
menunjukkan bahwa di samping gagal menyediakan perumahan yang layak, pemerintah
juga gagal menjadikan perumahan sebagai pendorong bagi kegiatan sosial dan
ekonomi yang produktif bagi warganya.
Ada dua aspek penting dalam penataan perkotaan. Di satu pihak ada kebijaksanaan
penataan ruang perkotaan, ada peraturan legal-formal untuk dijadikan pedoman
pelaksanaannya, tetapi tidak pernah kita ketahui bagaimana penggunaan tata ruang
kota dan peraturan pelaksanaannya oleh pemerintahan kota. Di samping itu, warga
pemukiman perkotaan membangun sendiri ruang-ruang yang tersedia di kota sesuai
kepentingan mereka, untuk memperoleh keuntungan ekonomi, sosial dan politik,
sehingga terlihat kesan seolah-olah pemerintahan kota tidak mempunyai pedoman
pelaksanaan pengaturan kehidupan perkotaan. Bertolak dari kenyataan ini maka
perspektif ukuran keberhasilan kinerja pembangunan perkotaan seharusnya mulai
digeser dari perspektif kuantitatif ke kualitatif. Dengan melakukan perbaikan sistem
pendataan permasalahan perumahan, secara lebih akurat diharapkan pemerintah juga
dapat merubah strategi pemecahannya.
Sebagai penutup, permasalahan permukiman penduduk perkotaan, harus dipecahkan
dengan melibatkan penduduk setempat, pemerintahan kota, kelompok-kelompok
interest, dengan mengacu pada rencana tata ruang kota yang ada dan pada kondisi fisik
ruang-ruang yang tersedia serta ada dalam kota yang bersangkutan, yang secara
bersama-sama bertujuan untuk membantu memecahkan permasalahan pemukiman
khususnya dan permasalahan perkotaan pada umumnya, dan mengendalikan motifmotif pencapaian keuntungan maksimal secara pribadi dari keputusan-keputusan yang
diambil. Ingat pepatah lama, jika kota adalah cerminan peradaban maka rumah adalah
cerminan kebudayaan. Semoga kita termasuk dalam bangsa yang berbudaya.

8