Sosiologi Lingkungan dan Perubahan Sosia

Tugas Review Mata Kuliah : Sosiologi lingkungan
Dosen : Adilita Pramanti, S.Sos., M.Si.
Mahasiswa : Astri Chairina
Prodi Sosiologi Universitas Nasional

Sosiologi Lingkungan dan Perubahan Sosial
Sosiologi lingkungan, menurut Riley E Dunlap merupakan sebuah studi
mengenai interaksi social dengan lingkungan di sekitarnya. Fokusnya adalah
memeriksa hubungan antara kontstruksi social dan permasalahan lingkungan,
serta menganalisa sebab dan akibat yang ditimbulkan olehnya. Pada awal
tahun 1970an, sosiologi lingkungan muncul di Amerika. Gagasan ini dipicu
oleh

ketertarikan

sosiologis

mengenai

perkembangan


akan

kesadaran

lingkungan dan aktivisme, serta pengakuan dan relevansi social mengenai
krisis energy , juga meningkatnya angka permasalahan lingkungan (Dunlap
and Catton,1979).
Dalam perkuliahan Sosiologi lingkungan yang di ampu oleh Adilita
pramanti, pada pertemuan sebelumnya dibahas mengenai sejauh mana
batasan yang melingkupi kajian – kajian sosiologi lingkungan.

Perubahan

social dan definisi mengenai tindakan masyarakat terhadap lingkungannya
merupakan pokok utama dari hal – hal yang menjadi topik bahasan dalam
sosiologi lingkungan. Ruang lingkup pembahasan ini menempatkan manusia
sebagai pusat dari alam semesta. Keberadaan manusia,kepentingan, serta
tindakan – tindakannya terhadap alam dianggap paling menentukan dalam
kondisi keberlangsungan terhadap alam semesta. Sedikit atau banyaknya
tindakan manusia, dalam pandangan antroposentris merupakan hal yang

paling

berpengaruh pada

perubahan

– perubahan lingkungan

apabila

dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan oleh spesies lain.
Pada

paper

yang

berjudul




GAYA

HIDUP

&

KONSUMEN

YANG

BERTANGGUNG JAWAB “ , Karya Siti maemunah (2017) , menjelaskan
bagaimana salah satu fenomena perilaku manusia di tengah – tengah krisis
lingkungan dan perubahan iklim saat ini adalah pola hidup manusia yang

begitu konsumtif. Penggunaan teknologi komunikasi, adalah salah satu gaya
hidup masyarakat yang paling dirasakan dampaknya terhadap lingkungan.
Begitu cepatnya pergantian model ponsel baru yang keluar di pasaran, serta
tingginya animo pembeli dalam mengejar keinginan untuk memiliki produk
terbaru ini pernah dijelaskan dalam karya Daniel Bell yang berjudul Cultural

Contradictions of Capitalism (1976). Ia mengatakan bahwa budaya konsumen
mengejar kebaruan dan perbaikan barang serta menolak semua budaya
ketinggalan jaman, dan menerima nilai – nilai baru dengan sikap ironis karena
akan berbalik pahit ketika tak lagi modis.
Dari berbagai macam hal yang dihasilkan oleh budaya konsumsi ini,
sampah adalah salah satu permasalahan social dan lingkungan yang cukup
memprihatinkan. Pada tahun 2011, Electronic Marketers Club meramalkan
penjualan produk elektronik di Indonesia akan naik jadi Rp.27 triliun. Badan
Perserikatan

Bangsa



Bangsa

untuk

Program


Lingkungan

(UNEP)

memperkirakan setiap tahun, lebih dari 40 juta ton sampah elektronik yang
terbuang. Jumlahnya diramalkan akan terus melesat sejalan dengan laju
peningkatan ekonomi. Cina, yang ekonominya terus melesat sekarang
tercatat sebagai salah satu penyumbang sampah elektronik terbesar kedua
setelah Amerika Serikat, mencapai angka 2,3 juta ton untuk jumlah sampah
yang dihasilkan dari pembuangan perkakas elektronik bekas. Sepuluh tahun
lagi, diperkirakan oleh UNEP akan terus berlipat jumlahnya hingga empat kali
lipat. Sedangkan di India, UNEP meramalkan bahwa pada tahun 2020
masyarakat di Negara tersebut akan membuang hingga lima kali lipat lebih
banyak jumlah sampah elektronik dibanding hari ini.
Dalam paper tersebut, juga dituliskan mengenai penjelasan Douglass J
Goodman yang menyebutkan bahwa budaya konsumen adalah sebuah
masalah social. Kita kerap mengkonsumsi untuk menunjukan ketidakpuasan
kita terhadap suatu barang, atau melihat suatu barang tidak berharga, dan
terdorong membeli barang lainnya yang lebih baik. Mengenai konsumsi itu
sendiri, dijelaskan oleh Ginny Richardson and Annie Ljungvist (2011), bahwa

konsumsi adalah penggunaan sumber daya barang atau jasa. Budaya adalah

sebuah “ pola terpadu pengetahuan manusia, keyakinan, dan perilaku yang
tergantung pada kemampuan berpikir simbolis dan pembelajaran social “
Yang berarti, budaya konsumsi menunjukan bahwa kebiasaan membeli barang
dan jasa merupakan sebuah kegiatan budaya yang penuh dengan makna dan
tidak didorong hanya oleh factor praktis atau ekonomi.
Menurut Siti Maimunah, manusia merupakan produk lingkungan. Dalam
tulisannya ia mengatakan, bahkan masyarakat adat Mollo di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur memandang alam atau lingkungan
bagai tubuh manusia. Batu dilambangkan sebagai tulang, tanah sebagai
daging, air sebagai darah, dan hutan sebagai kulit, paru – paru dan rambut.
Manusia dan lingkungan saling mempengaruhi. Segala perilaku manusia
sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitar. Lingkunganlah yang
membentuk kepribadian manusia. Perilaku manusia terbentuk akibat adanya
interaksi dengan lingkungan, dalam hal ini pola interaksi bisa dilihat dari
tingkat konsumsi.
Pada masyarakat modern perkotaan, tingkat konsumsi benar – benar
merupakan sebuah contoh yang paling mudah dilihat untuk menilai sejauh
mana pola interaksi yang dihasilkan terhadap lingkungan sekitarnya. Pada

masyarakat di kampus Universitas Nasional sendiri misalnya. Penggunaan
kertas pada kegiatan perkuliahan mencerminkan sejauh mana masyarakat di
dalamnya peduli akan keberadaan sampah – sampah dari ribuan lembar
keperluan akademik yang sudah tidak lagi dianggap bernilai. Sebelum adanya
inisiasi untuk mengkoordinir pemanfaatan penggunaan sampah kertas,
ruangan – ruangan badan pengurus universitas dipenuhi oleh tumpukan
kertas yang telah begitu lama disimpan begitu saja.
Penggunaan kertas memang merupakan sebuah hal yang dianggap
wajar dan biasa – biasa saja bagi yang tidak memperhatikan dampaknya.
Begitu mudahnya masyarakat mencetak berlembar – lembar kertas untuk
berbagai macam kebutuhan. Namun, dibalik semua itu masalah penggunaan
kertas ternyata menimbulkan banyak sekali kerusakan lingkungan dari hulu ke

hilir. Selama konsumen kertas belum banyak berpikir mengenai pengelolaan
sampah kertas, atau berupaya meminimalisir penggunaan kertas, makan akan
semakin banyak lahan yang dibuka untuk memenuhi kebutuha industry
tersebut. Semakin banyak hutan primer yang akan beralh fungsi sebagai
hutan penghasil kertas, dan semakin banyak juga tumpukan sampah kertas
yang menumpuk begitu saja di lemar – lemari kita.
Perubahan pola interaksi adalah sebuah kunci utama dalam perubahan

social dan lingkungan. Perubahan ini, bisa dicapai melalui berbagai macam
bentuk termasuk yang diceritakan oleh bu Adil tentang bagaimana sebuah
gagasan untuk membantu meningkatkan pendapatan petugas kebersihan
dapat berpengaruh pada jumlah sampah yang menumpuk di dalam ruangan.
Dengan adanya gagasan kepada para pekerja kebersihan untuk mengelola
sampah – sampah kertas setiap minggunya, ruangan dan lemari – lemari
berkas yang tadinya dipenuhi oleh tumpukan kertas bukan hanya bersih. Tapi
juga membantu perjuangan para pekerja untuk mencari nafkah tambahan
dengan mendapatkan penghasilan diluar upah kerja yang mereka dapat
setiap bulan. Dan apabila kebiasaan mengelola kertas seperti ini terus
menerus diterapkan dalam jangka waktu yang lama, bahkan juga diikuti
dengan kesadaran seluruh elemen kampus untuk lebih bijak dalam mengelola
kertas maka perubahan bukan hanya berdampak di lingkungan kampus, tapi
kebiasaan – kebiasaan tersebut bisa diikuti juga saat berada di tempat lain.
Astri Chairina, Tugas Review, Oktober 2017