GEMPA BUMI NIAS Suatu Upaya Berteologi

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

0

MAKALAH

GEMPA BUMI NIAS
(Suatu Upaya Berteologi Kontekstual)

OLEH

DOSEN

:

:

Hobert Videman Gratius Ospara (52110060)
Krisulastri

(52110059)


Okran Togimpo

(50120327)

Richard R.Mapandin

(50120329)

Ramli SN Harahap

(57120008)

Pdt.Prof.Dr.(hc.) E.G.Singgih,Ph.D.

PROGRAM STUDI PASCASARJANA
MAGISTER & DOKTOR THEOLOGIA
03 MEI 2013

Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual


Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

1

GEMPA BUMI NIAS
(Suatu Upaya Berteologi Kontekstual)

A.

OBSERVASI

Dalam rangka upaya dalam berteologi kontekstual di Indonesia, maka kami dari kelompok II
dalam Mata kuliah Berteologi Teologi dalam Kontekstual memilih salah satu dari 6 konteks yang
dibicarakan dalam perkuliahan, yakni tema “PENDERITAAN dan BENCANA”. Makalah kami ini
lebih kami fokuskan kepada bencana alam.
Bencana alam yang akan kami bahas adalah gempa bumi Nias pada 2005 yang lalu. Peristiwa
bencana alam inilah yang menjadi topik makalah kami dan kami akan mencoba menggali teologi yang
sesuai dengan konteks bencana yang dimaksud. Perlu kami sampaikan bahwa dalam peristiwa ini kami
tidak terlibat secara langsung, namun kami melakukan observasi melalui buku-buku, internet dan

wawancara via seluler.
1.

Sekilas tentang Nias
Nias (bahasa Nias Tano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau
Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki
budaya megalitik. Daerah ini merupakan obyek wisata penting seperti selancar (surfing), rumah
tradisional, penyelaman, lompat batu.1
Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa. Agama mayoritas daerah
ini adalah Kristen Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu
Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota
Gunungsitoli.2
2.

Gempa Nias dan Dampaknya
Pada 26 Desember 2004, gempa bumi Samudra Hindia 2004 terjadi di wilayah pantai barat
pulau ini sehingga memunculkan tsunami setinggi 10 meter di daerah Sirombu dan Mandrehe. Korban
jiwa akibat insiden ini berjumlah 122 jiwa dan ratusan keluarga kehilangan rumah. Pada 28 Maret
2005, pulau ini kembali diguncang gempa bumi, tadinya diyakini sebagai gempa susulan setelah
insiden Desember 2004, namun kini peristiwa tersebut merupakan gempa bumi terkuat kedua di dunia

sejak 1965. Sedikitnya 638 orang dilaporkan tewas, serta ratusan bangunan hancur.3
Menurut Eirene Gulo, bahwa perkiraan kerusakan di Nias akibat gempa adalah:4
 Perumahan: 13.000 rumah hancur; 24.000 rumah rusak sebagian; 34.000 rumah rusak
ringan
 Infrastruktur: 12 pelabuhan dan pelabuhan rakyat rusak; 403 jembatan tak berfungsi; 800
km jalan lokal tak dapat dilewati; 266 km jalan provinsi rusak
 Institusi Publik: Meruntuhkan kapasitas pemerintahan lokal; 761 bangunan pemerintahan
rusak sebagian atau rusak total
 Pendidikan: 755 sekolah rusak sebagian atau rusak total
 Kesehatan: 2 RS yang tak beroperasi; 173 Puskesmas dan Pustu rusak sebagian atau rusak
total
 170 Polindes rusak
1

Lih. http://johnrahmatgulo.webs.com/
Ibid.
3
Ibid.
4
Eirene Gulo, “Senin Dini Hari: Pergumulan Iman Menghadapi Gempa di Nias”, dalam Zakarias J.Ngelow, dkk., Teologi

Bencana, Makasar: Yayasan OASE INTIM, 2006, h.60-61.
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual
2

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

2



Mata Pencaharian: 90% mata pencaharian penduduk lenyap, terutama nelayan dan petani;
219 pasar, took dan kios rusak.
 Sosial: 1.938 rumah ibadah rusak sebagian atau hancur total.
Gempa Bumi yang berkekuatan 8,7 SR, yang terjadi pada tanggal 28 maret 2005, telah
menghancurkan sendi sendi kehidupan masyarakat Nias. Kondisi Nias semakin parah dan mengalami
keterpurukan dalam berbagai hal. Banyak orang kehilangan tempat tinggal. Sawah dan tanaman
perkebunan sebagai sumber pencaharian masyarakat rusak. Gedung-gedung perkantoran, sekolah, dan
unit-unit pelayanan kesehatanpun banyak yang rusak bahkan ada yang hancur berantakan. Lebih
menyedihkan dan mengerikan lagi ketika banyak manusia yang menjadi korban sehingga banyak
orang yang kehilangan anggota saudara, sahabat ataupun kenalan entah karena tertimbun reruntuhan

bangunan ataupun karena tertimbun tanah longsor. Semuanya meninggalkan luka yang mendalam.
Bahkan pengalaman traumatis yang menyedihkan. Sampai saat ini mereka tidak mampu untuk
memulai hidup yang baru dalam kondisi yang begitu parah. Kemudian mereka sepenuhnya bergantung
pada uluran tangan orang lain yang peduli akan penderitaan mereka.
Masyarakat Nias mengalami goncangan iman. Dalam kekalutan, kepanikan, dan ketakutan,
mereka merasa tidak memiliki tempat perlindungan. Akhirnya, mereka hanya bisa menyerahkan
semuanya kepada Tuhan. Hal ini nampak dalam setiap kata – kata yang mereka ucapkan atau juga
dalam doa–doa yang mereka panjatkan kepada Tuhan. Kata–kata tolo So’aya (tolong Tuhan)
merupakan kata–kata yang senantiasa terucap dari bibir mereka.5

B.

BERTEOLOGI KONTEKSTUAL

Berdasarkan hasil observasi kelompok di atas, maka kami mencoba akan berteologi dalam
konteks bencana alam gempa bumi di Nias 2005. Kelompok akan merumuskan kerangka berteologi
kontekstual kami dengan tiga bahasan utama, yakni: teologi, eklesiologi dan misiologi.
3.

Memahami TUHAN dalam konteks Gempa (Teologi)


3.1.

Konteks Kekristenan
Untuk memahami Allah dalam setiap bencana, kami mencoba memaparkan pemahaman dari
beberapa kelompok Kristen, yakni:
Roma Katolik
Makna penderitaan adalah pusat bagi Katolik. Katolik lebih memilih penyaliban yang
menunjukkan Kristus berada di tengah penderitaan kepada salib yang kosong yang melambangkan
kebangkitan. Mereka sering mengacu kepada kualitas keserupaan dengan Kristus kepada mereka yang
kuat dalam penderitaan, dan mampu mempertahankan iman mereka.6
Kristen Main-stream
Jika Katolik mendekati penderitaan dengan melihat kepada Kristus di kayu salib selagi
merengkuh misteri – misteri dari kehidupan, Protestan Mainstream menekankan kasih Allah yang tiada
berkesudahan dan bagaimana kasih tersebut harus menguatkan belas kasihan dan tindakan manusia.
Mereka menghadirkan gambaran Allah yang sangat merangkul dan tidak mengancam, sebuah
gambaran yang menjadi sulit untuk dimunculkan dengan dampak dari bencana alam.7
Kristen Evangelikal
Ketika orang Kristen Protestan Main-stream mengubah iman mereka kepada tindakan,
berjuang untuk memerangi ketidakadilan dan penderitaan, Protestan Evangelikal lebih menjaga fokus

mereka kepada iman. Prinsip tertentu membimbing pandangan mereka mengenai dunia fisik,
penderitaan manusia, dan jalan kepada keselamatan. Orang–orang Evangelikal akan melihat kepada
5

Yunelis Ndraha, Kaum Miskin di Antaramu: Pemberdayaan Jemaat Pasca Gempa Bumi di Distrik BNKP Awa’ai, UKDW:
2008, Tesis, h.6
6
G. Stern, Can God Intervene?: How Religion Explains Natural Disaster, (Westport: Praeger Publisher), 2007, h. 65
7
Ibid, h. 85
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

3

Alkitab sebagai penjelasan utama dari semua peristiwa alam, bahkan jika mereka harus merengkuh
ilmu pengetahuan. Mereka melihat semua bentuk dari penyimpangan dan penderitaan sebagai hasil
yang diharapkan dari dunia serta umat manusia yang jatuh. Mereka akan selalu menekankan bahwa
pria dan wanita hanya dapat diselamatkan melaui Yesus Kristus. Jadi, orang–orang yang menghadapi

penderitaan yang tidak adil akan berakhir di tempat yang sama, perlu diselamatkan untuk mendapatkan
hidup yang kekal.8
Kristen Afrika – Amerika
Tradisi gereja kulit hitam mengambil tempat yang unik dalam Kekristenan Amerika. Mereka
dikenal untuk memimpin perjuangan kepada keadilan sosial, dengan agenda yang serupa dengan
Protestan Main-stream. Akan tetapi, gereja–gereja kulit hitam – kebanyakan adalah Baptis dan
Metodis- juga membagikan penghargaan yang konservatif kepada Alkitab yang saling bersinggungan
dengan pendekatan Kristen Evangelikal terhadap Alkitab. Kekristenan Afrika - Amerika adalah sebuah
tradisi yang terpisah. Anda dapat membuat kasus yang kuat bahwa orang Kristen Afrika Amerika
mengandalkan iman untuk melalui waktu yang sulit lebih dari kelompok yang lain. Gereja tersebut
telah menjadi fondasi utama dari komunitas dan kebudayaan orang–orang kulit hitam. Dari
perbudakan, orang Afrika – Amerika telah melihat perjuangan terhadap kebebasan dan kesetaraan
sebagai bagian dari ekspresi iman mereka. Sampai hari ini, pemimpin yang paling dihormati dalam
komunitas orang kulit hitam adalah kebanyakan pengkhotbah. Tradisi gereja kulit hitam telah
memberikan energi dan doa mereka untuk menghadapi moral manusia yang jahat. Kejahatan alam,
sebaliknya, adalah sebuah tambahan.9
3.2.

Konteks Agama lain
Dalam banyak ajaran agama, gagasan bencana alam memainkan peran utama, baik sebagai

tindakan Allah, suatu bentuk retribusi atau kadang-kadang konsekuensi dari dosa untuk non-beriman.
Contoh yang paling terkenal dari ide ini ditemukan dalam teks-teks suci Kristen, Islam, Yahudi dan
Hindu.10
Agama Islam
Agama Islam lebih memiliki pandangan yang menyatu dari mengapa kita menderita dalam
hidup ini: Al-Quran mengatakan bahwa orang–orang harus tahu mengenai Tuhan dan bagaimana hidup
di dunia ini. Pengetahuan sebenarnya akan datang hanya pada saat masa kekekalan, jadi kehidupan di
dunia ditakdirkan dengan pergumulan dan serangkaian ujian. Iman harus dipertahankan dalam
menghadapi semua tantangan dan bencana baik yang dibawa oleh umat manusia ataupun hukum alam.
Konsep Al – Quran mengenai Tauhid – kesatuan atau keesaan Allah – mensyaratkan bahwa Agama
Islam mengenali kehadiran Tuhan dalam segala hal. Hidup ini adalah tahapan kepada kehidupan
selanjutnya.11
Agama Hindu
Agama Hindu dan Budha tidak melihat diri mereka sebagai bagian dari fokus kasih dan
perhatian Allah. Mereka melihat diri mereka sebagai makhluk yang kecil di dalam alam semesta yang
kompleks, tanpa harapan, dan fana. Tsunami dan agen lainnya dari penderitaan adalah tidak
mengejutkan. Jalan menjauhi penderitaan dan menuju sesuatu seperti keselamatan datang melalui
meditasi, yoga, dan kesadaran diri yang diperoleh dengan kerja keras. Orang Hindu percaya bahwa
Tuhan bukanlah kekuatan luar atau terpisah tetapi kekuatan yang hadir di dalam segala hal. Mengingat
agama Hindu tidak melihat Allah sebagai pribadi, mereka memiliki kesulitan bahkan untuk

mempertimbangkan peran atau tujuan atau tindakan Tuhan. Nasib kita dipercaya ditentukan oleh
karma, sebuah sistem universal mengenai sebab dan akibat. Karma menentukan seberapa banyak
kebahagiaan dan kepedihan yang akan dialami seseorang di kehidupan mendatang berkat reinkarnasi.
8

Ibid, h.107
Ibid, h. 127
10
Lih. http://id.earthquake-report.com/2012/09/27/the-impact-of-cultural-and-religious-influences-during-natural-disastersvolcano-eruptions/ yang diakses pada Kamis, 18 April 2013.
11
G. Stern, Can God Intervence?, h. 147
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual
9

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

4

Satu–satunya cara untuk bebas dari siklus lahir dan mati adalah melalui keterpisahan yang diperoleh
melalui meditasi, yoga, dan studi bertahun–tahun. Penderitaan karena kejahatan alam ataupun moral
dipercayai menjadi bagian dari siklus hidup dan mati dan kelahiran kembali. 12
Agama Budha
Terdapat banyak tradisi dari Agama Budha tetapi mereka memiliki pengajaran Budha yang
sentral: bahwa dunia adalah ketidakstabilan yang konstan dan bahwa penderitaan tidak dapat dihindari
kecuali seseorang mencari pembebasan sejati. Hanya meditasi, belas kasih, dan transformasi
menyeluruh dari sikap seseorang terhadap hidup yang dapat menggerakkan seorang individu – dan
dunia – terhadap pemisahan dan pencerahan. Tujuan dari kesadaran diri yang ekstrim dan
kebijaksanaan sulit untuk dicapai dan membutuhkan bertahun–tahun studi dan meditasi. Sementara itu,
diberitahukan bahwa karma buruk akan membentuk jalan dunia fisik yang tidak terduga kepada kita.
Alam bekerja secara mandiri, terpisah dari semua kekuatan ilahi, dan kerusakannya tidak disengaja.
Tidak ada titik untuk menetap dalam penderitaan. Akan tetapi, tergantung dari masing–masing
komunitas untuk menerapkan pengajaran Budha yang dikenal sebagai Dharma dan untuk bergerak
kepada kelepasan. Seseorang harus berjuang untuk berada di atas semuanya itu.13
Orang–orang yang tidak Beragama (Non – Believer)
Untuk orang atheis, agnostik, humanis sekuler, dan orang–orang skeptik lainnya, pertanyaan
mengapa bencana alam terjadi sangatlah mudah. Hal tersebut adalah ilmu pengetahuan. Jawabannya
kemudian adalah untuk mempelajari mengenai bencana tersebut agar kita dapat memprediksi, dan
meminimalisir konsekuensinya. Penjelasan agama tidak memberitahukan kita mengenai apapun
bahkan jika kita ingin percaya bahwa mereka benar.14
3.3.

Konteks Masyarakat di Nias
Menurut masyarakat Nias, secara umum ada beberapa pendapat mengenai mengapa terjadi
gempa bumi ini, yakni: pertama, gempa bumi itu sebagai hukuman Tuhan. Hal itu terlihat dari respons
masyarakat ketika mereka di dalam pengungsian.15 Warga masyarakat menyadari bahwa selama ini
mereka tidak menuruti kehendak Tuhan.16 Apalagi peristiwa gempa dan tsunami itu terjadi tepat pada
hari besar agama Kristen.17
Kedua, gempa bumi ini merupakan sebuah langkah untuk memperbaharui kehidupan.18 Artinya,
dengan terjadinya gempa bumi di Nias, maka akan terjadi perubahan-perubahan di segala sektor, baik
dalam sarana prasarana umum dan kehidupan masyarakat Nias itu sendiri. Masyarakat Nias berharap
bahwa pasca gempa itu Nias akan lebih baik dan maju di dalam segala kehidupan.
Ketiga, masyarakat Nias memahami dan meyakini bahwa “Bauwadanö Hia marah”. Ada yang
berpendapat “ular sawah pelingkar bumi marah”. Ada yang berpandangan, “ular jelmaan
Bauwadanö Hia marah”. Ada pula yang berkata, “Latura Danö marah”. Menurut mitos orang Nias,
bila ular sawah pelingkar bumi merasa manusia melanggar hukum, gelungannya digerakkan sehingga
bumi bergoyang, terjadilah gempa bumi. Agar gempa berhenti, manusia berteriak, “Biha Tuha, Biha
Tuha”(cukuplah hai penguasa, redakanlah amarahmu), seraya membunyikan segala macam benda.
Pada saat itu, manusia menelusuri pelanggaran hukum, lalu melakukan pertobatan dan reformasi di
bidang hukum.19
3.4.
12

Konteks Orang Kristen di Nias

Ibid, h. 165
Ibid, h. 185
14
G.Stern, Can God Intervence, h. 205
15
Eirene Gulo, “Senin Dini Hari… h.63-64.
16
Misalnya mereka hidup dengan percaya kepada ilmu-ilmu sihir, mencuri, dendam, memfitnah, dan lain-lain.
17
Tsunami terjadi pada 26 Desember 2004, yakni Natal ke 2 dan Gempa terjadi pada 28 Maret 2005, yakni Paskah ke 2).
18
Eirene Gulo, “Senin Dini Hari… h.63-64.
19
Sökhiaro Welther Mendröfa, Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias,
Inkultra Fondation Inc, 1981, hl. 121.
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual
13

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

5

Gereja tidak luput dari kondisi gempa di Nias. Diperkirakan 1.938 gereja mengalami kerusakan
total. Warga gereja bahkan para pendeta mengalami kesedihan serta trauma yang mendalam. Di satu
sisi mereka menyadari bahwa bencana ini merupakan cobaan iman dari Tuhan supaya mereka lebih
dekat lagi kepada-Nya. Namun, pada sisi lain, mereka bingung dan mulai mempertanyakan keberadaan
Tuhan. Kebingungan mereka nampak dalam pertanyaan–pertanyaan yang diajukan:
“Apakah Tuhan adalah penghukum atau yang Maha Pengasih? Jika Tuhan adalah penghukum,
mengapa hukuman yang Ia timpakan begitu besar bahkan sangat banyak merenggut jiwa
manusia?. Dimana kasih-Nya kepada manusia?. Mengapa Ia mengijinkan peristiwa yang begitu
tragis menimpa umat-Nya. Mengapa Ia tidak menyelamatkan manusia yang adalah ciptaanNya?.”20
Yang lebih membingungkan lagi ketika gempa dan tsunami yang melanda sebagian wilayah
Nias pada 26 Desember 2004 terjadi di saat orang Kristen merayakan natal yang kedua. Di saat gema
sukacita akan kelahiran Yesus Kristus, Sang Juruselamat, masih diperdengarkan, sukacita Natal
berubah menjadi kesedihan, penderitaan, dan air mata. Mereka bertanya mengapa Tuhan melakukan
semua ini?.
Demikian pula ketika gempa pada 28 Maret 2005, terjadi setelah orang Kristen merayakan
Paskah yang merupakan hari kemenangan Kristus atas kuasa kematian. Berita atas kuasa Kristus yang
telah menang mengalahkan kuasa maut seakan hilang begitu saja. Orang Kristen semakin bingung
dengan keberadaan Allah yang demikian. Refleksi–refleksi teologis yang menguatkan iman mereka
sepertinya tidak mampu menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan.21
Dari uraian di atas, maka kami dari kelompok berkesimpulan bahwa gambaran Allah dalam
konteks bencana gempa di Nias adalah sebagai berikut:
a.
Allah yang Maha Kuasa
Allah sebagai Pencipta langit dan bumi sekaligus sebagai yang Empunya memiliki kuasa atas
apa yang diciptakan-Nya. Untuk menunjukkan kemahakuasaan-Nya Ia bisa melakukan apa saja,
supaya manusia yang merupakan ciptaannya benar-benar percaya kepada-Nya. Hal itu Ia lakukan
karena Ia adalah Allah yang Maha Besar dan Maha Bisa. Ia bisa menunjukkan apa saja yang ia ingini.
Hal ini berdasarkan hasil wawancara dari beberapa penduduk di Nias menurut Yunelis Ndraha dalam
tesisnya.22 Kemahakuasaan Allah atas dunia ciptaan-Nya menunjukkan bahwa baik manusia maupun
mahkluk-mahkluk ciptaan lain tidak ada artinya di hadapan Tuhan. Di sini terlihat betapa manusia
sangat kecil sehingga saat malapetaka menimpa dirinya, ia tidak mampu melakukan apa-apa untuk
menyelamatkan diri-Nya.
b.
Allah Penghukum
Peristiwa gempa dipandang sebagai hukuman dari Tuhan supaya mereka bertobat dan mau
berbalik kepada jalan yang benar. Kesadaran bahwa mereka telah berbuat dosa senantiasa dijadikan
alasan terjadinya peristiwa ini. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika pada saat itu mereka
memohon ampun pada Tuhan atas segala dosa yang telah diperbuat. Mereka telah melupakan Tuhan
dan karenanya melalui peristiwa ini diharapkan mereka semakin dekat kepada-Nya. Pernyataanpernyataan seperti ini berkaitan dengan hukuman dari Tuhan. Hukum berlaku bagi salah seorang yang
telah berbuat salah. Kebanyakan dari mereka memahami Allah sebagai penghukum. Hukuman
diberikan akibat dari dosa (boro horo), yang telah mereka lakukan. Mereka merasa bahwa mereka
telah melanggar kesepuluh perintah Tuhan.23 Ini juga yang menjadi pernyataan masyarakat Nias yang
mengalami bencana.
20

Gustav G. Harefa, “Peran Pemuda di antara Natal, Keprihatinan Sosial, dan Pembaruan Gereja ”, dalam Gustav G.
Harefa (ed)., Natal di antara Keprihatinan Sosial dan Pembaruan Gereja dalam Perspektuif Pemuda, (untuk kalangan
sendiri), 2005, h. 14.
21
Trianasari Lombu, ‘Hikmah di Balik Bencana (Belajar dari Gempa Bumi di Pulau Nias 28 Maret 2005)”. dalam Gustav
G. Harefa (Ed), Op.Cit., h. 35-36.
22
Yunelis Ndraha, Kaum Miskin …, h.26.
23
Ibid., h.42
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

6

Pendapat masyarakat Nias ini tentunya tidak sepenuhnya kami terima yang walaupun dapat
dimengerti bahwa teologi hukuman merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan teodise. 24 Tapi di
satu sisi teologi hukuman ini bisa saja kita terima sesuai dengan cerita di dalam Kitab Suci (misalnya
kisah Ayub). Kami juga tidak menolak teologi ini seperti Robert Setio yang berpendapat bahwa teologi
hukuman selalu menampakkan kekejaman manusia (dan Allah).25 Kami sependapat dengan Gerrit
bahwa teologi hukuman itu tidak 100% kita tolak kalau teologi itu datang dari kalangan bawah yang
tertindas, yang tidak bisa apa-apa selain memohon keadilan Tuhan26.
c.
Allah Yang Maha Kasih
Oleh beberapa masyarakat Nias, meskipun rumah mereka hancur, harta benda hilang, tetapi
semuanya bisa dicari dibanding nyawa mereka. Bantuan yang datang dari berbagai pihak, baik dari
luar maupun dalam negeri baik secara pribadi maupun institusional sehingga mereka tidak mati
kelaparan dianggap sebagai wujud kasih Tuhan di tengah-tengah penderitaan mereka.27
Selain itu beberapa masyarakat Nias juga memahami bahwa kasih Allah juga diwujudkan
dalam bentuk teguran. Hal ini dikaitkan dengan perilaku seorang ayah yang menegur anaknya jika
berbuat salah. Bahkan jika perlu akan dipukul. Jika teguran atau pukulan diberikan bukan berarti
dibenci, melainkan karena dikasihi supaya bisa lebih baik. Demikian juga Allah kepada anak-anak-Nya
yang ada di Nias, yang menegur mereka karena telah berbuat salah. Namun teguran itu tidak dianggap
sebagai hukuman melainkan sebagai sebuah tindakan kasih. Allah tidak ingin anak-anak-Nya masuk
neraka. Yunelis Ndraha mengatakan bahwa meskipun mereka memiliki pandangan yang berbeda-beda
tentang Allah, namun kelihatan mereka hanya bisa pasrah menerima keberadaan hidup mereka karena
semua adalah kehendak Tuhan.28
d.
Allah Bersama-sama orang lemah
Dengan memahami Tuhan yang bersama dan mencintai akan membentuk mekanisme
pertahanan (coping mechanism) bagi korban bencana untuk bertahan dari dampak buruk bencana, dan
pada gilirannya mereka akan mampu bangkit kembali. Dengan memahami Tuhan yang selalu bersama,
mencintai orang-orang yang sedang mengalami bencana akan menanamkan harapan dan motivasi
(hope and motivation) di alam bawah sadar dan juga akan mampu membentuk pemberdayaan pribadi
(personal empowerment) dalam diri korban. Dalam Perjanjian Lama (Kej. 19:23-24) dua kota, Sodom
dan Gomora dihancurkan oleh api dan belerang. Allah membinasakan Sodom dan Gomora dengan
menurunkan “hujan belerang dan api”. Sekarang, tempat itulah yang dikenal dengan Laut Mati.
Kehancuran kota Sodom dan Gomora ini juga ditafsirkan akibat gempa bumi yang dahysat, karena
kata “ditunggangbalikkan-Nyalah kota-kota itu” (ay.25) atau kata “menunggangbalikkan kota-kota
kediaman Lot” (ay. 29).29
Dengan kata lain, Tuhan itu adalah kasih sekaligus adil. Dengan kasihNya, Tuhan memberkati
umatNya dengan segala kebutuhan jasmani dan rohaninya. Tetapi Dia juga sekaligus adil. Maksudnya,
Tuhan akan melaksanakan murkaNya jika umatNya telah melakukan dosa dan kejahatan. Tuhan
menghukum umatNya yang telah menyimpang dari kehendakNya. Ketika Tuhan murka, maka sebagai
umat kita harus sabar menerima murkaNya. Karena setelah murkaNya pasti ada berkat yang akan
diberikanNya. Salah satu contoh orang yang sabar dalam menerima hukuman Tuhan adalah Ayub.
Ayub dalam masa-masa penderitaannya selalu bersabar.

4.
24

Membangun Komunitas yang Berpihak pada Korban Bencana (Eklesiologi)

Emanuel Gerrit Singgih, “Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia: Sebuah Evaluasi
Teologis”, dalam Zakarias J.Ngelow, dkk., Teologi Bencana, h.264.
25
Ibid.
26
Ibid., h.265.
27
Ibid., h.44
28
Ibid., h.46
29
Bnd. Yune Sun Park, Tafsiran Kitab Kejadian, Batu: Blobal Partner, 2002, hl. 159.
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

7

Komunitas Kristen yang selalu memberikan perhatian dalam menanggulangi bencana alam
adalah “Komunitas Tanggul Bencana”. Di setiap gereja komunitas ini ada dan bertugas untuk
menangani persoalan bencana pada saat bencana terjadi dan pasca bencana. Komunitas ini sangat
membantu orang yang sedang mengalami penderitaan akibat bencana. Dalam Perjanjian Baru,
komunitas yang saling tolong-menolong ini sudah merupakan bagian yang integral dari hidup orang
percaya. Hal ini tampak dari ajakan Paulus untuk saling tolong-menolong dalam menanggung beban
(Gal. 6:2). Sikap lain yang kita temukan dalam kehidupan orang percaya adalah sikap saling
memperhatikan dan saling mendorong dalam kasih dalam pekerjaan baik (Ibr. 10:24). Komunitas
inilah yang kemudian dikembangkan oleh gereja saat ini.
Dalam skala yang lebih besar komunitas yang peduli dengan persoalan bencana alam adalah
Yayasan Tanggul bencana di Indonesia (YTBI).30 Dalam mewujudkan panggilannya, YTBI tidak
membeda-bedakan sesama manusia atas dasar agama, suku, ras, gender, usia, dan stratifikasi sosial.
Penerima bantuan adalah sesama manusia yang menjadi korban bencana. YTBI adalah anggota Action
by Churches Together (ACT) Alliance yang berkedudukan di Genewa.
Komunitas Kristen lainnya yang selalu peduli dengan bencana alam adalah Manajemen risiko
bencana berbasis komunitas (community based disaster risk management – CDRM). CDRM adalah
suatu komunitas yang mempersiapkan manajemen risiko bencana berbasis komunitas. 31 CDRM
merupakan suatu kerangka kerja konseptual berfokus pada pengurangan ancaman dan potensi kerugian
dan bukan pada pengelolaan bencana dan konsekuensinya. Manajemen risiko berbasis komunitas
menempatkan kelompok masyarakat sebagai pelaku utama dalam menangani risiko bencana.
Pengurangan risiko bencana perlu dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan
menangani akar permasalahan untuk mereduksi risiko secara total.
Komunitas di luar kekristenan yang tanggap akan bencana adalah Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Lembaga ini dibentuk khusus untuk menanggulangi masalah
korban bencana dan tanggap akan bencana alam di Indonesia.
5.

Mempersiapkan Masyarakat Nias yang Tanggap (Misiologi)
Menurut Yunelis, gereja hadir untuk melakukan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan
terlebih–lebih untuk jemaat yang sedang mengalami trauma akibat gempa. Pelayanan diakonia
sangatlah memegang peranan yang penting untuk mendampingi, menguatkan warga jemaat yang
menjadi korban bencana.32
Pada saat gempa, gereja hanya mampu berdoa dan mencoba memberi makna teologis terhadap
peristiwa yang terjadi. Hal ini disebabkan karena gereja juga menjadi korban gempa. Gereja tergantung
sepenuhnya pada bantuan yang datang serta penguatan iman dari para relawan yang melakukan
kebaktian kebangunan rohani (KKR). Hal ini sifatnya hanya sesaat saja. Dengan demikian, keadaan
seperti ini dapat menghambat pembangunan jemaat. Pembangunan jemaat, yang diartikan sebagai
campur tangan aktif, sistematis, dan metodis dalam tindak tanduk jemaat yang bertanggung jawab
penuh pada perkembangan menuju persekutuan yang mengantarai keadilan, dan kasih Allah dan yang
terbuka terhadap masalah manusia masa kini33, hendaknya menjalankan dan memprogramkan
tindakan–tindakan yang sistematis dan metodis untuk mengubah situasi.34
30

Lih. http://www.ytbindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=48&Itemid=67. YTBI merupakan
lembaga yang otonom dan independen berkedudukan di Jakarta serta bekerja melalui mitra-mitra lokal (gereja, LSM lokal,
dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya) untuk memberikan jawaban-jawaban praktis bagi manusia yang menderita
akibat bencana alam atau bencana buatan manusia.
31
Wiwik Ratna Kumarasari, dkk., “Membangun Kebijakan Hidup Bersama Risiko Bencana”, dalam dalam Agus Indiyanto
& Arqom Kuswanjono, Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana, Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2012, h. 87.
32
Yunelis Ndraha, Op.Cit., h.8.
33
P. G. van Hooijdonk, Batu – batu Yang Hidup: Pengantar ke dalam Pembangunan Jemaat, Jakarta: BPK Gunung Mulia
dan Yogyakarta: Kanisius, 1996, hl. 32.
34
Rob van Kessel, 6 Tempayan Air: Pokok – pokok Pembangunan Jemaat, Seri Pembangunan Jemaat, Yogyakarta:
Kanisius, 1997, h.26.
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

8

Dalam menghadapi bencana gempa bumi di daerah Nias yang akan bakal terjadi ke masa
depan, maka kami melihat harus perlu dibangun sebuah misi dalam rangka menanggulangi dan
menghadapi bahaya bencana alam ini. Ada beberapa hal yang kami tawarkan dalam bagian misiologi
ini, yakni:
a.
Melihat kearifan lokal yang ada di Nias
Dalam pengurangan risiko bencana, tradisi-tradisi atau kearifan lokal dari suatu komunitas
justru memainkan peran yang sangat penting untuk mencegah maupun mengurangi dampak dari
bencana. Setiap komunitas pasti memiliki mekanisme atau sistem tersendiri dalam rangka menjaga dan
menyeimbangkan setiap aktifitas dalam kehidupan mereka dengan daya dukung ekosistem maupun
lingkungan tempat mereka tinggal.
Kearifan lokal atau tradisi-tradisi yang merupakan konsepsi suatu masyarakat terhadap
alamnya itu kemudian dimanifestasikan dalam bentuk upacara-upacara, aturan-aturan adat, tata ruang
yang ramah lingkungan, maupun larangan-larangan yang harus ditaati oleh warga. Dalam konteks
bencana, contoh yang paling sederhana adalah rumah panggung yang dibuat untuk mengatasi bencana
banjir dan gempa.35 Kearifan lokal yang kami maksud dalam rangka menghadapi bencana gempa ke
masa depan adalah dengan membangun rumah dari Rumah Adat Nias. Rumah Adat Nias memiliki
berbagai keunikan dan keunggulan struktur dan konstruksinya yang berhubungan dengan dunia
arsitektur. Rumah Adat Nias yang terbuat dari kayu secara struktur cukup kuat untuk bertahan terhadap
goncangan yang dihasilkan gempa bumi.
Mempertemukan Sains dan Pengetahuan Lokal
Tantangan terbesar dalam menyamakan pemahaman tentang makna risiko bencana antara ahli
sains vis-à-vis masyarakat awam sebenarnya adalah kerelaan untuk saling mengakui. Menurut Agus
Indiyanto,36 setidaknya ada tiga hal penting yang harus dibangun dalam rangka menyusun kerja
mitigasi berbasis risiko, yakni: pertama, perlunya integrasi instrument, kognisi, dan praktik
pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern. Dan sebaliknya, melakukan kontekstualisasi sistem
pengetahuan modern ke dalam system pengetahuan lokal. Kedua, perlunya diseminasi pemahaman
risiko bencana yang membumi. Istilah-istilah teknis seperti ‘gempa multifase’, ‘preatik’, ‘piroklastik’,
‘ekstrusi’, jelas bukan bahasa yang diakrabi masyarakat lokal. Ketiga, cara yang tepat untuk
menyelenggarakan program belajar risiko adalah mulai dengan menciptakan desain kelembagaan dan
mengukur skala kerentanan dalam masyarakat.
b.

c.

Membangun Kebijakan Hidup Bersama Risiko Bencana
Beberapa kegiatan sebagai wujud misiologi yang merupakan tindak lanjut dari komunitas yang
sudah ada yaitu CDRM (sebagaimana yang disebutkan pada bagian eklesiologi), secara umum
kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam tiga kegiatan utama, yaitu:
 Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta
peringatan dini;
 Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan
penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan
pengungsian;
 Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan:
 Pemulihan: Trauma Healing akibat bencana
 Rehabilitasi: Perbaikan rumah-rumah ibadah dan rumah-rumah penduduk, dan
 Rekonstruksi: Pembangunan kembali gedung sarana publik dan pemerintah
d.
35

Mendirikan dan Membuka Pos-pos Bantuan Sementara

Berdasarkan hasil wawancara via telepon dengan salah seorang masyarakat Nias, yakni Pdt.Agus Salam Harefa,S.Th.
pada Selasa, 30 April 2013.
36
Agus Indiyanto, “Risiko Bencana: Mempertemukan Sains dan Pengetahuan Lokal”, dalam Agus Indiyanto & Arqom
Kuswanjono, Respons Masyarakat …, h. 35-40.
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

9

Untuk menolong korban bencana pada saat bencana terjadi maka perlu mendirikan dan
membuka pos-pos bantuan sementara, seperti:
 Tenda-tenda untuk tempat tinggal
 Kamar mandi dan Toilet
 Dapur Umum
 Pos Kesehatan
 Pos Kemanan

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Gulo, Eirene.

“Senin Dini Hari: Pergumulan Iman Menghadapi Gempa di Nias”, dalam
Zakarias J.Ngelow, dkk., Teologi Bencana, Makasar: Yayasan OASE
INTIM, 2006.
Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual

Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S2 & S3) Teologi

10

Harefa, Gustav G.

“Peran Pemuda di antara Natal, Keprihatinan Sosial, dan Pembaruan
Gereja”, dalam Gustav G. Harefa (ed)., Natal di antara Keprihatinan
Sosial dan Pembaruan Gereja dalam Perspektuif Pemuda, (untuk
kalangan sendiri), 2005.

Indiyanto, Agus.

“Risiko Bencana: Mempertemukan Sains dan Pengetahuan Lokal”,
dalam Agus Indiyanto & Arqom Kuswanjono, Respons Masyarakat
Lokal Atas Bencana, Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2012

Kumarasari, Wiwik Ratna. dkk., “Membangun Kebijakan Hidup Bersama Risiko Bencana”, dalam
dalam Agus Indiyanto & Arqom Kuswanjono, Respons Masyarakat
Lokal Atas Bencana, Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2012.
Lombu, Trianasari.

‘Hikmah di Balik Bencana (Belajar dari Gempa Bumi di Pulau Nias 28
Maret 2005)”, Gustav G. Harefa (ed)., Natal di antara Keprihatinan
Sosial dan Pembaruan Gereja dalam Perspektuif Pemuda, (untuk
kalangan sendiri), 2005.

Mendröfa, Sökhiaro Welther. Fondrakö Ono Niha Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat
Masyarakat Nias, Inkultra Fondation Inc, 1981.
Ndraha, Yunelis.

Kaum Miskin di Antaramu: Pemberdayaan Jemaat Pasca Gempa Bumi
di Distrik BNKP Awa’ai, UKDW: 2008, Tesis.

Park, Yune Sun.

Tafsiran Kitab Kejadian, Batu: Blobal Partner, 2002.

Singgih, Emanuel Gerrit.

“Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia:
Sebuah Evaluasi Teologis”, dalam Zakarias J.Ngelow, dkk., Teologi
Bencana, Makasar: Yayasan OASE INTIM, 2006.

Stern, G.

Can God Intervene?: How Religion Explains Natural Disaster,
(Westport: Praeger Publisher), 2007.

van Hooijdonk, P. G.

Batu – batu Yang Hidup: Pengantar ke dalam Pembangunan Jemaat,
Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 1996.

van Kessel, Rob.

6 Tempayan Air: Pokok – pokok Pembangunan Jemaat, Seri
Pembangunan Jemaat, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

http://johnrahmatgulo.webs.com/
http://id.earthquake-report.com/2012/09/27/the-impact-of-cultural-and-religious-influences-duringnatural-disasters-volcano-eruptions/
http://www.ytbindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=48&Itemid=67.
Wawancara via telepon dengan Pdt.Agus Salam Harefa,S.Th. pada Selasa, 30 April 2013.

Makalah Kelompok 2 – Teologi Kontekstual