Tawakal dan Cinta (2) CINTA DUNIA

TAWAKAL DAN CINTA
OLEH:
DOLI RAMADHAN
NIM:0705163027
DOSEN PENGAMPU:
Dr. JA’FAR, M.A

FISIKA-1
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri SUMATRA UTARA

PENDAHULUAN
Setelah sampai fakir dan sabar, maka ada al-maqam yang disebut tawakal
dan cinta, kedua jenis ini adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan
sepenuh jiwa dan raga dengan bergantung penuh pada-Nya. Tidak ada tempat
mengadu dan berteduh kecuali pada Allah swt karena sesungguhnya Allah maha
tahu, maha pelindung, maha pengasih dan lagi maha penyayang.
Mari kita mempelajari dan mengamalkannya agar kita taat kepada Allah
dan senantiasa dekat dengan-Nya. Semoga pembahasan ini dapat memberikan
ilmu yang bermanfaat.


PEMBAHASAN
Tawakal (al-tawakkul)
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti
“mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung”,
istilah tawakal disebut di dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali.
Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak Allah;
percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya),
atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah”. Diantara kata tawakal yang
digunakan dalam Alquran, yakni wakkalna sebanyak 1 kali, wukila sebanyak 1
kali, tawakaltu sebanyak 7 kali, tawakalna sebanyak 4 kali, natawakala sebanyak
1 kali, yatawakal sebanyak 12 kali, yatawakalun sebanyak 5 kali, tawakal
sebanyak 9 kali, tawakalu sebanyak 2 kali, wakilun sebanyak 11 kali, wakila
sebanyak 13 kali, al-mutawakkilun sebanyak 3 kali, dan al-mutawakkilin
sebanyak 1 kali. Data ini menegaskan bahwa ajaran Islam menghendaki para salik
untuk menegakkan dan mendapatkan maqam tawakal.
Al-Ghazali menyebutkan dalil-dalil kewajiban dan keutamaan tawakal
kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din. Diantara dalilnya adalah Q.S. al-Ma’idah/5: 23; Q.S.
Ibrahim/14: 12; Q.S. al-Thalaq/65: 3; dan Q.S. Ali Imran/3: 159.
Allah swt berfirman dalam Q.S. Ali Imran/3: 159 yang artinya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap

mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadanya.
Dalam Sunan al-Turmudzi disebutkan yang artinya:
Dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata
sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal,
pasti Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada
burung, pagi hari pergi dalam keadaan lapar dan sore hari pulang dalam
keadaan kenyang.
Dalam karya-karya tasawuf, para sufi telah memberikan penjelasan
mengenai makna tawakal. Hamdun al-Qashshar berkata “tawakal adalah
berpegang teguh kepada Allah swt”. Sahl bin ‘Abd Allah al-Tustari berkata,
“tawakal adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan
diri kepada Allah swt”. Abu Ya’qub Ishaq al-Nahr al-Jauzi berkata, “tawakal
adalah menyerahkan diri kepada Allah swt dengan sebenarya…” Abu Ali alDaqaq berkata, “tawakal kepada Allah swt memiliki tiga tingkat, yakni tawakal,
taslim, dan tafwidh. Orang yang tawakal adalah orang yang merasa tenang dengan
janji Allah swt. Orang yang taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmuNya. Orang yang tafwidh adalah orang yang rela dengan hukum-Nya. Jadi,
tawakal adalah permulaan, taslim adalah pertengahan, dan tafwidh adalah akhir.


Menurut Nashr al-Din al-Thusi, tawakal adalah “mempercayakan semua
urusan kepada Allah, dan keyakinan Allah memiliki kearifan dan kekuasaan untuk
menjalankan segala urusan sesuai pengaturan-Nya…tawakal tidak bermakna
bahwa seorang hamba tidak melakukan apapun dengan alasan menyerahkan
semua urusan kepada Allah, tetapi tawakal bermakna bahwa setiap orang harus
mempercayai bahwa segala sesuatu selain Allah pasti berasal dari Allah, dan
segala sesuatu bekerja sesuai hubungan sebab-akibat”. Menurut Ibn Qudamah,
ada tiga derajat tawakal: menyerahkan diri hanya kepada Allah swt dan selalu
mengharapkan pertolongan-Nya; pasrah dan tidak bersandar kecuali hanya kepada
Allah seperti seorang anak yang hanya bersandar kepada ibunya; dan tidak
berpisah dengan Allah swt dan melihat diri sendiri seperti orang mati yang
posisinya seperti kepasrahan mayit di tangan orang-orang yang memandikannya.
Akan tetapi, tawakal tidak menafikan usaha, sebab usaha menjadi sangat penting
dalam Islam.1
Secara harfiah, tawakal berarti menyerahkan diri. Secara umum pengertian
tawakal adalah pasrah secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan suatu
rencana dan usaha. Tidak boleh memastikan terhadap suatu rencana yang telah
disusun, tetapi harus bersikap menyerahkannya kepada Allah. Manusia hanya bisa
merencanakan dan mengusahakan, tetapi Tuhan yang menentukan hasilnya.

Akan tetapi bagi kaum sufi pengertian tawakal itu tidak cukup kalau hanya
sekedar menyerahkan diri seperti itu. Mereka mempunyai citra tersendiri. Ini
berarti bahwa dalam segala hal, baik sikap maupun perbuatan harus diterima
dengan tulus. Apapun yang terjadi adalah diluar pintu usaha, tetapi semuanya itu
datang dari Allah. Tidak meminta, tidak menolak, dan tidak menduga-duga. Nasib
apapun yang diterima itu adalah karunia Allah.2
Cinta (al-mahabbah)
Menurut al-Ghazali, al-mahabbah adalah al-maqam sebelum rida. Kaum
sufi mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Alquran, hadis, dan atsar.
Diantara dalilnya adalah Q.S. al-Ma’idah/5: 54; Q.S. al-Shaff/61: 4; dan Q.S. Ali
‘Imran/3: 31. Kata cinta disebut Alquran secara berulang kali, meskipun tidak
hanya dalam makna cinta kepada Allah swt sebagaimana yang dimaksudkan oleh
kaum sufi. Kata hub disebut Alquran sebanyak 99 kali dalam berbagai bentuk
kata, antara lain hubb dan yuhibbu, sedangkan dalam kata al-mahabbah tidak
digunakan Alquran.
Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 165, Allah swt berfirman yang artinya:
Dan diantaraa manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka


1 Ja’far, 2016, “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi”, Medan:
Perdana Publishing, hlm.74-78
2 Irham Iqbal, 2012, “Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf”, Ciputat: Pustaka AlIhsan, hlm. 121

melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).
Dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 31, Allah swt berfirman yang artinya:
Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dalam Shahih Muslim, disebutkan yang artinya:
Menceritakan kepada kami Zuhair ibn Harb, menceritakan kepada kami Jarir,
dari Suhail, dari ayahnya, dari Abi Hurairah, ia berkata Raulullah saw bersabda
jika Allah mencintai hamba-Nya, Allah berkata kepada jibril ‘wahai Jibril,
sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril pun
mencintainya, kemudian menyeru kepada para penduduk langit, lalu berkata
‘sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia!’ Kemudian Allah
memberikan pengabulan kepadanya di bumi.
Sedangkan makna al-mahabah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan

kaum sufi. Junaid al-Baghdadi, misalnya, berkata “cinta adalah masuknya sifatsifat kekasih pada sifat-sifat mencintai”. Muhammad bin ‘Ali al-Kattani berkata
“cinta mengutamakan yang dicintai”. Husain al-Manshur al-Hallaj berkata bahwa
“hakikat cinta itu jika kamu berdiri bersama kekasihmu dengan menanggalkan
sifat-sifatmu”. Muhammad bin al-Fadhal al-Farawi berkata “cinta itu adalah
runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih”. Menurut ibn
Qudamah, tanda cinta kepada Allah swt adalah senantiasa berzikir kepada Allah;
gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada-Nya seperti membaca
Alquran dan tahajud; merasa rugi bila melewatkan waktu tanpa menyebut namaNya; dan menyayangi semua hamba Allah, mengasihi mereka dan bersikap tegas
terhadap musuh-musuh-Nya. Menurut al-Ghazali, mengutip pendapat Yahya bin
Mu’az, indikator seorang hamba mencintai Allah swt adalah mengutamakan
perkataaan Allah daripada perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan
Allah daripada bertemu dengan makhluk, dan mengutamakan ibadah dengan
Allah swt daripada melayani manusia.3

KESIMPULAN
3 Ja’far, op.cit, hlm. 78-80

Tawakal adalah segala bentuk keyakinan seseorang bahwa hasil yang telah
dilakukan atau yang diusahakan merupakan pemberian dari Allah dan semua yang
dilakukan orang tersebut hingga ke hasil merupakan kehendak Allah, maka orang

tersebut yakin bahwa hanya kepada-Nya lah meminta pertolongan dan hanya
kepadanya-Nya lah tempat bersandar atau bergantung. Cinta adalah keadaan
seseorang yang sangat menyayangi dan tidak mau merasa jauh dengan-Nya
sedikitpun, hati ingin selalu mengingat dan senantiasa ingin merasa dekat denganNya. Jikalau kita mencintai Allah pasti kita akan bertawakal (berusaha dan
menyerahkan diri kepada Allah apa yang telah kita capai) dan kalau kita cinta
kepada Allah maka jelas kita selalu lebih bertawakal kepada-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Irham,Iqbal. 2012. “Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf”. Ciputat:
Pustaka Al-Ihsan

Ja’far. 2016. “Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoretis dan Praktis Ajaran Kaum
Sufi”. Medan: Perdana Publishing