Pensiun dan PHK dan PHK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal atau kegiatan yang
sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan
kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan keadaan
perekonomian yang berdampak

pada banyak industri yang harus menutup

perusahaannya karena bangkrut, dan tentu saja berdampak pada

pemutusan

hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah
yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi
kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan
yang menjadi penopang hidup keluarganya. Dalam kondisi normal, pemutusan
hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan.
Setelah menjalankan tugas dan melakukan


peran sesuai dengan tuntutan

perusahaan, dan pengabdian kepada organisasi maka tiba saatnya seseorang untuk
memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut.
PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak
normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan.
Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah,
senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih
menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi
atau memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak
PHK pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan
oleh perusahaan pada saat ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi- posisi
yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka
terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus
dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi
pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat
dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi

1


yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan
fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan
lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat (mantan karyawan).
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam makalah ini yaitu menjelaskan tentang definisi
PHK serta komponen-komponen yang berhubungan dengan PHK.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan PHK?
2. Apa saja alasan-alasan PHK?
3. Apa saja tujuan PHK?
4. Apa saja faktor-faktor penyebab PHK?
5. Apakah yang dimaksud dengan pensiun dan pensiun muda dan
bagaimanakah perencanaan dan dampak dari pensiun?
6. Apa sajakah larangan yang menyebabkan PHK itu tidak boleh dilakukan?
7. Bagaimanakah study kasus tentang PHK?
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui definisi PHK.
2. Untuk mengetahui alasan-alasan PHK.
3. Untuk mengetahui tujuan PHK.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab PHK.
5. Untuk mengetahui apa itu pensiun dan pensiun muda dan bagaimanakah
perencanaan dan dampak dari pensiun.
6. Untuk mengetahui hal-hal larangan PHK.
7. Untuk mengetahui penyelesaian masalah study kasus PHK.
2

1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu agar pembaca
mengetahui serta memahami tentang PHK dan hal-hal yang mendukung tentang
PHK.

3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi PHK

perhatian yang serius dari manajer perusahaan,karena telah diatur oleh
undang- Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumber daya
manusia. Istilah pemberhentian sinonim dengan saparation, pemisahan, atau
pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan.
Fungsi pemberhentian harus mendapat undang dan memberikan risiko bagi
perusahaan maupun untuk kariawaan yang bersangkutan. Pemberhentian harus
sesuai dengan Undang-undang No.12 Tahun 1964 KUHP dan seizin P4P atau
dengan keputusan Pengadilan. Pemberhentian juga harus memperhatikan pasal
1603 ayat 1 KUHP yaitu mengenai “tenggang waktu saat dan izin
pemberhentian”. Perusahaan yang melakukan pemberhentian akan mengalami
kerugian karena karyawan yang dilepas membawa biaya penarikan, seleksi,
pengembangan, dan proses produksi berhenti.
Karyawan yang dilepas akan kehilangan pekerjaan dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, ekonomis dan kejiwaannya. Manajer
dalam melaksanakan pemberhentian harus memperhitungkan untung dan ruginya,
apalagi kalau di ingat bahwa saat karyawan diterima adalah dengan cara baikbaik, sudah selayaknya-layaknya perusahaan melepas mereka dengan cara yang
baik pula.
Pemberhentian harus didasaarkan atas Undang-undang No 12 Tahun 1964
KUHP, berperikemanusiaan dan menghargai pengabdian yang diberiknnya
kepada perusahaan, misalnya memberikan uang pensiun dan pesangon.

Pemberhentian mempunyai makna yang sangat luas dan kompleks, tetapi penulis
mendefinisikan sebagai berikut.

4

Pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja sesorang karyawan dengan
suatu organisasi perusahaan. Dengan pemberhentian berarti berakhirnya
keterikatan kerja keryawan terhadap perusahaan.
2.2 Alasan-alasan PHK
Dalam buku Manajamen Sumber Daya, disebutkan mengenai alasanalasan PHK itu dilakukan:
1. Mengurangi biaya tenaga kerja.
2. Menggantikan kinerja yang buruk.
3. Meningkatkan inovasi.
PHK meningkatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan yaitu:
a. Pemberian penghargaan melalui promosi atas kinerja individual
yang tinggi.
b. Menciptakan kesempatan untuk level posisi yang baru masuk.
c. Tenaga kerja dipromosikan untuk mengisi lowongan kerja sebagai
sumber daya yang dapat memberikan inovasi/menawarkan
pandangan baru.

4. Kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar.
Selain itu, pendapat dari buku Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan
Bisnis dijelaskan bahwa alasan PHK tersebut dilakukan:
1. Undang-undang
Undang-undang

dapat

menyebabkan

seorang

karyawan

harus

diberhentikan dari suatu perusahaan. Misalnya anak-anak, karyawan WNA
yang sudah habis izinnya, terlibat organisasi terlarang, tindakan kriminal
dan sebagainya.
2. Keinginan perusahaan

Keinginan perusahan dapat menyebabkan diberhentikannya seorang
karyawan baik secara terhormat maupun dipecat. Permohonan izin PHK
dapat diberikan dalam hal buruh melakukan kesalahan besar, anatara lain:

5

a. Pada saat perjanjian kerja diadakan memberikan keterangan palsu
atau dipalsukan.
b. Melakukan tindakan kejahatan.
c. Penganiayaan, menghina secara kasar atau mengancam pengusaha,
keluarga penguasa atau teman sekerja
3. Keinginan karyawan
Buruh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu-waktu, karena alasan
mendesak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
4. Pensiun
Apabila seorang tenaga kerja telah mencapai batas usia atau masa kerja
maksimum sesuai dengan peraturan perusahaan yang telah disepakati atau
karena alasan-alasan lain.
5. Kontak kerja berakhir
Karyawan kontrak akan dilepas atau


diberhentikan, apabila kontrak

kerjanya berakhir.
6. Kesehatan kayawan
Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawan.
Inisiatif pemberhentian ini bisa berdasarkan keinginan perusahaan atau
keinginan kayawan.
7. Meninggal dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya
dengan perusahaan.
8. Perusahaan bangkrut
Karyawan akan lepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena
bangkrut.
Alasan lain selain yang disebutkan diatas adalah:
1.

PHK dapat terjadi jika salah satu atau kedua belah pihak merasa
dirugikan. Seperti: ketidakjujuran, ketidakmampuan, malas, mabuk,
ketidakpatuhan, mangkir, ketidakdisplinan, dsb.


2.

Suatu pembagian dapat dibagi dalam dua bentuk:

6

a. Pemberhentian dengan hormat dapat terjadi karena beberapa
alasan seperti: pensiun, atas permintaan sendiri, dan lay off
(pemberhentian yang prakarsanya berasal dari organisasi
sebagai

akibat

jabatan/pekerjaan

harus
atau

dilakukannya

karena

penghapusan

pengurangan

suatu

pegawai

(rasionalitas).
b. Pemberhentian tidak dengan hormat, yaitu suatu pemberhentian
berupa PHK secara paksa dan sepihak yang dilakukan sebagai
akibat pelanggaran disiplin yang belum karena putusan
pengadilan.
3.

Dalam keadaan memaksa (force majurere), kejadian mendadak seperti:
kerusakan karena kebakaran, gempa bumi, becana alam lainnya,
peperangan dsb.


2.3 Tujuan PHK
Tujuan PHK sebenarnya berhubungan erat dengan PHK, namun hal ini,
tujuan lebih dititik beratkan pada jalannya perusahaan (pihak pengusaha).
Tujuan PHK antara lain:
1. Perusahaan atau pengusaha bertanggung jawab terhadap jalannya
perusahaan dengan baik dan efektif. Pengurangan buruh atau karyawan
mempunyai suatu tujuan yang datangnya dari dalam perusahaan seperti:
a. Alasan modernisasi
b. Otomatisasi
c. Mekanisme dan rasionalisme
d. Perubahan hasil produksi atau perubahan dalam cara produksi
e. Dalam keahlian yang diperlukan, penutupan bagian-bagian dll
2. Pengurangan buruh juga dapat di akibatkan karena faktor dari luar seperti:
a. Kesulitan penjualan dan mendapatkan kredit
b. Tidak adanya pesanan
c. Tidak adanya bahan baku produktif

7

d. Menurunnya permintaan
e. Kekurangan bahan bakar atau listrik
f. Kebijaksanaan pemerintah
g. Meningkatnya persaingan
Tujuan pemberhentian agar dapat mencapai sasaran seperti yang
diharapkan, dan tidak menimbulkan masalah-masalah baru. Maka dengan
melaksanakannya, suatu organisasi perlu memberhentikan berbagai faktor antara
lain:
a) Faktor kontradiktif
Harus disadari bahwa suatu pemberhentian tenaga kerja selalu
dihadapkan pada masalah terjadinya kontradiksi kepentingan
antara organisasi dengan tenaga kerja.
b) Faktor kebutuhan
Kadang-kadang

suatu

organisasi

secara

objektif

masih

membutuhkan seorang tenaga kerja yang memiliki kemampuan
dan keahlian tertentu yang masih langka tetapi berdasarkan
ketentuan organisasi yang bersangkutan.
c) Faktor sosial
Pemberhentian atau PHK oleh suatu organisasi hendaknya
dilakukan dengan memperhitungkan secara matang dampak sosial
yang mungkin terjadi. Faktor sosial ini perlu diperhatikan bukan
semata-mata demi kepentingan masyarakat bahwa suatu PHK
berarti akan bertambahnya beban sosial masyarakat, tetapi juga
akan

mempunya

dampak

masyarakat.

8

terhadap

citra

organisasi

dimta

2.4 Faktor-faktor Penyebab PHK
Secara yuridis dalam undang undang no 13 tahun 2003, PHK oleh
perusahaan disebabkan:
1. Perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu rasionalisasi atau
pengurangan jumlah pekeja/buruh. Dalam hal PHK dengan alasan
rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/buruh dalam undang undang
nomor 13 tahun 2003, pasal 151 ayat (1) ditentukan bahwa pengusaha,
pekerja/buruh,serikat pekerja/ serikat buruh dan pemerintah, berupaya
mengusahakan agar tidak terjadinya PHK. Dalam hal, upaya tersebut telah
dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib
dirundingkan

oleh

pengusaha

dan

SP/SB

atau

dengan

pekerja/buruh,apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi
anggota SP/SB.
2. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang melanggar
ketentuan yang tercantum dalm peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau
PKB (kesalahan ringan), maupun kesalahan pidana (kesalahan berat).
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena alasan telah
melakukan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang penggantian
hak.
Dalam hal PHK dengan alasan rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/
buruh dalam undang undang nomor 13 tahun 2003dalam pasal 151 ayat 1
ditentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, SP/SB dan pemerintah. Dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Apabila upaya
tersebut telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/SB atau dengan pekerja atau buruh
apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB.
Apabila perundingan benar benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga PPHI yang dalam undang undang nomor 2

9

tahun 2004. Permohonan penetapan PHK diajukan secara tertulis kepada PHI
disertai alasan yang menjadi dasarnya.
Pekerja atau buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
pihak pengusaha, karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksakan
untuk terus menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan
demikian PHK oleh pekerja/buruh ini, yang aktif untuk meminta diputuskan
hubungan kerjanya adalah pekerja/buruh tersebut.
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI,
dalam hal pengusaha melakukan perbuatan:
a. Menganiaya

menghina

secara

kasar

atau

mengancam

pekerja/buruh.
b. Membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
pekerjaan

yang

bertentangan

dengan

peraturan

perundang

undangan.
c. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut turut atau lebih.
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja
atau buruh.
e. Memerintahkan pekerja atau buruh untuk melaksanakan pekerjaan
diluar yang diperjanjikan.
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan

atau kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan

tersebut tidak tercantum pada perjanjian pekerja.
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan
pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari
lembaga PPHI, dan kepada pekerja atau buruh yang bersangkutan memperoleh
uang pengganti hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4. Selain uang pengganti hak,
pekerja/buruh diberikan uang pisah yang besar dan pelaksanaanya diatur dalam

10

perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. Pekerja atau buruh yang
mengundurkan diri tersebut harus memenuhi syarat:
1) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran
diri.
2) Tidak terikat dalam ikatan dinas.
3) Tetap

melaksanakan

kewajibanya

sampai

tanggal

mulai

pengunduran diri.
2.5 Pensiun dan Pensiun Muda
2.5.1 Pensiun Muda
Sebagai besar karyawan yang telah berdinas untuk jangka waktu yang
lama atau meninggalkan perusahaan karena pensiun, rencana pensiun (retirement
plans) dapat di dasarkan pada umur tertentu atau sejumlah tertentu tahun dinas
bersama perusahaan, atau kedua-duanya. Terhadap pensiun, para mantan
karyawan biasanya mendapatkan tunjangan pensiun setiap bulan untuk sisa hidup
mereka.
Terkadang karyawan yang ingin pensiun, sebelum mencapai persyaratan
usia atau lamanya waktu dinas perusahaan. Tunjangan pensiun kerap dikurangi
untuk setiap tahun tanggal pensiun yang di majukan. Dari sudut pandang
organisasi, karyawan yang pensiun muda memiliki aspek positif dan negatif.
Karena besarnya jumlah pengurangan staf perusahaan yang di hadapi oleh
banyak perusahaan saat ini, pensiun muda (early retirement) kerap di pandang
sebagai solusi yang menarik. Jika karyawan yang dirumahkan di perkirakan
meluas, sebuah ini produk telah di hentikan, atau sebuah pabrik di tutup, pensiun
muda dapat menjadi solusi yang menjanjikan bagi masalah-masalah kelebihan
karyawan .
Organisasi dapat menggunakan pensiun muda untuk mengurangi tingkat
senioritas yang tinggi sehingga mengurangi biaya gaji dan tunjangan, atau untuk
11

membuka kesempatan promosi dengan menurunkan jumlah karyawan manajerial
yang jenjangnya tinggi. Pensiun muda dapat juga sebgai alternative bagi karyawan
yang di berhentikan (layoff). Orang-orang yang memilih pensiun muda memiliki
kesempatan untuk pensiun dengan terhormat dari pada di berhentikan,
mendapatkan uang tunjangan tambahan, memulai karir yang baru, atau memulai
perubahan kerja yang besar.
Dari sudut pandang negatif, karyawan yang berharga mungkin mengambil
keuntungan dari pilihan pensiun muda dan meninggalkan perusahaan. Di samping
itu, pensiun muda sering lebih masal bagi perusahaan dari pada pensiun yang
normal dan keputusan pensiun muda kerap di ambil dengan pemberitahuan
singkat, mengakibatkan kekacauan dalam operasi perusahaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk pensiun dapat kita lihat
sebagai berikut:
1. Perbedaan-perbedaan individu
2. Struktur-struktur kesempatan dalam jalur karir
3. Faktor-faktor organisasional
4. Lingkungan eksternaal
Individu-individu dengan masa dinas yang terus menerus dan pasangan
suami/istri yang bekerja lebih besar kemungkinanya untuk mengambil lebih dini.
Penyakit keras dan cacat tetap atau sementara anggota tubuh biasanya kerap
menyebabkan pensiun muda. Semakin kuat ikatan identitas seseorang dengan
pekerjaanya, kian kecil kemungkinannya untuk pensiun lebih muda.
2.5.2 Perencanaan pensiun
Pada saat merancang program prapensiun, spesialis sumber daya manusia
haruslah menentukan secara hati-hati bentuk dari populasi sasaran, menggunakan
berbagai sumber daya dalam perencanaan, secara cermat memilih materi yang
tepat untuk di sajikan dan memusatkan pada memusatkan pada perencanaan
kehidupan ( life planning) dari pada perencanaan pensiun. Program ini dapat

12

memudahkan jalan keluar dari kehidupan organisasi yang keras,sementara masih
memastikan bahwa karyawan yang pensiunb tidak merasa terdampar ataupun
terisolasi.
Beberapa

perusahaan telah melaksanakan perencanaan pensiun yang

selankah lebih maju. Kadang-kadang perusahaan mempertimbangkan perusahaan
mempertimbangkan impplikasi sosial dan psikologis dari proses pensiun. Pensiun
adalah kejadian utama dalam kehidupan seseorang dan perusahaan sering dapat
membantu membuat transisi ini jauh lebih mulus.
2.5.3 Dampak Pensiun
Pensiun tentu saja mempunyai imbas atas organisasi dan orang-orang yang
pensiun.
1. Dampak atas Individu-Individu
Pensiun dianggab sebagai kejadian yang menekankan yang
merusak kesehatan fisik dan mental individu-individu dan memacu
mereka menarik diri dari aktivitas-aktivitas yang mereka ikuti
sebelumnya. Namun anggapan seperti itu telah jauh berkurang,
dengan perencanaan yang memadai dan sumber-sumber daya
financial, tampaknya pensiun kini menjadi pengalaman positif bagi
orang-orang yang mengalaminya.
2. Dampak Atas Organisasi
Dari perspektif organisasi pensiun dapat menjadi proses yang
sangat positif. Pensiun memungkinkan karyawan-karyawan baru
dengan keahlian mutakhir untuk memasuki organisasi dan
menggantikan karyawan-karyawan tua yang keahlian-keahliannya
mungkin sudah ketinggalan zaman.

13

2.6 Larangan PHK
Harapan pemerintah agar PHK tidak dilakukan oleh pengusaha terhadap
buruhnya, tercantum dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan Pengusaha dilarang melakukan
PHK dengan alasan:
1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara
terus-menerus,
2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
4. Pekerja/buruh menikah.
5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan,
atau menyusui bayinya.
6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam 1 perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB.
7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan pengusaha, atau PKB.
8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan.
9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.
10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat

14

keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dapat dipastikan.
Menurut Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO) Pasal 4 menyatakan bahwa Pekerjaan seorang pekerja tidak
akan diputus kecuali ada alasan yang sah untuk pemutusan tersebut terkait dengan
kapasitas atau perilaku pekerja atau berdasarkan persyaratan operasional bidang
usaha, perusahaan atau jasa. Selanjutnya Pasal 5 mengatur bahwa PHK tidak sah
karena:
a. Keanggotaan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam kegiatan serikat
pekerja di luar jam kerja atau dengan persetujuan pengusaha, di dalam jam
kerja.
b. Memegang jabatan sebagai, atau bertindak atau telah bertindak dalam
kapasitas sebagai perwakilan pekerja.
c. Pengajuan keluhan atau keikutsertaan dalam pengajuan gugatan terhadap
seorang pengusaha yang menyangkut dugaan pelanggaran undang-undang
atau peraturan atau memanfaatkan otoritas administratif yang berwenang.
d. Ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, tanggung jawab
keluarga, kehamilan, agama, pendapat politik, kebangsaan atau asal sosial.
e. Ketidakhadiran kerja selama cuti melahirkan.
Pasal 6 menyatakan bahwa:
a. Ketidakhadiran kerja sementara karena sakit atau cedera tidak akan
menjadi alasan yang sah untuk pemutusan.
b. Definisi mengenai apa yang merupakan ketidakhadiran kerja sementara,
sejauh mana surat keterangan dokter akan diperlukan dan kemungkinan
pembatasan pemberlakuan paragraf 1 Pasal ini harus ditentukan sesuai
dengan metode pemberlakuan sebagaimana dimaksud di Pasal 1 Konvensi
ini. ( Pasal 1 menyatakan ketentuan-ketentuan Konvensi ini akan, sejauh
tidak diberlakukan dengan sarana perjanjian bersama, putusan arbitrase
atau putusan pengadilan atau dengan sarana-sarana lain semacamnya yang

15

mungkin

sejalan dengan praktik nasional, akan diberlakukan dengan

Undang-undang atau peraturan).
2.7 Study Kasus
Pengabdian Yang Berujung PHK,
Kasus PHK Karyawan Securicor (238 Orang)
2.7.1 Kasus
Setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebagai manusia yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan
yang bermartabat dan layak. Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk
selalu menjalankan aktifitas dengan bekerja pada berbagai sektor kehidupan, dan
salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan buruh.
Menjadi persoalan besar pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di
tengah-tengah krisis ekonomi yang semakin sulit, pengangguran dimana-mana,
sulitnya lapangan kerja lebih diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan
hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering kali bertentangan dengan
Undang-undang, masalah ini telah menjadi budaya dikalangan Perusahaan.
Menjadi fakta bagi karyawan buruh securicor yang telah bekerja puluhan tahun
menggantungkan nasibnya akan tetapi telah menjadi korban pemutusan hubungan
kerja (PHK).
Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4
Flack dengan Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan
adanya merger di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang
diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan
pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger
di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak
menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin
bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicor
Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi,
16

sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah
Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan
perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang
memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan
kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena
tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di
atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi
pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan
tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK
terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidakjelasan status mereka maka
karyawan

PT.

Securicor

memberikan

surat

0118/SP

Sec/IV/2005,

hal

pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada
tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger
(deadlock).
Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara
manajemen PT. Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia
(SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur
Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali
deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI
Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana
pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.

2.7.2 Fakta dari P4P
Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan
kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan
semula di PT. Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima
anjuran ini;

17

Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei
2005 kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri
untuk bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7
(tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran ini;
Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut.
Kemudian perusahaan melakukan banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa
hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H. memberikan kejelasan bahwa perusahaan
tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak
Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk
bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan
tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini
berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta
untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan
soal pengunduran diri ataupun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di
PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan menganggap para karyawan telah
melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar.
Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk
membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata
perusahaan tidak merespon.

2.7.3 Dasar Tuntutan
Bahwa pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila
terjadi PHK massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan
normatif 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003.
Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan
dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK
pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat.

18

Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli
2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.
Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat
yang telah diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan
dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang
telah diambil dan dijadikan sebagai Pertimbangan hukum. Kemudian dengan
melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada hari
Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak kepada buruh
(238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk
seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya
tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah
diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi, dengan
putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan
kejujuran yang sejati.
Sumber berita: David Oliver Sitorus, S.H., Ali Imron, S.H. http://www.pbhi.or.id

2.7.4 Analisa Kasus
Dari kasus di atas, dapat kita lihat bahwa pekerja lebih menyukai untuk
merespon secara positif apabila diberikan feedback yang kurang baik mengenai
kinerjanya lewat proses penilaian yang jujur dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi
tersebut yaitu; outcome fairness, procedural juctice, dan, interactional justice.
Outcome fairness berarti menilai bahwa seseorang menghargai hasil yang
diterimanya tergantung dari hasil yang diterima pula oleh orang lain yang oleh
orang itu mudah diidentifikasi. Lebih jelas lagi, situasi dimana seseorang
kehilangan pekerjaannya sementara orang lain tidak sangat kondusif pada persepsi
mengenai adanya ketidakjujuran hasil.
Sementara outcome fairness lebih berfokus kepada hasil, procedural and
interactional justice lebih berfokus pada prosesnya. Procedural justice secara
19

spesifik berfokus pada metode yang digunakan untuk menentukan hasil yang
diterima. Berikut ini adalah tabel enam kunci prinsip yang menentukan telah
melakukan apakah seseorang telah sesuai melakukan secara jujur sesuai dengan
prosedur.
1. Consistency. Prosedur yang diaplikasikan secara konsisten lintas waktu
dan pada orang-orang yang berlainan.
2. Bias suppression. Prosedur yang diaplikasikan oleh seseorang yang tidak
memiliki kepentingan pada hasil dan tidak memiliki dasar prasangka
individu.
3. Information accuracy. Prosedur yang berdasarkan pada informasi yang
sesuai dengan fakta.
4. Correctability. Prosedur dibuat dengan pengamanan yang memungkinkan
salah satu salah atau keputusannya buruk.
5. Representativeness.

Prosedur

menjelaskan

perhatian

pada

seluruh

kelompok atau stakeholders (kepala pekerja, pelanggan, pemilik) yang
berdampak pada keputusan, termasuk kekeliruan individu.
6. Ethically. Prosedur konsisten dengan pengembangan standar moral
sebagai hal utama seperti invansi privasi.
Apabila procedural justice berhubungan dengan bagaimana keputusan
dibuat, interactional justice berhubungan dengan sifat interpersonal mengenai
bagaimana hasil tersebut dapat diimplementasikan. Berikut ini adalah empat
determinan dari interactional justice:
1. Explanation. Mengembangkan aspek dari kejujuran prosedural yang
menjustifikasi keputusan.
2. Social sensitivity. Memperlakukan orang dengan mendalaminya dan
menghormatinya.
3. Consideration. Mendengar apa yang menjadi perhatian seseorang.
4. Empathy. Identifikasi dengan perasaan orang lain.

20

Kasus PHK PT. Securicor berawal karena ketidakjelasan status para
pekerja akibat adanya merger di tingkat internasional. Hal ini mendorong
karyawan PT. Securicor untuk melakukan mogok kerja kepada perusahaan dan
instansi yang terkait sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger
(deadlock). Karyawan buruh Securicor yang telah bekerja puluhan tahun dan
menggantungkan nasibnya pada PT.Securicor pada akhirnya menjadi korban
pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal dalam kenyataan, yang juga telah
ditemukan pada fakta P4P, PHK yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas
tidak memenuhi outcomes fairness dimana adanya kejelasan dan kejujuran pihak
PT. Securicor atas penilaiannya hasil kinerja terhadap para karyawannya. PHK
tersebut menunjukkan tidak adanya kesetaraan outcome yang diperoleh antara
karyawan satu dengan karyawan lain, terbukti dengan PHK yang awalnya
peruntukkannya hanya untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai ratusan
karyawan (238 orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi
kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih
tidak terjadinya proses merger di pihak internasional. Dengan demikian, PHK
yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak.
Jika kita telusuri lebih dalam, kasus di atas membuktikan adanya
ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam melakukan pengelolaan sumber
daya manusianya. Sebelum melakukan PHK, perusahaan seharusnya telah
melakukan proses penilaian dengan berpatok pada prinsip procedural justice,
dimana dengan metode apapun dilakukan penilaian, nantinya akan meghasilkan
sebuah keputusan yang menjunjung tinggi sebuah keadilan. PT. Securicor di atas
jelas belum mampu memenuhi tahapan ini dengan baik. Ketika tahapan lewat
meja hijau dipenuhi untuk penyelesaian sengketa PHK tersebut, PT Securicor
member kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk
kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan
dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap
mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya
rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa

21

para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah
mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun
mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Di sini sangat terlihat
tidak adanya procedural justice sebagai prosedur yang menjunjung keadilan.
Selanjutnya, masalah PHK ini kemudian juga menyentuh dimensi
interactional justice. Hal tersebut terbukti dari adanya penolakan besar-besaran
lewat unjuk rasa yang dilakukan oleh karyawan PT. Securicor. Karyawan berada
dalam ketidakjelasan status, di mana tidak ada penjelasan yang dinilai adil terkait
PHK yang Explanation. Mengembangkan aspek dari kejujuran prosedural yang
menjustifikasi keputusandijalankan perusahaan. Selain itu, perusahaan juga dinilai
karyawan tidak menjunjung social sensitivity akibat adanya PHK tersebut, yang
nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (consideration) sebelum
pengambilan keputusan terjadi. Manajemen perusahaan juga mengesampingkan
empathy terhadap karyawannya yang dalam hal ini telah melakukan pengabdian
pada perusahaan selama puluhan tahun.
Sebenarnya, perusahaan dapat menghindari hal-hal tersebut di atas, apabila
menerapkan alternative tahapan dalam penyelesaian dispute. Berikut ini
merupakan tahapannya:
Tahapan dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa
1. Kebijakan pintu terbuka.
Dua orang dalam konflik (misalnya, atasan dan bawahan) upaya untuk
sampai pada penyelesaian bersama-sama. Jika tidak dapat dicapai, mereka
melanjutkan untuk.
2. Peer review.
Sebuah panel yang terdiri dari wakil-wakil dari organisasi yang
merupakan tingkat yang sama dari orang-orang dalam sengketa mendengar
kasus ini dan mencoba untuk membantu pihak tiba pemukiman. Jika tidak
dapat dicapai, mereka melanjutkan untuk.
3. Mediasi.

22

Sebuah pihak yang netral dari luar organisasi mendengar kasus ini dan,
melalui proses mengikat, mencoba untuk membantu pihak yang berselisih
tiba di pemukiman. Jika tidak dapat dicapai, mereka melanjutkan untuk.
4. Arbitrase.
Seorang arbiter profesional dari luar organisasi mendengar kasus ini dan
menyelesaikan itu secara sepihak oleh render keputusan atau penghargaan
tertentu. Kebanyakan arbiter berpengalaman pengacara pekerjaan atau
hakim pensiun.
Tahapan di atas menjelaskan adanya sebuah proses penyelesaian terhadap
dispute yang terjadi dalam sebuah perusahaan. Keempat tahapan tersebut telah
secara gamblang menentukan bagaimana seharusnya manajemen melakukan
penyelesaian dispute. Apabila tahapan-tahapan ini dilakukan dengan baik oleh
manajemen PT. Securicor, pastilah kasus PHK terhadap ratusan karyawan PT.
Securicor tidak akan sampai menimbulkan gejolak yang berkepanjangan sampai
prosesnya dibawa ke meja hijau.

23

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
perhatian yang serius dari manajer perusahaan,karena telah diatur oleh
undang- Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumber daya
manusia. Istilah pemberhentian sinonim dengan saparation, pemisahan, atau
pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan.
Fungsi pemberhentian harus mendapat undang dan memberikan risiko bagi
perusahaan maupun untuk kariawaan yang bersangkutan. Dalam buku Manajamen
Sumber Daya, disebutkan mengenai alasan-alasan PHK itu dilakukan:
Mengurangi biaya tenaga kerja, menggantikan kinerja yang buruk, meningkatkan
inovasi dan kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar.
Tujuan PHK antara lain, perusahaan atau pengusaha bertanggung jawab
terhadap jalannya perusahaan dengan baik dan efektif. Pengurangan buruh atau
karyawan mempunyai suatu tujuan yang datangnya dari dalam perusahaan seperti:
Alasan modernisasi, otomatisasi, mekanisme dan rasionalisme, perubahan hasil
produksi atau perubahan dalam cara produksi, dalam keahlian yang diperlukan,
penutupan bagian-bagian dll. Pengurangan buruh juga dapat di akibatkan karena
faktor dari luar seperti: Kesulitan penjualan dan mendapatkan kredit, tidak adanya
pesanan, tidak adanya bahan baku produktif, menurunnya permintaan, kekurangan
bahan bakar atau listrik, kebijaksanaan pemerintah dan meningkatnya persaingan.
Dalam hal PHK dengan alasan rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/
buruh dalam undang undang nomor 13 tahun 2003dalam pasal 151 ayat 1
ditentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, SP/SB dan pemerintah. Dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Apabila upaya
tersebut telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/SB atau dengan pekerja atau buruh
apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB.

24

Sebagai besar karyawan yang telah berdinas untuk jangka waktu yang
lama atau meninggalkan perusahaan karena pensiun, rencana pensiun (retirement
plans) dapat di dasarkan pada umur tertentu atau sejumlah tertentu tahun dinas
bersama perusahaan, atau kedua-duanya. Terhadap pensiun, para mantan
karyawan biasanya mendapatkan tunjangan pensiun setiap bulan untuk sisa hidup
mereka. Terkadang karyawan yang ingin pensiun, sebelum mencapai persyaratan
usia atau lamanya waktu dinas perusahaan. Tunjangan pensiun kerap dikurangi
untuk setiap tahun tanggal pensiun yang di majukan. Dari sudut pandang
organisasi, karyawan yang pensiun muda memiliki aspek positif dan negatif.
Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus, pekerja/buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, pekerja/buruh
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, pekerja/buruh menikah,
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya, pekerja/buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam 1 perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau PKB, pekerja/buruh mendirikan, menjadi
anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan
kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja
atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan pengusaha, atau PKB, pekerja/buruh yang mengadukan
pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan, karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,
warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan,
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.

25

DAFTAR PUSTAKA
Attwood, Margaret. Dimmock, Stuart. 1999. Manajemen Personalia. Bandung:
ITB.
Hasibuan, Malayu. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia (Edisi Revisi).
Jakarta: Bumi Aksara.
Panggabean, Mutiara. 2004. Manajamen Sumber Daya. Bogor Selatan : Ghalia
Indonesia.
Prabu Mangkunegara, Anwar. 2007. MSDM Perusahaan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Suwatno, Priansa Donni Juni. 2011. Manajemen SDM dalam Organisasi Publik
dan Bisnis. Bandung: Alfabeta.

26

PENANGGUNG JAWAB SUB JUDUL
Sub Judul

Penanggung jawab

NIM

1. Definisi PHK

Lya Wati

11375201933

2. Alasan PHK

Dina Gustina A.

11375202232

3. Tujuan PHK

Nur Atika

11375202110

4. Faktor-Faktor PHK

Trisya Alnuara

11375200967

5. Pensiun

Sri Wahyuni

11375200298

6. Larangan Pensiun

Mafudho Hartini

11375200503

27