Morfologi dan Siklus Hidup Rajungan
MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP RAJUNGAN
(Portunus pelagicus)
NAMA MAHASISWA
: Muhamad Rinaldi
NIM
: AK816048
SEMESTER
: IV
KELAS
: IV B
MATA KULIAH
: Parasitologi III
PROGRAM STUDI
:DIII Analis Kesehatan
DOSEN
:Putri Kartika Sari, M.Si
YAYASAN BORNEO LESTARI
AKADEMI ANALIS KESEHATAN BORNEO LESTARI
BANJARBARU
2018
1. MORFOLOGI RAJUNGAN
Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana
rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit
yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir
pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup
pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Bila kepiting hidup
di perairan payau, seperti di hutan bakau atau di pematang tambak, rajungan hidup di
dalam laut. Rajungan memang tergolong hewan yang bermukim di dasar laut, tapi malam
hari suka naik ke permukaan untuk cari makan. Makanya rajungan disebut juga
“swimming crab” alias kepiting yang bisa berenang.
Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka dengan
mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau. Rajungan (P. pelagicus) memiliki karapas
berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri
yang terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri
atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam
mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami
modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti
dayung. Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang (swimming crab).
Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodos, karpus,
dan merus.
Induk rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan
karapasnya memiliki duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kiri mata.
Bobot rajungan dapat mencapai 400 gram, dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12
inchi), Rajungan bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri.
Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik.
Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan yang tidak terlalu jelas
pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri
sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri
besar.
Pada hewan ini terlihat menyolok perbedaan antara jantan dan betina. Ukuran
rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Yang jantan lebih
besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang. Sedang yang betina berwarna
sedikit lebih coklat. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya
lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan
berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna
dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas
pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa
KLASIFIKASI RAJUNGAN
Dilihat dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam:
Kingdom
: Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade
: Bilateria
Divisi
: Eucoelomata
Section
: Protostomia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Sub Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub Ordo
: Reptantia
Seksi
: Brachyura
Sub Seksi
: Branchyrhyncha
Famili
: Portunidae
Sub Famili
Genus
Spesies
: Portunninae
: Portunus
: Portunus pelagicus
Dari beberapa jenis kepiting yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar
merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta adalah 7
jenis rajungan seperti Portunus pelagicus, P. sanguinolentus, Thalamita crenata, Thalamita
danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator, Podophthalmus vigil. Sementara beberapa
informasi lain menyebutkan bahwa jenis rajungan terdiri atas 11 jenis seperti Portunus
pelagicus Linn, P. sanguinolentus Herbst, P. sanguinus, P. trituberculatus, P. gladiator, P.
hastatoides, Thalamita crenata Latr., Thalamita danae Stimpson, Charybdis cruciata,
Charibdis natator Herbst, Podophthalmus vigil Fabr,Sedangkan P. trituberculatus banyak
ditemukan di Jepang, Cina, Taiwan, dan Korea. Nilai gizi dari bagian tubuh jenis kepiting
yang dapat dimakan (edible portion) mengandung protein 65,72%; mineral 7,5%; dan
lemak 0,88% .
2. SIKLUS HIDUP
Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan di pulau
berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 65
meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas
lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali
ke estuaria.
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di
permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis
invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan
rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina
kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang. Sebagaimana
halnya dengan kerabatnya, yaitu kepiting bakau, di alam makanan rajungan juga berupa
ikan kecil, udang-udang kecil, binatang invertebrata, detritus dan merupakan binatang
karnivora. Rajungan juga cukup tanggap terhadap pembeian pakan furmula/pellet. Sewaktu
masih stadia larva, hewan ini merupakan pemakan plankton, baik phyto maupun
zooplakton.
KETERKAITAN EKOSISTEM
Portunus pelagicus, juga dikenal sebagai bunga kepiting, kepiting biru, rajungan,
kepiting manna biru atau kepiting pasir, adalah kepiting yang ditemukan di intertidal muara
dari Hindia dan Samudra Pasifik (pantai Asia) dan Timur Tengah- pantai di Laut
Mediterania. Kepiting-kepiting tersebar luas di bagian timur Afrika , Asia Tenggara , Asia
Timur , Australia dan Selandia Baru .
Rajungan (swimming crab) memiliki tempat hidup yang berbeda dengan jenis
kepiting pada umumnya seperti kepiting bakau (Scylla serrata), tetapi memiliki tingkah
laku yang hampir sama dengan kepiting. Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis
kepiting perenang yang juga mendiami dasar lumpur berpasir sebagai tempat berlindung.
Jenis rajungan ini banyak terdapat pada lautan Indo-Pasifik dan India. Sementara itu
informasi dari panti benih rajungan milik swasta menyebutkan bahwa tempat penangkapan
rajungan terdapat di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan
Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah
Lampung, daerah Medan dan daerah Kalimantan Barat.
Dalam pertumbuhannya, rajungan (dan semua anggota Portunidae) sering berganti
kulit. Kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur dan karenanya terus tumbuh.
Jika ia akan tumbuh lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar
individu yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak. Rajungan yang baru berganti
kulit, tubuhnya masih sangat lunak, diperlukan beberapa waktu untuk dapat membentuk
lagi kulit pelindung yang keras. Masa selama bertubuh lunak ini merupakan masa paling
rawan dalam kehidupan kepiting, karena pertahannya pun sangat lemah. Tidak jarang ia
disergap, dirobek-robek dan dimakan oleh sesama jenisnya. Kanibalisme di kalangan
rajungan tampaknya memang merupakan hal yang sering terjadi terutama dalam ruang
terbatas, baik pada yang dewasa maupun yang masih larva. Seekor rajungan dapat
menetaskan telurnya menjadi larva sampai lebih sejuta ekor. Larva yang baru menetas ini
bentuknya sangat berlainan dari bentuk dewasa. Larva ini mengalami beberapa kali
perubahan bentuk sampai mendapatkan bentuk seperti yang dewasa. Larva yang baru
ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip udang daripada rajungan. Di kepalanya
terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung kakinya terdapat
rambut-rambut. Tahap zoea ini sendiri lagi dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap
megalopa dengan bentuk yang lain lagi. Berbeda dengan yang dewasa yang hidup di dasar,
larva rajungan berenang-renang, terbawa arus, dan hidup sebagai plankton. Pada tahap
megalopa, bentuknya sudah mulai mirip rajungan, tubuhnya makin melebar, kaki dan
capitnya sudah jelas wujudnya, matanya sangat besar (bahkan bisa lebih besar dari mata
yang dewasa). Barulah pada perkembangan tahap berikutnya terbentuk juvenil yang sudah
merupakan rajungan muda.
3. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini rajungan (Portunus pelagicus Linn.) masih merupakan komoditas
laut yang mempunyai nilai ekonomis yang penting. Penangkapan rajungan yang semakin
intensif dapat mengakibatkan populasi alami rajungan mengalami penurunan . Akibat
penangkapan di alam yang kurang terkendali, maka terjadi kelangkaan populasi rajungan di
perairan Indonesia (Juwana, 2000). Oleh sebab itu peningkatan produksi rajungan harus
segera dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar baik tingkat lokal maupun ekspor.
Untuk itu budidaya rajungan merupakan alternatif yang bisa dilakukan. Akan tetapi
teknologi budidaya rajungan masih banyak kendala dan belum memasyarakat (DKP, 2004).
Permasalahan yang terjadi pada budidaya antara lain adalah kanibalisme yang tinggi
terutama pada saat larva rajungan mengalami proses moulting. Kanibalisme dapat ditekan
dengan salah satu cara yaitu pemberian tempat berlindung baik berupa shelter maupun
substrat dasar yang cocok, grading dan pengurangan kepadatan larva selama pemeliharaan
(Zmora et al, 2007).
Hasil uji coba yang dilakukan oleh Mardjono dkk. (2003,2004) di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, menghasilkan tingkat kelulushidupan yang
masih relatif rendah (1,58 - 10,44%) pada rajungan stadia crablet (C-5). Tingginya
mortalitas terutama pada saat moulting rajungan sangat lemah, karena tidak tersedianya
shelter sehingga dimangsa oleh rajungan lain. ILMU KELAUTAN, Maret 2009 Vol.
14(1):23-26 ISSN 9853-7291 www.ik-ijms.com Diterima/Received: 05-12-2009
Disetujui/Accepted:10-01-2009 * Corresponding Author © Ilmu Kelautan, UNDIP
Rajungan biasa hidup di pantai dengan substrat dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut
terbuka. Rajungan juga terdapat di daerah bakau dan di tambak-tambak air payau yang
berdekatan dengan laut dengan substrat dasar lumpur (Juwana, 2000). Penggunaan pasir
dan lumpur sebagai subtrat dasar telah digunakan untuk pemeliharaan Portunidae seperti,
juvenil Scylla serata (Djunaedi dkk, 1997) dan dan crablet Scylla paramamosain
(Djunaidah dkk, 2004). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh substrat dasar terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan rajungan
terutama pada stadia crablet.
DAFTAR PUSTAKA
Cholik, F., A.G. Jagatraya., R.P. Poernomo. dan A, Jauzi. 2005. Akuakultur: Tumpuan
Harapan Masa Depan Bangsa. Penerbit Masyarakat Perikanan Nusantara dengan Taman
Akuarium Air Tawar Taman Mini ”Indonesia Indah”. Jakarta. 415 h
Ikan Mania. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik
Perbenihannya. http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ pengamatan- aspek-biologirajungan- dalam- menunjang- teknik perbenihannya. (Akses 11 Juni 2010).
Mirzads. 2009. Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi dalam Kaleng.
http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/pengemasan-daging-rajungan-pasteurisasidalam-kaleng/. (Akses 11 Juni 2010).
Pulau Seribu.net. 2008. kepiting dan Kerabatnya. http://www.pulauseribu.net/
modules/news/article.php?storyid=1154. (Akses 11 Juni 2010).
Roffi. 2006. Budidaya Rajungan. http://akuakultur.wordpress.com/2006/12/23/ budidayarajungan-2/. (Akses 11 Juni 2010).
Susanto, N. 2010. Perbedaan antara Rajungan dan Kepiting. http://blog.unila.
ac.id/gnugroho/category/bahan-ajar/karsinologi/. (Akses 11 Juni 2010).
Tabloid Info. 2007. jalan pintas pembenihan rajungan. http://tabloid_info.
sumenep.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=233&Itemid=28.
Djunaedi, A., Subandiono dan G.W. Santosa. 1997. Pengaruh Substrat dan Jenis Pakan
terhadap Pertumbuhan Juvenil Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada Pemeliharaan dengan
Sistem Baterai. Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Semarang. (Laporan
Penelitian) (Tidak dipublikasikan). 42 hlm.
Djunaidah, I.S., M.R. Toelihere., M.I. Effendie., S. Sukimin dan E. Riani. 2004.
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih kepiting bakau (Scylla paramamosain) yang
dipelihara pada substrat berbeda. Ilmu Kelautan. 9 (1) : 20-25.
Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan – Perikanan, Cara Budidaya dan Menu
Masakan. Djambatan, Jakarta. 47 hlm.
(Portunus pelagicus)
NAMA MAHASISWA
: Muhamad Rinaldi
NIM
: AK816048
SEMESTER
: IV
KELAS
: IV B
MATA KULIAH
: Parasitologi III
PROGRAM STUDI
:DIII Analis Kesehatan
DOSEN
:Putri Kartika Sari, M.Si
YAYASAN BORNEO LESTARI
AKADEMI ANALIS KESEHATAN BORNEO LESTARI
BANJARBARU
2018
1. MORFOLOGI RAJUNGAN
Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana
rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit
yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir
pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup
pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Bila kepiting hidup
di perairan payau, seperti di hutan bakau atau di pematang tambak, rajungan hidup di
dalam laut. Rajungan memang tergolong hewan yang bermukim di dasar laut, tapi malam
hari suka naik ke permukaan untuk cari makan. Makanya rajungan disebut juga
“swimming crab” alias kepiting yang bisa berenang.
Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka dengan
mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau. Rajungan (P. pelagicus) memiliki karapas
berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri
yang terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri
atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam
mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami
modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti
dayung. Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang (swimming crab).
Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodos, karpus,
dan merus.
Induk rajungan mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan
karapasnya memiliki duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kiri mata.
Bobot rajungan dapat mencapai 400 gram, dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12
inchi), Rajungan bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri.
Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik.
Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan yang tidak terlalu jelas
pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri
sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri
besar.
Pada hewan ini terlihat menyolok perbedaan antara jantan dan betina. Ukuran
rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Yang jantan lebih
besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang. Sedang yang betina berwarna
sedikit lebih coklat. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya
lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan
berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna
dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas
pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa
KLASIFIKASI RAJUNGAN
Dilihat dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam:
Kingdom
: Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade
: Bilateria
Divisi
: Eucoelomata
Section
: Protostomia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Sub Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub Ordo
: Reptantia
Seksi
: Brachyura
Sub Seksi
: Branchyrhyncha
Famili
: Portunidae
Sub Famili
Genus
Spesies
: Portunninae
: Portunus
: Portunus pelagicus
Dari beberapa jenis kepiting yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar
merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta adalah 7
jenis rajungan seperti Portunus pelagicus, P. sanguinolentus, Thalamita crenata, Thalamita
danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator, Podophthalmus vigil. Sementara beberapa
informasi lain menyebutkan bahwa jenis rajungan terdiri atas 11 jenis seperti Portunus
pelagicus Linn, P. sanguinolentus Herbst, P. sanguinus, P. trituberculatus, P. gladiator, P.
hastatoides, Thalamita crenata Latr., Thalamita danae Stimpson, Charybdis cruciata,
Charibdis natator Herbst, Podophthalmus vigil Fabr,Sedangkan P. trituberculatus banyak
ditemukan di Jepang, Cina, Taiwan, dan Korea. Nilai gizi dari bagian tubuh jenis kepiting
yang dapat dimakan (edible portion) mengandung protein 65,72%; mineral 7,5%; dan
lemak 0,88% .
2. SIKLUS HIDUP
Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan di pulau
berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 65
meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas
lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali
ke estuaria.
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di
permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis
invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan
rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina
kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang. Sebagaimana
halnya dengan kerabatnya, yaitu kepiting bakau, di alam makanan rajungan juga berupa
ikan kecil, udang-udang kecil, binatang invertebrata, detritus dan merupakan binatang
karnivora. Rajungan juga cukup tanggap terhadap pembeian pakan furmula/pellet. Sewaktu
masih stadia larva, hewan ini merupakan pemakan plankton, baik phyto maupun
zooplakton.
KETERKAITAN EKOSISTEM
Portunus pelagicus, juga dikenal sebagai bunga kepiting, kepiting biru, rajungan,
kepiting manna biru atau kepiting pasir, adalah kepiting yang ditemukan di intertidal muara
dari Hindia dan Samudra Pasifik (pantai Asia) dan Timur Tengah- pantai di Laut
Mediterania. Kepiting-kepiting tersebar luas di bagian timur Afrika , Asia Tenggara , Asia
Timur , Australia dan Selandia Baru .
Rajungan (swimming crab) memiliki tempat hidup yang berbeda dengan jenis
kepiting pada umumnya seperti kepiting bakau (Scylla serrata), tetapi memiliki tingkah
laku yang hampir sama dengan kepiting. Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis
kepiting perenang yang juga mendiami dasar lumpur berpasir sebagai tempat berlindung.
Jenis rajungan ini banyak terdapat pada lautan Indo-Pasifik dan India. Sementara itu
informasi dari panti benih rajungan milik swasta menyebutkan bahwa tempat penangkapan
rajungan terdapat di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan
Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah
Lampung, daerah Medan dan daerah Kalimantan Barat.
Dalam pertumbuhannya, rajungan (dan semua anggota Portunidae) sering berganti
kulit. Kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur dan karenanya terus tumbuh.
Jika ia akan tumbuh lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar
individu yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak. Rajungan yang baru berganti
kulit, tubuhnya masih sangat lunak, diperlukan beberapa waktu untuk dapat membentuk
lagi kulit pelindung yang keras. Masa selama bertubuh lunak ini merupakan masa paling
rawan dalam kehidupan kepiting, karena pertahannya pun sangat lemah. Tidak jarang ia
disergap, dirobek-robek dan dimakan oleh sesama jenisnya. Kanibalisme di kalangan
rajungan tampaknya memang merupakan hal yang sering terjadi terutama dalam ruang
terbatas, baik pada yang dewasa maupun yang masih larva. Seekor rajungan dapat
menetaskan telurnya menjadi larva sampai lebih sejuta ekor. Larva yang baru menetas ini
bentuknya sangat berlainan dari bentuk dewasa. Larva ini mengalami beberapa kali
perubahan bentuk sampai mendapatkan bentuk seperti yang dewasa. Larva yang baru
ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip udang daripada rajungan. Di kepalanya
terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung kakinya terdapat
rambut-rambut. Tahap zoea ini sendiri lagi dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap
megalopa dengan bentuk yang lain lagi. Berbeda dengan yang dewasa yang hidup di dasar,
larva rajungan berenang-renang, terbawa arus, dan hidup sebagai plankton. Pada tahap
megalopa, bentuknya sudah mulai mirip rajungan, tubuhnya makin melebar, kaki dan
capitnya sudah jelas wujudnya, matanya sangat besar (bahkan bisa lebih besar dari mata
yang dewasa). Barulah pada perkembangan tahap berikutnya terbentuk juvenil yang sudah
merupakan rajungan muda.
3. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini rajungan (Portunus pelagicus Linn.) masih merupakan komoditas
laut yang mempunyai nilai ekonomis yang penting. Penangkapan rajungan yang semakin
intensif dapat mengakibatkan populasi alami rajungan mengalami penurunan . Akibat
penangkapan di alam yang kurang terkendali, maka terjadi kelangkaan populasi rajungan di
perairan Indonesia (Juwana, 2000). Oleh sebab itu peningkatan produksi rajungan harus
segera dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar baik tingkat lokal maupun ekspor.
Untuk itu budidaya rajungan merupakan alternatif yang bisa dilakukan. Akan tetapi
teknologi budidaya rajungan masih banyak kendala dan belum memasyarakat (DKP, 2004).
Permasalahan yang terjadi pada budidaya antara lain adalah kanibalisme yang tinggi
terutama pada saat larva rajungan mengalami proses moulting. Kanibalisme dapat ditekan
dengan salah satu cara yaitu pemberian tempat berlindung baik berupa shelter maupun
substrat dasar yang cocok, grading dan pengurangan kepadatan larva selama pemeliharaan
(Zmora et al, 2007).
Hasil uji coba yang dilakukan oleh Mardjono dkk. (2003,2004) di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, menghasilkan tingkat kelulushidupan yang
masih relatif rendah (1,58 - 10,44%) pada rajungan stadia crablet (C-5). Tingginya
mortalitas terutama pada saat moulting rajungan sangat lemah, karena tidak tersedianya
shelter sehingga dimangsa oleh rajungan lain. ILMU KELAUTAN, Maret 2009 Vol.
14(1):23-26 ISSN 9853-7291 www.ik-ijms.com Diterima/Received: 05-12-2009
Disetujui/Accepted:10-01-2009 * Corresponding Author © Ilmu Kelautan, UNDIP
Rajungan biasa hidup di pantai dengan substrat dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut
terbuka. Rajungan juga terdapat di daerah bakau dan di tambak-tambak air payau yang
berdekatan dengan laut dengan substrat dasar lumpur (Juwana, 2000). Penggunaan pasir
dan lumpur sebagai subtrat dasar telah digunakan untuk pemeliharaan Portunidae seperti,
juvenil Scylla serata (Djunaedi dkk, 1997) dan dan crablet Scylla paramamosain
(Djunaidah dkk, 2004). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh substrat dasar terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan rajungan
terutama pada stadia crablet.
DAFTAR PUSTAKA
Cholik, F., A.G. Jagatraya., R.P. Poernomo. dan A, Jauzi. 2005. Akuakultur: Tumpuan
Harapan Masa Depan Bangsa. Penerbit Masyarakat Perikanan Nusantara dengan Taman
Akuarium Air Tawar Taman Mini ”Indonesia Indah”. Jakarta. 415 h
Ikan Mania. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik
Perbenihannya. http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ pengamatan- aspek-biologirajungan- dalam- menunjang- teknik perbenihannya. (Akses 11 Juni 2010).
Mirzads. 2009. Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi dalam Kaleng.
http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/pengemasan-daging-rajungan-pasteurisasidalam-kaleng/. (Akses 11 Juni 2010).
Pulau Seribu.net. 2008. kepiting dan Kerabatnya. http://www.pulauseribu.net/
modules/news/article.php?storyid=1154. (Akses 11 Juni 2010).
Roffi. 2006. Budidaya Rajungan. http://akuakultur.wordpress.com/2006/12/23/ budidayarajungan-2/. (Akses 11 Juni 2010).
Susanto, N. 2010. Perbedaan antara Rajungan dan Kepiting. http://blog.unila.
ac.id/gnugroho/category/bahan-ajar/karsinologi/. (Akses 11 Juni 2010).
Tabloid Info. 2007. jalan pintas pembenihan rajungan. http://tabloid_info.
sumenep.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=233&Itemid=28.
Djunaedi, A., Subandiono dan G.W. Santosa. 1997. Pengaruh Substrat dan Jenis Pakan
terhadap Pertumbuhan Juvenil Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada Pemeliharaan dengan
Sistem Baterai. Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Semarang. (Laporan
Penelitian) (Tidak dipublikasikan). 42 hlm.
Djunaidah, I.S., M.R. Toelihere., M.I. Effendie., S. Sukimin dan E. Riani. 2004.
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih kepiting bakau (Scylla paramamosain) yang
dipelihara pada substrat berbeda. Ilmu Kelautan. 9 (1) : 20-25.
Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan – Perikanan, Cara Budidaya dan Menu
Masakan. Djambatan, Jakarta. 47 hlm.