Sejarah Perkembangan Drama dan Teater In

Sejarah Perkembangan Drama dan Teater Indonesia

Sejarah Perkembangan Drama dan Teater Indonesia
Istilah drama dan teater seyogianya dibedakan artinya. Drama dimaksudkan sebagai karya sastra yang dirancang
untuk dipentaskan di panggung oleh para aktor di pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama dalam
pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon itu dipentaskan. Di samping itu salah satu
unsur penting dalam drama adalah gerak dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan karakter hidup
dan kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan demikian hakikat drama sebenarnya adalah gambaran
konflik kehidupan manusia di panggung lewat gerak.
Pembelajaran Drama
Ada banyak strategi apresiasi drama sebagai karya sastra. Strategi Strata menggunakan tiga tahapan, yaitu: tahap
penjelajahan, tahap interpretasi, dan tahap re-kreasi. Tahap penjelajahan dimaksudkan sebagai tahapan di mana
guru memberikan rangsangan kepada para siswa agar mau membaca teks drama dan memahaminya. Tahap
interpretasi adalah tahapan mendiskusikan hasil bacaan dengan mendiskusikannya dalam kelompok dengan
panduan pertanyaan dari guru. Tahap re-kreasi adalah tahapan sejauh mana para siswa memahami teks drama
sehingga mereka dapat mengkreasikan kembali hasil pemahamannya.
Strategi Analisis terhadap teks drama dilakukan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama membaca dan
mengemukakan kesan awal terhadap bacaannya. Tahap kedua menganalisis unsur pembangun teks drama. Dan
tahap ketiga adalah tahap memberikan pendapat akhir yang merupakan perpaduan antara respons subjektif dengan
analisis objektif.
Tujuan penting pembelajaran drama adalah memahami bagaimana tokoh-tokoh dalam drama dipentaskan. Dalam

pementasan diperlukan pemahaman perbedaan bentuk dan gaya teks drama, serta berbagai macam aturan dalam

bermain drama. Cara yang ditempuh, pertama melakukan pembacaan teks drama, berlatih gerak dalam
membawakan peran, dan berlatih gerak sambil mengucapkan kata-kata.
Asal-usul Drama di Indonesia
Seperti yang berkembang di dunia pada umumnya, di Indonesia pun awalnya ada dua jenis teater, yaitu teater klasik
yang lahir dan berkembang dengan ketat di lingkungan istana, dan teater rakyat. Jenis teater klasik lebih terbatas,
dan berawal dari teater boneka dan wayang orang. Teater boneka sudah dikenal sejak zaman prasejarah Indonesia
(400 Masehi), sedangkan teater rakyat tak dikenal kapan munculnya. Teater klasik sarat dengan aturan-aturan baku,
membutuhkan persiapan dan latihan suntuk, membutuhkan referensi pengetahuan, dan nilai artistik sebagai ukuran
utamanya.
Teater rakyat lahir dari spontanitas kehidupan masyarakat pedesaan, jauh lebih longgar aturannya dan cukup banyak
jenisnya. Teater rakyat diawali dengan teater tutur. Pertunjukannya berbentuk cerita yang dibacakan, dinyanyikan
dengan tabuhan sederhana, dan dipertunjukkan di tempat yang sederhana pula. Teater tutur berkembang menjadi
teater rakyat dan terdapat di seluruh Indonesia sejak Aceh sampai Irian. Meskipun jenis teater rakyat cukup banyak,
umumnya cara pementasannya sama. Sederhana, perlengkapannya disesuaikan dengan tempat bermainnya, terjadi
kontak antara pemain dan penonton, serta diawali dengan tabuhan dan tarian sederhana.
Ragam Drama
Secara pokok ada lima jenis drama, yaitu: tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce. Drama tragedi adalah
lakuan yang menampilkan sang tokoh dalam kesedihan, kemuraman, keputusasaan, kehancuran, dan kematian.

Drama komedi adalah lakon ringan yang menghibur, menyindir, penuh seloroh, dan berakhir dengan kebahagiaan.
Tragikomedi adalah gabungan antara tragedi dan komedi. Melodrama adalah lakuan tragedi yang berlebih-lebihan.
Dan farce adalah komedi yang dilebih-lebihkan.

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Unsur-unsur drama lazim dikelompokkan dalam dua kategorisasi, yaitu unsur-unsur intrinsik dan unsur-unsur
ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik drama adalah berbagai unsur yang secara langsung terdapat dalam karya sastra
yang berujud teks drama, seperti: alur, tokoh, karakter, latar, tema dan amanat, serta unsur bahasa yang berbentuk
dialog. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar teks drama, tetapi ikut
berperan dalam keberadaan teks drama tersebut. Unsur-unsur itu antara lain biografi atau riwayat hidup pengarang,
falsafah hidup pengarang, dan unsur sosial budaya masyarakatnya yang dianggap dapat memberikan masukan yang
menunjang penciptaan karya drama tersebut.

A.

Perkembangan tahap awal

Kegiatan ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).

Pemvisualan dalam bentuk tari dan musik.

Jenis tontonan, pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama, cerita berupa mitos atau legenda. Drama
bukan cerita tetapi penyampaian cerita yang sudah ada.
Dilakukan oleh kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat dan serius.
Kekaguman terhadap pemain karena sifat supernatural.
Cerita bersifat sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan dan aturan ketat bagi pemain dan penonton
tidak boleh melanggar pantangan, pamali, dan tabu.
Sebagai pelipur lara.
Sebagai sarana mengajarkan ajaran agama (Hindu, Budha, Islam).
Melahirkan kesenian tradisional. Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981: 44 kesenian tradisional-termasuk
didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian yang yang hidup dan berakar dalam masyarakatdaerah yang memelihara
suatu tradisi bidaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan kedaerahan. Ciri-ciri kesenian tradisional, yang
di dalam pembicaraan ini dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a.

Ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya.

b.

Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat tradisional.


c.

Tidak spesialis.

d.

Bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas

masyarakat yang mendukungnya.
Sebagai konsekuensi kesenian tradisional, teater tradisional mempunyai fungsi bagi masyarakat. Fungsi yang
dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnyalah yang menyebabkan salah satu faktor mengapa teater tradisional ini
tetap bertahan di dalam masyarakatnya. Fungsi teater tradisional sebagaimana kesenian lainnya bagi masyarakat
pendukungnya adalah seperti dirumuskan berikut ini:
a.

Sebagai alat pendidakan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat perawinan/rumah tangga).

b.

Sebagai alat kesetiakawanan sosial.


c.

Sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial.

d.

Alat melarikan diri sementara dari dunia nyata yang membosanakan.

e.

Wadah pengembangan ajaran agama.

B.

Drama dan teater rombongan: seni pertunjukan “tanpa naskah”

Rombongan opera Abdoel Moeloek “opera lakon melayu dari Johor Malaysia”. Rombongan Abdoel Moeloek tidak
bertahan lama karena :
Terlalu melayu sentris.

Bahasa, orkestra dan lakon hingga raja-raja melayu.
Tidak memperbaharui pertunjukannya.
Pada tahun 1891 di Surabaya didirikan opera melayu ”Komidi Stamboel oleh August Mahieu”. Ciri-cirinya sebagai
berikut :
Antara dua babak ditampilkan suatu selingan yang mungkin berupa lelucon ”banyolan” ayau berupa nyayian.
Pada awal pertunjukan, saat layar dibuka untuk pertama kali, para pemain maju secara bergantian. Mereka
memperkenalkan diri dengan cara membacakan beberapa bagian dari dialog tokoh yang akan diperankannya, atau
mungkin juga dengan bernyanyi. Setelah itu baru seluruh pemain bersama-sama menghormat kepada penonton dan
serempak kembali ke balik layar.
Dikarenakan pertunjukan tidak terikat pada naskah, maka para pemain berimprovisasi sebisanya. Akibatnya sering
kali pertunjukan disisipi adegan-adegan yang kurang sopan.

3.

Pada tahun 1906 pendiri Komidi Stamboel meninggal :

a.

Selingan diisi dengan dansa-dansa barat.


b.

Cerita lebih realistis ”Nyai Dasima, Oey Tam Bahsia, Si Pitung”.

c.

”Komedi Stamboel” berubah menjadi perkumpulan yang lebih kecil yaitu rombongan :



Komedi opera stamboel.



Opera pertama stamboel.



Wilhelmina.




Sinar bintang hindia.



Opera bangsawan.



Indera bangsawan.



Komidi bangsawan.

4.

Pada tahun 1926, tepatnya pada tanggal 21 Juni 1926, di Sidoarjo didirikan sebuah perkumpulan yang nama


lengkapnya The Malay Opera Dardanella oleh seorang Rusia kelahiran Penang, Malaysia. Orang tersebut bernama
Willy Klimanoff yang kemudian berganti nama dengan A. Piedro. Pendiri Dardanella ini merupakan anak dari pemain
sirkuit kenamaan A. Klimanoff. Perubahan antara Dardanella dengan teater rombongan sebelumnya adalah, antara
lain :

a.

Introduksi atau pengenalan seperti yang terdapat pada Komedie Stamboel atau juga sebelum komidi

bangsawan dihilangkan. Pertunjukan langsung dimulai begitu layar untuk pertama kalinya dibuka.
b.

Nyanyian disampaikan hanya bila perlu. Sementara teater rombongan sebelumnya, sepertinya nyanyian itu

merupakan hal yang wajib.
c.

Kebebasan improvisasi yang berlebih-lebihan dibatasi. Dalam pementasan pemain mulai diarahkan oleh

seseorang yang pada saat sekarang ini dapat disebut peran sutradara.

Pertunjukan lebih sopan dibanding pertunjukan teater rombongan sebelumnya. Menendang atau menonjok kepala
lawan main untuk menciptakan kesan lucu yang terkadang tidak sopan itu tidak ditemukan di dalam Dardanella.
Jumlah babak pada Dardanella lebih kecil, bahkan tidak mencapai jumlah sepuluh babak.
Akhirnya dalam sejarah drama dan teater rombongan dikenal suatu kelompok atau perhimpunan sandiwara yang
disebut Himpunan Sandiwara Maya. Kelompok ini didirikan pada tanggal 27 Mei 1944 di Jakarta Himpunan
Sandiwara Maya diketuai oleh Usmar Ismail. Untuk pertama kalinya sebuah kelompok seni pertunjukan secara
eksplisit mencantumkan tujuan aktivitasnya. Adapun tujuan aktivitas kelompok Maya ini adalah ”Memajukan seni
sandiwara pada khususnya, kebudayaan pada umumnya, dengan berdasarkan kebangsaan, kemanusiaan, dan
ketuhanan.
Munculnya kelompok Maya, bersamaan dengan berkuasanya pemerintahan penjajahan Jepang di Indonesia. Namun
begitu kebijakan yang ditetapkan pemerintahan penjajahan Jepang ternyata menciptakan situasi dan kondisi bagi
majunya kelompok sandiwara ini antara lain :
a.

Adanya pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidoso, yang oleh pemerintahan penjajahan Jepang diberikan

kesempatan untuk berkembang, terutama bagi kepentingan propaganda Jepang.
b.

Blokade pemerintah penjajahan Jepang terhadap pengaruh Barat, termasuk di dalamnya tentang teater dan


perfilman Barat, sebagai media hiburan masyarakat.

Pertunjukan yang berdasarkan pada naskah, dijabarkan kedalam skenario Script , munculnya peran tegas sutradara
di mulai pada ”Zaman Maya” ini. Keuntungan-keuntungan akibat tindakan pemerintah penjajahan Jepang pada saat
itu antara lain adalah: