filsafat kontemporer dan postmodernisme dan

FILSAFAT KONTEMPORER DAN
FILSAFAT POSMODERNISME
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen pengampu : Dr. Anda Juanda, M. Pd.

Disusun oleh
Anggit Aprilliani
Firman Nurmukhlis
Rina Anggraeni Dewi
Surati
Tursilawati
Biologi B / Semester VI

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2013

1


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat
Kontemporer dan Posmodernisme” untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Filsafat
Umum.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Anda Juanda, M. Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliahy Filsafat Umum ang telah memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada teman-teman dan pihak-pihak lain yang turut serta membantu

dalam

menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan.
Penulis

mengharapkan kepada teman-teman untuk bersedia memberikan kritik dan

sarannya menyangkut pembuatan makalah ini, sebagai bahan pertimbangan untuk
membuat makalah selanjutnya. Namun demikian, penulis sudah berusaha menyajikan

makalah ini dengan sebaik mungkin. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca,
peminat keilmuan dan calon penulis di masa mendatang.

Cirebon, Februari 2013

Penulis

2

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................

1

B. Rumusan Masalah........................................................................................

2

C. Tujuan Penulisan Makalah .........................................................................


2

BAB II FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME
A. FILSAFAT KONTEMPORER ...............................................................

3

B. PRAGMATISME.......................................................................................3
1. Terminologi Pragmatisme ....................................................................

3

2. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme .........................

4

3. Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhada
Ilmu Pengetahuan Masa Kini ..................................................................


7

EKSISTENSIALISME.............................................................................

8

1. Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme

..........................................

9

...............................................

18

D. FENOMENOLOGI ................................................................................

18


1. Pengertian ...............................................................................................

18

2. Riwayat hidup tokoh .............................................................................

19

3. Ajaran dan karya kefilsafatannya...........................................................

19

C.

2. Sumbangan Filsafat Eksistensialisme
Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini

4. Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini ..............................

22


E. POSTMODERNISME .............................................................................

25

1. Pengertian ..............................................................................................

25

2. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme.............................................

25

3. Tokoh Dan Ajaran Filsafat Postmodernisme...........................................

27

4. Fenomena faktual Posmodernisme ........................................................

33


5. Sumbangsih Filsafat Postmodernisme .................................................

34

6. Keunggulan Dan Kekurangan Filsafat Postmodernisme .......................

39

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................

41

3

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.


Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran
ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya
berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap
perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah
perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan
zaman kontemporer.
Begitu pula dengan filsafat, dalam perkmbangannya filsafat dibagi menjadi 4
babakan yakni Filsafat klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM
dan berakhir pada 529 M dominasi oleh rasionalisme. Filsafat abad pertengahan
meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada
abad ke-15 M didominasi dengan doktrin-doktrin agama Kristen. Filsafat modern dan
filsafat kontemporer yang didominasi kritik terhadap filsafat modern.
Pada tahun 1880-an Nietzsche menyatakan bahwa budaya Barat telah berada di
pinggir jurang kehancuran karena terlalu mendewakan rasio. Hingga pada tahun 1990an Capra menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur juga karena terlalu
mendewakan rasio. Rasionalisme Filsafat modern perlu di dekonstruksi karena ia
Filsafat yang keliru dan juga keliru cara penggunaannya, akibatnya budaya Barat
menjadi hancur (Tafsir, 2009 : 257).
Renaisans yang secara berlebihan mendewakan rasio manusia. Mencerminkan

kelemahan manusia modern. Akibatnya timbulah kecenderungan untuk menyisihkan
seluruh nilai dan norma yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan hidup,
sehingga manusia modern yang mewarisi sikap positivistik cenderung menolak
keterkaitan antara substansi jasmani dan rohani manusia, mereka juga menolak adanya
hari akhirat, akibatnya manusia terasing tanpa batas.
Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat. Seluruh pengembangan
4

tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pemikiran pada periode ini memfokuskan diri
pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan
emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh
Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.
Dalam makalah ini penulis

akan kemukakan sejarah munculnya filsafat

kontemporer dan filsafat postmodern sebagai ‘isme’ yang mengritik modernitas, juga
akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini, ajarana-ajaran pokok dan

sumbangih pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan masa kini..
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan
Posmodernisme?
3. Siapa tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
4. Apa ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
5. Apa sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu
pengetahuan masa kini?
6. Apa kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?
2. Mengetahui pengertian Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan
Posmodernisme?
3. Mengetahui tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernism
4. Mengetahui Mengetahui ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan
Posmodernisme?

5. Mengetahui sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu
pengetahuan masa kini?
6. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme?

5

BAB II
FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME
A. FILSAFAT KONTEMPORER
Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi
pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa,
kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi,
heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, samapai
filsafat tentang perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh
para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu
pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup
manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi,
teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin
filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya professional di bidang masing-masing,
tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi
professional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka
masing-masing (Zaenal, 2011: 124).
Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm
Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1858-1941),
Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970) dll.

B. PRAGMATISME
1. Terminologi Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang
berarti artinya adalah tindakan atau perbuatan. Pragmatisme adalah
aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran

6

sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan
nyata ( Hakim, dkk, 2008:319).
Pragmatism berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah
jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan.
Misalnya, beragama sebagai kebenaran, jika agama memberikan
kebahagiaan. Menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh
kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun yang bernilai
kuantitatif

atau

kualitatif.

Sebaliknya

jika

memberikan

kemudharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran.
2. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme
Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders
Peirce

(1839-1914),

menggunakan
pengertian

filosof

pragmatisme

pragmatisme

Amerika

yang

sebagai

telah

yang

metode

terdapat

pertama
filsafat,

juga

pada

kali

tetapi

Socrates,

Aristoteles, Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui lebih jauh ajaran
pragmatisme alangka baiknya kita mempelajari tokoh-tokoh yang
menpopulerkan dan pandangannya :
a. C.S. Peirce (1839-1914)
Peirce,
matematikus,
pendiri
dilahirkan

seorang
fisikawan,

filosof

aliran

pragmatism,

di

Cambrigde,

Massachausetts pada tahun 1839.
Peirce

mendalami

filsafat

dan

logika hingga masa ia kerja pada
instansi

survei

geodesi.

Sebagai

panata

dan

filosof

yang

sistematik, tulisan-tulisan Peirce mencakup hampir segala aspek
filsafat.
Sumbangannya yang terbesar adalah dalam bidang logika,
tetapi ia juga secara luas menulis tentang epistimologi, metode
ilmiah, semiotics, metafisika, kosmologi, ontology, matematika dan
sedikit tentang etika, agama, sejarah, dan fenomenologi. Berbagai
7

buah

pemikiran

filsafatnya

di

dalam

beberapa

system

yang

merupakan fase-fase perkembangan kematangannnya dalam olah
intelektual. Akan tetapi, semua itu menyatu dan menjadi konsep
yang utuh.
Karya-Karya Charles Sanders Pierce diantaranya :
1) Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by
Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard
University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).
2) The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian
Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press,
Bloomington, Indiana, 1992, 1998).
3) The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I
Arithmetic, Volume II Algebra and Geometry, Volume III/1 and
III/2

Mathematical

Miscellanea,

Volume

IV

Mathematical

Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The
Hague, 1976).
Pierce banyak memberikan sumbangan pemikiran yang penting
bagi

filsafat

pemikiran
meaning

pragmatisme.

kefilsafatan
sebagai

Diantara

pragmatisme

salah

satu

sumbangan

pierce

aspek

adalah

epistimologi,

terpenting
theory

of

khususnya

implikasinya dalam bahasa. Pragmatism berusaha menemukan asal
mula serta hakikat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan
yang sangat menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa
sulitnya.
Penganut pragmatism menaruh perhatian pada praktik. Mereka
memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup
yang

berlangsung

terus-menerus

dan

yang

terpenting

ialah

konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi tersebut erat sekali
hubungannya dengan makna dan kebenaran.
b. William James (1842-1910 M)

8

William James lahir di New York
pada tahun 1842 M, anak Henry
James, Sr. ayahnya adalah orang
yang

terkenal,

berkebudayaan

tinggi, pemikir yang kreatif. Selain
kaya,

keluarganya

dibekali

dengan

memang
kemampuan

intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme
dalam kehidupan serta mengembangkannya.
William

James

(1842-1910)

adalah

tokoh

yang

paling

bertanggung jawab yang membuat pragmatism menjadi terkenal
diseluruh dunia. William James mengatakan bahwa secara ringkas
pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui (Tafsir,
Filsafat Umum: 190).
Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya
ia mengalami konflik antara pandangan agam. Ia beranggapan
bahwa masalah kebenaran tentang asal tujuan dan hakikat bagi
orang Amerika adalah teoritis. James menginginkan hasil yang
kongkret (Muzairi,2009:141).
Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau
konsep

haruslah

diselidiki

konsekuensi-konsekuensi

praktisnya.

Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya
kehidupan maka ide-ide itu benar.
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology
(1890), The Sentiment of Rationality (1879), The Dilemma of
Determinism (1884), The Will to Believe (1897), The Varietes of
Religious Experience (1902), Pragmatism (1907), The Meaning of
Truth (1909), dll. Karena terbitnya buku, Pragmatism (1907), The
Meaning of Truth (1909), gerakan pragmatism meluncur seolah-olah
akan menguasai filsafat abad ke-20. Pragmatism lebih banyak
disangkutkan dengan James daripada dengan Peirce sekalipun James
berhutang banyak pada Peirce dalam mengembangkan pragmatism
sebagai suatu metode.

James memang berbeda dengan Peirce.
9

Peirce

tidak

bersedia

menggunakan

pragmatism

dan

filsafat

ilmiahnya pada masalah penting yang vital seperti maslah agama,
moral, atau kehidupan personal. Akan tetapi, justru disinilah filsafat
pragmatism James memfokuskan diri. Bagi James kepercayaan
bukanlah

sekadar

aturan-aturan

bertindak

atau

idea

yang

dengannya kita siap untuk bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu
yang berguna di dalam membuat sesuatu terjadi, dalam membuat
sesuatu pasti benar (Tafsir, 2001:194).
c. John Dewey (1859-1952)
John Dewey adalah seorang filsuf dari
Amerika, pendidik dan pengkritik sosial
yang lahir di Burlington, Vermont dalam
tahun 1859. Ia masuk ke Universitas
Vermont

dalam

tahun

1875

dan

mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian
melanjutkan

kuliahnya

di

Universitas

Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884
ia meraih gelar doktornya dalam bidang
filsafat

di

universitas

tersebut.

Di

universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari
Pierce,

orang

yang

menggagas

munculnya

pragmatisme.

Ia

kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan
nama The Dewey School. Sebagai pengikut filsafat pragmatism, John
Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada
faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman
dan mengolahnya secara praktis.
Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa
bergerak dan berubah, jika mengalami kesulitan, segera berfikir
untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berfikir merupakan
alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat
10

ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan, satusatunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman
dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode
induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan
fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan social dan moral
(Hakim, dkk, 2008: 321).
Karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir
Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau
karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni
Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891,
bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun
kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia
berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My
Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical
Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903), dll.
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh
minat besar pada bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan.
Tetapi perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan
pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak
dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama,
dan seni.
3. Sumbangan

Filsafat

Pragmatisme

terhadap

Ilmu

Pengetahuan Masa Kini
Diakui

atau

tidak,

paham

pragmatisme

menjadi

sangat

berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh
pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di
dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa
dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey
(1859 – 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiranpemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai
popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat, politik,
dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan
11

pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan misalnya,
menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada
metode hafalan materi pelajaran.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat
pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas
problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan
menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas
sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan
sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang
dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktik
demokrasi. Dalam kondisi ini pragmatisme memfokuskan pada
kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang
dihadapi. Pandangan dan gagasan filsafat ilmu berkembang dalam
dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai pemikiran
baru muncul menggantikan konsep-konsep dan pikiran lama.
C.

EKSISTENSIALISME
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex
yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri
dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia
sadar tentang dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai “aku” atau pribadi. Pikiran semacam
ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada)
(Tafsir, 2009:218).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia
itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan
dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah
selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum, ia selalu sedang
ini atau sedang itu (Tafsir, 1992:191)
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu
dibedakan dengan filsafat eksistensi. Filsafat eksistensi yaitu filsafat yang
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia
12

dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan
tetapi cara beradanya tidaklah sama antar keduanya. Manusia berada di dalam dunia,
ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia.
Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.
Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek
artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya tersebut disebut
dengan obyek (Hasan, 1974:7)
Ciri-ciri aliran eksistensialisme meliputi:
1. Orang yang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya;
2. Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada;
3. Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan
badan;
4. Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.
1.

Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme
Tokoh-tokoh pada aliran Eksistensialisme diantaranya: Sooren

Kierkegaard

(1815-1855),

Martin

Haidegger

(1889-1976),

Karr

Jaspers (1883-1969). Ketiganya ini berasal dari Jerman, sedang tokoh
dari Prancis adalah Gabriel Marcel (1889-1973), Jean Paul Sartre
(1905-1980) dan masih banyak lagi diantaranya Albert Camus dan
Simon Beauvoirh.
a. Søren Aabye Kierkegaard

Søren

Aabye

Kierkegaard

adalah seorang filsuf pada abad
ke-19. Dia lahir pada tanggal 5
Mei

1813

di

Kopenhagen,

Denmark dan meninggal dunia
tanggal 11 November 1855 saat
berumur 42 tahun. saat ini soren
13

dianggap

sebagai

bapak

filsuf

eksistensialisme.

Ajarannya

beraliran eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan
Hegelian. Ayah dari Søren Kierkegaard bernama Michael Pedersen
Kierkegaard,

adalah

seseorang

yang

sangat

taat

terhadap

agama. Dia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia
percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai
umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Pekerjaan
ayahnya sebagai pedagang grosir yang menjual kain, pakaian,
dan makanan. Awal mula Søren Kierkegaard mempelajari ilmu
filsafat ketika ia bersekolah di sekolah khusus kaum lelaki di
Borgerdydskolen. Sedangkan ibu Søren Kierkegaard bernama
Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard. (Dagun, 1990:47).
Søren Kierkegaard merupakan anak terakhir dari ketujuh
bersaudaranya. Banyak dari saudara-saudaranya yang meninggal
dunia ketika di usia muda. Ayah Kierkegaard meninggal dunia
pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum ayahnya
meninggal dunia, ayahnya meminta Søren agar menjadi pendeta.
Saat itu Søren sangat merasa terbebani dengan permintaan dari
ayahnya. Regine Olsen sangat memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam hidup Søren, Regine merupakan orang yang dicintai
oleh Søren. Søren berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan
segera tertarik kepadanya, begitupun sebaliknya dengan Regine.
Hingga akhirnya pada tanggal 8 September 1840, Søren resmi
menikahi Regine. Namun pada akhirnya Søren merasakan kecewa
dan melankolis dengan pernikahannya. Kurang dari satu tahun
pernikahannya ia pun menyelesaikan pernikahannya dengan
Regine. Dalam catatannya, Søren mengatakan bahwa

sifat

melankolis yang dimilikinya membuatnya tidak cocok untuk
menikah. Walaupun sampai dia meninggal alasan mengapa dia
menyelesaikan pernikahannya tidaklah jelas. (Dagun, 1990:48-49).
Ajaran

yang

diberikan

oleh

Søren

adalah

mengenai

eksistensialisme. Yang artinya adalah sebuah kebebasan yang
bertanggung jawab, hal ini berpusat pada manusia individu.
14

Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena setiap
manusia

menginginkan

adanya

sebuah

kebebasan

tanpa

memikirkan yang mana yang benar dan yang tidak benar.
Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan hal tersebut,
melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masingmasing. Karena kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal akan
filsuf yang mengajarkan akan kecemasan dan keputusasaan
eksistensial. (Dagun, 1990:49).
Eksistensialisme mempersoalkan akan adanya keberdaan
manusia, dan keberadaan itu yang datang dari kebebasan.
Kebebasan yang dimaksudkan adalah sebuah kebebasan yang
bertanggung jawab, dimana setiap manusia mengetahui dimana
kebebasan mereka. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan
sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah
maksud dari eksitensialisme.
Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia
dalam perkembangan religius. Dari apa yang disebutkan Søren
tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahapan estetis
adalah tahapan pertama ketika manusia berada dalam pandangan
kesenangan

terhadap

kesenangan

mereka

indrawi,

dimana

masing-masing.

manusia

Tahapan

mencari

selanjutnya

merupakan pada saat manusia terjun ke dalam keberadaan itu
dengan mulai mempertimbangkan hal yang benar dan salah. Lalu
tahapan yang terkahir adalah tentang keimanan. Disini Soren
menempatkan Abraham sebagai tolak ukur akan keimanan. Dalam
hal ini kita tidak dapat membedakan mana yang salah dan benar,
karena dalam keimanan ini adalah hubungan langsung manusia
dengan Allah. Soren pun tidak dapat mengkategorikannya, karena
menurutnya ini dinilai begitu tidak umum.
Ajaran-ajaran Soren baru terkenal setelah berpuluh-puluh
tahun setelah kematiannya. Karyanya tersebar di daerah Eropa,
khususnya di daerah Denmark. Namu saat itu Gereja-Gerejad di
sekitar Denmark menolak akan adanya karya-karya Soren. Karena
15

ada pengaruh akan karya yang dibuat oleh Soren yang berjudul
“Fear and Trembling”. Namun pada abad ke 20-an banyak filsuf
yang

ternyata

menggunakan

konsep

Soren,

mengenai

pemahaman kecemasan, dan keputusasaan serta pentingnya
individu manusia.
Soren sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian.
Sehingga dia sering menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran
yang ia kemukakkan adalah sebagai kritik atas Hegel, yang
menekankan pada aspek subjektivisme. Hal ini akan membuat
individu melupakan tanggung jawab pribadinya secara etis,
bahkan akan menghilangkan eksistensi.
b.

Jean Paul Sartre
Tekanan Kiekegaard pada pentingnya arti eksistensi individu itu
telah melahirkan semacam kesadaran
umum pada tanggung jawab setiappribadi
dalam kehidupan ini. Pandangan tentang
pentingnya arti manusia sebagai pribadi
inilah karyanya yang kelak menjadi
intisari filsafat yang kelak dikembangkan

oleh Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan cepat mendapat sambutan
hampir diseluruh dunia.
Seklipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan
pemikiran kiekegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang teramat
jauh. Bagi Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat
janggal, karena biasanya sesuatu harus ada essensinya lebih dulusebelum
keberadaannya.
Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada didunia ini terutama
cara beradanya manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu khusus hanya ada pada
manusia, karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan,
bebatuan memang ada tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi. Filsafat
eksistensialisme mendamparkan manusia kedunianya dan menghadapkan manusia
kepada dirinya sendiri. (Tafsir:225)
16

Menurut

ajaran

eksistensialisme,

eksistensi

manusia

mendahului

essensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan dan bebatuan yang
essensinya mendahului eksistensinya. Didalam filsafat idealisme, wujud nyata
(existency) dianggap mengikuti hakekat (essen)-nya, jadi, hakekat manusia
memliki cirri khas tertentu, dan cirri itu yang membuat manusia berbeda dari
makhluk lain. Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri. Oleh karena itu
dikatakan eksistensi manusia mendahului essensinya. (Struhl dan Struhl,
972:33,35). Dan formula ini merupakan prinsip utama dan pertama didalam
filsafat eksistensialisme. Berikut ini dijelaskan apa yang dimaksud dengan
eksistensi manusia mendahului essensinya (existence precedes essence) itu. Jika
seseorng ingin membuat suatu barang misalnya sebuah buku. Ia mestinya talah
mempunyai konsep (image, atau dll) tentang buku yang akan dibuatnya itu.
Selanjutnya dibuatlah buku tersebut sesuai dengan konsep yang telah ada
padanya. Dalam konteks pembicaraan ini kita tidak dapat membayangkan
seseorang dapat membuat buku tanpa didahului oleh suatu konsep tentang buku.
Dapatlah dikatakan bahwa konsep buku merupakan essensi buku dan wujud buku
adalaheksistensinya. Jelaslah bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh
pembuatnya, yaitu manusia. Maka, untuk buku berlaku essensi mendahului
eksistensinya. Ini tentulah formula yang biasa, yang tidak biasa adalah apabila
eksistensi manusia mendahului essensinya. Sebagaimana yang telah diajarkan
oleh eksistensialisme itu, untuk manusia. (Tafsir:225)
Bagi Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan
membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas maka
Tuhan tidak boleh ada. Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia adalah
eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan “terlibat” dalam
dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya. (Wibowo.2011:23)
Sartre pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari
keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang mahatahu dan
mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai “yang menakutkan” dan selalu
mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan kesalahan tatapan mata
Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi dirinya. Segala suara seperti langkah
kaki, suara pintu yang berdecit, suara gerakan seakan menjadi “tatapan” mata
Tuhan yang selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada
suatu ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat
17

bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang
dihadapinya sudah selesai. (Wibowo.2011:2
Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu
berarti ia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar bahwa ia
berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia, inilah
yang

dianggap

sebagi

ajaran

yang

utama

dan

pertama

dari

filsafat

eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu
bukan berarti ai bertanggung jawab untuk dirinya sendiri tetapi juga pada seluruh
manusia.
Tampaklah oleh kita bahwa pendapat Sartre tentang eksistensi manusia
bukan hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan
bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang
hendaknya dipukul manusia. Munculnya pemikiran ini tidaklah mengherankan
apabila kita membayangkan keadaan dunia pada saat itu, khususnya eropa barat
tempat tinggal Sartre. Di Eropa Barat hidup dinikmati dan dinikmatkan dengan
cara yang sehebat-hebatnya (Drijakara:86). Keadaan ini merupakan pengaruh
berbagai sistem pemikiran yang hidup ketika itu
Sartre adalah filosof ateis: Itu dinyatakannya secara terang-terangan.
Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya
manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia
ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari pemikiran ini ia menemukan bahwa
eksistensi manusia, mendahului esensinya. Seandainya pemikiran ini diajukan
untuk menekankan tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya
kepada Tuhan.
Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada
dirinya sendiri bahwa ia barhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri
lain hakikat keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa
salah satu watak keberadaan manusia ialah takut. (Bierman dan Gauld, 1973:602).
Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di duni ini. Sartre
menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu,
menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah
bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia,
dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung
jawab menyeluruh (StruhI dan StruhI:38

18

Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan,
memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa
orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya
dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga
Heidegger (Beerling,223-24), manusia tidak solider, tetapi soliter. Ia memikul
berat dunia seoarang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh
Sartre ”adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan
sedikitpun” (Beerling:232).
Manusia harus memutuskan. Dalam memutuskan saya tidak mempunyai
bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan
saya

itu

benar,

tanpa

bantuan

orang

lain,

dan

saya

harus

mempertanggungjawabkannya. Ini menimbulkan rasa takut. Takut itu bukanlah
suatu suasana batin yang biasa, melainkan suatu suasana batin yang pokok. Rasa
ini harus dibedakan dari getar. Getar itu jelas objeknya, sedangkan takut tidak
menentu objeknya, tidak jelas takut pada apa. Kita tidak pernah mengetahui
dengan tepat terhadap apa kita takut. Takut itu datangnya tiba-tiba, secara tiba-tiba
kadang-kadang ia menghilang. Seolah-olah manusia takut kepada yang tidak ada,
seperti orang yang takut pada gelap. Takut itu sebenarnya adalah takut kepada
wujud. Wujud itulah yang mengasingkan kita dan membuat kita menjadi terpecil
(lihat Beerling: 223 -24).
Akan tetapi, mestikah demikian? Tidak mungkinkah disamping rasa takut
manusia memiliki rasa beranidan gembira karena ia boleh bartanggung jawab?.
Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan manusia berdiri sendiri. Ini karena
dia ateis. Apabila teis , manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak
berdiri sendiri, ajaran tuhan selalu bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut
muncul arena adanya kesadaran pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti itu
tidak ada pada hewan, tumbuhan dan bebatuan.
Bagi Sartre, karena manusia pengada yang sadar (letre-pour-soi)
persoalannya menjadi rumit. Perta ia sadar. Dari sinilah muncul tanggung jawab.
Karena tanggung jawab, manusia harus menentukan. Dari sinilah muncul
kesendirian (kesepian), lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan
lagi”: dari kesadaran itu muncul penyangkalan (neantser) manusia itu selalu
menyangkal. Dengan kesadaran itu manusia menyadari bahwa ia tidak berdiri
sendiri. Dalam kenyataannnya manusia itu termuat dalam suatu perbuatan.
Tentang berbuat itu manusia sadar ia berbuat. Tentang perbuatan itu manusia
19

menyadari bahwa ia selalu dalam peralihan. Disinilah letak kerumitan manusia
itu, demikian Sartr
Manusia itu setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya.
Ia membantah itu dengan mengalih, menuju yang lain. Setelah yang lain itu
tercapai, pada waktu itulah ia menyanglkalnya. Apa yang telah dicapai pasti
mengingkari. Manusia harus berbuat sementara hasil berbuatnya tidak akan
memuaskan dirinya. Seakan-akan berbuat itu semacam hukuman yang tak
terelakkan lagi.Jadi, manusia itu selalu berubah. Hakekat penyangkalan itu dapat
dirumuskan dalam kalimt ini:“yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada”.
Jadi manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya. Menurut Sartre
itulah hakekat manusia. Disini tergambarlah suatu filsafat pustus asauntuk apa
mengejar sesuatu padahal sudah diketahui jika sesuatu itu dicapai, ia akan
mengingkarinya. Jadi, semua usaha diketahui akan berakhir sia-sia. Tetapi
manusia harus berbuat. Ia harus meluncur terus samapi ia terengah-engah
kepayahan. Untuk membtbaskan diri dari hukuman ituhnya ada dua kemungkinan:
menjadi yang tak berkesadaran (en-soi, hewan tumbuhan , batu) atau bunuh diri.
Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri.
Akan tetapi, benarkah hakikat beradanya manusia seperti yang dikatakan
oleh Sartre itu? Dengan mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal, Sartre
lupa bahwa juga dapat membangun. Memang betul berbuat berarti mengalih,
menuju kepada yang lain. Memang ada perbuatan yang tidak membangun. Akan
tetapi, itu tidak berarti bahwa manusia harus bertanggung jawab? Ini haruslah
berarti bahwa manusia harus membangun; ia harus membangun dirinya dan dunia.
Terasa ada kontradiksi di sini.
Bila Sartre mengatakan bahwa segala perbuataan manusia tanpa tujuan,
karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal), jadi manusia tanpa harapan, maka
hal ini tidak harus diartikan dinamikan hidup, tanda manusia ingin membangun
dirinya dan dunia. Masalahnya sebatulnya: apakah manusia dapat merasa puas?
Jawabannya terletak pada orangnya. Bila orangnya dijajah oleh nafsunya, maka ia
tidak akan pernah merasa puas. Yang inilah filsafat Sartre itu. Adapun orang yang
selalu ingin yang lebih baik, tidak mesti ia selalu merasa tidak puas. Filsafat ini
harus dipahami dari pandangan ateisme.
Manusia harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman.
Keadaan ini menimbulkan rasa muak (In nausee). Kata ini dapat berarti muak,
mual, Jemu, rasa hendak muntah.
20

Mengapa mual? Karena tidak ada harapan. Manusia itu dihukum. Ia harus
menghadapi kenyataan itu. Manusia harus mengadakan perubahan, jadi akan
muncul ketidaktetapan, kekacauan. Karena tidak ada yang tetap, maka tidak ada
yang diharapkan. Jelas, hal ini menimbulkan kejemuan, kemualan, ketertindasan,
putus asa. Demikian memang reallitas hidup ini menurut Sartre
(Drijarkara:75)
Pikiran ini satu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang
hakikat wujud manusia. Sangat erat dengan formula “yang ada tidak dimaui dan
yang dimaui ilah yang belum ada”. Manusia selalu membelum, menjadi.
Filsafat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Ada juga, bahkan banyak, orang
yang dalam hidupnya mempunyai harapan. Banyak orang yang tidak merasakan
hidupnya kosong. Sartre kurang cermat dalam menggambarkan hakikat keberadaa
manusia.
Sebagian besar buku Sartre berisi uraian yang tajam damn sinis tentang
hubungan antarmanusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang
lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang
terakhir ialah revalitas dan konflik. Saya menekati orang lain, menurut Sartre
tidak dapat diartikan selain bahwa saya hendak merebutnya, saya hendak
menjadikannya objek (Beerling:230-31). Orang lain itu pun demikian terhadap
saya. Selanjutnya Sartre menyimpulkan bahwa ada bersama itu berupa konflik
atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena itu, sifat malu, gentar, sombong
adalah perasaan-perasaan asal, yang berupa reaksi saya tatkala bertemu dengan
orang lain (Beerling:231). Jadi, di dalam hubungan antarmanusia itu, menurut
Sartre, hanya ada dua kemungkinan: menjadi subjek atau maenjadi objek,
memakan atau dimakan (Drijarkara:89).

Kelihatannya Sartre sedikit “lembut”

tatkala ia mengatakan bahwa relasi antarmanusia terjadi juga karena ikatan cinta
kasih. Dalam cinta kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku
diakui, badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen:226). Di sini sifat saling
merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dari filsafat Sartre. Sekalipun
demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih ini pun konflik tetap ada
(Peursen:226).
Di sini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat
Sartre: di satu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat menjalani
eksistensinya, tetapi di pihak lain ada bersama itu merupakan permusuhan. Tepat
kata Hobbes: manusia ditakdirkan saling memusuhi. Sekarang semakin
21

lengkaplah keterhukuman manusia, keterdamparannya, dan kesengsaraannya.
Semakin jelas mengapa hidup itu dikatakan memuakkan, putus asa.
Berikut kita berikan sedikit komentar terhadap pikiran Sartre yang penuh
dilema itu. Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat eksistensi
manusia:

eksistensi

manusia

mendahului

asensinya.

Mulainya

manusia

bereksistensi ialah sejak ia mengenal drinya dan dunia yang dihadapinya. Itu
berarti bahwa ia telah berkesadaran. Dari kesadaran itu muncullah tangging
jawab. Karena bertanggung jawab, maka manusia harus memilih, menentukan,
memutuskan. Itu dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu
takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi
penderitaan.
Karena kesadarannya itu manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah,
selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum
ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak, berpindah, meluncur terus. Manusia
laksana mengejar bayangannya sendiri: semakin cepet ia berlari, secepat itu pula
bayangannya pergi. Manusia menjadi mual, muak, seperti mau muntah. Manusia
dipaksa bekerja, tetapi tanpa harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme
ditolak, tetapi manusia dihukum berarti determinisme juga.
Kehidupan bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka
bagi manusia. Dilema lagi. Memang filsafat Sartre penuh—kalau bukan
seluruhnya oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh
pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya
dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara
menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre
bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat
pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji”

2.

Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu,
terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham
materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya adalah
barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia

22

itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu
tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu.
a. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern
dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada
setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa
dalam menentukan pilihannya.
b. Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang
mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya
dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.
c. Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan
tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.
d. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program
menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini,
karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah
mengikari eksistensi siswa sebagai individu.
e. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan
kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis
menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian
obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi,
estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.
f. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran
atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional,
hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia
D. FENOMENOLOGI
1. Pengertian
Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari
bahasa Yunani phaenomeno dan logos. Phaenomenon berarti tampak dan phaenen
berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan
(Muzairi, 2009:141). Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan
sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak, atau ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran.
2.

Riwayat hidup tokoh
23

Pada

awalnya

banyak

mendefinisikan fenomenologi

ahli

filsafat

hanya suatu gaya

berfikir bukan sebagai mazhab filsafat, adapula yang
mendefinisikan fenomenologi adalah suatu metode
dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan
juga sebagai suatu pendirian atau aliran filafat. Akan
tetapi dalam mazgab filsafat fenomenologi memiliki
asumsi-asumsi sebagai dasarnya.
Lalu kemudian Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi
berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang
mengusung

tema Epoche-Eiditic

Vision danLebenswelt sebagai

sarana

untuk

mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian
dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.
Edmund Gustav Aibercht Husserladalah seorang filosof yang lahir di Prestejov
(dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia (Jerman) pada tanggal 8 April 1859 dari keluarga
yahudi (Hamersma, 1983:114). Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak,
matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina.
Awalanya ia seorang filosof ilmu pasti.
Setelah Edmund Husserl berada di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano.
Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen
sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin,
London, Paris, Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang
diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya
diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk
menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya
dibawa ke Universitas Leuven di Belgia (Hamersma, 1983: 114).

3.

Ajaran dan karya kefilsafatannya
Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis

deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis,
konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju
24

kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga akan nampaklah objek
kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse
(kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan watak
intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari
ilmu-ilmu empiris.( contohnya orang bersin-bersin/meler.. pada dunia kedokteran
bahwa orang tersebut terkena flu.. tapi dalam fenomenologi hal tersebut belum
dikatan penyakit flu karena dalam fenomenologi harus di selidiki dahulu,, apakah
orang tersebut terkena virus flu atau yang lainnya... dan ternyata orang tersebut flu
karena dia menghirup merica)....
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa
Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan
tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap
keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan
putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu,
Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda
(epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau
eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1) Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam
teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik
dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan.
2) Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua
sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi
gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4) Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan faktafakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada
hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala
presuposisi (peranggapan). Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan
25

begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi
pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha untuk
mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya (contohnya penyebab
flu tadi apakah penyebabnya karena virus atau karena merica). Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu.
Berikut karya filsafat dari Edmund Husserl
a.

Logische Untersucgsuchugen I dan II(Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun
1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus
dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan
(obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan
sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke
dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan
akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan
akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan
mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal
(http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalahtentang-fenomenologi-edmund.html)
zu einer reinen Phanomenologie

b. Ideen

und

Phanomenologischen

Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu
filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik
ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara
tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah
fenomenanya, d