Zakat dan Pajak dalam (1)

Zakat dan Pajak dalam Islam
Posted: Desember 12, 2012 in Fiqh, hukum Islam, pajak, zakat

0
ِِA. Pendahuluan
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, sebab 78% dari dana APBN berasaldari
pajak. Sumber pajak yang jumlahnya besar ini berada di tangan penduduk muslim. Sebagaimana
diketahui penduduk muslim di Indonesia berjumlah sekitar 87% dari total penduduk. Walaupun
penduduk muslim 87% dari penduduk Indonesia, tetapi dalam pemasukan pajak tidak berbanding
lurus dengan banyaknya jumlah penduduk muslim yang ada.[1] Hal ini mungkin saja disebabkan
penduduk muslim enggan membayar pajak, karena telah ada kewajiban pajak dalam agama
Islam yang biasa disebut zakat.
Dalam Islam kewajiban zakat memiliki makna yang sangat fundamental. Selain berkaitan erat
dengan aspek ketuhanan[2], zakat juga erat kaitannya dengan aspek sosial, ekonomi, dan
kemasyarakatan.
Yang kemudian menjadi persoalan adalah adanya anggapan bahwa umat Islam di Indonesia yang
membayar zakat seolah-olah terkena pengeluaran berganda, selain membayar pajak juga
membayar zakat dari penghasilan yang diperolehnya.[3] Pada tanggal 23 Agustus 2010,
pemerintah telah menerbitkan PP no 60 tahun 2010 yang berisi bahwa zakat dan atau sumbangan
keagamaan lain yang bersifat wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Padahal, sampai
saat ini sebenarnya masih terjadi perdebatan di kalangan ahli agama mengenai boleh tidaknya

menganggap pajak yang telah dibayarkan sebagai pembayaran zakat.[4]
Berdasarkan konteks tersebut maka timbullah sebuah pertanyaan, bagaimanakah pandangan ahli
fiqh tentang zakat sebagai pengurang pajak? Oleh karena itu, kami ingin sedikit mengagas
pertanyaan tersebut dalam sebuah makalah yang mungkin dengan hal ini akan ditemukan
jawaban atas persoalan di atas. Sehingga dapat menimbulkan kemaslahatan bagi masyarakat
yang telah menyalahi persepsi mengenai zakat dan pajak.

1. B.
2. 1.

Substansi Kajian
Pengetian Zakat

Dilihat dari sudut etimologi, kata zakat merupakan mashdar dari zakā yang berarti berkah,
tumbuh bersih dan baik.[5] Pendapat lain mengatakan bahwa kata dasar zakā, berarti bertambah
dan tumbuh, sedangkan setiap sesuatu yang bertambah disebut zakat artinya bertambah. Bila satu
tanaman tumbuh tanpa cacat, kata-kata zakat berarti bersih.[6]
Adapun zakat menurut terminology, banyak para ahli mendefinisikannya.Misalnya dari segi
istilah fiqh berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang
yang berhak, disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.[7]Madzhab Maliki


mendefinisikan zakat dengan mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula
yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada yang berhak
menerimanya (mustahiqq). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun),
bukan barang tambang dan bukan pertanian. Madzhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan
menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik yang khusus,
ditentukan oleh syari’at karena Allah SWT. Madzhab Syafi’i mendefinisikan zakat dengan
ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan madzhab
Hanbali mendefinisikan zakat dengan hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk
kelompok yang khusus pula.[8]
Menurut Nawawi, jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang
dikeluarkan itu “menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari
kebinasaan”. Sedangkan menurut Ibnu Taymiyah, jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih
dan kekayaannya akan bersih pula, bersih dan bertambah maknanya. Hal ini berarti bahwa
makna tumbuh dan berkembang itu tidak hanya diperuntukkan buat harta kekayaan tetapi lebih
jauh dari itu.[9]
Menurut UU No. 38 Tahun 1999 yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.[10]Zakat adalah hak tertentu yang
diwajibkan Allah terhadap harta kaum muslimin yang di peruntukkan bagi fakir miskin dan

mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk mendekatkan diri kepada –
Nya serta membesihkan diri dari hartanya[11].
Para pemikir ekonomi Islam kontemporer mendifinisikan zakat sebagai harta yang telah
ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang, kepada masyarakat umum atau individu
yang bersifat mengikat, final, tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai
dengan kemampuan pemilik harta, yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan
golongan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi
keuangan Islam[12]

1. 2.

Pengertian Pajak

Secara bahasa pajak dalam bahasa arab disebut dengan Dharibah, yang berarti mewajibkan,
menetapkan, menentukan Para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang
dipungut sebagai kewajiban[13]. Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama AdhDharibah,[14] yang artinya adalah beban. Ia disebut beban karena merupakan kewajiban
tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai
sebuah beban. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang
mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta
yang dipungut sebagai kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sedangkan

kharaj adalah berbeda dengan dharibah, karena kharaj adalah pajak yang obyeknya adalah tanah

(taklukan) dan subyeknya adalah non-muslim. Sementara jizyah obyeknya adalah jiwa (an-nafs)
dan subyeknya adalah juga non-muslim.[15]
Pajak menurut para ahli keuangan ialah : kewajibab yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang
harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa dapat prestasi kembali dari
negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum disatu pihak dan untuk
merealisir sebagian tujuan ekonomi.[16]
Pajak adalah a compulsory levy made by public authorities for which nothing is received direcly
in return.[17]Sommerfield mendefinisikan pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang
wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa
mendapat suatu imbalan kembali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas – tugasnya dalam menjalankan pemerintahan.[18]
Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas
Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
imbalan (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum (public investment).[19]
Menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[20]
Gaji Inayah berpendapat bahwa pajak adalah kewajibab untuk membayar tunai yang ditentukan
oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan sipemilik harta dan dialokasikan untuk
mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi
pemerintah.[21]
Abdul Qadim Zallum berpendapat bahwa pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT,
kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos – pos pengeluaran yang
memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.[22]
PJA. Adriani menyatakan bahwa pajak adalah iuran wajib pada negara yang dapat dipaksakan
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat
prestasi kembali, yang lansung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiaya
pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas pemerintah[23]

1. 3.
2. a.

Asas Teori Wajib Pajak Dan Zakat
Asas Hukum Mengenai Wajib Pajak


1)

Teori Perjanjian

Para filosof abad ke-19 berpendapat, bahwa pajak diwajibkan atas dasar hubungan timbal balik
negara dengan masyarakat. Menurut para pendukung teori timbal balik, perjanjian ilmiah yang
kokoh antara negara dengan pembayar pajak mengemukakan berbagai aliran. Mirabau
berpendapat bahwa pajak adalah pembayaran di muka yang dilakukan oleh seseorang terhadap
perlindungan sekelompok manusia. Adam Smith menyatakan bahwa pajak adalah perjanjian
berbentuk pembayaran jasa atas pekerjaan. Montesque dan Hobes berpendapat bahwa pajak
adalah perjanjian berbentuk jaminan keamanan.[24]
2)

Teori Kedaulatan Negara

Teori ini mempunyai pandangan, bahwa negara melakukan fungsinya untuk melayani kebutuhan
masyarakat, tidak untuk kepentingan pribadi. Untuk melaksanakan fungsinya negara
memerlukan pembiayaan, oleh karena itu negara punya hak untuk mewajibkan penduduknya atas
dasar kedaulatan menanggung pembiayaan itu sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing
warganya.[25]


1. b.

Asas Wajib Zakat

Adapun asas wajib zakat adalah sebagai berikut:
1)

Teori beban umum

Teori ini didasarkan bahwa merupakan hak Allah – sebagai pemberi nikmat – untuk
membebankan kepada hamba-Nya apa yang dikehendakinya, baik kewajiban badani maupun
harta, untuk melaksanakan kewajibannya dan tanda syukur atas nikmatnya. Dan untuk menguji
siapa yang paling baik amalnya diantara mereka dan untuk menguji apa yang ada di dalam hati
mereka.[26] Karena sesubgguhnya manusia tidak ditakdirkan Allah untuk bermain-maindan
dibiarkan sesuka hatinya, firman Allah:
óOçFö7Å¡yssùr&$yJ¯Rr&öNä3»oYø)n=yz$ZWt7tãöNä3¯Rr&ur$uZøŠs9Î)Ÿwtbqãèy_öè?
ÇÊÊÎÈ
115. Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara mainmain (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?
Dan firman Allah:

Ü=|¡øts†r&ß`»|¡RM}$#br&x8uŽøIビ´‰ß™ÇÌÏÈ
36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban)?

2)

Teori Khilafah

Harta adalah amanah Allah. Dan manusia sebagai pemegang amanah atas harta itu. Allahlah sang
pemilik langit dan bumi.[27] Seperti firman-Nya:
ur$tB’ÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#$tBur’ÎûÇÚö‘F{$#y“Ì“ôfu‹Ï9tûïÏ%©!$#(#q䫯»y™r&$yJÎ/ !¬
(#qè=ÏHxåy“Ì“øgs†urtûïÏ%©!$#(#qãZ|¡ômr&Óo_ó¡çtø:$$Î/ÇÌÊÈ
31. Dan Hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya
dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang Telah mereka
kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang
lebih baik (syurga).

Harta kekayaan adalah rizki dari Allah untuk manusia sebagai anugerah dan nikmat darinya. Dan
setelah memperoleh nikmat itu, ia harus mengeluarkan sebagian rizkinya itu dengan tujuan
meninggikan rahmat Allah, dan menolong saudara-saudaranya sesama hamba Allah, sebagai

tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan kepadanya.[28]

3)

Teori pembelaan antara pribadi dan masyarakat

Jamaah mempunyai hak atas harta individu, yaitu hak yang tidak merampas hak miliknya yang
telah ditetapkan baginya. Hak itu berupa bagian tertentu untuk kepentingan umum. Kabanyakan
hak itu dituntut pada waktu ada hal-hal yang diperlukan.[29]
yg•ƒr’¯»tƒšúïÏ%©!$#(#qãYtB#uäŸw(#þqè=à2ù’s?Nä3s9ºuqøBr&Mà6oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$ $
$Î/HwÎ)br&šcqä3s?¸ot»pgÏB`tã