Pembaharuan Hukum Perdata Hak untuk Dilu

UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM
“HAK UNTUK DILUPAKAN”

DISUSUN OLEH
Nastitya Fionny Brilliyanti
4301170035
2-8 / 24
D-III Kebendaharaan Negara

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
2018

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
KATA PENGANTAR.................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.1

Latar Belakang.............................................................................................................4


1.2

Rumusan Masalah.......................................................................................................4

1.3

Tujuan Penulisan.........................................................................................................4

BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................................5
2.1

Hak untuk Dilupakan...................................................................................................5

2.2

Contoh Kasus...............................................................................................................6

2.3

Hak untuk Dilupakan di Eropa....................................................................................7


2.4

Hak untuk Dilupakan di Indonesia..............................................................................8

2.5

Lemahnya Hak untuk Dilupakan di Indonesia............................................................9

2.6

Upaya Pembaharuan Hukum berdasarkan Perbandingan dengan Uni Eropa............11

2.6.1

Ketidakadilan antara Hak untuk Dilupakan dan Hak untuk Berpendapat..........11

2.6.2

Penghapusan Hingga Akarnya...........................................................................12


2.6.3

Kurangnya Ketentuan Mengenai Penggunaan Hak untuk Dilupakan................12

2.6.4

Luasnya Penghapusan Konten dan Kepentingan Politik...................................13

BAB 3 PENUTUP....................................................................................................................14
3.1

Kesimpulan................................................................................................................14

3.2

Pesan dan Saran.........................................................................................................14

3.3


Daftar Pustaka...........................................................................................................15

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala nikmat, taufik dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Upaya
Pembaharuan Hukum Hak untuk Dilupakan” yang diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Perdata dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.
Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada segenap
pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.
Diluar itu, saya sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat
maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati , saya selaku penyusun
menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Demikian yang bisa saya sampaikan. semoga makalah dapat memberikan informasi
bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.


Tangerang Selatan, 04 April 2018

Penyusun

3

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Hakikatnya internet hadir dengan tujuan positif. Karena itu, untuk menjamin
keamanan dalam berinternet diperlukan payung hukum. Itulah yang menjadi latar
belakang dibentuknya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE,
yaitu untuk mengatur tata penggunaan internet agar tidak chaos.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE merupakan
Undang-Undang (UU) yang didalamnya mengatur segala hal tentang teknologi informasi
yang berlaku di Indonesia. UU ini mulai dirancang pada tahun 2003 oleh Kementrian
Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sampai pada akhirnya lahirlah Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Seiring dengan berjalannya waktu, pergerakan internet di Indonesia pun semakin
pesat. Hal ini dapat dibuktikan dari peningkatan pengguna internet di indonesia, yang
pada 2010 jumlahnya hanya sekitar 42 juta, menjadi 143 juta pada tahun 2017 lalu.
Akibatnya, tidak sedikit hal-hal yang belum tercantum di dalam peraturan ataupun
peraturan yang dirasa perlu penyesuaian. Sifat hukum yang dinamis tidak mengelakan
bahwa suatu perundangundangn dapat diperbaharui. Begitu pula dengan undang-undang
ITE, yang setelah 8 tahun akhirnya mengalami perubahan yaitu menjadi Undang Undang
Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam meski UU tersebut baru saja di revisi UU, nyatanya belum sepenuhnya
maksimal. Masih ada hal yang perlu diatur lebih jelas didalamnya, salah satunya adalah
mengenai Right to be Forgotten atau Hak untuk Dilupakan pada Pasal 26 ayat (3) dan (4).

1.2

Rumusan Masalah

A. Bagaimana perbandingan Hak untuk Dilupakan di Uni Eropa dan di Indonesia?
B. Mengapa dibutuhkan pembaruan hukum tentang Hak untuk Dilupakan di Indonesia?

1.3

Tujuan Penulisan

A. Mengetahui perbedaan penerapan Hak untuk Dilupakan di Indonesia dan Negara Lain

4

B. Mengetahui mengapa perlu pembaharuan hukum tentang Hak untuk Dilupakan

5

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1

Hak untuk Dilupakan
The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni
Eropa sejak tahun 2006. Ia memberikan hak kepada setiap individu untuk meminta mesin

pencari menghapus tautan berkaitan dengan data pribadi mereka. Menurut Mantelero
Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, yang melatar belakangi Right to be
Forgotten atau Hak untuk Dilupakan adalah konsep otonomi individu, dimana individu
berhak untuk menentukan sendiri arah hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus
dikenai stigma atau gangguan sebagai akibat dari tindakan tertentu yang dilakukan di
masa lalu.
Namun, perkembangan teknologi internet saat ini menghasilkan kemampuan untuk
merekam dan menyebarluaskan informasi tentang seseorang tanpa disadari orang
tersebut. Penyebarluasan informasi melalui mesin pencari atau media sosial dapat
bersifat masif atau permanen dengan berbagai dampaknya terhadap kepentingan pribadi
atau pihak lain.
Lalu, muncul lah pemikiran untuk menciptakan mekanisme hukum yang
memungkinkan penghapusan informasi atau akses informasi digital yang tidak relevan
lagi dengan seseorang. Atas dasar pemikiran ini, terciptalah regulasi tentang the right to
be forgotten atau Hak untuk Dilupakan.
Hak untuk dilupakan akan sangat menguntungkan seseorang yang terjerat kasus
hukum dan telah divonis bebas dikarenakan tidak terbukti secara sah atau korban
‘fitnah’, karena :
a. Berdasarkan Asas perlindungan Hak Asasi Manusia dan Asas Persamaan di depan
Hukum atau Equality Before the Law, yaitu seseorang boleh mengajukan

penghapusan

konten

atau

data

yang

tidak

sesuai

tentang

dirinya

yang


dipublikasikannya dimasa lalu misalnya seseorang yang tidak terbukti bersalah oleh
putusan pengadilan.
b. Dengan adanya Hak untuk Dilupakan, korban’ fitnah’ dapat memulihkan nama
baiknya dan melindunginya dari dugaan atau kepentingan pihak lain yang tidak
bertangung jawab.
6

2.2

Contoh Kasus
Mario Costeja Gonzales, seorang warga negara Spanyol, terlilit utang jaminan sosial
pada tahun 1998 yang membuat properti miliknya harus dijual paksa. Lelang atas aset itu
pun diumumkan di salah satu koran di Spanyol bernama La Vanguardia.
Beberapa tahun kemudian, La Vanguardia mengarsipkan koran-koran terbitannya
dalam format digital di internet, termasuk laman yang memuat iklan baris penjualan
rumah Costeja yang kemudian di index oleh Google.
Saat urusan lelangnya telah selesai, Mario ingin melupakan masalah hutang yang
sudah menimpanya. Tetapi, setiap ia mengetik namanya sendiri di mesin pencari Google,
selalu muncul berita mengenai lelang rumahnya itu.
Lalu, Costeja menghubungi Badan Perlindungan Data Spanyol atau Agencia Aspanola

de proteccion de Datos (AEPD). Costeja meminta AEPD agar memerintahkan La
Vanguardia juga Google menghapus data pelelangan asetnya itu. Ia merasa terganggu
dengan munculnya iklan baris itu ketika ia mencari namanya di Google. Costeja meminta
iklan itu dihapus. Ia merasa itu tak lagi relevan untuk muncul karena sudah terjadi
bertahun-tahun yang lalu dan telah merusak reputasi dan privasinya.
Setelah lima bulan menunggu, keluhan Costeja mendapat jawaban dari AEPD.
Permintaan penghapusan dari surat kabar La Vanguardia ditolak, namun permintaan
penghapusan pencarian di Google diterima. Ternyata Google menolak menghapus tautan
iklan itu dan membawa perkara ini ke Pengadilan Tinggi Spanyol atau Audiencia
Nacional dengan dasar bahwa Google tidak boleh melakukan penyensoran atas materi
yang telah dipublikasikan oleh Koran. Google juga menjelaskan bahwa Google.inc yang
berlokasi di Amerika Serikat berdalih ia tidak terikat dengan aturan Data Protection
Directive Uni Eropa. Sedangkan Google Spanyol sebagai anak perusahaannya, tidak
bertanggung jawab atas mesin pencari.
Audiencia Nacional menolak gugatan Google lalu Google membawa perkara ini ke
Pengadilan Uni Eropa atau Court of Justice of the European Union (CJEU) sebagai
lembaga peradilan tertinggi di Uni Eropa. Pada 26 Februari 2013, dilakukan rapat dengar
pendapat antar negara di. Dan akhirnya pada 13 Mei 2014, CJEU memenangkan Costeja
atas kasus ini atas dasar Right to be Forgotten atau Hak untuk dilupakan dan Google
harus menghapus tautan iklan itu dari hasil pencarian.

7

Dalam putusannya, CJEU menjelaskan bahwa Google dan mesin pencari lainnya
secara sistematis mengkompilasi dan memberikan taut yang hal ini membuktikan bahwa
mesin pencari memiliki kontrol atas data pribadi seseorang. Karena itu, menurut CJEU,
mesin pencari harus mendengarkan dan juga terkadang wajib memenuhi permintaan
seseorang saat orang tersebut meminta penghapusan link ke artikel surat kabar atau situs
lain yang berisi informasi usang atau tidak menyenangkan tentang diri mereka sendiri.
CJEU juga memberikan penjelasan bahwa data atau informasi mengenai seseorang yang
dianggap perlu diketahui oleh publik, maka ketentuan diatas tidak berlaku dan pihak
penyelenggara mesin pencarian tidak perlu melakukan penghapusan atas data tersebut.
Kasus di atas dianggap penting karena konsep Right to be Forgotten diaplikasikan
untuk pertama kalinya dalam sebuah kasus nyata. Walapun konsepnya sudah ada lebih
dari 40 tahun, Right to be Forgotten baru diatur secara eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan Uni Eropa pada 27 April 2016, melalui Regulation 2016/679 atau
dikenal dengan sebutan General Data Protection Regulation.
2.3

Hak untuk Dilupakan di Eropa
European Parliament atau Parlemen Eropa dan Council of the European Union atau
Dewan Uni Eropa akan menerbitkan General Data Protection Regulation atau Umumnya
dikenal dengan singkatan GDPR. Tujuan nya adalah guna menciptakan harmonisasi
pengaturan mengenai perlindungan data pribadi di seluruh negara anggota Uni Eropa.
GDPR telah dibuat sejak 2016 lalu, namun baru akan berlaku Mei mendatang, aturan
tentang perlindungan data pribadi yang berlaku di Uni Eropa sejak tahun 1995 yang
terdapat pada Directive 95/46/EC akan tetap valid sebelum GDPR berlaku efektif.
Pada Pasal 17 GDPR memuat ketentuan tentang right to be forgotten. Pasal 17 ayat
(1) GDPR memuat pemberian hak kepada pemilik data pribadi untuk meminta data
mengenai dirinya yang berada di bawah kendali penyelenggara sistem elektronik untuk
dihapus atas dasar salah satu poin di bawah ini:
1. Data yang bersangkutan tidak lagi diperlukan guna mencapai tujuan awal penggunaan
data tersebut oleh pihak penyelenggara sistem elektronik,
2. Pemilik data pribadi mencabut persetujuan yang sebelumnya diberikan kepada
penyelenggara sistem elektronik sehubungan dengan penggunaan data mengenai
dirinya, atau
3. Pemilik data pribadi berkeberatan apabila data mengenai dirinya diproses lebih lanjut
oleh penyelenggara sistem elektronik.
8

Tetapi, Right to be Forgotten di GDPR memiliki batasan. Penyelenggara sistem
elektronik tidak harus menghapus data yang dimohonkan selama dapat dibuktikan bahwa
pemprosesan data atau informasi mengenai seseorang memenuhi salah satu alasan dalam
Pasal 17 ayat (3) GDPR sebagai berikut:
1. Dalam rangka menjalankan hak kebebasan berekspresi;
2. Demi kepentingan umum di bidang kesehatan; atau
3. Untuk kepentingan kegiatan pengarsipan yang berhubungan dengan kepentingan
umum, penelitian atau statistik.
Perlu digarisbawahi pula, ada beberapa ketentuan khusus untuk menghapus informasi
tersebut, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak relevan (irrelevant),
tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive). Ketentuan lainnya adalah
bahwa “right to be forgotten” tidak bersifat absolut atau mutlak.
Dengan demikian, tidak setiap informasi yang diminta untuk dihapus bisa memenuhi
kriteria right to be forgotten. Maka dari itu, prinsip ini tidak bisa diterapkan secara umum
begitu saja, namun harus melalui peninjauan kasus per kasus dengan mempertimbangkan
hak publik atas informasi dan hak bagi media untuk berekspresi.
2.4

Hak untuk Dilupakan di Indonesia
November 2016, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR RI
mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 yang berisi revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 atau yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang
ITE. Salah satu revisi tersebut adalah melembagakan pasal tentang hak untuk dilupakan
atau right to be forgotten pada pasal 26 ayat 3 dan 4, Yang berbunyi:
(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas
permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
(4)

Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme

penghapusan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal itu memberi empat petunjuk dasar tentang hak untuk dilupakan, yaitu:
1. Permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik hanya
dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan.
2. Permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik diajukan
ke pengadilan setempat.
9

3. Apabila telah terdapat penetapan pengadilan yang mengabulkan permohonan
penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, Penyelenggara
Sistem Elektronik yang memegang kendali atas informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang dimohonkan, wajib melakukan penghapusan.
4. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Pasal 26 ayat (3) dan (4) Undang Undang No. 19 tahun 2016 mewajibkan seluruh
Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menjalankan penetapan pengadilan terkait Hak
untuk Dilupakan ini. Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) a Undang Undang No. 19 tahun 2016,
yang dimaksud sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik adalah:
Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan
Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem
Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem
Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa cakupan Hak untuk Dilupakan di Indonesia menjadi
luas karena bukan hanya pada mesin pencari yang harus melakukan penghapusan
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, namun langsung pada sumber
informasi nya.
Namun, sampai saat ini aturan mengenai hak untuk dilupakan atau right to be
forgotten di Indonesia masih belum kompleks dan masih ada banyak celah untuk
penyalahgunaan didalamnya.
2.5

Lemahnya Hak untuk Dilupakan di Indonesia
Indonesia menjadi negara Asia pertama yang menerapkan konsep Right to be
Forgotten atau Hak untuk Dilupakan. Meski begitu, aturan mengenai Hak untuk
Dilupakan di Indonesia masih belum kompleks dan belum ada peraturan penjelasnya.
Hak untuk Dilupakan akan sangat berpotensi pada penyalahgunaan.
Jika melihat Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia” maka rasanya belum sepenuhnya cocok dengan peraturan mengenai Hak
untuk Dilupakan dalam pasal 26 ayat (3) dan (4) UU 19/2016, karena dalam peraturan
tersebut lebih condong pada pemberian hak kepada individu untuk menuntut penghapusan
informasi mengenai individu tersebut, dan tidak terlalu mengindahkan tentang hak
masyarakat untuk mendapat informasi serta hak masyarakat untuk berekspresi dan
mengeluarkan pendapat yang telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang
10

menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Berkaitan dengan hak-hak tersebut, perlu kita ketahui bahwa dalam menggunakan hak
kita, kita tidak boleh mencederai hak orang lain. Sebab di setiap hak asasi masing-masing
dari kita dibatasi oleh hak asasi orang lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.”
Peraturan ini juga rawan bertabrakan dengan Asas Peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tetang Kekuasaan Kehakiman.
Didalam peraturan ini tidak diatur dengan jelas mengenai prosedur nya sehingga akan
mencederai asas sederhana. Lalu, Putusan yang mengandalkan penafsiran hakim akan
menimbulakan

ketidakpastian

hukum

dan

dapat

dikhawatirkan

menyebabkan

ketidakadilan dalam putusannya. Jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk
menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung
yang mana akan memakan waktu dan biaya yang banyak sehingga akan mencederai asas
cepat dan biaya ringan.
Ada beberapa kelemahan dan kekurangan lain yang belum diatur dengan jelas
mengenai Hak untuk Dilupakan, antara lain :
a. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi
Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU
ITE akan menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan
diserahkan sepenuhnya ke Penyelenggara Sistem Elektronik?
b. Siapa saja yang dituntut untuk menghilangkan konten yang dimaksud di dunia maya ?
Berdasarkan UU ITE, penyelenggara konten yang dimaksud meliputi seluruh
pengendali data di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media
sosial dan blog pribadi. Namun, bagaimana denggan search engine dan media nonIndonesia yang berbeda yurisdiksi? Apakah masih berlaku ?
c. Belum diaturnya mengenai penolakan dari Penyelenggara Sistem Elektronik untuk
menghapus konten yang bersangkutan. Apakah akan dikenai denda, atau hukuman
lainnya?
11

d. Bagaimana menghapuskan informasi yang telanjur tersebar secara global? Karena
sampai saat ini belum ada hukum internasional yang mengatur hal ini dan tidak ada
sinkronisasi hukum antarnegara tentang hal yang sama.
Dan mungkin masih ada kelemahan lain dalam pasal tersebut yang luput dari
pemikiran penulis. Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka
soal ‘penyensoran’ ini. Pemerintah dan penegak hukum perlu melakukan pembaharuan
hukum dengan memperjelas penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak, hak untuk
dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi
keamanan dan kenyamanan berinternet.
2.6

Upaya Pembaharuan Hukum berdasarkan Perbandingan dengan Uni Eropa

2.6.1

Ketidakadilan antara Hak untuk Dilupakan dan Hak untuk Berpendapat
Hak untuk Dilupakan di Indonesia yang terdapat pada Pasal 26 ayat (3) dan (4)

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 dibuat sangat sederhana.
Jika melihat Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia” maka rasanya belum sepenuhnya cocok dengan peraturan mengenai Hak untuk
Dilupakan dalam pasal 26 ayat (3) dan (4) UU 19/2016, karena dalam peraturan tersebut
lebih condong pada pemberian hak kepada individu untuk menuntut penghapusan
informasi mengenai individu tersebut, dan tidak terlalu mengindahkan tentang hak
masyarakat untuk mendapat informasi serta hak masyarakat untuk berekspresi dan
mengeluarkan pendapat sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Minimnya pengaturan Hak untuk Dilupakan berpotensi menyebabkan ketidakpastian
hukum, dan pihak penyelenggara sistem elektronik kemungkinan besar menjadi pihak
yang paling merasakan kerugiannya. Hal tersebut tentunya akan tidak sesuai dengan UUD
1945 Pasal 28 J ayat (2) yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Dimana dalam pasal tersebut menjelaskan
bahwa dalam menggunakan hak kita, kita tidak boleh mencederai hak orang lain. Sebab
di setiap hak asasi masing-masing dari kita dibatasi oleh hak asasi orang lain.
12

Jika melihat aturan Hak untuk Dilupakan berdasarkan Pasal 17 GDPR, didalamya
tidak hanya tertuju pada pemilik data, namun mengatur sedemikian rupa agar
penerapannya berimbang dan tidak melanggar hak dan kepentingan pihak lain. Selain itu,
aturan check and balance ini dijabarkan dengan jelas, sehingga mengurangi potensi
penyalahgunaan Hak untuk Dilupakan. Untuk itu, diperlukan kembali pembaharuan
hukum mengenai hal tersebut supaya tercipta keselarasan antara Hak untuk dilupakan,
Hak pribadi, Hak kebebasan berpendapat dan Hak untuk mendapat informasi dan
terwujud sebuah keadilan dalam kehidupan masyarakat.
2.6.2

Penghapusan Hingga Akarnya
Permasalahan

selanjutnya

yang

diusulkan

untuk

diubah

adalah

mengenai

penghapusan datanya. Di indonesia, penghapusan konten langsung oleh penyelenggara
sistem elektronik yang memegang kendali atas konten tersebut, tidak hanya pada mesin
pencari. Hal tersebut dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi hak media untuk
berekspresi. Sedangkan penerapan Hak untuk Dilupakan di negara-negara Uni Eropa
hanya sebatas penghapusan di mesin pencari dan konten tersebut tetap ada di sumber
asalnya. Sehingga akan menciptakan keadilan antar kedua belah pihak, Dimana data
tentang individu yang menggugat akan sulit untuk diakses orang dan disisi lain hak
media untuk berekspresi masih tetap ada karena berita tersebut masih ada di web
sumbernya.
2.6.3

Kurangnya Ketentuan Mengenai Penggunaan Hak untuk Dilupakan
Kemudian, definisi ‘tidak relevan’ dalam pasal tersebut dinilai masih rancu. Informasi

apa yang masih relevan dan tidak relevan? Bagaimana pemerintah menjelaskan ukuran
dari ‘tidak relevan’? bukannya memasukkan ketentuan mengenai limitasi penggunaan
Hak untuk Dilupakan, pemerintah justru malah membuat penetapan pengadilan sebagai
bentuk check and balance atas penggunaan Hak untuk Dilupakan. Check and balance
tersebut mengkhawatirkan, karena tanpa adanya aturan main yang jelas mengenai
pelaksanaan Hak untuk Dilupakan, hakim tidak memiliki acuan dan berpotensi
memberikan penetapan hukum yang kebablasan. Di Uni Eropa, Hak untuk Dilupakan
memiliki ketentuan dan limitasi yang jelas, sehingga hakim memiliki acuan yang jelas
dan tentunya akan meminimalisir terjadinya kesalahan penetapan hukum.

13

2.6.4

Luasnya Penghapusan Konten dan Kepentingan Politik
Lanjut, perbedaan penerapan Hak untuk Dilupakan yang lain adalah soal luasnya

cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusan oleh
seseorang. Dalam revisi UU ITE, konten yang dapat dimohonkan penghapusan tak hanya
mengenai konten yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas dari hal itu.
Apapun informasi atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan, maka yang
bersangkutan dapat meminta penghapusan sesuai dengan penetapan pengadilan.
Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) ELSAM, Wahyudi
Djafar, memberikan padangannya terhadap revisi UU ITE, menurutnya aturan tentang
Hak untuk Dilupakan tidak dilengkapi dengan syarat dan prosedur yang memadai.
Menurut Wayhudi, penghapusan dara pribadi harusnya dibatasi dengan penentuan
jenis-jenis data pribadi yang sah untuk kemudian dilakukan penghapusan. Wahyudi
berpendapat sejumlah pra syarat pun tidak terlihat dalam rumusan UU ITE hasil revisi.
Dengan begitu, munculnya pasal yang mengatur hak penghapusan informasi terkesan
aturan tersebut sarat dengan kepentingan politik. Apalagi, pembahasan RUU ITE antara
Komisi I DPR dengan Pemerintah dilakukan secara tertutup.
Belum ada pemahaman yang kuat tentang data-data yang masuk kategori data pribadi
atau data yang bisa diakses publik. Sehingga akan menyulitkan masyarakat untuk
mengakses rekam jejak kontestan politik yang akan mereka pilih, sebab ada potensi
mereka juga akan menghilangkan sebagian rekam dan

akan menghapus ingatan

masyarakat umum atas tindakan tidak terpuji yang telah dilakukan. Meskipun secara
hukum terbebas dari sanksi pidana, namun secara moral dan etika telah melakukan
tindakan tercela, atau melanggar nilai-nilai yang hidup di masyarakat. misalnya hak asasi
manusia, lingkungan hidup, korupsi, dan lain lain. Tentunya hal ini juga dianggap dapat
mengakibatkan kurangnya efek jera pada seseorang yang melakukan suatu kasus hukum.
Jika melihat aturan Hak untuk Dilupakan di Uni Eropa, penerapannya dilakukan
secara sangat sempit, yakni khusus pada konten yang terkait dengan data pribadi.
Sehingga data-data yang dihapus tidak serta merta keseluruhan yang dianggap tidak
relevan

namun hanya data yang memang bersifat privat yang tidak seharusnya

dikonsumsi publik. Sehingga hak publik untuk tau akan suatu infomasi akan tetap
diperhatikan. Ketentuan lainnya adalah bahwa Hak untuk Dilupakan di Uni Eropa tidak
bersifat absolut atau mutlak, ada beberapa ketentuan yang telah dijelaskan dalam pasal
17 GDPR mengenai syarat-syarat Hak untuk Dilupakan sehingga dapat meminimalisir
terjadinya penyalahgunaan hukum.
14

BAB 3
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Dari pemaparan analisa diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasannya internet
telah menjadi salah satu bagian penting dalam hidup manusia. Hal ini sejalan dengan
semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia sekarang. Dan,

UU ITE hadir

menjadi payung hukum untuk menjamin keamanan dalam berinternet.
Dalam perkembangannya, UU ITE mengalami revisi, salah satunya pada pasal 26
tentang Right to be Forgotten atau Hak untuk dilupakan, yaitu hak seseorang agar datanya
dihapus dari jagat maya jika dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan dalam
perkembangan sebuah kasus. Namun, dalam pasal tersebut nampaknya masih banyak hal
yang rancu atau belum diatur secara rinci sehingga dapat menimbulkan multitafsir oleh
masyarakat dan juga dianggap mencederai Hak untuk berekspresi dan Hak untuk
mendapat informasi. Dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab menyebabkan kekacauan di masyrakat.
Untuk itu, diperlukan kembali pembaharuan hukum mengenai hal tersebut supaya
tercipta keselarasan antara Hak untuk dilupakan, Hak pribadi, Hak kebebasan
berpendapat dan Hak untuk mendapat informasi dan terwujud sebuah keadilan dalam
kehidupan masyarakat sebagai penerapan amanat Pancasila sila ke-5, yaitu “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia.”
3.2

Pesan dan Saran
Suatu peraturan memang tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu, perlu
pembaharuan lagi pada revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 pasal 26 ayat 3 dan
4. Pemerintah harus melakukan pembaharuan hukum dengan melakukan kajian
mendalam lagi terhadap pasal-pasal tersebut dan mensingkronisasikan dengan peraturan
lainnya supaya tidak bertabrakan dan dapat mengikuti perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.
Namun, pemerintah tidak akan bisa bekerja sendiri tanpa dukungan dari masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, mari kita tumbuhkan jiwa nasionalisme dan rasa peduli dalam
diri kita sehingga dapat ikut mengawal berjalannya pemerintahan dan konstitusi yang ada
secara maksimal dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
15

3.3

Daftar Pustaka
Republik Indonesia. 2016. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik.
Sudibyo, Agus. The Right to be Forgotten dalam UU ITE.
http://mediaindonesia.com/read/detail/74778-the-right-to-be-forgotten-dalam-uu-ite
(diakses 24 Maret 2018)
Hukum Online. Right To Be Forgotten dalam UU ITE.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt585783c080c40/right-to-be-forgotten-dalamuu-ite (diakses 23 Maret 2018)
Hukum Online. Mengenal ‘Right To Be Forgotten’.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-beforgotten-i-oleh--mohammad-iqsan-sirie- (diakses 27 Maret 2018)
Daily Social. Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi
Penyalahgunaan. https://dailysocial.id/post/hak-untuk-dilupakan (diakses 24 Maret 2018)

16