Hak politik perempuan menurut pemikiran Musthafa al-Siba'i
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
NOR NAJIHAH BINTI ISMAIL NIM: 109045200011
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1432 H / 2011M
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Juli 2011
(3)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 201 1. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Prograrn Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar'iyyah).
Jakada, 20 Juni 201 1
Mengesahkan,
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1.
Ketua2.
Sekretaris3.
Pembimbing I4.
Pembimbing II5.
Penguji I6.
Penguji IIDr. Asmawi. M.Ag
NIP: 197210101 99703 1 008
Afivan Faizin. MA
NIP: 19721 0262003121 00i Dr. Euis Nurlaelawati. MA
NIP: 1 97007 04199682402
Sri Hidayati" M.Ag
NIP: 1 971 0215199182402 Afwan Faizin. MA
NIP: 19721 0262003121 001
Fahmi Muhammad Ahmadi. MSi
NIP: 1 9741 2132003121002
Itas Syariah dan Hukum
(4)
(5)
i
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan
semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Selawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan
pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam.
Skripsi yang berjudul “HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT
PEMIKIRAN MUSTHAFA AL-SIBA’I” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.sy), jurusan Siyasah Syari’yyah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih
banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki penulis. Namun berkat
bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
(6)
ii
dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulisan untuk menyusun
skripsi ini.
2. Dr. Asmawi, M.Ag dan Afwan Faizin, MA selaku Ketua dan sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Sya’iyyah Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Euis Nurlaelawati, MA dan Sri Hidayati, M.Ag. selaku dosen pembimbing
penulis yang penuh kesabaran dalam memberi masukan dan saran, sehingga
skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah diajarkan
mendapat balasan dari Allah SWT.
4. Kepada seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum, seluruh staf dan
karyawan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama, dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum, akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Teristimewa buat tatapan Ibunnda Mariam Taib yang telah mendidik dan tidak
putus-putus memberi semangat kepada penulis, dan tidak lupa juga kepada
kekandaku Faris, adik-adikku wafi, rafid, najibah, dan hanif yang disayangi
serta seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala doa dan kesabarannya
atas jerih payah dan pengorbanan yang tak terhingga serta senantiasa
memberikan semangat tanpa jemu hingga anakanda dapat menyelesaikan
pengajian. Jasa kalian tetap dalam ingatan tidak ada yang dapat dipersembahkan
sebagai balasan melainkan hanya sebuah kejayaan.
6. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru
(7)
iii
Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun, Ust. Kamaruzaman, Ust. Sya’ri Zulkarnain, Ust. Asmadi, Ust. Khalil, Ustadzah Asma’, Ustadzah ‘Atikah dan seluruh juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan disini.
7. Teman-teman sahabat seperjuangan, saudari Syazwani, k.dah, k.aminah, k.su,
k.ain, an, ijah, k.azi, k.faizah, k.alfiah, hajar, baiyah, k.ngah, u.azhari, kasyah,
ridhuan, zailani, muaz, ramadhan, syamil, syukri, munir, najmi, ridhuan hamid,
farid, dan juga mantan presiden MCUJ sabri aljirani. Serta senior dan junior
k.suhaida, k.ummu, k.aisyah, k.mayah, zu, dan jannah. Juga tidak dilupakan
teman-teman lain dari Malaysia angkatan 2009/2010 dan angkatan 2010/2011
yang tidak tersebut namanya.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang
lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis
khususnya kepada semua pihak pada umumnya. Penulis menyampaikan harapan yang
begitu besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan
pembaca sekalian. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu
amalan yang baik di sisi-Nya.
Jakarta, 10 JUNI 2011 M 08 Rajab1432 H
(8)
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………..i
DAFTAR ISI………...…iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………9
D. Tinjauan Pustaka Terdahulu…….………9
E. Metode Penelitian..………..11
F. Sistematika Penulisan…….……….13
BAB II PROFIL DAN KARYA-KARYA MUSTHAFA AL-SIBA’I A. Riwayat Hidup Musthafa As-Siba’i….………..15
B. Karya- Karya Musthafa As-Siba’i……...………..……….24
1. Karya-karya Musthafa As-Siba’i Secara Umum...………….……..24
2. Karya Musthafa As-Siba’i Tentang Pemikiran Politik….………....27
BAB III HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT ISLAM A. Hak-Hak Perempuan dalam Islam………..30
B. Hak-Hak Politik Perempuan Menurut Islam………..37
(9)
v
2. Hak-Hak Politik Perempuan………....41
BAB IV HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT MUSTHAFA AL-SIBA’I
A. Hak Politik dan Permasalahannya……….…50
B. Pemikiran Musthafa As-Siba’i Tentang Posisi Wanita dalam
Berpolitik………..51
1. Hak Wanita Menjadi Kepala Negara……...51 2. Hak Memilih Wakil-Wakil Rakyat………...56 3. Hak Dipilih sebagai Ahli Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR)…………...58
4. Hak untuk Menjadi Pegawai Negeri……….…64
5. Hak Wanita dalam Memberi Kesaksian………...67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………70
B. Saran………..71
(10)
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah
Allah telah menciptakan manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan, untuk
hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberi potensi yang sama dari sisi
insaniahnya, yakni berupa potensi akal dan potensi hidup (naluri dan kebutuhan
jasmani).1 Baik perempuan maupun pria memiliki sebuah tanggungjawab terhadap
masyarakat, tempat mereka hidup. Keduanya memiliki tugas yang sama untuk
melindungi masyarakat dari polusi dan kontaminasi.2 Sebagaimana laki-laki
mengambil peran aktif dan menikmati hak-hak sosialnya, perempuan juga memiliki
tanggung jawab yang sama. Al-Quran menyatakan :
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
1Najmah Sa‟idah dan Husnul Khatimah,
Revisi Politik Perempuan ( Bogor: Cv Idea Pustaka Utama, 2003 ), Cet. Pertama, h. 149.
2
(11)
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (Q.S. an-Nisa’ 4:1).
Manusia seluruhnya berasal dari sumber yang sama, dengan demikian, tidak
seorang pun, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mengklaim superioritas atas
yang lain di alam ini.
Islam telah menggariskan hak-hak wanita yang selalu dipersoalkan corak
perjuangannya dalam seminar-seminar dan diskusi, konferensi-konferensi local dan
internasional, buku-buku majalah, dan lain sebagainya. Hak-hak wanita yang
digariskan dalam Al-Quran di antaranya adalah, perempuan pasangan kepada
laki-laki begitu juga laki-laki-laki-laki merupakan pasangan perempuan, iman seorang perempuan
dan laki-laki dinilai sama tanpa perbedaan, sama mendapat imbalan yang sesuai
dengan pandangan dan sikap serta amal kebaikannya, memiliki hak yang sama dalam
usaha memperoleh dan memiliki harta, mempunyai hak dalam memperoleh warisan.
Dalam beberapa hal menurut hukum Islam sebagaimana fiqih, hak dan
kewajiban perempuan serta laki-laki berbeda. Kelebihan laki-laki dalam hak
kepimpinan, poligami, harta warisan, dan sebagainya, diimbangi dengan kewajiban
melindungi dan menafkahi keluarga. Kelebihan perempuan pula dalam hak
memperoleh nafkah dari laki-laki dan bukan sebaliknya, diimbangi pula oleh
kewajiban tertentu, seperti merawat dan membimbing anaknya.3
3
Ibn Musthafa, Wanita Menjelang Tahun 2000 ( Bandung: Al-Bayan, 1995 ) Cet. Keempat, h. 89.
(12)
3
Begitulah pula dalam hal politik, keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain
untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di
antara mereka, sebagaimana firman-Nya :
Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan,sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintah kemakrufan dan mencegah kemungkaran. (Q.S. At-Taubah 9: 71).
Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki
Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas
politik, yaitu amar makruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegaskan lagi bahwa
sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk
berpolitik. Tidak bisa dipungkiri dan bahkan harus dipahami oleh seluruh kaum
Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa keduanya menjadi bagian dari
masyarakat atau umat yang memiliki tanggungjawab yang sama untuk ikut
menentukan arah, warna, dan pola generasi kini dan masa depan.
Oleh karena itu, boleh dikatakan picik jika orang berpandangan bahwa dunia
perempuan dibentengi oleh tirai domestik (kehidupan keluarga); cukuplah perempuan
(13)
jendela. Disadari atau tidak, hal ini bisa membawa pada penindasan hak-hak
perempuan dalam kehidupan umum (diluar rumah). Semua ini tidak akan terjadi
apabila hak dan kewajiban wanita dalam kehidupan umum dijamin dan dilindungi
oleh masyarakat maupun penguasa.4
Sejarah telah mencatat beratus-ratus nama tokoh pejuang wanita Islam.
Sejarah dan penulisan mengenai mereka begitu luas. Semuanya ditinggalkan kepada
pengkaji-pengkaji modern bagi menjelaskan kesadaran politik di kalangan wanita.
Dr. Abdul Rahman ibn Khalifah menulis dalam bukunya Fil ‘Ilmi al-Siasah al-Islami, bahwa “Sejarah politik Islam tidak hanya berkisar tentang pejuang laki-laki Islam, bahkan ia juga menceritakan penglibatan kaum wanita yang bebas bersuara
dan sangat aktif berpartisipasi dalam politik.” 5
Politikus yang terkenal dalam sejarah Islam yaitu Ummu Salamah perlu
disebutkan dalam konteks ini. Nama asli dari Umuu Salamah ialah Hindun bintu
Umaiyah. Ia merupakan salah seorang Ummu Mu‟minin, istri Rasulullah dan ahli rombongan Islam pertama yang berpindah ke Habshah, kemudian ke Madinah.
Ummu Salamah terkenal dengan ide-ide yang bernas dalam hal politik dan bijak
menyusun strategi kepimpinan.6
4
Ibid, h.150.
5
Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts Publication dan Distribution, 2008 ) Cet. Pertama. h. 21.
6
(14)
5
Ummu Salamah pernah melalui pengalaman politik bersama Rasulullah ketika
peristiwa Hudaibiyah. Ketika itu, Rasulullah berjanji dengan sahabat-sahabatnya bagi
memasuki Kota Makkah dan mengerjakan umrah. Tetapi, mereka dihalang oleh orang
Quraisy di Hudaibiyah. Dalam rundingan itu, satu perjanjian yang dikenali sebagai
perjanjian Hudaibiyah terbentuk. Perjanjian itu menyatakan orang Madinah tidak
boleh memasuki Kota Makkah pada tahun itu dan boleh menunaikannya pada tahun
berikutnya.
Keputusan Rasulullah menandatangani perjanjian ini tidak disetujui oleh para
sahabat. Rasulullah mengarahkan para sahabat bertahalul yaitu menggunting
beberapa helai rambut dan menyembelih hewan korban bagi membatalkan umrah.
Malangnya, para sahabat enggan melaksanakan perintah Rasulullah itu. Rasulullah
masuk ke dalam kemah dalam keadaan sedih karena takut Allah SWT murka ke atas
kaum Muslimin. Dalam kondisi itu, Ummu Salamah memberi nasehat agar beliau
terlebih dahulu mengganti pakaian ihram yang dipakai, bertahalul dan menyembelih
hewan korban. Justru itu Rasulullah keluar lalu bertahalul, menyembelih hewan
korban dan menukarkan pakaian ihram. Perbuatan Rasulullah diperhatikan para
sahabat lalu mereka pun turut melakukan perkara yang sama.7
Sejarah ini mencatatkan keupayaan politik seorang wanita menandingi
keupayaan beribu-ribu orang pemimpin dan prajurit laki-laki. Banyak lagi kisah lain
yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad merujuk kepada wanita dalam
7
(15)
urusan politik seperti peristiwa baiah yaitu janji setia bersama Nabi muhammad.
Wanita juga berhak berbai’ah seperti laki-laki. Hal ini sama halnya dengan hak mereka dalam perkawinan, penceraian, jual beli, dan pelbagai aspek sosial yang lain
yang diberikan sama dalam Islam.8
Yang dimaksudkan oleh penulis dengan hak politik, yaitu hak-hak yang dicari
oleh seseorang dengan menjadi anggota partai-partai politik dalam negara.
Gejala-gejala kegiatan politik dalam konteks masa kini adalah partisipasi nyata dalam
memilih penguasa, ikut serta dalam memilih wakil-wakil rakyat di dewan-dewan
legislatif. Dewan-dewan legislaif melakukan dua cabang tugas, yang pertama
membuat undang-undang dan yang kedua mengawasi tugas dewan eksekutif.
Kegiatan-kegiatan politik yang lain adalah mengemukan pendapat, pro atau
kontra, terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan dewan eksekutif dan legislatif melalui
pidato, tulisan, demokrasi, pemogokan, atau mengajukan petisi. Ikut serta dalam
kegiatan partai-partai dan kekuatan-kekuatan nasional dan juga dicalonkan menjadi
anggota DPR dan dewan legislative merupakan hak-hak politik lain dari wanita.9
Menurut ringkasan dari keterangan Muhammad Ali Kuthub dalam bukunya
“Bai’atun –Nisaa’” dapat disimpulkan, bahwa wanita dalam Islam mempunyai
kesempatan untuk terjun dalam lapangan politik dan menduduki jabatan-jabatan
politik, baik itu sebagai hak kaum wanita atau sebagai kewajiban mereka. Dalam hal
8
Ibid., h. 23.
9
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ahfi ‘Ashrir Risalah. Chairul Majid, Kebebasan Wanita ( Jakarta: Gema Insani , 1997 ), Cet. Pertama, h. 527.
(16)
7
menduduki jabatan politik ada suatu pengecualian bagi kaum wanita, yaitu tidak
bolehnya kaum wanita menduduki jabatan “Imamah Kubra”, yaitu pejabat tertinggi
negara yang berkuasa, seperti misalnya kepala negara, raja, perdana menteri, dan
lain-lain predikat yang dipakainya, pokoknya yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara.10
Berkenaan dengan hal ini, seorang pemikir Islam, Dr. Musthafa al-Siba‟i berkata:
“ Setelah berdiskusi dan bertukar pendapat, kami berkesimpulan bahwa Islam tidak melarang wanita menggunakan hak pilihnya. Pemilu adalah pemilihan rakyat terhadap wakil-wakil yang menggantikan mereka dalam membuat undang-uandang dan mengawasi pemerintah. Proses pemilu adalah proses ketika seseorang pergi ke pos pemilihan. Di situ dia memberikan suaranya untuk orang yang dipilihnya sebagai wakilnya di DPR. Wakil-wakil ini akan berbicara di DPR atas namanya serta untuk membela dan memperjuangkan hak dan kepentingannya. Di dalam Islam, perempuan tidak dilarang menunjuk seseorang untuk mewakilinya dalam memperjuangkan hak dan menyalurkan aspirasinya sebagai salah seorang warga masyarakat..” 11
Sebagai seorang tokoh, Musthafa As-Siba‟i merupakan sosok yang menarik untuk dianalisis mengenai pemikiran tentang hak politik perempuan. Ini karena ia
menjelaskan bahwa perempuan itu telah diberikan hak dalam politik oleh Islam, hak
memilih dalam pemilu dan hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat, akan tetapi di
akhir kesimpulannya ia berpendapat kaum wanita itu tidak perlu menggunakan hak
10
Achmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam ( Semarang : CV Toha Putra, 1984 ) Cet. Pertama, h. 166.
11
Musthafa As-Siba‟i, Al-Mar’ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita diantara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama. h, 222.
(17)
ini karena beberapa faktor yang berkaitan dengan masalah sosial. Hal ini adalah
merupakan pandangannya berkaitan dengan penilaiannya terhadap kondisi msyarakat
Suriah ketika itu.
Dengan demikian, dalam meneliti hak-hak perempuan dalam berpartisipasi
politik, penulis berminat membahas dari sudut pandang Dr. Musthafa al-Siba‟i. Ia
merupakan seorang ulama‟ kontemporer yang kuat motivasinya dalam membela
akidah dan prinsip. Ia memiliki pengaruh yang besar dan peran yang nyata dalam
melayani problematika Islam dan Arab. Maka dengan ini, penulis terdorong untuk
menganalisa lebih mendalam melalui penelitian skripsi dengan judul, “Hak Politik
Perempuan Menurut Pemikiran Musthafa Al-Siba’i.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dan keluar dari pembahasan ini, maka
penulis membatasi ruang lingkup mengenai hak perempuan dalam berpolitik menurut
syariat yang telah ditetapkan, dan juga apa saja pemikiran Dr. Musthafa al-siba‟I yang berkaitan dengan hak wanita dalam berpartisipasi politik.
2. Perumusan Masalah
Agar pembahasan ini bersifat komprehensif dan terfokus, maka akan
dirumuskan dalam pokok masalah berbentuk pertanyaan yaitu :
(18)
9
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemikiran politiknya ?
C. Tujuan dan manfaat penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan di atas, maka yang
menjadi tujuan utama ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pemikiran atau pandangan Dr. Musthafa al-Siba‟I tentang hak-hak perempuan dalam politik.
2. Untuk mengetahui secara jelas apa faktor-faktor yang mempengaruhi
pemikiran Musthafa As-Siba‟i.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Secara akedemis untuk mendapat jawaban-jawaban terhadap pelbagai
persoalan mengenai sejauhmana perempuan itu dibenarkan aktif dalam
berpolitik.
2. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan
khususnya dibidang ketatanegaran Islam.
D. Tinjauan Pustaka Terdahulu
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan,
baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkajinya secara umum
yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini adalah tinjauan umum atas
(19)
Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Shayuthy
Abdul Manas yang berjudul “ Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik”.12Buku ini menjelaskan hak-hak perempuan dalam berpartisipasi dalam politik dan
batas-batas mereka dalam dunia politik, juga memaparkan tokoh politik perempuan yang
mempunyai peran-peran yang tersendiri dalam sejarah Islam. Sekaligus menyadarkan
kaum perempuan, tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam kancah politik.
Penelitian lain tentang isu ini dilakukan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah
dalam bukunya yang berjudul “Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah”.13 Buku ini secara umum menguraikan tentang peranan wanita muslimah dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan dan politik. Secara jelasnya ia cuba menyahuti sejumlah
problematika kewanitaan (muslimah) seperti contoh, etika peran wanita Muslimah
dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan laki-laki, keterlibatan dalam
bidang profesi dan syari‟atnya, serta keterlibatan mereka dalam kegiatan politik. Selain dari dua penelitian yang tersebut di atas terdapat juga penelitian lain
yang dilakukan oleh Sufian Harun yang berjudul “ Gerakan Politik Wanita Muslimah
di Negara bagian Kelantan “.14 Penelitian ini membahaskan tentang gerakan politik wanita Muslimah di negara bagian Kelantan dalam menfokuskan peran dan
12
Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik (Selangor : Pts Publication dan Distribution, 2008) Cet. Pertama
13
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah ( Kuwait: Darul Qalam, 1990 ), Cet. Pertama.
14Mohd Sufian Bin Harun “
Gerakan Politik Wanita Muslimah Di Negara bagian Kelantan” ,
(20)
11
partisipasi wanita dalam gerakan dewan Muslimah di Kelantan. Beliau juga
menjelaskan secara ringkas tentang hak dan kedudukan perempuan dalam Islam, dan
kewajiban partisipasi politik mereka menurut Al-Quran.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Recearch). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan
dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya
sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini
dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan
menganalisis data-data secara kualitatif.
2. Obyek Penelitian
Yang menjadi obyek dalam penelitian adalah pemikiran-pemikiran Musthafa
al-Siba‟i tentang politik perempuan yang berkaitan dengan hak-hak mereka dalam kiprah politik zaman modern, dan sejauhmana mereka ini dibenarkan menjabat
jabatan dalam bidang eksekutif, legislatif dan juga yudikatif.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan
(21)
dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer
dan sekunder.
4. Sumber Data
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpul
data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder. Adapun rincian
masing-masing sumber adalah data primer dan sekunder.
a. Data Primer
Sumber data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber yang
pertama dan obyek penelitian, yaitu buku karangan Dr. Musthafa al-Siba‟i yang berjudul Wanita Di antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan,15 yang
membicarakan perihal hukum-hukum perempuan dalam Islam dan juga kiprah
mereka dalam politik.
b. Data Sekunder
Sedangkan data sekunder adalah data yang di perolehi dari sumber kedua atau
sumber pendukung dari data yang diperolehi dari data yang kita butuhkan. Data ini
akan di dapatkan dalam bentuk buku-buku, dokumen, literatur-literatur serta website,
dan juga kamus, jurnal, artikel, dan lain-lain yang berkaitan dengan obyek penelitian.
5. Metode Perbahasan
Data yang terkumpul, baik data primer atau sekunder yang didapatkan oleh
penulis, diproses dan diolah dengan menggunakan metode deskriptif dan analitis. Di
15
Musthafa As-Siba‟i, Al-Mar’ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
(22)
13
mana data-data yang terkumpul bersifat pengamatan dari awal hingga akhir yang
menampilkan fakta melalui tehnik pengumpulan data dengan cara penelitian
kepustakaan yaitu dengan melakukan penelasuran literature atau buku-buku rujukan
serta data dari internet yang berkaitan dengan topik pembahasan.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab. Setiap bab terdiri dari
beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi
ini, sebagai berikut :
Bab I, bab ini berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II akan membahas tentang riwayat hidup, perjalanan intelektual, serta
karya-karya tokoh Dr. Musthafa al-Siba‟i secara umum dan tentang pemikiran politiknya.
(23)
Bab III akan menjelaskan tentang hak-hak perempuan dalam islam dan
hak-hak perempuan dalam politik, sejauhmana perempuan dibenarkan berpolitik
dalam Islam.
Bab IV akan mengemukan pemikiran-pemikiran Dr. Musthafa al-Siba‟i tentang hak-hak perempuan dalam berpartisipasi politik.
Bab V merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran
(24)
15 BAB II
PROFIL DAN KARYA-KARYA MUSTHAFA AS-SIBA’I A. Riwayat Hidup Musthafa As-Siba’i
Musthafa Husni As-Siba‟i lahir di Kota Himsh, Suriah, tahun 1915. Ia besar di lingkungan keluarga ilmuwan terpandang, terkenal dengan keluasan ilmu, dan
melahirkan ulama sejak ratusan silam. Ayah dan kakeknya penanggung jawab
khutbah di Masjid Jami‟ megah di Himsh, dari generasi. Ia terpengaruh dengan
ayahnya, ulama mujahid, dan khatib memukau, Syaikh Husni Al-Siba‟i. Ia mengukir sikap-sikap kepahlawanan mengagumkan melawan kaum penjajah. Ia melawan
mereka dengan jiwa, tenaga, dan harta.
Musthafa As-Siba‟i menemani ayahnya di majelis-majelis ilmu yang dihadiri ulama-ulama Himsh, seperti Thahir Ar-Raes, Said Al-Maluhi, Fariq Al-Atasi, dan
Raghib Al-Wafa‟i. Ketika ia meminang seorang gadis, keluarga yang mengiringinya mengatakan kepada pihak keluarga putri bahwa Musthafa As-Siba‟i orang yang mneyibukkan sebagian besar waktunya untuk menangani tugas dakwah Islam. Ini
agar mereka tahu hal ini tidak timbul masalah di kemudian hari. Mereka menerima
pinangannya.1
1
Abdullah Al-„Aqil, Mereka Yang Telah Pergi ( Jakarta Timur : Al-I‟Tishom Cahaya Umat 2010) Cet. 1, h. 485.
(25)
Ia berpartisipasi dalam perlawanan terhadap penjajah Prancis Suriah. Ia
membagi-bagikan selebaran, berpidato, dan memimpin demonstrasi di Himsh ketika
usia enam belas tahun. Ia ditangkap orang-orang Prancis untuk pertama kalinya tahun
1931, dengan tuduhan membagi-bagikan selebaran anti politik Prancis di Himsh. Ia
ditangkap kedua kalinya oleh orang-orang Prancis disebabkan pidato-pidato agitatif
yang ia sampaikan untuk menentang politik dan kolonialisme Prancis. Pidato
terakhirnya ialah khutbah Jumat di Masjid Jami‟ terbesar di Himsh, dan melepaskan tembakan ke arah orang-orang Prancis sebagai pembalasan atas kejahatan mereka.
Tahun 1933, Musthafa As-Siba‟i pergi ke Mesir untuk kuliah di Al-Azhar. Di sana, ia berperan aktif bersama Ikhwan Muslimin Mesir di berbagai demonstrasi
menentang penjajahan Inggris tahun 1941. Ia ikut mendukung revolusi Rasyid
Ali-Kailani di Irak melawan Inggris. Ia ditahan pemerintah Mesir, atas instruksi Inggris,
bersama sejumlah rekan mahasiswa, yaitu Masyhur Adh-Dhamin, Ibrahim
Qathan, Hasyim Khazandar, Faris Hamdani, Ali Ad-Duwaik, dan Yusuf
Al-Masyari. Mereka mendekam di rumah tahanan kurang lebih selama tiga bulan,
kemudian dipindah ke penjara Sharfanda di Palestina dan mendekam di sana selama
empat bulan. Setelah itu, mereka dibebaskan dengan jaminan.2
1. Keterlibatan Musthafa As-Siba‟i dalam Ikhwanul Muslimin
Ketika kuliah, Syaikh Musthafa As-Siba‟i berkenalan dengan As-Syahid Hasan Al-Banna, Musyid „Am Ikhwanul Muslimin Mesir. Hubungan keduanya
2
(26)
17
terjalin dengan baik, bahkan setelah kepulangannya ke Suriah. Para ulama, dai, dan
tokoh-tokoh lembaga-lembaga Islam dari berbagai provinsi di Suriah berkumpul dan
memutuskan menyatukan barisan mereka dan berjuang di satu jamaah. Lalu,
berdirilah jamaah Ikhwanul Muslimin untuk seluruh wilayah negara Suriah. Delegasi
Mesir yang hadir di pertemuan tahun 1942 ini ialah Ustadz Said Ramadhan. Tiga
tahun setelah peristiwa itu, yakni tahun1945. Semua peserta pertemuan memilih
Ustadz Musthafa As-Siba‟i sebagai Muraqib ‘Am Ikhwanul Muslimin Suriah.3
Musthafa As-Siba‟i kembali ke Suriah untuk memasuki perang baru melawan kerusakan di internal masyarakat, membina umat untuk mengikuti manhaj Islam yang
benar, dan manhaj Ikhwanul Muslimin yang kompeten dengan pembinaan pribadi,
keluarga, dan masyarakat Muslim, agar membuah hasil, yaitu tegaknya pemerintahan
Islam yang memberlakukan syariat Allah, menerapkan hukum-hukum-Nya,
memelihara kemaslahatan negara dan bangsa.
As-Siba‟i dan rekan-rekan berupaya memasukkan materi-materi tarbiyah Islamiyah di kurikulum pendidikan. Ia berusaha membuka Fakultas Syariah di
Universitas Suriah tahun 1955 dan menjadi dekan untuk pertama kalinya. Ia mulai
merintis penyusunan ensiklopedia fiqih Islam yang melibatkan ulama dari penjuru
dunia Islam untuk menyajikan fiqih Islam dengan format baru, yang mampu
menerapi problematika zaman dan memecahkan permasalahannya berdasarkan
Al-Quran, Sunnah, fiqih Ulama Salaf, dan ijtihad ulama kotemporer yang memiliki
3
(27)
sarana dan perangkat untuk berijtihad. Ia dipilih menjadi ketua pertama untuk
penyusunan ensiklopedia ini.4
Damaskus memilih Musthafa As-Siba‟i sebagai wakil mereka di Dewan Konstituante tahun 1949, padahal ia orang Himsh. Hanya dalam beberapa tahun saja,
sejak domisilinya di Damaskus, kariernya dengan cepat menanjak sebagai anggota
parlemen rakyat yang paling menonjol. Karena ia gema hakiki yang mengekspresikan
harapan dan penderitaan rakyat, suara menggema yang menyuarakan kebenaran tanpa
basa-basi, menentang kebatilan tanpa kompromi, menjauhkan diri dari politik dagang
sapi dan mencari keuntungan pribadi tanpa tawar menawar. Semua pandangan tertuju
kepadanya dan hati simpati padanya. Ia dipilih sebagai wakil ketua Dewan dan
menjadi anggota yang menonjol di komisi perundang-undangan. Ia diberi
tawaran-tawaran menggiurkan untuk masuk ke Departemen pemerintah, namun menolak,
karena lebih memprioritaskan perjuangan rakyat dan hidup untuk memecahkan
permasalahan masyarakat dan problematikanya. Ia menjadi anggota komisi
perundang-undangan dan salah seorang dari sembilan anggota yang menuliskan
rancangan undang-undang.5
Musthafa As-Siba‟i memimpin perang membela Al-Quran di ruang sidang parlemen dan memimpin demonstrasi di Damaskus demi undang-undang. Ia dan
4
Ibid, h. 491.
5
(28)
19
rekan-rekan berhasil menjauhkan karakter sekular dari undang-undang dan
mengukuhkan karakter Islan pada sebagian besar hukum-hukum primer tahun 1950.
Pada tahun yang sama (1950 M), Musthafa As-Siba‟i dinobatkan sebagai guru besar Fakultas Hukum Universitas Suriah. Tahun 1951, ia menghadiri muktamar
umum Islam di Pakistan dan dihadiri perwakilan dari penjuru dunia Islam. Pada tahun
yang sama, ia pergi ke Makkah guna melaksanakan ibadah haji untuk kedua kalinya.
Pada tahun 1952, ia dan rekan-rekan mengajukan tuntutan kepada pemerintah Suriah
agar memberi izin kepada mereka untuk berpartisipasi bersama saudara-saudara
mereka di Mesir dalam rangka memerangi Inggris di Terusan Suez. Tentu saja
tindakan yang dilakukan pemimpin pemerintah Suriah, Adib Asy-Syaisyakali, ialah
memerintah pembubaran Jamaah Ikhwanul Muslimin dan penangkapan Musthafa
As-Siba‟i dan reka-rekannya serta menjebloskan mereka ke penjara. Dilanjutkan perintah pemecatan Musthafa As-Siba‟i dari Universitas Suriah dan dideportasi ke Libanon.
Pada tahun 1953 diselenggarakan muktamar umum Islam di Al-Quds dan
dihadiri wakil Ikhwanul Muslimin dari seluruh negara, lembaga dan wakil
negeri-negeri Muslim. Pada tahun ini juga, Musthafa As-Siba‟i berkunjung ke Mesir, dan untuk pertama kalinya bersama bertemu Yusuf Al-Qaradhawi, Ahmad Al-Assal, dan
Muhammad Ad-Damardasy.6
6
(29)
Pada 1954, Musthafa As-Siba‟i menghadiri Muktamar Islam Kristen di Kota Hamdun, Libanon, untuk mengcounter musuh-musuh Islam dari kalangan orientalis
dan orang-orang Kristen. Ia juga menghadiri pertemuan di Libanon atas undangan
Ustadz Hasan Al-Hudhaibi, Musyid „Am Kedua Ikhwanul Muslimin di negara-negara Arab. Delegasi Mesir yang mengiringi Ustadz Hasan Al-Hudhaibi adalah Abdul
Hakim Abidin, Said Ramadhan, Shalih Abu Raqiq, dan Munir Dallah. Dari Suriah
Musthafa As-Siba‟i, dari Yordania Muhammad Abdur Rahman Khalifah. Dari Sudan, Ali Thalibullah. Dari Irak, Muhammad Mahmud Ash- Shawwaf. Dan, dari Kuwait,
Abdul Aziz Al-Muthawwi‟.
Setelah kepulangan Hasan Al-Hudhaibi ke Mesir dan penangkapanya bersama
Ikhwanul Muslimin yang dilakukan rezim militer yang berkuasa di sana, Ikhwanul
Muslimin di seluruh negara Arab membentuk dewan pelaksana yang diketuai
Dr.Musthafa As-Siba‟i. Pada tahun 1955, Dr.Musthafa As-Siba‟i pergi bersama dosen dan mahasiswa Universitas Suriah ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji,
yaitu ibadah haji ketiga baginya.7
Pada tahun yang sama, bersama rekan-rekannya, Musthafa As-Siba‟i menerbitkan majalah mingguan Asy-Syihab, yang bertahan terbit hingga
disepakatinya persatuan dengan Mesir tahun 1958. Tahun yang sama (1955), Ia
memperoleh izin menerbitkan majalah bulanan Al-Muslimun setelah penerbitannya
di Mesir berhenti. Majalah ini terbit di Damaskus sampai tahun 1958 saja, lalu beralih
7
(30)
21
pada pemiliknya yang asli, Dr.Said Ramadhan di Jenewa Swiss. Sebagai gantinya
Musthafa As-Siba‟I menerbitkan majalah bulanan Hadharatul Islam, yang ia kelola hingga meninggal dunia. Setelah itu, pengelolaan majalah diserahkan kepada Adib
Ash-Shalih di Damaskus, tapi setelah itu terhenti.
Pada tahun 1956, dilaksanakan Muktamar Islam Di Damaskus. Pada tahun
yang sama, Musthafa As-Siba‟i diutus Universitas Suriah melakukan perjalanan ke negara-negara Barat guna mengunjungi universitas-universitas Barat dan melihat
kurikulum studi Islam disana. Ia mengunjungi Itali, Inggris, Irlandia, Belgia, Belanda,
Denmark, Norwegia, Swedia, Polandia, Jerman, Swiss, dan Prancis. Di sana, ia
bertemu kaum orientalis, mendiskusikan karangan mereka tentang Islam, dan
menyingkap kesalahan-kesalan mereka, baik secara ilmiah atau historis.
Tahun 1957, Musthafa As-siba‟i bersama dekan di berbagai fakultas Universitas Suriah melakukan perjalanan ke Rusia atas undangan Universitas
Moskow. Di perjalanan ini, ia mengunjungi sebagian besar universitas Rusia di
daerah, bertemu dosen studi ketimuran, sejarah, dan sosial, dan berdiskusi dengan
mereka, membantah pendapat mereka, dan mematahkan klaim mereka yang salah
tentang Islam dan kaum Muslimin.8
8
(31)
2. Masa-masa produktif
Uniknya, masa sakit Musthafa As-Siba‟i yang penuh dengan penderitaan dan kesulitan justru menjadi masa paling produktif sepanjang hidupnya disisi ilmiah.
Sehari sebelum ia wafat, ia ingin menulis tiga buku yaitu Al-Ulama‟ Al-Auliya‟, Al
-Ulama‟ Al-Mujahidun, dan Al-Ulama Asy-Syuhada‟.9
Pada tahun 1964, As-Siba‟i ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji keempat kalinya, waktu itu ia menderita penyakit kronis dan mematikan yang sudah
lama ia derita. Selama tujuh tahun As-Siba‟i menderita lumpuh pada sebagian tubuhnya termasuk tangan kirinya, tetapi beliau sabar, pasrah terhadap ketentuan
Allah, ridha terhadap hukum-Nya. Walaupun lumpuh sebagian tubuhnya tidak
menghalangi beliau untuk berdakwah dan membina umat. Ia tidak hanya pintar dalam
menulis, ahli dalam pidato, beliau juga mempraktekkan kewajiban agama dengan
ikhlas dan mengharapkan ridha Allah, padahal kondisi tubuhnya sudah uzur karena
lumpuh dan sakit yang diderita.10
Ada perkataan yang menarik dari Dr. Husni Huwaidi tentang kondisi
As-Siba‟i waktu sakit:
9
Ibid., h.479.
10
Ferry Nur, “Syekh As-Siba‟i: Pejuang Palestina dari Suriah”, artikel diakses 07 Disember dari 2010 http://walausetitik.blogspot.com.
(32)
23
“Saya melihatnya ketika sakit, bersandar pada tongkat, berjalan di pagi dan
petang hari menuju masjid, pada saat orang-orang sihat dan kuat enggan pergi ke masjid. Betapa sedikitnya orang sakit dan lumpuh, namun ia lebih kuat dari pedang terhunus. Kelestariannya dalam jihad, betapapun ia lumpuh, menderita sakit jantung dan hipertensi, tidak lain dalil nyata dan hujjah jelas bahawa karakter orang ini ialah jihad dan tabiatnya perjuangan, nalurinya
pengorbanan, fitrahnya keberanian dan patriotisme. Bagaimana mungkin riya‟
mendapatkan peluang menyusup ke hatinya, futur menemukan jalan mengusik jiwanya dan keraguan menemukan lorong merusak tekadnya? Maha suci Allah yang memberi karunia kepadanya lalu ia mensedekahkannya dan menimpakan ujian kepadanya lalu menjadikannya redha pada ujian.”11
3. Pulang ke Rahmatullah
Pada hari Sabtu 20 Jamadil Awal 1384 bersamaan 3 Oktober 1964, beliau
telah pergi menemui Tuhannya setelah seluruh hidupnya berjuang untuk meninggikan
kalimah Allah di atas muka bumi ini. Setelah berita kematian tersebar di seluruh
Suriah, seluruh rakyat datang untuk menziarahinya namun dihalang oleh pihak
pemerintah untuk mereka untuk masuk ke Damsyik. Kematian beliau merupakan
kehilangan besar bagi rakyat Suriah dan aktivis pergerakan Islam. Beristirehatlah
jasad beliau tapi pemikirannya dan semangat perjangan terus subur di kalangan umat
Islam. Antara kata-kata hikmah beliau :"Hidup ini perlu kaya dengan
pekerjaan-pekerjaan yang agung dan pendek angan-angan."12
11
Husni Huwaidi sebagaimana dikutip oleh Abdullah Al-„Aqil, Mereka Yang Telah Pergi ( Jakarta Timur : Al-I‟Tishom Cahaya Umat 2010) Cet. 1, h. 498.
12
Musthafa As-Siba‟i sebagaimana dikutip oleh Abu Ridhwan, “Mengenali kisah hidup perjuangan Musthafa Al-Siba‟iyy (1915-1964)”, artikel diakses pada 10 Oktober 2010 dari http://tarbiyyahpewaris.blogspot.com.
(33)
Mufti Palestina, Haji Muhamad Amin Husain menyifatkan kematian
As-Siba‟i merupakan kehilangan besar karena beliau merupakan seorang yang alim, mujahid, ulamak dan pendakwah yang terkenal dengan ikhlas dan benar serta kuat
keazaman. Beliau seorang yang gigih dalam memperjuangkan isu-isu umat Islam dan
mempertahankannya termasuk mempertahankan Baitul Maqdis pada tahun 1948.
Semasa Abu Hassan al-Nadwi melawat Suriah pada tahun 1951 untuk menyampaikan
ceramah kepada Musthafa As-Siba‟i dan beliau mengiringi Al-Nadwi untuk menyampaikan ceramah kepada aktivis-aktivis Ikhwan di Suriah dan melawat
tempat-tempat bersejarah di sana.13
B. Karya-Karya Musthafa As-Siba’i
Dr. Musthafa As-Siba‟i memiliki pengalaman yang luas di dunia tulis menulis. Ia ulama peneliti dan ahli fiqih mujtahid yang menguasai fiqih Islam dari
sumber-sumbernya yang terpercaya, mengkaji permasalahan-permasalahan zaman
yang terus bermunculan, dan menganalogikannya dengan hukum-hukum yang ada
pijakannya di Al-Quran, Sunnah, dan ijma‟ ulama salaf.
1. Karya-karya Musthafa As-Siba’i Secara Umum
Musthafa As-Siba‟i memiliki pengalaman luas di dunia tulis-menulis. Ia ulama peneliti dan ahli fiqih mujtahid yang menguasai fiqih Islam dari
sumber-sumbernya yang terpercaya, mengkaji permasalahan-permasalahan zaman yang terus
13
(34)
25
bermunculan, dan menganalogikannya dengan hukum-hukum yang ada pijakannya di
Al-Quran, Sunnah, dan ijma‟ ulama salaf. Berikut adalah merupakan beberapa karya yang dapat penulis jelaskan secara ringkas.
Buku As Sunnah wa makanatuha fit tasyri’il Islam14 yaitu sunnah dan kedudukannya dalam legislasi Islam. Merupakan salah satu bukunya yang
menjelaskan kedudukan sunnah nabi terhadap Islam serta menyanggah
pendapat-pendapat para pendusta sunnah dan pengikut kaum orientalis, terutama Goldziher
yang mendapat bagian pertama dari sanggahan-sanggahannya.
Buku lain adalah Min rawa’i hadharatina15 yaitu mutiara peradaban kita. Dalam karya ini, As-Siba‟i ingin membuktikan bahwa aspek-aspek kemanusiaan yang abadi dalam peradaban kita labih kuat dan lebih indah, dan juga beliau ingin
menolak fitnah orang-orang yang mendakwakan bahwa peradaban Islam mempunyai
keaiban dan kekurangan. Lewat tulisannya ini juga ingin menggagalkan makar
orang-orang yang berupaya memalingkan perhatian generasi baru kita dari mutiara pusaka
kita di bidang peradaban.
Selain kedua buku tersebut, terdapat buku lain yaitu buku Syahrul qanunil
ahwalis syakhshiyyah16 yaitu penjelasan undang-undang pribadi yang terdiri dari tiga
14
Musthafa As-Siba‟i,As Sunnah wa makanatuha fit tasyri’il Islam ( Beirut : Maktab Al-Islam, 1985 ) Ct. Pertama.
15
Musthafa As-Siba‟i, Min rawa’i hadharatina ( Beirut : Darul Irsyad, 1968 ), Cet. Pertama.
16
Musthafa As-Siba‟i, Syahrul Qanunil Ahwalis Syakhshiyyah ( Damsyik: Maktab Al-Islami, 1966 ), Cet. Pertama.
(35)
bagian dan buku-buku lain mengenai topik ihwal pribadi, seperti syar’iyyatul Irtsiwa Ahkamuhu ( legalitas warisan dan hukum-hukumnya), Ahkamuz Zawaji wa Inhilalihi
( hukum-hukum perkawinan dan pemutusannya ), Ahkamul Ahliyyah wa Washiyyah (
hukum-hukum keluarga dan wasiatnya ), dan Al-Washaya wal Faraidh (
wasiat-wasiat dan pembagian warisan ).
Buku lain lagi adalah buku Al-Istisyraq wal Mustsyriqun yaitu membongkar
kepalsuan orientalis17. Lewat buku ini, Musthafa As-Siba‟i berusaha memberi gambaran tentang langkah-langkah yang diambil oleh para orientalis dalam
menghancurkan Islam serta sarana-sarana yang dipakai untuk merialisasikan tujuan
tersebut. Kandungan buku ini terdiri dari dasar-dasar kajian orientalis, juga
memaparkan para orientalis masa kini yang berbahaya dan karya-karyanya.
Karya ilmiah Musthafa As-Siba‟i masih banyak, antara lain adalah seperti
Udhma’una fit Tarikh, Al-Qalaid min Faraidil Fawaid, Durus fi Da’watil Ikhwanil Muslimin, Ahkamush Shiyam wa Falsafatuh, Ad-Din wa Daulah fil Islam, Nidhamus Silmi wa Harbi fil Islam, Hadza Huwal Islam, Istisyraq wal Mustsyriqun, Al-Murunah wat Tathawwur fit Tasyri’ Al-Islami, Manhajuna fil Islah, Al-Alaqat bainal Muslimin wal Masihiyyin fit Tarikh, At-Takaful Al-Ijtima’i fil Islam, Jihadunal fi Filisthin, Masyru’iyyatul Irtsi wa Ahkamuh, Alam wa Amal, Ash-Shira’ bainal Qalbi
17
Musthafa As-Siba‟i,Al-Istisyraq wal Mustsyriqun. Penerjemah Ibnu Burdah, Membongkar Kepalsuan Orientalisme ( Jakarta: Mitra Pustaka 1997 ), Cet. Pertama.
(36)
27
wal Aqli, Ashdaqul Ittijahatil Fikriyyah fisy Syarqil Arabi, dan Muqqadimaat
Hadharatil Islam.18
2. Karya Musthafa As-Siba’i Tentang Pemikiran Politik
Buku pertama adalah Isytirakiyyatul Islam yaitu kehidupan sosial menurut
Islam (sosialisme Islam).19 Buku ini merupakan usaha ia dalam memberi gambaran
perbaikan pada seluruh masyarakat Islam dalam membentuk sebuah negara atau
sebuah masyarakat yang lebih maju dari segi ekonomi, politik, dan juga sosial
masyarakatnya yang berlandaskan syari‟at Islam. Sosialisme Islam merupakan sebuah sistem yang lebih menjamin masyarakat Islam yang lebih terdepan lagi. Lewat
tulisan ini ia telah memberi kupasan yang sangat mendalam, meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia tentang hak-hak asasi bagi setiap warga negara, undang-undang
yang menjamin berlakunya hak-hak itu serta penertiban jalannya, undang-undang
yang menjamin terwujudnya perlindungan masyarakat, dan pengokoh-pengokoh yang
dapat menegakkan terlaksananya undang-undang dan peraturan-peraturan
sebagaimana yang telah digariskan.
As-Siba‟i menyatakan bahwa kehidupan sosial menurut Islam menghendaki supaya rakyat bekerjasama dengan pemerintah untuk merialisasikan perlindungan
masyarakat, misalnya dalam peraturan nafkah keluarga dan lain-lain. Oleh sebab itu
18
Abdullah Al-„Aqil, Mereka Yang Telah Pergi, h. 496.
19
Musthafa As-Siba‟i Isytirakiyyatul Islam. Penerjemah M. Abdai Ratomy Kehidupan Sosial Menurut Islam ( Bandung: C.V. Diponegoro 1993 ), Cet. Keempat.
(37)
keuntungannya adalah amat banyaknya, seperti meringankan beban negara dalam
neraca keuangannya, mengekalkan rasa ikatan yang didasarkan kepada kecintaan dan
kemesraan, juga untuk mempererat tali kekeluargaan antara seluruh umat. Islam juga
menetapkan bahwa pemerintah, negara serta seluruh alat-alatnya dan
golongan-golongan yang sedang berkuasa wajib tunduk kepada kehendak rakyat. Jadi ianya
berbeda dengan sosialisme ala komunis, yang mengharuskan rakyat supaya tunduk
dan patuh selalu kepada kemauan golongan kecil yang berkuasa.20
Buku yang kedua adalah Al-Marah bainal Fiqhi walQanun21 yaitu wanita di
antara fiqih dan undang-undang. Yang mana buku ini menerangkan bahwa toleransi
Islam dalam sikapnya terhadap wanita dan hak-hak yang ditetapkan baginya termasuk
hal-hal yang sesuai dengan tabiatnya. Musthafa As-Siba‟i menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang telah diproklamirkan oleh Islam dan dikumandangkan oleh
Rasulullah s.a.w. mengenai wanita, yang mana Islam telah menempatkan wanita itu
pada tempat yang sesuai untuk dirinya dalam tiga bidang pokok yaitu bidang
kemanusiaan, bidang sosial, dan bidang hak milik. Jelas ia lagi, terdapatnya beberapa
perbedaan antara laki-laki dan wanita, seperti dalam status sebagai saksi, dalam
masalah warisan, masalah tebusan wanita, dan hal menjadi kepala negara.
20
Ibid, h. 315.
21
Musthafa As-Siba‟i, Al-Mar’ah bainal Fiqh wal Qanun ( Damsyik: Al-Maktab Al-Islami, 1984 ), Cet. Keempat.
(38)
29
Dalam bahagian kedua buku ini, As-Siba‟i membahas tentang hukum keluarga, yaitu dalam soal perkawinan, masalah poligami,dan masalah thalaq. Ia juga
mengupas soal hak wanita dalam bidang politik, dan juga membicarakan tentang
bidang sosial, yaitu hak belajar, masalah wanita yang bekerja, dan bagaimana
(39)
30
BAB III
HAK POLITIK PEREMPUAN MENURUT ISLAM
A. Hak-Hak Perempuan dalam Islam
Di dalam ajaran Islam tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan wanita.
Namun wanita itu dipandang sebagai mitra sejajar laki-laki yang harmonis. Tidak
ada perbedaan kedudukan laki-laki dan wanita, baik sebagai individu hamba Allah,
sebagai anggota keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat. Begitu pula halnya
dalam hak dan kewajiban. Kalaupun ada perbedaan, itu hanyalah karena akibat fungsi
dan tugas utama yang dibebankan kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga
perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu memiliki kelebihan atas yang
lain, di mana fungsi dan tugas utama mereka itu sama-sama penting dan semua
dibutuhkan, karena saling menyempurnakan serta bantu membantu dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban.1
Sesungguhnya standar kemuliaan dan ketinggian yang dicapai oleh wanita
adalah sejauh mana ia menikmati kedudukan dan hak-hak yang dapat menjaganya,
memuliakannya, melindunginya, dan menghargainya. Islam telah memberikan
hak-hak kepada wanita yang secara umum meliputi tiga hak-hak yaitu hak-hak-hak-hak kemanusiaan,
hak ekonomi, dan hak-hak sosial.
1
Huzaemah Tahido, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita: Tuntunan Islam tentang Kemitrasejajaran Pria dan Wanita (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1999), Cet. Ke-2, h. 77.
(40)
31
1. Hak-hak Kemanusiaan.
Hak-hak yang terrkait dengan kemanusiaan adalah pertama hak yang hidup;
sebagaimana firman Allah SWT:
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya denga (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. (Q.S : Al- Nahl 16: 58-59).
Sehubungan dengan ayat tersebut, maka kelahiran bayi perempuan seharusnya
disambut dengan hati senang, tidak dibunuh. Pada masa jahiliyyah sebagian bangsa
Arab sangat membenci bayi perempuan, bahkan mereka tidak segan-segan
menguburnya hidup-hidup kendati ia berasal dari darah dagingnya, karena rumor
kesusahan dan kesengsaraan yang akan muncul dari anak perempuan. Dan ayat
tersebut menunujukkan bahwa membunuh dan mengubur hidup-hidup bayi
perempuan merupakan tindakan yang dilarang Islam. Hal ini tersirat dengan adanya
pemberian hak untuk hidup bagi perempuan di dunia ini.
Hak yang kedua adalah persamaan antara laki-laki dan wanita dalam
(41)
agama serta balasan yang diberikan antara laki-laki dan perempuan tidak ada
perbedaan. Menurut „Abbas Kararah dalam bukunya Ad-din wa Al-Mar’ah
mengatakan, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan, bahkan menyamakan
kepada semua kaum muslimin yang bermacam jenis dan warna kulit untuk
menjalankan kewajiban agama, hak-hak serta balasannya.2 Sebagaimana maksud
firman Allah SWT:
“maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman, sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal dari kalian, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…”(Q.S: Ali Imran 3: 195).
Hak yang ketiga terkait dengan hak kemanusiaan adalah hak dalam
mengemukakan pendapat dan musyawarah: menurut syariat, perempuan mempunyai
hak untuk mengemukakan pendapat dalam masalah-masalah dan urusan umum.
Bahkan masalah ini sampai suatu batas terpenting dalam syariat Islam. Seperti kasus
yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab merupakan bukti yang
sangat jelas bahwa perempuan mempunyai hak mengungkapkan pendapatnya. Jadi
walaupun berbeda, selama ia memiliki argumentasi terhadap apa yang dikatakannya,
2„Abbas Kararah s
ebagaimana dikutip oleh Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi ( Jakarta: Teraju 2004 ) Cet. Pertama. h, 89.
(42)
33
pendapat tersebut perlu didengar. Pada suatu hari Umar berkhutbah di depan umum.
Di antara khutbahnya bahwa ia menyebutkan mahar perempuan itu tidak boleh lebih
dari empat puluh ons. Jika ada yang meminta lebih, maka kelebihannya untuk Baitul
Mal. Maka seorang perempuan berdiri dan berkata “Apakah itu pendapatmu?”
Khalifah balik bertanya, “Mengapa?” perempuan itu berkata, karena Allah SWT,
berfirman yang bermaksud:
“…sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka jamganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (Q.S: An-Nisaa‟ 4: 20 ). Di sini Umar mengakui kesalahanya dan mencabut keputusannya. Ia berkata, “perempuan ini benar
dan Umar salah.”3
2. Hak Ekonomi
Syari‟at Islam telah memberikan karunia kepada wanita dengan memberikan
hak-hak kepemilikannya secara utuh. Islam telah memberikan kepada wanita
kebebasan penuh untuk mengelola dan mengatur urusannya, baik yang berkait
3Muhammad Anis Qasim Ja‟far,
Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam. Penerjemah Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah, 2008 ), Cet. Kedua, h. 25.
(43)
dengan harta, kepemilikan, pardagangan atau lainnya. Termasuk dalam kategori ini
adalah kebebasan penuh untuk menggunakan maharnya, bila ia telah bersuami. Ia
juga mempunyai wewenang untuk melakukan akad jual beli, persewaan, serikat,
pegadaian, dan lain sebagainya.4 Terkait mahar ini Allah SWT berfirman:
.. ...
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerah kepada kamu sebagian (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.(Q.S. An-Nisa’ 4: 24).
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perempuan dalam pernikahan
berhak mendapat mahar dari calon suaminya yang tidak ditentukan besar kecilnya,
karena jumlah mahar disesuaikan dengan kemampuan calon suaminya.
Begitu pula halnya dengan bekerja, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Islam memperkenankan perempuan mengerjakan tugas-tugas yang
mampu dikerjakannya dan sesuai dengan kodratnya. Al-Quran membebankan tugas
bekerja kepada laki-laki dan perempuan sekaligus.5
4Mohd Sufian Bin Harun “
Gerakan Politik Wanita Muslimah Di Negara bagian Kelantan” ,
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 34.
5
Muhammad Anis Qasim Ja‟far, Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam. Penerjemah Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah, 2008 ), Cet. Kedua, h. 19.
(44)
35 … …
“..dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…"(QS At-Taubah (9): 105)
3. Hak-hak Sosial
Hak-hak Sosial yang terkait dengan mental yaitu hak menuntut ilmu. Islam
mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hak belajar. Masing-masing
memiliki hak untuk memperoleh apa saja yang mereka inginkan, berupa bebagai jenis
pengetahuan, sastra, dan budaya. Rasulullah saw, bersabda :
" اق براح ا ا ثدح اق اس با د ح ا ر خا :
اق ا ح ب ح اص ا ثدح :
عش ا ر اع اق
ا ثدح : اق بأ ع رب بأ ع :
ارجأ ثاث اس ع ها ص ها سر اق :
أ جر
جر ا قح ها قح ا ا ا ا د ع ا اس ع ها ص د ح ب آ ب آ ات ا
رجأ ف ا جتف ا قتعا ا عت سحأف ا ع ا أت سحأف ا ب اف أ د ع ت اك
" ) راخ ا ا ر (
“Kalau ada laki-laki punya pelayan perempuan, maka ajarilah dia, lalu baguskanlah pengajarannya, didiklah dia, lalu baguskanlah pendidikannya. Kemudian merdekakan dan nikahilah. Maka dia peroleh dua pahala” (HR. Bukhari).6 Prinsip pengajaran perempuan telah diterapakan pada zaman Rasulullah
saw. dan dilanjutkan pada masa kekhalifahan khulafaur Rasyidin. Maka Aisyah
mendalami ilmu pengetahuan dan menjadi perempuan paling berilmu pada masanya.
6
Abdullah Muhammad al-Bukhari, Sohih Abi Abdullah al-Bukhari, ( Beirut: Darul Fikr, 1994 ), Jilid Satu. h. 38.
(45)
Oleh karena itu, Urwah bin Zubayr berkata tentang Aisyah, “saya tidak menemukan
orang yang sangat menguasai ilmu-ilmu fikih, kedokteran, dan syair selain Aisyah.” Demikianlah pula Hafshah binti Umar bin Al-Khattab selalu mendalami ilmu hingga
telah menikah dengan Rasulullah saw.7 Mengenai hal ini, perlu saya kemukakan
firman Allah SWT:
“Allah menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Q.S. Ali Imran: 3: 18).
Ayat di atas jelas telah mendorong seluruh manusia untuk mencari ilmu tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan, dan terdapat banyak lagi ayat-ayat Al-Quran
yang lain dan juga hadis-hadis yang berbicara tentang kewajiban belajar.
Memperoleh ilmu pengetahuan itu merupakan elemen esensial untuk peningkatan
martabat perempuan sehingga ia dapat menyempurnakan dirinya sendiri, kemudian
dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya.
7
(46)
37
Hak-hak sosial yang terkait dengan harta, yaitu hak mendapatkan nafkah,
sebagaimana firman Allah SWT, dan hak untuk menyusui anak dan mendapatkan
nafkah atas hal tersebut.
B. Hak-Hak Politik Perempuan Menurut Islam 1. Pengertian Hak Politik
Hak berarti kebenaran atau yang benar, baik dalam arti teoritis maupun dalam
praktis. Dalam lapangan teoritis, term hak dapat mengacu kepada ide, keterangan,
berita, atau pernyataan tentang sesuatu yang benar, yakni yang sesuai dengan
kenyataan. Istilah hak dapat pula mengacu kepada kenyataan itu sendiri, dengan
pengertian bahwa ia benar atau pasti ada, baik ada selamanya, atau ada sementara,
baik ada di masa lalu, atau ada di masa sekarang.
Dalam lapangan praktis, istilah hak mengacu kepada yang utama, apa yang
baik, dan apa saja yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan demikian hak itu banyak
sekali, ada yang sangat mendesak, yang tidak dapat tidak harus dinikmati atau
diterima oleh setiap manusia, demi menjaga kelangsungan hidupnya, seperti udara,
air, makanan, kemampuan untuk menolak atau menghindari bahaya, dan lain
sebagainya. Itulah kebutuhan primer atau hak primer yang tidak dapat tidak harus
diterima oleh setiap manusia. Selain itu ada pula hak yang perlu diterima atau
(47)
pendidikan yang baik, pengetahuan yang banyak, penghargaan, perlakuan yang adil,
perlindungan, keamanan, dan sebagainya.8
Perkataan politik berasal daripada bahasa Yunani, yaitu politikus dari kata
akar polis yaitu Negara kota dan dari bahasa Latin yaitu politica yang telah
digunakan sejak abad ke-5 S.M. lagi.9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan politik
sebagai ilmu pengetahuan ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan
tindakan mengenai pemerintah negara-negara terhadap negara lain dan kebijakan cara
bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.10 Di dalam Ensiklopedia
Indonesia dijelaskan bahwa politik adalah hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik, kumpulan penekan, dan
hubungan-hubungan internasional serta tata pemerintahan.11
Menurut Prof. Miriam Budiarjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan-tujuan-tujuan tersebut. Dalam hal ini,
menurutnya lagi, politik selalu menyangkut tujuan dari seluruh masyarakat (public
8
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia ( Jakarta: D Jambatan, 1992 ), Cet. Pertama, h. 281-282.
9
Musthafa Haji Daud, Pengantar Politik Islam ( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1997 ), Cet. Pertama, h. 1.
10
Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1998 ), Cet. Pertama, h. 694.
11Ensiklopedia Indonesia, ( Edisi Khusus ) ( Jakarta: PT Lehtiar Baru-van Hoeve, 1980 ), h. 2739.
(48)
39
goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula, politik
menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok, termasuk partai politik, dan kegiatan
orang-seorang (individu).12
Dalam konteks Islam, secara bahasa (lughah), politik (as-siyasah) sebenarnya
berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan, yang berarti mengurus kepentingan
seseorang. Secara lebih jelas Syaikh Hasan al-Banna menyatakan bahwa politik
adalah memperhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, intern dan ekstern,
secara individu dan masyarakat keseluruhannya, bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Beliau juga berpendapat, bahwa politik tidak hanya menyangkut
penyelenggaran pemerintahan, tetapi juga mencakup upaya menciptakan sistem
bersih dan berkeadilan, di mana mekanisme kontrol berperan besar.13
Senada dengan al-Banna, Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya,
Al-Afkar as-Siyasah, mendefinisikan bahwa politik atau as-siyasah adalah mengatur
urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara
praktis, sedangkan umat mengoreksi, melakukan muhasabah terhadap pemerintah
dalam melakukan tugasnya.14
Bertolak dari pengertian bahwa politik adalah tanggungjawab pengaturan dan
pemeliharaan urusan umat atau masyarakat secara keseluruhan, maka dalam konteks
12 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: Gramedia, 2007 ), Cet. Ketigapuluh, h. 8.
13
Hassan al-Banna sebagaimana dikutip Oleh Najmah dan Husnul, Revisi Politik Perempuan
( Bogor: CV Idea Pustaka Utama, 2003 ) Cet. Pertama, h. 134.
14
(49)
Islam tidak terlihat di dalamnya unsur perebutan kekuasaan, kekejaman,
ketidakadilan, dan sebagainya. Jadi, hak politik itu boleh didefinisikan sebagai
hak-hak yang diingini oleh individu dalam negara atau tanah kelahirannya. Menurut
Muhammad Ali Quthub dalam bukunya “Baithun Nisa’ li al-Nabiyy”, hak politik boleh diuraikan sebagai hak masyarakat atau rakyat menyertai urusan-urusan negara
secara langsung seperti urusan kepala negara dan menteri, atau secara tidak
langsungnya sebagai contoh menjadi rektor pejabat, wakil rakyat, atau anggota di
jabatan-jabatan tertentu.15
Dalam konteks masa kini, hak berpolitik adalah hak memilih dan hak
mencalonkan wakil serta hak untuk menjadi calon dalam pemilu. Selain itu, ia juga
meliputi hak melantik pegawai-pegawai dalam jabatan pemerintah tanpa mengira
perempuan atau laki-laki selepas mengiklankan prinsip persamaan hak dalam
undang-undang. Ia merujuk kepada iklan internasional mengenai hak-hak asasi
manusia yang lahir daripada resolusi Pertubuhan bangsa-bangsa Bersatu pada 20
Disember (Kanun 1) pada tahun 1952.16
Dr. Muhammad Anis Qasim dalam bukunya Al-Huquq Siyasiyyah li al-Mar’ah fi Islam wa al-fikr wa al-Tasyri’ al-Mu’ashir, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan dan diakui
undang-undang atau konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara, artinya
15
Muhammad Ali Quthub sebagaimana dikuitip Oleh Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts Publication dan Distribution, 2008 ) Cet. Pertama. h. 8.
16
Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts Publication dan Distribution, 2008 ) Cet. Pertama. h. 9.
(50)
41
hak politik itu hanya berlaku bagi warga negara setempat dan tidak berlaku bagi
warga negara asing.17
Dengan demikian jelas bahwa hak politik itu adalah hak setiap individu untuk
berpartisipasi dengan menjadi ahli dalam mana-mana badan politik dalam negara
seperti contoh melibatkan diri dalam partai-partai politik, hak memilih dalam pemilu,
hak menjadi wakil dalam DPR, dan sebagainya lagi hak-hak yang terkait rapat
dengan urusan-urusan negara dan pemerintahan.
2. Hak-Hak Politik Perempuan
Islam mengakui pentingnya peran wanita dalam kehidupan masyarakat dan
dampaknya pada kehidupan politik. Oleh karena itu, kaum wanita telah diberikan
hak-hak politik yang mencerminkan status mereka yang bermartabat, terhormat dan
mulia dalam Islam.18 Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hak Partisipasi dalam Memilih Pemimpin (Bai‟at)
Secara bahasa, kata baiat berarti mubaaya‟ah atau melakukan janji setia dan
ketaatan. Ibnu Manzhur mengatakan, “bai’at adalah ungkapan yang menggambarkan tentang transaksi dan perjanjian, seakan masing-masing dari kedua belah pihak
menjual apa yang dimilikinya, memberikan ketulusan hati, ketaatan, dan urusan
peribadinya.”
17Muhammad Anis Qasim Ja‟far,
Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam. Penerjemah Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah 2008 ), Cet. Kedua, h. 34.
18
Fatimah Umar Nasir, Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Islam (Jakarta: CV. Cendekla Sentra Muslim, 2003), Cet. Pertama, h. 167.
(51)
Secara terminologi, Ibnu Khaldun mengatakan, “bai’at merupakan kontrak dan perjanjian untuk taat. Misalnya, seorang yang menyampaikan sumpah setia,
membuat perjanjian dengan amirnya, kurang lebih dengan menyatakan bahwa dia
akan menyerahkan pengawasan atas urusannya sendiri dan kaum Muslimin
kepadanya dan bahwa dia tidak akan menandingi kekuasaannya dan bahwa dia akan
mentaatinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya, baik dia
senangi maupun tidak.”19
Abdul Majid az-Zindani dalam bukunya Hak-hak Politik Wanita dalam Islam menukilkan sebuah hadis yang berbunyi, “Selama sepuluh tahun Rasulullah
mendakwahi orang-orang di rumah-rumah mereka, di musim-musim haji di Mina dan
sebagainya. Beliau mengatakan, “siapa yang memberiku tempat berlindung, siapa
yang mau menolongku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Tuhanku dan ia
mendapat surga.” Demikianlah, hingga Allah mengirimkan kami kepadanya diri Yastrib lalu kami pun membenarkannya lalu ia menyebut hadis itu, hingga ia
mengatakan, “Maka, berangkatlah tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita. Kami janjikan kepadanya untuk melakukan bai’at Aqabah. Kami tanyakan kepada
Beliau, “Untuk apa kami membai‟atmu?” Beliau menjawab, “Untuk patuh dan taat
dalam keadaan giat maupun malas, untuk berinfak dalam keadaan susah maupun
lapang, untuk memerintahkan yang ma‟ruf dan melarang yang mungkar, serta
menolongku jika aku nanti datang kalian di Yasrib, sehingga kalian melindungiku
19
Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadia Thoha, Muqaddimah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), Cet. Ke-5, h. 258.
(52)
43
dari hal-hal yang kalian melindungi dari kalian, istri-istri, dan anak-anak kalian
sendiri, untuk itu kalian mendapatkan surga.”20
Ini adalah bai‟at yang diikuti oleh wanita sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa Nabi SAW menerima bai‟at kaum wanita.
Sebenarnya posisi penting yang diduduki kaum wanita dalam Islam terwujud dalam
bai‟at dan penegasan atas kelayakannya.
2. Hak Musyawarah dan Mengemukakan Pendapat
Wanita berhak untuk mengemukakan pendapatnya dan memberi
pertimbangan kepada pemimpin negara berkenaan dengan berbagai problematika
umum umat. Hal ini telah ditunjukkan oleh keumuman firman Allah SWT, yang
berbunyi sebagai berikut:
… )
ر ش ا
/ : (
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”… (Q.S: Asy-Syura 42: 38).
20
Abdul Majid Az-Zindani, Hak-hak Politik Wanita dalam Islam (Jakarta: al-I‟tishom Cahaya Umat, 2003), Cet. Pertama, h. 152-153.
(53)
Tidak ada hal yang mengkhususkan ayat ini untuk laki-laki tanpa melibatkan
wanita. Ketika peristiwa Hudaibiyah, Rasulullah SAW mendapat saran dari Ummu
Salamah yakni ketika para sahabat RA tidak mau mencukur dan menyembelih
budnah (hewan kurban) mereka. Rasulullah SAW masuk ke tanda menemui Ummu
Salamah lalu menceritakan tanggapan para sahabatnya. Ummu Salamah berkata,
“Wahai Nabi Allah, apakah baginda menghendaki itu? Keluarlah dan tidak usah
bicara dengan seorang pun di antara mereka hingga baginda menyembelih badnah
(hewan peliharaan). Lalu panggillah tukang cukur yang akan mencukur rambut
baginda.”21
Di antara haknya, seorang wanita mempunyai hak untuk menulis di media
massa, seperti contoh menulis artikel-artikel, makalah-makalah, atau disertasi di
Koran, majalah, internet, atau juga untuk seminar-seminar, dan juga mengirim surat
kepada para pejabat, dan berbagai media lainnya yang dapat digunakan untuk
mengemukakan pendapat dan pikiran.
3. Hak Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar (Pengawasan dan Evaluasi)
Hal ini ditunjukkan oleh nash, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya, yang
berbunyi sebagai berikut:
… ) ار ع ا
/
: (
21 Asma‟ Muhammad Ziyadah,
Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama, h. 157.
(1)
69 A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis bahaskan secara jelas pada bab-bab terdahulu, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa perempuan menurut Islam mempunyai hak dalam berpartisipasi politik, atas dasar prinsip persamaan untuk ikut aktif bersama kaum laki-laki, membangun, mengubah dan membebaskan energi-energi dalam masyarakat. Untuk itu suatu upaya yang wajib untuk melibatkan perempuan dalam kehidupan politik. Ini karena dalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang melarang perempuan untuk menikmati hak-hak tersebut, sebaiknya sesuai dengan fitrah keperempuanannya dan syariat.
2. Musthafa As-Siba’i dengan jelas mengemukakan bahwa Islam telah memberikan hak politik kepada perempuan, yaitu hak memilih dan dipilih. Namun, menurutnya terdapat posisi yang tidak diperbolehkan untuk di duduki oleh perempuan yaitu perempuan menjadi kepala pemerintah dilarang tegas oleh Islam. Akan tetapi As-siba’i berpandangan bahwa perempuan tidak perlu menggunakan hak yang telah diberikan kepada mereka. Hal itu menurutnya disebabkan karena ia memandang bahwa ketika kaum perempuan tidak menggunakan hak itu, hal ini dapat mendatangkan kebaikan sosial. Namun
(2)
demikian, ini merupakan ijtihad atau pandangannya dalam menilai kebaikan mengikut adat dan ikutan masyarakat. Bahkan pula kebaikan sosial itu boleh berubah dari satu zaman ke satu zaman yang lain, dari sebuah negara ke negara yang lain karena wujudnya perbedaan pandangan dalam menilainya.
3. Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Musthafa As-Siba’i tentang partisipasi politik perempuan, secara umumnya adalah faktor sosial yang terjadi ketika itu. Antara faktor-faktor lain lagi, As-Siba’i selaku Muraqib ‘am Ikhwanul Muslimin coba untuk menanggapi problematika yang terjadi pada saat itu, untuk membuat perbaikkan terhadap dalam masyarakat Islam terutamanya masyarakat Suriah ketika hayatnya. Dengan kajian-kajian yang telah dilakukannya di sebagian negara-negara barat, yang mana tidak berjayanya wanita dalam partisipasi politik.
B. Saran
1. Kepada kaum perempuan khususnya, politik dan kenegaraan adalah sebagian dari sistem Islam dan menjadi kewajiban kepada kita untuk sama-sama berpartisipasi demi mengemban amanah sebagai insan Mukallaf yaitu yang dipertanggungan jawab sama seperti laki-laki, dan Islam juga mengharuskan perempuan untuk memiliki kesadaran politik serta membolehkan mereka berkiprah dalam politik tanpa melupakan tabiat aslinya dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkannya.
(3)
2. Kepada semua masyarakat Islam, khususnya di Indonesia agar mengoptimalkan segala usaha supaya kaum perempuan semuanya sadar dan faham tentang hak-hak dan kewajiban mereka yang telah diberikan oleh Islam dan seterusnya menghayati serta melaksanakan Islam secara menyeluruh dalam segenap aspek kehidupan.
(4)
73 DAFTAR PUSTAKA
al-Quran al-Karim
Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah. Penerjemah Chairul Majid, Kebebasan Wanita ( Jakarta: Gema Insani 2000 ) Cet. Pertama.
„Aqil, al, Abdullah, Mereka Yang Telah Pergi ( Jakarta Timur : Al-I‟Tishom Cahaya Umat 2010) Cet. Pertama.
Asqalani, al, Ibnu Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: al-Maktab al-Islam, Dar al-Soader, t.t.), Jilid 6.
Az-Zindani, Abdul Majid, Hak-hak Politik Wanita dalam Islam (Jakarta: al-I‟tishom Cahaya Umat, 2003), Cet. Pertama.
Baltaji, Muhammad, Makanah Al-Mar’ah fi Al-Quran wa As-Sunnah. Penerjemah, Afifuddin Said, Kedudukan Wanita dalam Al-Quran dan As-Sunnah ( Solo : 2007, Media Insani ) Cet. Pertama.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: Gramedia, 2007 ), Cet. Ketigapuluh.
Daud, Musthafa Haji, Pengantar Politik Islam ( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1997 ), Cet. Pertama.
Ensiklopedia Indonesia, ( Edisi Khusus ). Jakarta: PT Lehtiar Baru-van Hoeve, 1980. Faris, Muhammad Abdul Qadir Abu, Fiqh Siyasah Menurut Imam Asy-Syahid Hasan
Al-Banna ( Kuala Lumpur : Pustaka Syuhada, 2000) Cet. Pertama.
Hakim, al, Ali Husain, Membela Perempuan ( Jakarta: Al-Huda, 2005 ), Cet. Pertama.
Harun, Mohd Sufian, Gerakan Politik Wanita Muslimah Di Negara bagian Kelantan (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi ( Jakarta: Teraju 2004 ) Cet. Pertama.
(5)
Ja‟far, Muhammad Anis Qasim, Al-Huquq Al-Siyasah li Al-Mar’ah fi Al-Islam. Penerjemah Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan ( Jakarta: Amzah 2008 ), Cet. Kedua.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadia Thoha, Muqaddimah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), Cet. Kelima.
Khatimah, Najmah Sa‟idah dan Husnul, Revisi Politik Perempuan (Bogor : Cv Idea Pustaka Utama, 2003) Cet. Pertama.
Manas, Shayuthy Abdul, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik ( Selangor : Pts Publication & Distributors 2008) Cet. Pertama.
Muhammad al-Bukhari, Abdullah, Sohih Abi Abdullah al Bukhari, Beirut, Darul Fikr, Juzu‟ 1&9.
Musthafa, Ibn, Wanita Menjelang Tahun 2000 ( Bandung: Al-Bayan, 1995 ) Cet. Keempat.
Nasir, Fatimah Umar, Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Islam (Jakarta: CV. Cendekla Sentra Muslim, 2003), Cet. Pertama.
Nasucha, Achmad Masruch, Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam ( Semarang : CV Toha Putra, 1984 ) Cet. Pertama.
Quthub, Sayyid, Fi Dzilalil Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Syuruq, 1978), Cet. Kedua. Sabiq, Sayyid, Fiqih as-Sunnah (al-Qaherah: Dar al-Rayyan Turats, 1991), Jilid 2. Siba‟i, as, Musthafa, As Sunnah wa makanatuha fit tasyri’il Islam ( Beirut :
Al-Maktab Al-Islam, 1985 ) Ct. Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Min rawa’i hadharatina ( Beirut : Darul Irsyad, 1968 ), Cet. Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Syahrul Qanunil Ahwalis Syakhshiyyah ( Damsyik: Al-Maktab Al-Islami, 1966 ), Cet. Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Al-Istisyraq wal Mustsyriqun. Penerjemah Ibnu Burdah, Membongkar Kepalsuan Orientalisme ( Jakarta: Mitra Pustaka 1997 ), Cet. Pertama.
Siba‟i, as, Musthafa, Isytirakiyyatul Islam. Penerjemah M. Abdai Ratomy Kehidupan Sosial Menurut Islam ( Bandung: C.V. Diponegoro 1993 ), Cet. Keempat.
(6)
Siba‟i, as, Musthafa, Al-Mar’ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution, Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang ( Jakarta: Bulan Bintang 1977 ) Cet. Pertama.
Syalthut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Jeddah, Dar al-Syuruq, 1970), Cet. Kedua.
Tahido, Huzaemah, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita: Tuntunan Islam tentang Kemitrasejajaran Pria dan Wanita (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1999), Cet. Kedua.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia ( Jakarta: D Jambatan, 1992 ), Cet. Pertama.
Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1998 ), Cet. Pertama.
Ziyadah, Asma‟ Muhammad, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama.
Situs Internet:
Abu Ridhwan, “Mengenali Kisah Hidup Perjuangan Musthafa Al-Siba‟iyy (1915 -1964)”, artikel diakses pada 10 Oktober 2010 dari
http://tarbiyyahpewaris.blogspot.com.
Ferry Nur, “Syekh As-Siba‟i: Pejuang Palestina dari Suriah”, artikel diakses 07 Disember dari 2010 http://walausetitik.blogspot.com.