Implementasi Tata Kelola Pengadaan Baran

IMPLEMENTASI TATA KELOLA PENGADAAN
BARANG/JASA DI DESA1
Oleh:

MASSAPUTRO DELLY TP.

A. ALOKASI DANA DESA
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terbit dilatarbelakangi oleh
perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk
sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Pengaturan Desa secara
garis besar bertujuan untuk (a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah
ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, (b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,
(c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa, (d)

mendorong

prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa

guna kesejahteraan bersama, (e) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan
efektif, terbuka, serta bertanggung jawab, (f) meningkatkan pelayanan publik bagi warga
masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, (g) meningkatkan
ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional, (h) memajukan
perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional, dan (i)
memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

1

Dipublikasikan pertama kali pada Tabloid Menara Banten, Edisi 6 Tahun Ke Delapan, 2016. Sebelumnya
merupakan materi pada kegiatan Pembinaan Pemerintahan Desa oleh Biro Pemerintahan Setda Provinsi Banten,
2015

1

Selanjutnya Desa definisi dari Desa menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari uraian di atas, maka terkandung kewajiban Desa dalam rangka pelaksanaan
pembangunan Desa. Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa
dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui (a) penyediaan pemenuhan
kebutuhan dasar, (b) pembangunan sarana dan prasarana desa, (c) pengembangan potensi
ekonomi lokal, dan (d) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Pembangunan Desa mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjabarkan beberapa hal, diantaranya definisi,
kewenangan, hak dan kewajiban, penyelenggaraan desa, hingga keuangan desa. Terkait dengan
keuangan desa, dalam hal ini dana desa, Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan
Dana Desa Tahun 2015 menyebutkan mengenai definisi Dana Desa adalah dana yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk
mendanai

penyelenggaraan


pemerintahan,

pelaksanaan

pembangunan,

pembinaan

kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat, atau jika disederhanakan, Dana Desa
merupakan seluruh dana yang dikelola dan dikeluarkan melalui Anggaran Penerimaan dan
Belanja Desa (APBDes). Sedangkan sumber pendapatan desa berasal dari (a) pendapatan asli
Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain
pendapatan asli Desa, (b) alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, (c) bagian dari hasil
pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, (d) alokasi dana Desa yang merupakan
bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota, (e) bantuan keuangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja

2

Daerah Kabupaten/Kota, (f) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan (g)

lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Pemerintah mendukung kewenangan desa dengan mengalokasikan sejumlah dana yang
akan dikelola sebanyak 74.754 (tujuh empat ribu tujuh ratus lima puluh empat) desa
(Permendagri No. 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan
diketahui bahwa jumlah desa di Indonesia). Dana yang dialokasikan untuk desa-desa tersebut,
pada tahun 2016 mencapai Rp46.982.080.000.000,- (empat puluh enam triliun sembilan ratus
delapan puluh dua milyar delapan puluh juta rupiah - APBN TA 2016). Alokasi dana desa naik

secara signifikan bila dibandingkan pada tahun 2015, pada APBN 2015 dialokasikan sebesar
Rp9,07 triliun kemudian ditambah pada APBN-P 2015 menjadi sebesar Rp20,77 triliun untuk
72.944 desa. Bila di rata-rata, pada tahun 2015 dana desa dialokasikan sebesar Rp284 juta per
desa, dan naik menjadi Rp628 juta per desa pada tahun 2016. Dengan angka yang jumlahnya
tidak sedikit tersebut, dibutuhkan aturan-aturan agar dana desa dapat dimanfaatkan secara
ekonomis, efektif, dan efisien.

B. PENGADAAN BARANG/JASA DI DESA
Alokasi dana desa tersebut akan secara signifikan pula menjadikan APBDes cukup besar.
Oleh karena itu, perlu pengaturan dalam rangka proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang
bersumber dari APBDes tersebut agar sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik,
sehingga hasil pengadaan barang/jasa dapat bermanfaat untuk memperlancar penyelenggaraan

Pemerintahan Desa dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, pengadaan barang/jasa
belum memiliki payung hukum yang jelas dan untuk dijadikan acuan Bupati/Walikota dalam
penyusunan Peraturan Bupati/Walikota tentang tata cara pengadaan barang/jasa di desa dalam
wilayahnya.
Atas dasar tersebut Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
selaku lembaga pemerintah yang berwenang telah mengeluarkan Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata
Cara Pengadaan Barang/Jasa Di Desa, dan telah dirubah dengan Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
3

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun
2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa Di Desa. Sesuai Pasal 3 Peraturan
Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013 menyebutkan bahwa “Pengadaan Barang/Jasa di Desa yang
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, tidak termasuk dalam
ruang lingkup Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”, artinya Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tidak berlaku di desa.
Ada beberapa poin penting dalam proses pengadaan barang/jasa di desa menurut

Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013, yaitu:
1. Prinsip dan Etika
Meskipun Perpres 54 Tahun 2010 tidak berlaku untuk Pengadaan Barang/Jasa Desa,
masih ada beberapa aturan yang mirip ataupun sama antara Peraturan Kepala LKPP Nomor 13
Tahun 2013 dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, diantaranya prinsip dan etika pengadaan
barang/jasa, sebagaimana disajikan dalam tabel berikut:
Perpres Nomor 54 Tahun 2010

Perka LKPP Nomor 13 Tahun 2013

Efisien

Efisien

Efektif

Efektif

Transparan


Transparan

Terbuka

Pemberdayaan Masyarakat

Bersaing

Gotong Royong

Adil/Tidak Diskriminatif

Akuntabel

Akuntabel

Sedangkan etika yang harus dipatuhi oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan
barang/jasa desa yaitu bertanggung jawab, mencegah kebocoran dan pemborosan keuangan desa,
dan patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.


4

2. Metode Pengadaan Barang/Jasa
Metode pengadaan adalah tata cara untuk melakukan pemilihan penyedia barang atau
jasa yang dilakukan. Metode pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa prinsipnya dilaksanakan
secara swakelola oleh masyarakat, namun tidak serta merta dilaksanakan secara swakelola, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh desa, yaitu (a) memaksimalkan penggunaaan
material/bahan dari wilayah setempat, (b) dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan
partisipasi masyarakat setempat, (c) untuk memperluas kesempatan kerja, dan (d) untuk
pemberdayaan masyarakat setempat.
Untuk pekerjaan yang tidak mampu ditangani secara swakelola oleh desa maupun
membutuhkan barang/jasa untuk mendukung swakelola yang dilaksanakan masyarakat, misalnya
pembelian material pada swakelola pembangunan jembatan desa, sewa peralatan untuk
swakelola pembangunan balai desa, atau penyediaan tukang batu dan tukang kayu untuk
pembangunan posyandu, serta kebutuhan barang/jasa secara langsung seperti pembelian
komputer, printer, kertas, langanan internet, meja, kursi, serta alat kantor lainnya, pengadaan
barang/jasa dapat dilaksanakan melalui penyedia barang/jasa. Konstruksi tidak sederhana juga
tidak dapat dilakukan dengan swakelola, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi.
3. Pelaksana Pengadaan Barang/Jasa

Dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013, tugas pengelolaan pengadaan
barang/jasa di desa disederhanakan dan dilaksanakan hanya oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK),
baik pengadaan secara swakelola maupun melalu penyedia barang/jasa. Tugas TPK dalam
melaksanakan pengadaan barang/jasa desa meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan,
pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertanggungjawaban hasil pekerjaan. Tugas TPK secara
spesifik yaitu (a) menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB), (b) menyusun spesifikasi teknis
barang/jasa apabila diperlukan, (c) melaksanakan pembelian/pengadaan, (d) memeriksa
penawaran, (e) melakukan negosiasi (tawar menawar), (f) menandatangani surat perjanjian
(Ketua TPK), (g) melakukan perubahan ruang lingkup pekerjaan, (h) melaporkan kemajuan
pelaksanaan pengadaan kepada kepala desa, dan (i) menyerahkan hasil pekerjaan setelah selesai
100% kepada kepala desa. Untuk pekerjaan konstruksi ditunjuk 1 (satu) orang penanggungjawab
5

teknis dari anggota TPK yang dianggap mampu, dapat dibantu personil dinas terkait setempat,
dan pada pelaksanaan pekerjaan dapat dibantu pekerja (tukang/mandor).
TPK ditetapkan oleh Kepala Desa melalui Surat Keputusan dengan susunan terdiri atas
ketua dan anggota, dapat pula diisi dengan struktur wakil ketua dan sekretaris. Kedudukan TPK
adalah

semacam


Unit

Layanan

Pengadaan

yang

ada

di

lingkungan

Kementerian/Lembaga/Dinas/Intansi Pemerintah Lainnya. Prinsipnya jumlah personil TPK
bersifat gasal/ganjil, bisa 3 (tiga) orang, 5 (lima) orang dan seterusnya disesuaikan dengan
kebutuhan. TPK terdiri dari unsur Pemerintah Desa dan lembaga kemasyarakatan desa, seperti
Kepala Urusan, tetua adat, lembaga kemasyarakatan, dan masyarakat, tetapi tidak diperbolehkan
dari unsur Badan Permusyawaratan Desa. Dalam masa transisi, Bupati/Walikota dapat

membentuk Tim Asistensi Desa terdiri dari unsur Unit Layanan Pengadaan, Satuan Kerja
Perangkat Daerah, dan unsur terkait lainnya untuk pendampingan dan meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia di desa.
4. Pengadaan Menggunakan Penyedia Barang/Jasa
Untuk pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan secara swakelola karena desa tidak
mampu dan merupakan barang/jasa untuk mendukung swakelola ataupun pekerjaan konstruksi
yang membutuhkan tenaga ahli dan/atau peralatan berat, TPK dapat melaksanakan pengadaan
melalui penyedia barang/jasa dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,-.
TPK membeli barang/jasa kepada satu penyedia barang/jasa tanpa permintaan penawaran
tertulis dari TPK maupun dari penyedia. TPK kemudian melakukan negosiasi (tawar menawar)
untuk mendapatkan harga yang lebih murah dan selanjutnya mendapatkan bukti transaksi untuk
dan atas nama TPK.
b. Pengadaan

barang/jasa

dengan

nilai

diatas

Rp50.000.000,-

sampai

dengan

Rp200.000.000,-.
TPK membeli barang/jasa kepada satu penyedia barang/jasa dengan cara meminta
penawaran tertulis dari penyedia barang/jasa dilampiri dengan daftar barang/jasa (rincian
barang/jasa atau ruang lingkup pekerjaan, volume, dan satuan). Kemudian penyedia barang/jasa
6

menyampaikan penawaran tertulis yang berisi daftar barang/jasa dan harga kepada TPK.
Selanjutnya TPK melakukan negosiasi (tawar menawar) untuk mendapatkan harga yang lebih
murah dan selanjutnya mendapatkan bukti transaksi untuk dan atas nama TPK.
c. Pengadaan barang/jasa dengan nilai diatas Rp200.000.000,-.
TPK mengundang dan meminta dua penawaran tertulis dari 2 (dua) penyedia barang/jasa
yang berbeda dilampiri dengan daftar barang/jasa dan spesifikasi teknisnya. Kemudian penyedia
barang/jasa menyampaikan penawaran tertulis berisi daftar barang/jasa dan harga. Selanjutnya
TPK menilai spesifikasi teknis dari kedua calon penyedia barang/jasa tersebut. Jika keduanya
memenuhi spesifikasi teknis, maka dilakukan negosiasi (tawar menawar) secara bersamaan.
Namun jika hanya satu yang memenuhi spesifikasi teknis, dilanjutkan dengan tawar menawar
kepada penyedia yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut. Jika keduanya tidak memenuhi
spesifikasi teknis, maka proses akan diulang dari awal. Jika negosiasi berhasil, hasil tersebut
dituangkan dalam surat perjanjian antara Ketua TPK dan Penyedia Barang/Jasa. Surat Perjanjian
berisi sekurang-kurangnya terdiri atas tanggal dan tempat dibuatnya surat perjanjian, para pihak,
ruang lingkup pekerjaan, nilai pekerjaan, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan, ketentuan keadaan kahar, dan sanksi.
Perlu diperhatikan, bahwa pengaturan nilai pengadaan barang/jasa sebagaimana di atas
dapat ditetapkan berbeda oleh Bupati/Walikota sesuai dengan kondisi wilayah dan dalam batas
kewajaran, hal ini didasari kondisi geografis Indonesia tidaklah sama satu daerah dengan daerah
lainnya.
Penyedia barang/jasa harus memiliki tempat/lokasi usaha, kecuali tukang batu, tukang
kayu, dan sejenisnya. Untuk pekerjaan konstruksi, penyedia selain di atas juga mampu
menyediakan tenaga ahli dan/atau peralatan yang dibutuhkan. Selanjutnya perencanaan
pengadaan barang/jasa melalui penyedia dimulai dengan menyusun RAB berdasar harga pasar
setempat atau terdekat, RAB tersebut dapat memperhitungkan ongkos kirim atau ongkos
pengambilan barang/jasa, menyusun spesifikasi teknis (apabila diperlukan), dan menyusun
gambar rencana kerja (untuk pekerjaan konstruksi), apabila diperlukan.
Bila diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan dilakukan perubahan, TPK dapat
memerintahkan secara tertulis kepada penyedia untuk merubah lingkup pekerjaan (a) menambah
7

atau mengurangi volume, (b) mengurangi jenis pekerjaan, (c) mengubah spesifikasi teknis, dan
(d) pekerjaan tambah. Atas perubahan tersebut, penyedia menyampaikan penawaran tertulis
kepada TPK dan dilakukan negosiasi (tawar menawar) untuk mendapat harga murah. Untuk nilai
pengadaan barang/jasa di atas Rp200 juta, maka dilakukan adendum terhadap surat perjanjian
yang telah dibuat.
Selanjutnya pengawasan pengadaan barang/jasa dilakukan oleh Bupati/Walikota dan
masyarakat. Pengawasan tersebut dapat didelegasikan kepada Camat. Dalam proses pengadaan,
setiap pengeluaran APBDes harus didukung dengan bukti lengkap dan sah dan bukti tersebut
harus mendapat pengesahan dari Sekretaris Desa. Setelah pengadaan barang/jasa selesai 100%,
TPK menyerahkan hasil pengadaan barang/jasa kepada Kepala Desa dengan Berita Acara Serah
Terima Hasil Pekerjaan.
Jika dilihat secara umum, pengadaan barang/jasa di desa relatif lebih sederhana bila
dibandingkan dengan pengadaan barang/jasa menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
Bahkan pengadaan barang/jasa di desa tidak harus tunduk secara saklek dan sama kepada
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun
2013 diatas karena Perka LKPP hanyalah pedoman secara umum. Setiap daerah dapat membuat
dan menetapkan aturan tersendiri sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat asalkan masih
memenuhi prinsip serta etika pengadaan.

C. PERATURAN

BUPATI/WALIKOTA

TENTANG

PENGADAAN

BARANG/JASA DI DESA
Dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013 mengamanatkan bahwa tata cara
pengadaan barang/jasa di desa yang pembiayaannya bersumber dari APBDes diatur oleh
Peraturan Bupati/Walikota, dengan tetap berpedoman pada Peraturan Kepala LKPP tersebut.
Peraturan Bupati/Walikota dapat dilengkapi petunjuk pelaksanaannya. Mengingat ketentuan
tersebut, seharusnya seluruh Bupati/Walikota sudah menerbitkan peraturan terkait pengadaan
barang/jasa di desa pada wilayahnya masing-masing, tetapi kenyataannya hingga tahun 2015,
relatif sedikit daerah yang sudah menerbitkan aturan tersebut.

8

Atas dasar tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Kepala LKPP Nomor 22 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pengadaan Barang/Jasa Di Desa. Pada prinsipnya,
peraturan ini menyebutkan bahwa bagi daerah yang belum menetapkan Peraturan
Bupati/Walikota tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa, pelaksanaan pengadaan barang/jasa
di desa berpedoman pada Peraturan Kepala LKPP, atau praktik yang berlaku di desa sepanjang
tidak bertentangan dengan tata nilai pengadaan sesuai Peraturan Kepala LKPP.
Selain itu, perubahan ini dilakukan terhadap pengertian pada prinsip pengadaan
barang/jasa di desa pada item gotong-royong. Sebelumnya pengertian gotong-royong berarti
penyediaan tenaga kerja secara cuma-cuma oleh masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan di desa. Kata “cuma-cuma” telah memberikan multi tafsir pada prakteknya,
terutama terkait dengan pemberian honor kepada tenaga kerja tersebut. Beberapa desa tetap ingin
mengalokasikan honor bagi tenaga kerja walaupun tidak sesuai atau di bawah standar yang
berlaku setempat, hanya sebagai upah pengganti karena mereka meninggalkan pekerjaan
utamanya demi melaksanakan pembangunan di desa. Atas aspirasi tersebut akhirnya kata “cumacuma” dihilangkan, sehingga pengertian gotong royong berarti penyediaan tenaga kerja oleh
masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di desa.
Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) pernah menyampaikan bahwa terdapat potensi
masalah dalam pengelolaan dana desa. Diantara permasalahan tersebut adalah berkaitan dengan
siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, belum tersedianya aturan harga baku
barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam penyusunan APBDes, masih rendahnya
transparansi

rencana

penggunaan

dan

pertanggungjawaban

APBDes,

laporan

pertanggungjawaban yang dibuat belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, serta APBDes
yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan desa.
Peran dan penguatan Peraturan Bupati/Walikota terkait pelaksanaan pengadaan
barang/jasa di desa menjadi penting untuk menghindari penyalahgunaan dan potensi masalah
dimaksud. Peraturan Bupati/Walikota yang dibentuk tidak hanya “copy paste” dari Peraturan
Kepala LKPP saja, sesuai amanat yang terkandung seharusnya sudah operasional dan terinci bagi
masing-masing daerah. Peraturan Bupati/Walikota menjadi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis dalam proses pengadaan barang/jasa di desa dalam wilayahnya.
9

Beberapa daerah telah mengeluarkan Peraturan Bupati/Walikota, tetapi masih bersifat
umum, belum operasional dan teknis. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diatur dalam
Peraturan Bupati/Walikota untuk menjadikan operasional dan mudah dipahami oleh masyarakat
desa, selain itu hal ini juga masih sering dipertanyakan dalam penyusunan Peraturan
Bupati/Walikota tersebut. Diantaranya yaitu:
1. Tim Pelaksana Kegiatan atau TPK dalam Peraturan Kepala LKPP tidak disebutkan
jumlahnya, artinya Desa dapat membentuk TPK lebih dari satu, disesuaikan dengan urgensi
dan jumlah pekerjaan tersebut. Peraturan Bupati/Walikota dapat menentukan jumlah
maksimal TPK yang di bentuk di Desa, atau membebaskan sesuai kebutuhan Desa dengan
memperhatikan jumlah APBDes dan jumlah pekerjaannya;
2. Selain itu, dalam Peraturan Bupati/Walikota juga seharusnya memberikan pengaturan
terhadap honorarium bagi TPK, baik dari segi nominal atau besaran honor maupun boleh
atau tidaknya honor diberikan, sehingga TPK mempunyai dasar yang kuat dalam proses
pelaksanaannya. Termasuk disini keterlibatan Kepala Desa, di beberapa daerah ada yang
membuat larangan Kepala Desa untuk masuk menjadi TPK, tetapi ada juga yang
membolehkan;
3. Peraturan Bupati/Walikota juga harus secara implisit menjelaskan tentang penggunaan satuan
harga, apakah menggunakan standar satuan harga yang ditetapkan atau dipergunakan dalam
APBD daerahnya, atau dengan ketentuan lain seperti membuat cluster-cluster harga satuan
mengingat geografis desa, atau bahkan ada penetapan standar satuan harga khusus di desa.
Hal ini dimaksudnya agar memudahkan dalam penyusunan APBDes sehingga ada
standarisasi harga atas barang yang sejenis dalam lingkup wilayah Kabupaten/Kota tersebut;
4. Penggunaan e-katalog sebelum adanya standar harga yang ditetapkan dapat digunakan dalam
rangka penyusunan APBDes atau Rencana Anggaran Biaya, tetapi hanya sebagai acuan
harga atau referensi, untuk proses pengadaannya sendiri tidak perlu melalui e-katalog, karena
bila menggunakan e-katalog harus mengikuti prosedur yang ada dalam sistem dan ini tentu
menyulitkan TPK;
5. Pada prinsipnya bila pekerjaan yang dilakukan tidak dapat secara swakelola, maka perkerjaan
tersebut dapat menggunakan pihak penyedia barang/jasa, termasuk untuk konsultan. Tetapi,
untuk lebih mendayagunakan fungsi Tim Asistensi Desa (TAD) maka pembinaan dan
pendampingan bagi kegiatan-kegiatan di desa sangat diperlukan. TAD dibentuk dan
10

ditetapkan oleh Bupati/Walikota, maka dalam Peraturan Bupati/Walikota terkait pengadaan
barang/jasa di desa perlu juga menguraikan para pihak yang terlibat dalam TAD beserta
tugas dan fungsinya;
6. Saat ini peran Camat kembali dikuatkan, walaupun bukan sebagai Kepala Wilayah lagi,
tetapi karena lingkup kecamatan terdiri dari beberapa desa maka perlu adanya pendelegasian
Bupati/Walikota kepada Camat dalam hal pengawasan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di
desa. Instrumen pengawasan ini seharusnya juga tertuang dalam Peraturan Bupati/Walikota
sehingga Camat dapat melakukan apa dan berbuat bagaimana bila ditemukan hal-hal yang
menyimpang atau tidak sesuai dengan ketentuan dalam proses pengadaan barang/jasa.
Pelibatan Inspektorat Daerah dimungkinkan, tetapi pengawasan Inspektorat berfungsi
melakukan pengawasan secara menyeluruh pelaksanaan APBDes dan penyelenggaraan
pemerintahan di desa atau hal-hal khusus lainnya. Bisa saja hasil pengawasan yang dilakukan
Camat diteruskan atau dilaporkan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan Inspektorat
Daerah;
7. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa tidak mengenal Harga Perkiraan Sendiri
atau HPS, oleh karena itu dalam penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) sudah harus
berdasarkan data harga pasar setempat atau harga pasar terdekat dari desa tersebut. Dengan
demikian HPS untuk di desa adalah RAB itu sendiri. Bila dalam penyusunan APBDes sudah
ada penetapan dari Bupati/Walikota terkait standar harga, maka penyusunan APBDes harus
mengikuti standar harga tersebut. Dalam pelaksanaannya bisa saja RAB yang disusun dalam
rangka penyusunan APBDes berubah disesuaikan RAB-nya pada saat pelaksanaan APBDes,
hal ini kembali kepada data harga pasar setempat atau harga pasar terdekat dari desa sehingga
prinsip efisien dan efektif dari pengadaan dapat tercapai;
8. Untuk memudahkan TPK dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, dalam Peraturan
Bupati/Walikota juga perlu membentuk format-format, seperti format surat penawaran dan
surat pesanan kepada penyedia barang/jasa, serta format surat perjanjian dan format berita
acara serah terima barang/jasa antara Ketua TPK dengan penyedia barang/jasa dan format
berita acara serah terima barang/jasa hasil pekerjaan antara Ketua TPK dengan Kepala Desa.
Bisa saja format-format tersebut bersifat blanko yang dicetak dan didistribusikan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa atau bila tidak dimungkinkan juga mengingat

11

kemampuan SDM dan goegrafi desa, format-format tersebut menjadi acuan dan dalam
pelaksanaannya cukup ditulis tangan;
9. Pasal 31 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa menyebutkan bahwa bendahara desa sebagai wajib pungut pajak penghasilan
(PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang
dipungutnya ke rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturannya sangat jelas sehingga bendahara desa wajib melakukan pemotongan dan
pemungutan atas pajak. Atas dasar tersebutlah seorang bendahara desa wajib mendaftarkan
diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Oleh karena itu, di dalam
Peraturan Bupati/Walikota penting menegaskan kembali tentang perpajakan ini.

D. KESIMPULAN
Pemerintah Daerah harus terus melakukan pemetaan dan pendataan potensi masalah yang
akan terjadi, juga melakukan peninjauan ulang/revisi hasil Musrenbangdes, Kecamatan, dan
Kabupaten misalnya disampaikan siklus APBDes, rambu-rambu keuangan desa, pengelolaan
barang/jasa di desa dengan cara-cara praktis yang mudah dipahami masyarakat desa. Hal ini
dilakukan dalam rangka memonitoring dan mengevaluasi setiap tahapan pelaksanaan dari
APBDes itu sendiri. Khusus dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa, bagi daerah yang
telah mengeluarkan Peraturan Bupati/Walikota tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa Di
Desa atau bahkan belum menerbitkan aturan tersebut, agar segera melakukan kajian dan
penetapan terkait pengadaan barang/jasa di desa dengan cara-cara praktis yang mudah dipahami
masyarakat desa setempat. Memperhatikan kondisi sosial budaya dan geografi masyarakat
setempat sehingga aturan yang dibuat dapat implementatif sebagaimana contoh-contoh di atas.
Peraturan Bupati/Walikota tersebut selain praktis dan mudah dipahami juga melampirkan
beberapa contoh format terkait berkas yang diperlukan dalam proses pengadaan barang/jasa, baik
bersifat blanko maupun menjadi contoh untuk ditulis tangan bila di desa mengalami kesulitan
dalam hal membuat dan mencetak format tersebut. Kemudahan-kemudahan ini tentunya demi
tetap terjaganya tata kelola administrasi keuangan dan pemerintahan yang baik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan sehingga dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat luas.
12

Tahun ini adalah tahun kedua Desa mendapatkan alokasi dana desa, tentunya kekurangan
sana sini masih terjadi. Peran Pemerintah Daerah dalam penguatan Tim Asistensi Desa atau
disingkat TAD tentunya menjadi penting, disatu sisi tentunya TAD tidak bisa standby di desa
karena beberapa faktor, seperti keterbatasan jumlah personil, kondisi geografi, dan pembiayaan.
Peran Camat dan aparatur kecamatan lainnya, didukung dengan cabang-cabang dinas atau unit
pelaksana teknis dinas terdekat, menjadikan tugas pendampingan sekaligus mengawasi
pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa sangatlah penting. Camat sebagai wakil pemerintah
kabupaten/kota terdekat bagi desa harus juga melakukan peningkatan sumber daya manusia di
desa dalam rangka pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah
Administrasi Pemerintahan diketahui bahwa jumlah desa di Indonesia
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun
2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun
2013 tentang Pengadaan Barang/Jasa Di Desa

13

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 22 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pengadaan Barang/Jasa Di Desa
Lestyowati, Jamila. 2015. Pengadaan Barang/Jasa

di Desa, Haruskah Swakelola? .

http://bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-danperbendaharaan/21080-pengadaan-barang-jasa-di-desa,-haruskah-swakelola,

12

Mei

2016
Pramesti, Siwi. 2015. KPK Temukan 14 Potensi Masalah Pengelolaan Dana Desa .
http://nasional.sindonews.com/read/1012030/13/kpk-temukan-14-potensi-masalahpengelolaan-dana-desa-1434116438, 12 Mei 2016
Subekti, Wibowo. 2015. Pajak Untuk Bendahara Pemerintah (bendahara pengeluaran).
http://www.wibowopajak.com/2012/01/pajak-untuk-bendahara-pemerintah.html, 12 Mei
2016

PENULIS:


Massaputro Delly TP, aktif sebagai Trainer Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di
lingkungan Pemerintah Provinsi Banten, dan beberapa kementerian/lembaga pusat
lainnya. Saat ini bekerja sebagai ASN pada Pemerintah Provinsi Banten.

14