masalah pokok Filsafat dan Moral
masalah pokok Filsafat Moral” Dr.Franz Magnis Suseno
Posted: 7 November 2011 in Uncategorized
0
I.
Pendahuluan
Buku yang berjudul “Etika Dasar : Masalah-masalah pokok Filsafat Moral” karya
Dr.Franz Magnis Suseno ini adalah penulisan kembali dan sedikit revisi dari bukunya yang
berjudul “Etika Umum”. Mengutip pernyataan beliau dalam Prakata , “Tujuan buku ini : menjadi
alat orientasi … menyediakan sarana-sarana teoritis agar pembaca sendiri dapat menghadapi
masalah-masalah moral yang muncul dengan lebih positif, kritis dan mantap.”
Dalam buku ini terdapat sepuluh bab , antara lain:
Bab 1 : Untuk Apa Beretika?
Bab 2 : Apa itu Kebebasan?
Bab 3 : Tanggung jawab dan Kebebasan
Bab 4 : Suara Hati
Bab 5 : Mempertanggungjawabkan Suara Hati
Bab 6 : Mengembangkan Suara Hati
Bab 7 : Tolak Ukur Pertanggungjawaban Moral
Bab 8 : Menuju Kebahagiaan
Bab 9 : Prinsip-prinsip Moral Dasar
Bab 10: Sikap-sikap Kepribadian yang Kuat
Mengingat tulisan ini adalah resensi, dalam tulisan ini saya memadatkan dari sepuluh bab ini
kedalam tiga bagian, sesuai dengan pembagian yang penulis juga paparkan dalam bukunya :
Bagian pertama : Kebebasan dan tanggung jawab, Bagian kedua : Kesadaran Moral, dan Bagian
ketiga : Etika Normatif.
II.
Pembahasan
Bagian pertama : Kebebasan dan tanggung jawab
A.
Kebebasan
Etika yang menjadi pokok bahasan buku ini dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang sangat fundamental : bagaimana saya harus
hidup dan bertindak?. Ditengah banyaknya jawaban yang dipaparkan berkaitan dengan
pertanyaan ini, etika membantu kita agar kita mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap
begini atau begitu. Etika membantu kita agar kita lebih bertanggung jawab. Ada dua bentuk
kebebasan yang dibedakan dalam buku ini :
1.
Kebebasan Eksistensial
Kemampuan untuk menentukan diri sendiri yang dimiliki tiap-tiap manusia ini disebut
kebebasan eksistensial. Bertindak begini atau begitu secara sengaja adalah wujud positif dari
kesanggupan kita dalam menentukan tindakan kita sendiri, ia adalah wujud dari kebebasan.
Dalam hal ini sebuah kegiatan manusia menjadikan kesengajaan , maksud dan tujuan tertentu ,
serta kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak
sebagai syarat-syarat disebut tindakan.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa tidak semua kegiatan manusia adalah tindakan. Denyut
jantung, mata yang berkedip , pernafasan bukanlah merupakan tindakan , karena berjalan tanpa
disengaja, tanpa kesadaran apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak.
Jadi kebebasan eksistensial adalah kemampuan untuk menentukan tindakannya sendiri.
Kemampun itu bersumber pada kemampuan manusia untuk berfikir dan berkehendak dan
terwujud dalam tindakan.
Artinya kebebasan ekstensial berakar pada kemampuan penguasaan manusia terhadap fikiran ,
kehendaknya , terhadap batinnya yang kemudian akan diwujudkan dalam dimensi lahiriah.
Kemampuan ini disebut sebagai kebebasan Rohani. Sedangkan kemampuan manusia untuk
menggerakkan tubuhnya sesuai dengan kehendaknya , dan tentunya masih dalam batas-batas
kodratnya sebagai manusia disebut kebebasan jasmani.
Antara kebebasan jasmani dan kebebasan rohani terdapat hubungan yang sangat erat. Dapat
dikatakan bahwa tindakan adalah suatu kehendak (bukan insting seperti hewan) yang menjelma
dan menjadi nyata, dan kehendak adalah permulaan tindakan.
2.
Kebebasan Sosial
Kebebasan eksistensial hanya dapat bergerak sejauh manusia lain tidak menghalang-halanginya.
Dengan kata lain, kebebasan eksistensial manusia adalah kebebasan dari pembatasan oleh niat
atau kehendak manusia lain. Kebebasan jasmani dibatasi dengan paksaan secara fisik,
kebebasan Rohani walaupun tidak dapat dibatasi secara langsung dapat dikurangi melalui
tekanan psikis . Kemudian manusia juga memiliki pembatasan lain yaitu perintah (pewajiban)
dan larangan yang apabila kita bebas dari itu disebut kebebasan normatif. Ketiga sudut
kebebasan ini disebut kebebasan sosial. Jadi kebebasan sosial adalah keadaan dimana
kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain.
B.
Kebebasan Sosial, Kebebasan Eksistensial dan Tanggung Jawab
Sebagai makhluk sosial yang memilki kebebasan sosial dan hidup bersama dalam dunia sosial
yang terbatas, sudah jelas bahwa manusia harus menerima bahwa masyarakat membatasi
kesewenangannya. Jadi kebebasan sosial kita terbatas dengan sendirinya. Namun perlu diketahui
juga bahwa masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenang-wenang dengan
motif sebagai usaha untuk menjamin kebebasan dan hak serta kepentingan wajar seluruh warga
masyarakat dan harus normatif. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ,
tidak dapat dibenarkan.
Kebebasan eksistensial berarti bahwa bagaimanapun kita harus mengambil sikap , dan kitalah
yang bertanggung jawab atas sikap dan tindakan kita dan bukan masyarakat. Sikap yang kita
ambil secara bebas hanya memadai apabila sesuai dengan tanggung jawab objektif itu. Semakin
berkembang kebebasan eksistensial manusia , semakin kuat pula pribadinya untuk bersedia
bertanggung jawab. Setiap sikap yang kita ambil tidak berada dalam ruang kosong, namun
meniscayakan adanya tanggung jawab kita sebagai pelakunya.
Sebaliknya, semakin orang menolak untuk bertanggung jawab, semakin sempit dan lemah pula
kepribadiannya, jadi semakin berkurang juga kebebasannya untuk menentukan dirinya sendiri.
Kebebasan eksistensial yang bertanggungjawab menyatakan diri dalam pola moralitas yang
otonom. Manusia bermoralitas otonom melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya bukan
karena takut (seakan ada paksaan) , atau merasa tertekan (psikisnya), melainkan ia sadar sendiri,
jadi menyadari nilai dan makna serta perlunya kewajiban dan tanggung jawab itu
Bagian kedua : Kesadaran Moral
A.
Suara Hati
Dalam bagian sebelumnya nampak bahwa disatu sisi kebebasan eksistensial menuntut adanya
otonomi moral. Dan disisi lain kebebasan sosial dapat dibatasi oleh masyarakat. Bertolak dari
dua kenyataan itu, dalam berhadapan dengan masyarakat suara hati kita menyatakan diri.
Suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret. Di dalam pusat hati kita yang
disebut hati , kita sadar apa yang sebanarnay dituntut dri kita. Meskipun banyak fihak yang
mengatakan kepada kita apa yang wajibdilakukan , tetapi dalam hati kita sadra bahwa akhirnya
hanya kitalah yang mengetahuinya. Jadi bahwa kota berhak dan juga wajib untuk hidup sesuai
dengan apa yang kita sadari sebagai kewajiban dan tanggung jawab itu.
Yang harus pertama-tama kita sadari dalam suara hati adalah : suara hati harus selalu ditaati.
Kesadaran ini termasuk inti suara hati sendiri. Tandanya ialah bahwa kita merasa bersalah
apabila kita mengelak dari suara hati. Meskipun suara hati kita dapat keliru, namun kita Harus
selalu taat padanya, karena suara hati adalah kesadarn kita yang langsung tetntang apa yanng
menjadi kewajiban kita..
Suara hati adalah pangkal otonomi manusia , pusat kemandiriannya, unsur yang tidak
mengizinkan manusia menjadi pengekor yang mudah digiring menurut pendapat orang lain.
Yang dilakukan suara hati adalah memberikan sebuah penilain-penilaian moral. Ia bukan sekedar
masalah perasaan semata dan selalu berlaku umum. Dan karena suara hati adalh bukan masalah
perasaan belaka, dan karena suara hati memiliki mengklaim rasionalitas dan objektifitas, maka ia
harus dipertanggng jawabkan.
Namun tidak berarti bahwa dengan rasionalitasnya , suara hati dan segenap pandangan moralnya
harus dibuktikan terlebih dahulu, melainkan kita harus terbuka bagi setiap argumen , sangkaln,
pertanyaan, dan keragu-raguan dari orang lain atau bahkan dari hati kita sendiri.
B.
Mengembangkan Suara Hati
Dalam etika dikatakan bahwa kesatuan faham moral hanya dapat tercapai apabila kita bersedia
untuk menenmpati “titik pangkal moral”. Dengan titik pangkal moral dimaksudkan agar orang
harus bersedia dulu untuk mengambil sikap moral, baru tercapailah dasar untuk bersama-sama
mencari penilaian yang tepat . Mengambil titik pangkal moral seperti itu hanya mungkin bagi
orang yang memilki kepribadian yang kuat dan matang.
Untuk mencapai kematangan itu, kita harus berusaha dalam dimensi kognitif dan afektif. Dalam
dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati memberikan penilaian-penilaiannya
berdasarkan pengertian yang tepat. Atau dengan kata lain, kita harus “mendidik” suara hati.
Mendidik suara hati berarti kita harus selalu mau belajar, mau memahami pertimbanganpertimbangan etis yang tepat dan seperlunya memperbaharui pandangan-pandangan kita.Jadi
yang diperlukan dalam mendidik segi kognitif suara hati adalah keterbukaan.
Selanjutnya, tentang bagaimana kesanggupan kita untuk selalu bertindak sesuai dengan suara
hati dapat dikembangkan dri segi afektif atau volitif. Manusia tidak dapat menjadi dirinya sendiri
kecuali ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari penguasaan oleh kekuatan-kekuatan irrasional
(nafsu) dan segala macam emosi atau dalam bahasa jawanya pamrih . Manusia bebas dari
pamrih tidak perlu gelisah akan dirinya sendiri, ia mengontrol nafsu-nafsu an emosi-emosinya.
Karena ia sepi ing pamrih, ia akan semakin rame ing gawe, artinya semakin sanggup memenuhi
kewajiban dan tanggung jawabnya.
C.
Suara Hati dan Super Ego
Istilah super ego dan suara hati sering disama artikan dalam pandangan masyarakat. Sebenarnya
ada unsur-unsur dalam suara hati yang tidak sesuai dengan superego.
Suara hati itu bicara karena mengerti apa yang secara objektif merupakan tanggung jawab dan
kewajiban objektif merupakan tindakan yang paling bernilai bagi manusia.Unsur pengertian
yang disertai faham tentang nilai tindakan yang diharuskan, kesadaran bahwa memang sudah
semestinya kalau saya bertindak demikian, itulah yang khas bagi suara hati.
Sedangkan superego hanya menekan, menegur,tidak memperdulikan tepat-tidaknya tindakan dari
sudut tanggung jawab. Superego bersifat otomatis, tidak kaku , melainkan berpedoman pada
kesadaran nilai. Ia berdiri selau tidak lepas dari kesadaran nilai ego. Oleh karena itu, dapat saja
terjadi bahwa orang justru akan melanggar kewajibannya apabila ia mengikuti superegonya
apabila ia lepas dari kesadaran nilai egonya. Kesadaran moral menuntut agar kita justru kritis
terhadap superego kita sendiri.
Kesadaran moral yang dewasa , matang atau otonom adalah kesadaran yang ditentukan oleh
kesadaran nilai ego. Ego adalah “aku” yang sadar, subjektivitas kita, pusat kesadaran dan
keunginan kita. Ego adalah kedirian kita yang merasakan, mengambil keputusan menghendaki,
dan bertindak.
Maka merupakan ciri orang yang kesadaran moralnya dewasa, bahwa superegonya selalu
menyesuaikan diri dengan apa yang dinilainya tepat. Itulah orang yang terbuka terhadap yang
baru dan yang akan bertindak berdasarkan tanggung jawabnya yang nyata.
Bagian ketiga : Etika Normatif
A.
Manakah Tolak Ukur Pertanggungjawaban Moral?
Kewajiban moral kita sadari sebagai sesuatu yang mengikat dengan mutlak , tetapi sekaligus
adanya keharusan kita untuk mempertanggungjawabkan pendpat kita tentang kewajiban moral
secara rasional.
Tetapi apa artinya mempertanggungjawabkan? Mempertanggungjawabkan sesuatu berarti bahwa
kita dapat menunjukan bahwa sesuatu itu memadai dengan norma yang harus diterapkan
padanya. Jadi pertanggungjawaban hanyalah mungkin kalau ada norma-norma yang menetpkan
bagaimana keadaan yang seharusnya. Dengan demikian kita berhadapan dengan pertanyaan :
Manakah tolak ukur pertanggungjawaban moral? Itulah pertanyaan pokok etika normatif.
Kesadaran moral sendiri menuntut dasar-dasar objektif. Suara hati menuntut agar kita berttindak
sesuai dengan tanggungjawab dan kewajiban kita yang sebenarnya dan bukan dengan apa yang
sekedar kita rasakan atau yang menjadi pendapat orang lain. Suara hati menuntut agar kita terus
menerus bertanya: apa sebenarnya yang dituntut dari saya sekarang? Bagaimana kita dapat
mengetahui sikap-sikap dan tindakan-tindakan mana yang seharusnya kita ambil kalau kita mau
bertanggungjawab secara moral?
Ada dua jawaban untu menjawab pertanyaan ini . Yang pertama berbunyi : “sesuaikan diri
dengan norma-norma masyarakat”. Masyarakat disini bermakna umum.Namun, norma-norma
masyaraktpun masih belum tentu dapat dimasyarakatkan. Masyarakt bisa betul, bisa saja keliru.
Maka norma-norma masyarakat tidak mungkin menyediakan orientasi yang terakhir. Etika
normatif justru merupakan alat kritis untuk mempersoalkan norma-norma yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat.
Tetapi apabila masyarakat dapat keliru, tetu saja saya sendiripun dapat keliru Oleh karena itu ada
jawaban kedua yang juga tidak memadai . Jawaban iitu berbunyi : “ikutilah saja suara hatimu !”.
Suara hati adalah kesadaran kita sendiri, dan kita tentu saja harus melakukan apa yang kita sadari
sebagai kewajiban . Tetapi sekalai lagi, kesadaran itu dapat keliru. Karenanya perlu dididik, dan
untuk itu kita memerlukan prinsip-prinsip objektif. Kesadaran moral saya sendiri mmerlukan
norma-norma objektif dan tidak memuat kriteria kebenarannya sendiri. Perlu adanya orientasi
objektif.
B.
Etika Normatif dan Kebahagiaan
Ada tiga teori etika normatif yang akan diungkapkan disini, yang kesemuanya `menyatakan
bahwa tujuan kehidupan manusia adalh kebahagiaan. Dan oleh karena itu prinsip dasar bagi
segala tindakan kita adalah agar kebahagiaan tercapai.
Perbedaan antara tiga teori ini adalah bahwa dua teori pertama berorientasikan untuk
mengusahakan kebahagiaan bagi orang yang bertindak itu sendiri, egoisme etis. Sedangkan teori
yang ketiga menuntut agar kebahagiaan diusahakan bagi semua orang yang terkena akibat
tindakan kita dan termasuk universalisme etis. Tiga teori itu adalah hedonisme, teori
pengembangan diri, dan utilitarisme.
Ketiga teori tersebut memiliki kebersaman bahwa nilai moral tindakan (tindakan akhlaki atau
bukan) itu ditentukan oleh tujuan yang mau dicapai dengannya: suatu tindakan adalah baik
apabila mengusahakan kebahagiaan dan buruk apabila akan menghalang-halanginya. Teori-teori
seperti ini wajar disebut teleologis.
C.
Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kembali lagi ditekankan bahwa etika normatif bertolak pada pertanyaan : manakah tolak ukur
terakhir untuk menilai tindakan manusia secara moral? Semua jawaban yang telah dikemukakan
sebelumnya memang belum memadai untuk sekedar menjawab pertanyaan tersebut.
Dari ketiga teori etika normatif yang telah diungkapkan, dalam menyikapi hal ini beranggapan:
Pertama, Hedonisme etis beranggapan bahwa hendaknya manusia hidup sedemikian rupa
sehingga ia semakin bahagia dengan terus mencari nikmat saja. Ini yang justru dipertanyakan,
karena mencari nikmat saja tidak dapat mengharapkan akan mencapai kebahagiaan, karena
manusia selalu merasa berkekurangan.
Kedua teori pengembangan diri, didalamnya memuat sesuatu yang hakiki bagi segenap program
moral. Namun justru orang yang memikirkan pengembangan diri malahan tidak akan
berkembang, karena ia hanya berkisar sekitar dirinya saja.
Ketiga , Utilitarisme mendobrak ketertutupan kedua teori sebelumnya. Ia mentapkan prinsip
tangggung jawab universal sebagai dasarnya.
Dari utilitarisme ini, yang beranggapan bahwa kita sebagai manusia harus selalu
bertanggungjawab terhadap akibat-akibat tindakan kita, bahwa kita hendaknya mengusahakan
hasil-hasil yang paling baik bagi semua tetap berlaku. Dari inti utilitarisme ini kita bertolak , ada
tiga prinsip ;
1. Prinsip baik,
Kesadaran inti utilitarisme adalah jangan merugikan siapa saja, jadi bahwa sikap yang dituntut
dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik.
1. prinsip keadilan
Adil pada hakikatnya adalah bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya. Secara singkat keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan
(termasuk yang baik) dengan melanggar hak orang lain.
1. Prinsip hormat terhadap diri sendiri.
Prinsip inilah yang menuntut agar orang tidak membiarkan diri disalahgunakan. Ia mengatakan
bahwa manusia wajib untuk memperlakukan diri sebagai sesuatau yang bernilai pada dirinya
sendiri.
Hubungan antara ketiganya adalah bahwa prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri
merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan sikap baik menjadi daar mengapa
seseorang bersedia untuk bersikap adil.
Kebaikan dan keadilan yang kitta tunjukkan kepada orang lain perlu diimbangi dengan sikap
menghormati diri kita sendiri. Kita bertekad untuk berbut baik kepada orang lain dan bertekad
untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.
Bagian Penutup : Sikap-sikap Kepribadian Moral yang Kuat
Kita bertolak dari kenyataan bahwa kita bebas. Kebebasan yang diberikan kepada kita
(kebebasan sosial) , hanya merupakan ruang bagi kebebasan untuk menentukan diri kita sendiri
( kebebasan eksistensial). Berhadapan dengan berbagai pihak, yang mau menetapkan bagaimana
kita harus mempergunakan kebebasan kita , kita dalam suara hati menyadari bahwa akhirnya kita
sendirilah yang harus mengambil keputusan tentang apa yang harus kita lakukan. Kita sendirilah
yang bertanggung jawab atas tindakan kita. Tidak ada orang yang dapat menghapus kenyataan
ini. Dalam etika normatif kita lihat prinsip-prinsip dasar obyektif terhadapnya kita harus
mempertanggung jawabkan kebebasan kita.
Setelah kesemuanya itu, akhirnya kita sampai pada pertanyaan : kita ini orang macam apa?.
Untuk memperoleh kekuatan moral dan mendasari kepribadian yang mantap, jawabannya adalah
dengan mengembangkan lima sifat berikut ini :
1. Kejujuran,
Bersikap jujur berarti kita bersikap terbuka dan fair. Tanpa kejujuran sepi ing pamrih dan rame
ing gawe akan menjadi sarana kelicikan jika tidak berakar kejujuran.
1. Nilai-nilai otentik (manusiawi),
Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai keasliannya,
dengan kepribadian yang sebenarnya,. Bukan orang jiplakan.
1. Kebersediaan bertanggung jawab,
Bertanggungjawab termasuk kesediaan untuk diminta, untuk memberikan, pertanggungjawabna
atas tindakan-tindakan kita, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
1. Kemandirian moral,
Sikap mandiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri
terhadap suatu masalah moral.
1. Keberanian moral,
Keberanian moral berarti menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang
telah diyakini sebagai kewajiban .
1. Kerendahan hati,
Kerendahan hati adalah kekuatan batin bahwa kita melihat diri kita seadanya.
1. Realistik dan Kritis,
Realistik berarti menerima real-nya dunia ini, yang harus diikuti pula dengan sikap kritis untuk
tidak menerima realitas begitu saja, namun disesuaikan dengan tuntunan prinsip-prinsip dasar.
Tanggung jawab moral yang nyata menuntut realistik dan kritis. Kesemuanya itu adalah sikapsikap uatama yang mendasari kepribadian yang mantap.
Posted: 7 November 2011 in Uncategorized
0
I.
Pendahuluan
Buku yang berjudul “Etika Dasar : Masalah-masalah pokok Filsafat Moral” karya
Dr.Franz Magnis Suseno ini adalah penulisan kembali dan sedikit revisi dari bukunya yang
berjudul “Etika Umum”. Mengutip pernyataan beliau dalam Prakata , “Tujuan buku ini : menjadi
alat orientasi … menyediakan sarana-sarana teoritis agar pembaca sendiri dapat menghadapi
masalah-masalah moral yang muncul dengan lebih positif, kritis dan mantap.”
Dalam buku ini terdapat sepuluh bab , antara lain:
Bab 1 : Untuk Apa Beretika?
Bab 2 : Apa itu Kebebasan?
Bab 3 : Tanggung jawab dan Kebebasan
Bab 4 : Suara Hati
Bab 5 : Mempertanggungjawabkan Suara Hati
Bab 6 : Mengembangkan Suara Hati
Bab 7 : Tolak Ukur Pertanggungjawaban Moral
Bab 8 : Menuju Kebahagiaan
Bab 9 : Prinsip-prinsip Moral Dasar
Bab 10: Sikap-sikap Kepribadian yang Kuat
Mengingat tulisan ini adalah resensi, dalam tulisan ini saya memadatkan dari sepuluh bab ini
kedalam tiga bagian, sesuai dengan pembagian yang penulis juga paparkan dalam bukunya :
Bagian pertama : Kebebasan dan tanggung jawab, Bagian kedua : Kesadaran Moral, dan Bagian
ketiga : Etika Normatif.
II.
Pembahasan
Bagian pertama : Kebebasan dan tanggung jawab
A.
Kebebasan
Etika yang menjadi pokok bahasan buku ini dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang sangat fundamental : bagaimana saya harus
hidup dan bertindak?. Ditengah banyaknya jawaban yang dipaparkan berkaitan dengan
pertanyaan ini, etika membantu kita agar kita mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap
begini atau begitu. Etika membantu kita agar kita lebih bertanggung jawab. Ada dua bentuk
kebebasan yang dibedakan dalam buku ini :
1.
Kebebasan Eksistensial
Kemampuan untuk menentukan diri sendiri yang dimiliki tiap-tiap manusia ini disebut
kebebasan eksistensial. Bertindak begini atau begitu secara sengaja adalah wujud positif dari
kesanggupan kita dalam menentukan tindakan kita sendiri, ia adalah wujud dari kebebasan.
Dalam hal ini sebuah kegiatan manusia menjadikan kesengajaan , maksud dan tujuan tertentu ,
serta kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak
sebagai syarat-syarat disebut tindakan.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa tidak semua kegiatan manusia adalah tindakan. Denyut
jantung, mata yang berkedip , pernafasan bukanlah merupakan tindakan , karena berjalan tanpa
disengaja, tanpa kesadaran apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak.
Jadi kebebasan eksistensial adalah kemampuan untuk menentukan tindakannya sendiri.
Kemampun itu bersumber pada kemampuan manusia untuk berfikir dan berkehendak dan
terwujud dalam tindakan.
Artinya kebebasan ekstensial berakar pada kemampuan penguasaan manusia terhadap fikiran ,
kehendaknya , terhadap batinnya yang kemudian akan diwujudkan dalam dimensi lahiriah.
Kemampuan ini disebut sebagai kebebasan Rohani. Sedangkan kemampuan manusia untuk
menggerakkan tubuhnya sesuai dengan kehendaknya , dan tentunya masih dalam batas-batas
kodratnya sebagai manusia disebut kebebasan jasmani.
Antara kebebasan jasmani dan kebebasan rohani terdapat hubungan yang sangat erat. Dapat
dikatakan bahwa tindakan adalah suatu kehendak (bukan insting seperti hewan) yang menjelma
dan menjadi nyata, dan kehendak adalah permulaan tindakan.
2.
Kebebasan Sosial
Kebebasan eksistensial hanya dapat bergerak sejauh manusia lain tidak menghalang-halanginya.
Dengan kata lain, kebebasan eksistensial manusia adalah kebebasan dari pembatasan oleh niat
atau kehendak manusia lain. Kebebasan jasmani dibatasi dengan paksaan secara fisik,
kebebasan Rohani walaupun tidak dapat dibatasi secara langsung dapat dikurangi melalui
tekanan psikis . Kemudian manusia juga memiliki pembatasan lain yaitu perintah (pewajiban)
dan larangan yang apabila kita bebas dari itu disebut kebebasan normatif. Ketiga sudut
kebebasan ini disebut kebebasan sosial. Jadi kebebasan sosial adalah keadaan dimana
kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain.
B.
Kebebasan Sosial, Kebebasan Eksistensial dan Tanggung Jawab
Sebagai makhluk sosial yang memilki kebebasan sosial dan hidup bersama dalam dunia sosial
yang terbatas, sudah jelas bahwa manusia harus menerima bahwa masyarakat membatasi
kesewenangannya. Jadi kebebasan sosial kita terbatas dengan sendirinya. Namun perlu diketahui
juga bahwa masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenang-wenang dengan
motif sebagai usaha untuk menjamin kebebasan dan hak serta kepentingan wajar seluruh warga
masyarakat dan harus normatif. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ,
tidak dapat dibenarkan.
Kebebasan eksistensial berarti bahwa bagaimanapun kita harus mengambil sikap , dan kitalah
yang bertanggung jawab atas sikap dan tindakan kita dan bukan masyarakat. Sikap yang kita
ambil secara bebas hanya memadai apabila sesuai dengan tanggung jawab objektif itu. Semakin
berkembang kebebasan eksistensial manusia , semakin kuat pula pribadinya untuk bersedia
bertanggung jawab. Setiap sikap yang kita ambil tidak berada dalam ruang kosong, namun
meniscayakan adanya tanggung jawab kita sebagai pelakunya.
Sebaliknya, semakin orang menolak untuk bertanggung jawab, semakin sempit dan lemah pula
kepribadiannya, jadi semakin berkurang juga kebebasannya untuk menentukan dirinya sendiri.
Kebebasan eksistensial yang bertanggungjawab menyatakan diri dalam pola moralitas yang
otonom. Manusia bermoralitas otonom melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya bukan
karena takut (seakan ada paksaan) , atau merasa tertekan (psikisnya), melainkan ia sadar sendiri,
jadi menyadari nilai dan makna serta perlunya kewajiban dan tanggung jawab itu
Bagian kedua : Kesadaran Moral
A.
Suara Hati
Dalam bagian sebelumnya nampak bahwa disatu sisi kebebasan eksistensial menuntut adanya
otonomi moral. Dan disisi lain kebebasan sosial dapat dibatasi oleh masyarakat. Bertolak dari
dua kenyataan itu, dalam berhadapan dengan masyarakat suara hati kita menyatakan diri.
Suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret. Di dalam pusat hati kita yang
disebut hati , kita sadar apa yang sebanarnay dituntut dri kita. Meskipun banyak fihak yang
mengatakan kepada kita apa yang wajibdilakukan , tetapi dalam hati kita sadra bahwa akhirnya
hanya kitalah yang mengetahuinya. Jadi bahwa kota berhak dan juga wajib untuk hidup sesuai
dengan apa yang kita sadari sebagai kewajiban dan tanggung jawab itu.
Yang harus pertama-tama kita sadari dalam suara hati adalah : suara hati harus selalu ditaati.
Kesadaran ini termasuk inti suara hati sendiri. Tandanya ialah bahwa kita merasa bersalah
apabila kita mengelak dari suara hati. Meskipun suara hati kita dapat keliru, namun kita Harus
selalu taat padanya, karena suara hati adalah kesadarn kita yang langsung tetntang apa yanng
menjadi kewajiban kita..
Suara hati adalah pangkal otonomi manusia , pusat kemandiriannya, unsur yang tidak
mengizinkan manusia menjadi pengekor yang mudah digiring menurut pendapat orang lain.
Yang dilakukan suara hati adalah memberikan sebuah penilain-penilaian moral. Ia bukan sekedar
masalah perasaan semata dan selalu berlaku umum. Dan karena suara hati adalh bukan masalah
perasaan belaka, dan karena suara hati memiliki mengklaim rasionalitas dan objektifitas, maka ia
harus dipertanggng jawabkan.
Namun tidak berarti bahwa dengan rasionalitasnya , suara hati dan segenap pandangan moralnya
harus dibuktikan terlebih dahulu, melainkan kita harus terbuka bagi setiap argumen , sangkaln,
pertanyaan, dan keragu-raguan dari orang lain atau bahkan dari hati kita sendiri.
B.
Mengembangkan Suara Hati
Dalam etika dikatakan bahwa kesatuan faham moral hanya dapat tercapai apabila kita bersedia
untuk menenmpati “titik pangkal moral”. Dengan titik pangkal moral dimaksudkan agar orang
harus bersedia dulu untuk mengambil sikap moral, baru tercapailah dasar untuk bersama-sama
mencari penilaian yang tepat . Mengambil titik pangkal moral seperti itu hanya mungkin bagi
orang yang memilki kepribadian yang kuat dan matang.
Untuk mencapai kematangan itu, kita harus berusaha dalam dimensi kognitif dan afektif. Dalam
dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati memberikan penilaian-penilaiannya
berdasarkan pengertian yang tepat. Atau dengan kata lain, kita harus “mendidik” suara hati.
Mendidik suara hati berarti kita harus selalu mau belajar, mau memahami pertimbanganpertimbangan etis yang tepat dan seperlunya memperbaharui pandangan-pandangan kita.Jadi
yang diperlukan dalam mendidik segi kognitif suara hati adalah keterbukaan.
Selanjutnya, tentang bagaimana kesanggupan kita untuk selalu bertindak sesuai dengan suara
hati dapat dikembangkan dri segi afektif atau volitif. Manusia tidak dapat menjadi dirinya sendiri
kecuali ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari penguasaan oleh kekuatan-kekuatan irrasional
(nafsu) dan segala macam emosi atau dalam bahasa jawanya pamrih . Manusia bebas dari
pamrih tidak perlu gelisah akan dirinya sendiri, ia mengontrol nafsu-nafsu an emosi-emosinya.
Karena ia sepi ing pamrih, ia akan semakin rame ing gawe, artinya semakin sanggup memenuhi
kewajiban dan tanggung jawabnya.
C.
Suara Hati dan Super Ego
Istilah super ego dan suara hati sering disama artikan dalam pandangan masyarakat. Sebenarnya
ada unsur-unsur dalam suara hati yang tidak sesuai dengan superego.
Suara hati itu bicara karena mengerti apa yang secara objektif merupakan tanggung jawab dan
kewajiban objektif merupakan tindakan yang paling bernilai bagi manusia.Unsur pengertian
yang disertai faham tentang nilai tindakan yang diharuskan, kesadaran bahwa memang sudah
semestinya kalau saya bertindak demikian, itulah yang khas bagi suara hati.
Sedangkan superego hanya menekan, menegur,tidak memperdulikan tepat-tidaknya tindakan dari
sudut tanggung jawab. Superego bersifat otomatis, tidak kaku , melainkan berpedoman pada
kesadaran nilai. Ia berdiri selau tidak lepas dari kesadaran nilai ego. Oleh karena itu, dapat saja
terjadi bahwa orang justru akan melanggar kewajibannya apabila ia mengikuti superegonya
apabila ia lepas dari kesadaran nilai egonya. Kesadaran moral menuntut agar kita justru kritis
terhadap superego kita sendiri.
Kesadaran moral yang dewasa , matang atau otonom adalah kesadaran yang ditentukan oleh
kesadaran nilai ego. Ego adalah “aku” yang sadar, subjektivitas kita, pusat kesadaran dan
keunginan kita. Ego adalah kedirian kita yang merasakan, mengambil keputusan menghendaki,
dan bertindak.
Maka merupakan ciri orang yang kesadaran moralnya dewasa, bahwa superegonya selalu
menyesuaikan diri dengan apa yang dinilainya tepat. Itulah orang yang terbuka terhadap yang
baru dan yang akan bertindak berdasarkan tanggung jawabnya yang nyata.
Bagian ketiga : Etika Normatif
A.
Manakah Tolak Ukur Pertanggungjawaban Moral?
Kewajiban moral kita sadari sebagai sesuatu yang mengikat dengan mutlak , tetapi sekaligus
adanya keharusan kita untuk mempertanggungjawabkan pendpat kita tentang kewajiban moral
secara rasional.
Tetapi apa artinya mempertanggungjawabkan? Mempertanggungjawabkan sesuatu berarti bahwa
kita dapat menunjukan bahwa sesuatu itu memadai dengan norma yang harus diterapkan
padanya. Jadi pertanggungjawaban hanyalah mungkin kalau ada norma-norma yang menetpkan
bagaimana keadaan yang seharusnya. Dengan demikian kita berhadapan dengan pertanyaan :
Manakah tolak ukur pertanggungjawaban moral? Itulah pertanyaan pokok etika normatif.
Kesadaran moral sendiri menuntut dasar-dasar objektif. Suara hati menuntut agar kita berttindak
sesuai dengan tanggungjawab dan kewajiban kita yang sebenarnya dan bukan dengan apa yang
sekedar kita rasakan atau yang menjadi pendapat orang lain. Suara hati menuntut agar kita terus
menerus bertanya: apa sebenarnya yang dituntut dari saya sekarang? Bagaimana kita dapat
mengetahui sikap-sikap dan tindakan-tindakan mana yang seharusnya kita ambil kalau kita mau
bertanggungjawab secara moral?
Ada dua jawaban untu menjawab pertanyaan ini . Yang pertama berbunyi : “sesuaikan diri
dengan norma-norma masyarakat”. Masyarakat disini bermakna umum.Namun, norma-norma
masyaraktpun masih belum tentu dapat dimasyarakatkan. Masyarakt bisa betul, bisa saja keliru.
Maka norma-norma masyarakat tidak mungkin menyediakan orientasi yang terakhir. Etika
normatif justru merupakan alat kritis untuk mempersoalkan norma-norma yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat.
Tetapi apabila masyarakat dapat keliru, tetu saja saya sendiripun dapat keliru Oleh karena itu ada
jawaban kedua yang juga tidak memadai . Jawaban iitu berbunyi : “ikutilah saja suara hatimu !”.
Suara hati adalah kesadaran kita sendiri, dan kita tentu saja harus melakukan apa yang kita sadari
sebagai kewajiban . Tetapi sekalai lagi, kesadaran itu dapat keliru. Karenanya perlu dididik, dan
untuk itu kita memerlukan prinsip-prinsip objektif. Kesadaran moral saya sendiri mmerlukan
norma-norma objektif dan tidak memuat kriteria kebenarannya sendiri. Perlu adanya orientasi
objektif.
B.
Etika Normatif dan Kebahagiaan
Ada tiga teori etika normatif yang akan diungkapkan disini, yang kesemuanya `menyatakan
bahwa tujuan kehidupan manusia adalh kebahagiaan. Dan oleh karena itu prinsip dasar bagi
segala tindakan kita adalah agar kebahagiaan tercapai.
Perbedaan antara tiga teori ini adalah bahwa dua teori pertama berorientasikan untuk
mengusahakan kebahagiaan bagi orang yang bertindak itu sendiri, egoisme etis. Sedangkan teori
yang ketiga menuntut agar kebahagiaan diusahakan bagi semua orang yang terkena akibat
tindakan kita dan termasuk universalisme etis. Tiga teori itu adalah hedonisme, teori
pengembangan diri, dan utilitarisme.
Ketiga teori tersebut memiliki kebersaman bahwa nilai moral tindakan (tindakan akhlaki atau
bukan) itu ditentukan oleh tujuan yang mau dicapai dengannya: suatu tindakan adalah baik
apabila mengusahakan kebahagiaan dan buruk apabila akan menghalang-halanginya. Teori-teori
seperti ini wajar disebut teleologis.
C.
Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kembali lagi ditekankan bahwa etika normatif bertolak pada pertanyaan : manakah tolak ukur
terakhir untuk menilai tindakan manusia secara moral? Semua jawaban yang telah dikemukakan
sebelumnya memang belum memadai untuk sekedar menjawab pertanyaan tersebut.
Dari ketiga teori etika normatif yang telah diungkapkan, dalam menyikapi hal ini beranggapan:
Pertama, Hedonisme etis beranggapan bahwa hendaknya manusia hidup sedemikian rupa
sehingga ia semakin bahagia dengan terus mencari nikmat saja. Ini yang justru dipertanyakan,
karena mencari nikmat saja tidak dapat mengharapkan akan mencapai kebahagiaan, karena
manusia selalu merasa berkekurangan.
Kedua teori pengembangan diri, didalamnya memuat sesuatu yang hakiki bagi segenap program
moral. Namun justru orang yang memikirkan pengembangan diri malahan tidak akan
berkembang, karena ia hanya berkisar sekitar dirinya saja.
Ketiga , Utilitarisme mendobrak ketertutupan kedua teori sebelumnya. Ia mentapkan prinsip
tangggung jawab universal sebagai dasarnya.
Dari utilitarisme ini, yang beranggapan bahwa kita sebagai manusia harus selalu
bertanggungjawab terhadap akibat-akibat tindakan kita, bahwa kita hendaknya mengusahakan
hasil-hasil yang paling baik bagi semua tetap berlaku. Dari inti utilitarisme ini kita bertolak , ada
tiga prinsip ;
1. Prinsip baik,
Kesadaran inti utilitarisme adalah jangan merugikan siapa saja, jadi bahwa sikap yang dituntut
dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik.
1. prinsip keadilan
Adil pada hakikatnya adalah bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya. Secara singkat keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan
(termasuk yang baik) dengan melanggar hak orang lain.
1. Prinsip hormat terhadap diri sendiri.
Prinsip inilah yang menuntut agar orang tidak membiarkan diri disalahgunakan. Ia mengatakan
bahwa manusia wajib untuk memperlakukan diri sebagai sesuatau yang bernilai pada dirinya
sendiri.
Hubungan antara ketiganya adalah bahwa prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri
merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan sikap baik menjadi daar mengapa
seseorang bersedia untuk bersikap adil.
Kebaikan dan keadilan yang kitta tunjukkan kepada orang lain perlu diimbangi dengan sikap
menghormati diri kita sendiri. Kita bertekad untuk berbut baik kepada orang lain dan bertekad
untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.
Bagian Penutup : Sikap-sikap Kepribadian Moral yang Kuat
Kita bertolak dari kenyataan bahwa kita bebas. Kebebasan yang diberikan kepada kita
(kebebasan sosial) , hanya merupakan ruang bagi kebebasan untuk menentukan diri kita sendiri
( kebebasan eksistensial). Berhadapan dengan berbagai pihak, yang mau menetapkan bagaimana
kita harus mempergunakan kebebasan kita , kita dalam suara hati menyadari bahwa akhirnya kita
sendirilah yang harus mengambil keputusan tentang apa yang harus kita lakukan. Kita sendirilah
yang bertanggung jawab atas tindakan kita. Tidak ada orang yang dapat menghapus kenyataan
ini. Dalam etika normatif kita lihat prinsip-prinsip dasar obyektif terhadapnya kita harus
mempertanggung jawabkan kebebasan kita.
Setelah kesemuanya itu, akhirnya kita sampai pada pertanyaan : kita ini orang macam apa?.
Untuk memperoleh kekuatan moral dan mendasari kepribadian yang mantap, jawabannya adalah
dengan mengembangkan lima sifat berikut ini :
1. Kejujuran,
Bersikap jujur berarti kita bersikap terbuka dan fair. Tanpa kejujuran sepi ing pamrih dan rame
ing gawe akan menjadi sarana kelicikan jika tidak berakar kejujuran.
1. Nilai-nilai otentik (manusiawi),
Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai keasliannya,
dengan kepribadian yang sebenarnya,. Bukan orang jiplakan.
1. Kebersediaan bertanggung jawab,
Bertanggungjawab termasuk kesediaan untuk diminta, untuk memberikan, pertanggungjawabna
atas tindakan-tindakan kita, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
1. Kemandirian moral,
Sikap mandiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri
terhadap suatu masalah moral.
1. Keberanian moral,
Keberanian moral berarti menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang
telah diyakini sebagai kewajiban .
1. Kerendahan hati,
Kerendahan hati adalah kekuatan batin bahwa kita melihat diri kita seadanya.
1. Realistik dan Kritis,
Realistik berarti menerima real-nya dunia ini, yang harus diikuti pula dengan sikap kritis untuk
tidak menerima realitas begitu saja, namun disesuaikan dengan tuntunan prinsip-prinsip dasar.
Tanggung jawab moral yang nyata menuntut realistik dan kritis. Kesemuanya itu adalah sikapsikap uatama yang mendasari kepribadian yang mantap.